Kamis, 15 September 2016

Awkarin dan Hasrat Pembentukan Identitas

sumber gambar : dagelan.co

Jadi Begini

Saya orang yang tidak suka stalking. Apalagi selebgram, buzzer, influencer, youtuber, snapchatter, apalah. Tapi terimakasih, berkat tulisan di Line tentang “Awkarin” yang ditulis oleh seseorang bernama Ndari[1], saya pun jadi melakukan apa yang dilakukan daripadanya. Medan problematis yang diajukan Ndari, adalah kritik tentang fenomena oversharing yang ternyata bermuara ke profit dan ilusi kaum abege Indonesia terutama kaum perempuan. Kemudian Ndari pun berharap kepada perempuan dimana pun, terutama yang lebih muda darinya, untuk, “...berhentilah menjiplak hidup orang lain dan iri sama kesehariannya.”

Apa yang ditulis Ndari sangatlah baik. Tapi saya tidak akan sekedar ngetik, “keren banget kak tulisannya”, atau “iya sepakat tuh” di kolom komentar postingannya. Ada pepatah Prancis berkata, “du choch des idees jaillit la lumiere”, yang artinya “dengan benturan gagasan akan terpancar sinar kebenaran.” Saya akan mengapresiasi tulisan Ndari dengan membenturkannya lewat tulisan pula, karena menurut saya ada hal yang kurang dalam tulisan Ndari.

Di awal, Ndari begitu gigih dan jitu membelejeti  Awkarin dan bagaimana justru Awkarin mendapatkan popularitas dan profit kesehariannya. Fenomena Awkarin dan siapapun itu yang seperti dirinya, bagi Ndari adalah konsekuensi dari, “...era oversharing, gara-gara social media. Sebagai manusia modern, ada satu rasa gatal dari diri kita untuk membagikan sedikit dari siapa kita pada orang lain sebagai wujud pembuktian diri identitas – lewat gambar, tulisan, suara, yang dengan mudahnya tersebar ke siapapun.”

Well, tidak ada yang salah daripadanya. Hanya saja, ada hal yang ternyata lebih kompleks dari itu. Tidak lantas gara-gara ada sosial media, kemudian si manusia modern begitu saja ngeshare aktifitas hariannya, ataupun ngefollow orang-orang yang dipujanya. Sebagaimana gravitasi tidak satu-satunya sebab kenapa apel jatuh dari pohon ke tanah, karena tingkat kematangan internal apel justru lebih menentukan bagi dirinya untuk jatuh ke tanah. Gravitasi, sebagaimana sosial media, hanyalah prasyarat dari kemungkinan gerak dialektika internal suatu hal.

Ketika kita membicarakan Awkarin, kita sebenarnya bukan sedang membicarakan Awkarin sebagai ‘seorang manusia biasa bernama Awkarin’, melainkan ‘fenomena tentang Awkarin, tentang hubungan Awkarin dengan followersnya’, sehingga Awkarin adalah semacam seperangkat fenomena. Apa yang menjadikan Awkarin menjadi ‘Awkarin’, adalah ratusan ribu followernya di sosial media. Tanpa followernya, Awkarin hanyalah gadis biasa yang goler-goleran di rumah pake daster bau bawang. Sehingga yang kurang dari pemaparan Ndari adalah, apa yang membuat orang-orang mengikuti Awkarin? Kenapa Awkarin dianggap sebagai sosok yang harus diikuti, bahkan dibela? Hal ini perlu dipertanyakan, sebab saran baik dari Ndari agar mulai meneladani perjuangan figur-figur seperti Malala Yousafzai dan Anzimatta, bisa saja dibalas dengan, “Yaela ribet amat sih idup lo, mumpung masih muda itu waktunya kita seneng-seneng, makan-makan, jalan-jalan.”

Tentang Diri

“Remaja” adalah sebuah kata yang bisa dibilang baru. Pada awal manusia hidup di era berburu dan meramu, sampai dengan di era feodal, kita tidak mengenal kata “remaja” . Hanya ada masa “belum dewasa” dan “sudah dewasa”, yang ditandai dengan berbagai macam hal. Ada yang menjadi dewasa karena bisa melompati batu setinggi 5 meter, berhasil menangkap babi hutan, sudah akil balig dan sunat, ataupun sudah bisa nyambut gawe’ sendiri. Kata “remaja” ditemukan Madison Avenue (sebuah industri periklanan Amerika) pada tahun 1941. Remaja, kemudian dihubungkan dengan pencarian identitas diri, yang erat kaitannya dengan atribut yang melekat (ataupun dilekatkan) pada tubuh, mulai dari pernak-pernik, baju, sepatu, gadget, musik yang ia dengar, film yang ia tonton, pacar yang ia miliki, tempat wisata yang ia jelajahi, mobil yang ia kendarai, gaya hidup yang ia jalani, dan tentu saja hal yang penting adalah : seleb yang ia ikuti.

Pencarian identitas kaum remaja hari ini dilakukan melalui penjelajahan di internet. Tentu mereka tidak melakukannya dengan mengetik di Google : “siapakah aku?”. Mereka berjejaring di berbagai sosial media, berteman atau mengikuti beberapa orang, dan diantaranya adalah mereka-mereka sudah atau yang bakal menjadi embrio seleb sosmed. Mereka mencari orang-orang yang sekiranya dianggap ideal bagi mereka. Mencari orang yang bisa menjadi bahan perbincangan selama jam istirahat di sekolah, atau menjadi referensi untuk ditiru dan dibawa hasil tiruannya itu ke teman-temannya. Apa yang mereka anggap ideal ini tidak pernah terjelaskan, padahal yang tak terjelaskan inilah yang justru membentuk identitas diri. Ketidakjelasan ini yang akan kita bedah lewat psikoanalisis.

Dalam kajian psikoanalisis, diri adalah sesuatu yang sadar yang mana kesadaran itu ditentukan di ranah ketaksadaran. Ketaksadaran ini dibentuk sejak masa bayi sampai ke pendewasaannya. Sederhananya kalau kawan-kawan mengikuti kisah Naruto, kita akan melihat bagaimana identitas masing-masing karakter ternyata terbentuk akibat peristiwa psikis masa kecilnya. Naruto yang caper karena masa kecilnya yang tak punya keluarga, ataupun Sasuke yang dingin karena masa kecilnya yang kelam karena peristiwa berdarah keluarga besarnya. Tapi psikoanalisis tak sesederhana itu. Ranah ini belakangan menjadi diskursus yang penting, terutama sejak marak munculnya fenomena bunuh diri gara-gara gagal UN, menyiksa pacar gara-gara masalah relasi, calon legislatif yang gila dan stres gara-gara kalah pemilu, sampai dengan keinginan abnormal yang narsis-fasistik Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Apa yang membuat orang-orang sangat berhasrat untuk mengejar sesuatu? Sama seperti pertanyaan di muka, mengapa para kaum abege begitu berhasrat pada hal-hal seperti yang dilakukan Awkarin?

Menurut Jacques Lacan, hasrat adalah selalu tentang ‘hasrat yang-Lain’. Yang-Lain adalah istilah Lacan yang artinya adalah pusat dari sistem yang mengatur struktur bahasa. Hasrat selalu merupakan hasrat yang diinternalisasikan ke dalam kita melalui tuturan, nasihat, sindiran, ekspektasi—singkatnya, melalui bahasa. Sebagai contoh, si A menghasrati jalan-jalan ke Disneyland bukan karena Disneyland itu sendiri, melainkan karena kekinian yang terdapat dalam lingkungan pergaulan sosialnya yang menganggap jalan-jalan ke Disneyland itu ‘kekinian’. Padahal pergaulan sosialnya juga ke Disneyland karena dorongan hasrat tadi, dan seterusnya. Dengan kata lain, hasrat selalu bermain di ranah simbolik.

Jika remaja adalah sebuah fase pembentukan identitas, sedangkan pembentukan identitas terjadi karena dorongan hasrat, lalu hasrat itu sendiri adalah hasrat yang-Lain yang terstruktur secara simbolik, maka sejatinya si remaja ini senantiasa mengalami semacam represi hasrat. Si remaja selalu mengejar sesuatu yang tak lebih nyata ketimbang dirinya. Yang ketika sesuatu itu telah berhasil ia kejar dan ia tangkap, ternyata sesuatu itu tidak ada. Persis seperti Penyihir Jahat di kisah Snow White, yang selalu berusaha menjadi cantik, padahal yang ia kejar sebenarnya bukanlah sebuah kecantikan, melainkan pengakuan kecantikan dari Cermin Ajaib, yang ternyata kemudian terbukti bahwa kecantikan sejati ada di kebaikan hati Snow White. Sesuatu yang terus dikejar oleh hasrat inilah yang disebut Lacan sebagai ‘objek-a’, yang membuat subjek selalu salah mengira dan terasing.

Represi hasrat yang dialami si remaja ini terus berlangsung karena si subjek ini begitu narsistik, yaitu mengidap semacam hasrat tak sadar untuk memperoleh landasan bagi perasaan ke-diri-an yang utuh, supaya dapat dikenali, diterima, dan bahkan dicintai. Subjek sendirilah yang menginginkan, mendambakan, dan akhirnya menyerahkan dirinya pada ‘perbudakan’ otoritas simbolik. Si remaja hanya akan menjadi ‘ada’ selama ia tunduk pada hukum simbolik tersebut. Awkarin hanyalah gejala saja, dan selama formasi yang simbolik ini tak pernah runtuh, maka kaum remaja akan terus memunculkan Awkarin-Awkarin selanjutnya entah sampai kapan. Semakin remaja terus mencari yang ideal, maka semakin yang ideal itu tak pernah ditemukan.

Apa dan siapa yang kaum remaja cari sebenarnya tidak pernah jauh-jauh dari konstruksi ideal tubuh yang diciptakan oleh dunia industri yang kapitalistik. Dalam kebudayaan kapitalis, menurut Slavoj Žižek, hasrat apapun yang kita miliki selalu dikondisikan oleh kekuatan kapital. Sebagaimana telah dimisalkan Ndari, hasrat untuk menjadi seperti Awkarin tak lain adalah untuk melayani kepentingan industri yang dipasarkan oleh tubuh Awkarin. Mulai dari produk kosmetik, pakaian, sampai dengan profit yang diperoleh pemilik sosmed itu sendiri seperti Youtube sampai Ask FM. Kapitalisme ini lah yang menjadi biang keladi alias pemilik otoritas simbolik, yang terus merepresi hasrat remaja.

Kapitalisme memasang papan iklan dan boneka-bonekanya untuk menyebar mimpi dimana setiap orang berkesempatan untuk bisa menjadi cantik seperti si A, jalan-jalan seperti B, punya pacar seperti C, dan bergaya seperti D. Dan sialnya lagi orang-orang berlomba-lomba untuk membentuk identitas diri agar seperti A, B, C, dan D, atau bahkan ikut ambil bagian menjadi boneka dalam penyebaran mimpi itu. Identitas diri dalam masyarakat kapitalisme tidak lain adalah kesadaran palsu.

(Tulisan ini dimuat di OA Line Padepokan Li Ta Chao)

Daftar Bacaan

Alissa Quart, Belanja Sampai Mati, Resist Book, Yogyakarta, 2008.

Hizkia Yosie, Asal Usul Kedaulatan Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara, Penerbit Kepik, 2014.

http://indoprogress.com/2015/06/slavoj-zizek-dan-pembentukan-identitas-subjektif-melalui-bahasa/


















[1] https://inineracauan.wordpress.com/2016/07/22/tentang-karin-awkarin-novilda-line-dan-liverpool/

Kamis, 12 Mei 2016

4

Tiada yang lebih mengejutkan ketimbang orang yang sedang dahaga, lalu hadir air di depannya. Tapi aku salah, ternyata ada. Yaitu malaikat yang membawakannya.

Aku tersesat.
Lalu ditemukan.

Lalu kuberanikan diri berbicara dengannya. Dan itulah pertama kali kita bertatap mata.

Suatu ketika, aku bertemu lagi. Aku bertandang ke markasnya. Aku bohongi setiap orang, hanya untuk bertemu dengannya.

Lalu di lain kesempatan, kulihat dia berdiri menatap pertunjukkan. Dia membalas tatapanku. Tak hanya membalas tatapan, dia juga tersenyum dan melambaikan tangannya.

Dan setelah kusabotase orang-orang di sekelilingnya, akhirnya tinggal kita berdua yang bicara. Apapun. Tentang apa saja. Sejenak terdiam. Dan berkata melanjutkan. Sang waktu tak lagi berlari. Betapa menit yang paling berharga.

Mungkinkah kita berjumpa lagi?


Jalan

Jalan.
Ia dinamai oleh pembesar, dengan nama orang-orang besar.
Ia dihantui, dan katanya memakan korban.
Ia bernilai, seukur dengan uang, keringat, darah, dan nyawa.
Ia dijadikan tempat tinggal bagi yang tak bertinggal.
Mulai dari sarana perpindahan dagangan, hingga sarana pertunjukkan balapan.
Mulai dari arena tawuran pelajar, hingga bentrokan massa aksi dengan aparat berseragam.
Kini, jalan tak hanya apa, tapi siapa
Bukan kita padanya, tapi kebalikannya 

Senin, 02 Mei 2016

UKT dan Penipuan Berkedok Rumus




Oleh : Panji Mulkillah Ahmad[1]
Pengantar
Kalau kamu sedang bermaksud untuk membongkar kebobrokan Uang Kuliah Tunggal (UKT), maka kamu sedang membaca tulisan yang tepat. Tulisan ini ditujukan untuk seluruh pegiat anti komersialisasi pendidikan, seluruh mahasiswa di Indonesia, dan terkhusus mahasiswa Unsoed. Bagi yang sedang terburu-buru, disarankan untuk membaca tulisan ini di lain waktu. Semisal di waktu setelah jam makan malam, atau ketika sedang galau karena chat buat gebetan nggak dibales-bales.[2] Karena tulisan ini saya buat di blog pribadi, maka jangan salahkan saya kalau pembahasan dan penyampaiannya sesuka hati saya. Kalau mulai pusing dengan pembahasannya, silakan hubungi gerakan anti komersialisasi pendidikan terdekat di kota-kota anda.
Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Faizal Azhari berjudul Mencari Entitas UKT dan tulisan Adhiatma Ryanto berjudul Ada Apa dengan UKT 2016?. Pada intinya, Faiz membahas tentang ketidakjelasan apa itu biaya operasional. Sedangkan Ryan membahas tentang bagaimana kebobrokan birokrasi kampus dan tiadanya transparansi BKT dan BOPTN. Saya bermaksud menunjukkan kepada anda bahwa sistem UKT yang terlihat ilmiah dengan rumusnya itu, sebenarnya mengandung penipuan yang tidak kasat mata.
Apa itu penipuan? Penipuan, kalau bahasa hukum pidananya adalah bedrog alias perbuatan curang. Ini diatur di Pasal 378 KUHP, bunyinya :

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat; ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Dengan mengutip “penipuan” menurut KUHP, bukan berarti dalam tulisan ini saya hendak menyangkutpautkan UKT dengan tindak pidana. Saya hanya hendak menunjukkan apa itu penipuan, untuk membedakan perbuatan lain yang bukan penipuan. Pada “penipuan” selalu ada “tipu muslihat” atau “rangkaian kebohongan”, yang tujuannya agar orang lain menyerahkan sesuatu padanya. Semisal, ini semisal loh ya, ada suatu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang bilang ke mahasiswanya bahwa UKT yang dia bayarkan adalah demi pembangunan gedung baru. Padahal ternyata pembangunan gedung baru sumber pendanaannya bukan dari UKT, melainkan dari APBN melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Lantas untuk apa UKT yang dibayarkan mahasiswa? Entah lah. Tapi yang jelas jika itu untuk gedung baru, itu adalah pernyataan yang bohong adanya. Semata-mata agar mahasiswa mau menyerahkan uangnya membayar UKT. Inilah “tipu muslihat” dan rangkaian “kebohongan”, agar orang lain menyerahkan sesuatu padanya. Inilah contoh dari penipuan dalam artinya yang sederhana. Agak familiar? Merasa Deja Vu ? Saya juga.

Jumat, 22 April 2016

Tentang 1965

"Tragedi 1965 adalah masalah kebangsaan"

Itu kalo kata Luhut, Fadli Zon, Kivlan Zein, dan kata mereka-mereka itu lah. Gue nggak ngehafalin itu semua.


Karena itu masalah kebangsaan, maka konsekuensinya ya nggak usah diumbar-umbar ke internasional. Yang penting bangsa Indonesia tetap bersatu. 

Tapi masa sih 1965 itu masalah kebangsaan?

Kalo kita liat film Senyap dan Jagal nya Joshua Oppenheimer, maka kita hanya akan mendapat kesan bahwa ini masalah orang-orang komunis dan lingkarannya yang diperlihatkan sebagai inncocent, dan Pemuda Pancasila yang bengis.


Tapi kalau kita lihat film The New Ruler of The World karya John Pilger dan Shadow Play karya Chris Hilton, kita akan dapat kesan berbeda. Peristiwa 1965 adalah efek dari perang dingin antar dua negara imperialis. Yakni imperialis Amerika Serikat melawan imperialis Uni Soviet pimpinan Nikita Kurchev. Amerika berkepentingan untuk memutus pasokan jual beli senjata di Indonesia yang selama ini dimonopoli Uni Soviet, pula menguasai sumber daya alam Indonesia. Sedangkan Uni Soviet tentu saja ingin agar bisnis senjatanya tetap langgeng di bawah pimpinan Sukarno, dan pula bisa ikut terlibat dalam kontrak proyek pembangunan semesta berencana. Suharto hanyalah gacoan-nya Amerika, begitupun Aidit bagi Uni Soviet. Suharto menggunakan TNI-AD, sebagai alat utamanya dan organisasi massa reaksioner kanan sebagai pendukungnya seperti Pemuda Pancasila, Sekber Golkar, GP Ansor, Himpunan Mahasiswa Islam, Masyumi, dan apapun itu.

Minggu, 17 April 2016

Random Talk Random Post

Gue lagi pengen bahas sesuatu yang agak serius. Tapi semoga dengan penyampaian gue yang (semoga) sederhana ini, yang serius pun bisa diselingin kudapan.

Jadi ceritanya ini berawal pas gue lagi curhat ama temen gue, namanya Kibe. Gue curhat tentang cewek yang lagi bikin gue penasaran (belum bisa dibilang suka, soalnya baru kenal). Jadi ceritanya si cewek ini jago olahraga. Nah, di sisi lain gue nggak jago olahraga sama sekali. Berhubung si Kibe ini atlit sepakbola, futsal, basket, dan taekwondo, maka wajar kalo gue cari info tentang cewek ini dari dia. Dan bener ternyata asumsi gue, bahwa si Kibe ini tau tentang cewek itu. Tapi sayangnya nggak kenal. Si Kibe ini bukannya ngasih solusi, eh malah ngetawain gue. Sebenernya bukan cuma Kibe sih yang ngetawain. Dari dulu pun orang-orang ngetawain gue gara-gara gue nggak suka dan nggak bisa main sepak bola. Tapi bukan ketawa ngerendahin, ya cuma ketawa aja.

Gue bilang deh ke Kibe dengan sebuah pengandaian. "Bayangin nih be, ada kos-kosan yang dihuni 3 mahasiswa. Si A, B, dan C. Ini peristiwa terjadi pas bulan puasa. Semuanya ini pada dasarnya males puasa. Tapi karena saling menghormati, akhirnya mereka puasa. Si A pikir dia bakalan ga enakan sama B dan C kalo ga puasa. Begitupun pula dengan B dan C satu sama lain. Jadinya, mereka puasa bukan karena keinginan sendiri."

"Trus hubungannya apaan?" tanya Kibe.

"Begitupun dengan gua Be. Gue tau sejak SD bahkan, kalo gue ngupdate tentang bola dan ikutan main sepak bole, itu ya biar ada temen main dan temen obrolan aja di sekolah. Persis kayak cerita ttg A,B, dan C di kos-kosan tadi. Tapi pas mulai masuk kuliah, gue udah tegaskan diri nggak mau melakukan sesuatu yang nggak gue ingin, dalam hal ini main bola. Berhubung semakin dewasa, akhirnya orang-orang makin menghargai pilihan masing-masing, akhirnya gue pun makin yakin untuk nggak terlibat dalam segala hal yang berurusan dengan sepak bola," ujar gue.


"Tapi tetep aja lo musti minimal ngikutin bola lah, kalo pengen punya bahan obrolan ama dia," kata Kibe.


Sampai akhir pembicaraan pun gue tetep bersikukuh untuk melakukan sesuatu karena gue ingin, bukan karena ikut-ikutan kayak contoh si ABC itu.

Oke pembicaraan gue ama Kibe selesai.

Tapi masih ada yang mengganjal di pikiran gue. Peristiwa mahasiswa ABC (kita sebut saja demikian) itu namanya apa ya? Karena gue rasa ini penting. Banyak orang melakukan hal sejenis ABC tadi, melakukan hal bukan karena dia ingin. Kayak semisal lagi, ada pertunjukkan stand up comedy. Si komikanya itu nggak lucu banget. Tapi orang-orang masih aja tepuk tanganin dia, meskipun terpaksa. Gue pernah iseng nanya ke yang tepuk tangan pas lagi ada suatu pertunjukan stand up, dan dia bilang, "gak apa apa, ikut-ikutan aja, lagipula kasian." Well, gue heran kenapa begitu murahnya dia kasih apresiasi ke itu orang.

Balik lagi. Ini namanya fenomena apa?


Akhirnya gue tanya ke temen 1 kontrakan gue, anak Sosiologi, namanya Oji. Katanya, itu adalah problem pilihan rasional. Dia pakai teorinya Weber. Tapi gue nggak setuju dengan hal ini. Yang gue tanya itu bukan alasan si individunya, melainkan fenomenanya.

Oji pun mengakui agak susah kalau ini bukan dibahas secara strukturalis. Lagipula, dia cuma punya contoh-contoh yang strukturalis. Semisal kenapa orang-orang masuk sekolah polisi pake sogokan segala, padahal kalau nggak nyogok pun masih bisa. Katanya Oji sih ya karena ada yang melanggengkan itu, yaitu birokrasi internal kepolisian. Itu kalo contoh yang struktural.


Tapi Oji punya pengalaman yang sama contohnya dengan ilustrasi mahasiswa ABC gue tadi. Jadi dulu Sosiologi 2011 sering ngadain futsal, buat ngerekatin persahabatan gitu deh. Tapi sebenernya nggak semuanya suka dan pengen main futsal. Tapi mau gamau futsal pun dipilih gara-gara ada 1 orang yang ngebet banget pengen futsalan sama Sosiologi 2011. Gue gatau namanya siapa, dan lagipula nggak penting juga sih menurut gue. Tapi sebut saja si X. Pada awalnya, futsal selalu berjalan. Tapi lama-lama pada cabut dan nggak pernah main futsal lagi. Gara-garanya, semua kemudian menyadari bahwa selama ini futsalan cuma sekedar nggak enakan sama si X tadi.

Hegemoni. Ah, kayaknya itu ada hubungannya sama hegemoni. Contoh kasus mahasiswa ABC misalnya. Mereka saling puasa karena ada hegemoni nilai-nilai religius yang sudah terlebih dahulu ada di masyarakat. Si A merasa mesti puasa biar keliatan religius oleh B dan C. Begitupun sebaliknya.


Sedangkan kasus futsalannya Oji misalnya, itu terjadi karena ada hegemoni yang dilakukan si X melalui serangkaian upaya-upaya persuasif dan propagandik.

Tapi ada yang berbeda.


Pada kasus futsalannya Oji, si X bertindak sebagai sang Hegemon (pihak yang memproduksi dan pereproduksi nilai hegemonik). Si X berusaha menjaga keberlangsungan nilai-nilai yang ia emban, kepada anak-anak Sosiologi 2011.

Sedangkan pada kasus mahasiswa ABC, sang Hegemon tidak terdapat pada naskah. Sang hegemon yang berupa penjaga nilai-nilai religius bukan si ABC, melainkan ustad, kyai, pendeta, santo, uskup, klerik, biksu, dukun, teolog dan sebagainya. Gue nggak bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi pada ABC tadi, tapi bisa ditebak mereka hanya akan puasa selama 1 minggu dan sisanya bolos puasa bersama.


Tapi tetep aja ada yang aneh.

Teori tentang Hegemoni dari Antonio Gramsci nggak pernah ngajarin hal-hal sepele kayak gini. Dia selalu berangkat dari analisis klas a la Marx. Bahwa ada dua macam klas yaitu klas yang yang berkuasa (rulling class) dan klas yang dikuasai (rulled class). Klas berkuasa bisa berlangsung karena menguasai alat produksi dan hubungan produksi ekonomi (basis struktur) dan juga perangkat represif dan ideologisnya seperti politik dan kebudayaan (super struktur). Nah kalau perangkat represif ini beroperasi dengan cara-cara kekerasan seperti segala hal yang berhubungan dengan senjata, pentungan, dan penjara, maka perangkat ideologis ini beroperasi dengan cara-cara non kererasan melalui propaganda, pendidikan, atau penanaman nilai budaya. Yang kedua itulah ranah hegemoni, yaitu upaya klas berkuasa untuk membuat klas yang dikuasai bisa sepakat dengan sistem yang berlangsung melalui cara-cara non fisik.

Tapi bicara tentang Gramsci, ini malah tambah aneh.


Apalagi kalau dikontekskan dengan masyarakat Indonesia. Coba deh kalo ngeliat rumah-rumah orang-orang Indonesia. Pasti ada aja stiker partai politik, ormas, atau tokoh tertentu di pintu atau jendela rumahnya. Atau juga di kendaraannya. Kalau dia itu adalah anggota organisasi politik, ya wajar. Kalau bukan? 

Sama aja kayak pas lagi masa pemilu, trus kita nongkrong aja coba di warteg, warkop, terminal atau tempat publik apapun. Pasti ada aja deh orang-orang ngobrolin politik dan saling ngejagoin calonnya masing-masing. Kalau dia itu bagian dari tim sukses sih, wajar. Kalau bukan?

Kita pasti deh punya temen yang pas Pemilu 2014 ikutan jadi tim sukses Prabowo maupun Jokowi. Mereka nggak dibayar, ataupun dibayar tapi cuma palingan 100 ribu. Dan mereka keliatan aktif banget ngebela calon dan keyakinan politik yang mereka anut.


Contoh lagi. Di suatu desa ada dua mushola. Yang satu haluannya NU, yang satu Muhammadiyah. Kalo sampe terjadi ribut-ribut masalah agama, kita tau ini gara-gara apa. Tapi anehnya, di satu desa itu semuanya tani miskin (ya ada sih yang tani sedang, tapi ga ada yang tani kaya). Pasti di desa yang pernah kalian temui ada aja hal kayak gini.

Contoh lagi (biar banyak). Ada anggota ormas preman fasis reaksioner kanan yang suka narik jatah parkiran dan jatah pengamanan pasar. Nggak perlu sebut nama soalnya ormas kayak ini sebenernya nggak cuma satu jenis, tapi banyak banget. Kita bisa imajinasikan sendiri ormas apa ini. Coba kita fokus ke anggotanya. Satu aja. Kita ambil yang paling sering narikin jatah preman. Dia ini biasanya paling setia ama organisasi. Kalau ada perang rebutan lahan parkir lawan sesama ormas preman, dia biasanya mati duluan. Tapi anehnya mereka sama-sama miskinnya dengan klas pekerja lainnya. Mereka juga dihimpit harga sembako, biaya pendidikan anak, kesehatan, listrik, dan sewa rumah yang semakin mahal.

Di Indonesia banyak banget dan akan masih banyak lagi contoh kayak gini. Yaitu orang-orang yang membela keyakinan sesuatu yang padahal itu menyakiti dan merugikan dirinya sendiri. Apalagi di Indonesia banyak banget organisasi dengan berbagai keyakinan politiknya.

Gue nggak habis pikir kenapa orang-orang begitu murahnya menyerahkan diri mereka ke hal yang bahkan mereka tidak nikmati.

Kalo ini karena suatu kemiskinan, nggak juga. Gue punya kenalan. Dia ini kerja di perusahaan rokok. Yang jelas dia bukan pegawai atasan. Bisa dibilang menengah lah. Dia ini berpandangan liberal a la Partai Republiknya AS. Negara harus melindungi kepemilikan pribadi, bebas pajak, menyerahkan segalanya ke individu, dan sebagianya. Dia suka ngejelek-jelekin gerakan buruh (padahal dia sendiri buruh). Tapi gue nggak ngerti apa maksud dia. Dia ini nggak diuntungkan sama sekali dari pandangan politik yang ia anut, tapi masih aja dipertahanin. Kalo nantinya bakalan naik pangkat, toh kerja di perusahaan rokok nggak perlu punya pandangan politik liberal. Asalkan disiplin dan punya skill, pasti naik pangkat.


Jadi, di Indonesia ini ada banyak banget orang yang melakukan sesuatu bukan karena ingin. Ada pula yang melakukan sesuatu karena ingin berdasar keyakinan, tapi sebenarnya itu merugikan dirinya sendiri. Ada banyak banget hegemon-hegemon di Indonesia. Hampir semua orang terus mereproduksi suatu pandangan politik, begitu saja, dengan murahnya. Orang Indonesia itu gampang banget dibeli pandangan politiknya, dan murah, bahkan gratis.

Trus kalo pake teori Hegemoni Gramsci, ini jadi agak susah. Karena banyak hegemon yang bukan bagian dari klas yang berkuasa, tapi bukan melakukan konter hegemoni, dan malahan turut melanggengkan sistem juga. Contohnya ya hegemon di desa yang isinya tani miskin, preman yang setia membela nama baik ormas fasisnya, maupun para relawan atau tim sukses pas lagi pemilu. Padahal kalo pake Gramsci, yang namanya hegemoni itu ya erat kaitannya dengan klas yang berkuasa. Nah ini, berkuasa nggak, miskin iya, tapi mau-maunya jadi hegemon.






Ah

Akhirnya gue sama Oji nemu alat analisis yang tepat buat fenomena ini yaitu "Kesadaran Palsu" nya Marx. Karl Marx sebenarnya nggak pernah pake istilah kesadaran palsu dalam menjelaskan fenomena kesadaran kelas proletariat. Terma ini pertama kalinya muncul dalam tulisan Friedrich Engels, yakni dalam suratnya kepada Franz Mehring (14 Juli 1898) :


“Ideologi adalah sebuah proses yang dicapai dengan sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran palsu. Motif nyata yang mendorongnya sesungguhnya adalah sesuatu yang asing baginya; jika tidak demikian maka itu bukanlah sebuah proses ideologis. Makanya ia hanya membayangkan sesuatu yang palsu atau yang tampak permukaan saja. Karena ideologi ini adalah sebuah proses pemikiran, maka bentuknya berasal dari murni hasil pemikiran, apakah itu pemikirannya sendiri atau orang lain sebelum dirinya. Ia bekerja melulu dengan materi pikirannya, yang ia terima tanpa mengujinya sebagai sebuah produk pemikiran dan tidak menginvestigasi lebih lanjut demi kepentingan pemikiran independen yang lebih rinci; tentu saja ini adalah masalahnya sendiri, karena seluruh tindakan yang dimediasi oleh pikiran, pada akhirnya muncul padanya atas dasar pikirannya.”


Nah, itu dia. Bekerja melulu dengan materi pikiran yang ia terima tanpa mengujinya dan tidak diinvestigasi lebih lanjut. Inilah mungkin yang bisa merangkum serangkaian contoh dengan anasir-anasir yang berbeda satu sama lain, tapi memiliki substratum yang sama.

Gilak bahaya banget ini kesadaran palsu. Beruntung banget gue tau tentang hal ini. Jangan-jangan gue juga punya sejenis kesadaran palsu juga ya? Tapi semoga aja nggak.




Tapi ini sebenarnya belum bisa dibilang selesai. Darimana munculnya kesadaran palsu itu? Kenapa suatu kesadaran palsu bisa terus direproduksi? Kenapa direproduksi? Siapa yang mereproduksi? Bagaimana pula mengakhirinya? Yah, tulisan ini emang nggak bermaksud menjawab itu semua. Namanya juga random talk random post.


Bye ~

Sabtu, 09 April 2016

Menyoal Perda Banyumas tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat


Oleh : Panji Mulkillah

Di hari itu inderawi massa demonstran menjadi saksi. Betapa anehnya pembuatan hukum di daerah ini. Perihal Perda yang sedang ramai dibacarakan itu, yaitu Perda Banyumas No.16 Tahun 2015 tentang Penyakit Masyarakat, ada banyak yang aneh di dalamnya. Ada pasal yang hilang, nomor yang loncat, tumpang tindih peraturan, dan masih banyak lainnya. Barangkali bukan kata “aneh”, tapi “cacat”, kata yang cocok menggambarkan Perda ini.

Tapi yang namanya membuat Perda itu pekerjaan sulit. Barangkali saja kecacatan itu terjadi karena komputernya rusak sewaktu di-print. Saya sebagai warga biasa pun tak mau su’udzon. Di benak saya, tidak mungkin pejabat pembuat Perda melakukan hal memalukan seperti itu. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya ke Bupati Banyumas, pada momen demonstrasi yang dilakukan Simalakama (Aliansi Masyarakat Menolak Perda Penyakit Masyarakat) Jumat 18 Maret kemarin. Bupati adalah yang turut mengesahkan Perda itu, melalui bubuhan tanda tangannya. Pastilah Bupati bisa menjawab pertanyaan saya, pikir saya pada waktu itu.

Saya bertanya. Kemudian Bupati menjawab. Dan jawaban Bupati kurang mengenakkan. “Mengenai hilangnya beberapa Pasal dalam Perda nanti kita bicarakan bersama DPRD, saya kan cuma tanda tangan, saya nggak baca semua,” tutur Bupati dengan nada meyakinkan. Saya hanya bisa terbengong, meski Bupati sangat terlihat percaya diri. Bukankah ini mengkhawatirkan sekali? Seorang kepala daerah yang dipilih oleh rakyat Banyumas, ternyata membuat Perda dengan cara serampangan seperti itu.

Rabu, 30 Maret 2016

Menempa Diri dengan Terlibat dalam Perjuangan


Oleh : Panji Mulkillah



Sebagai warga negara, kita punya berbagai jumput hak yang dijamin oleh hukum. Tugas negara adalah untuk memenuhi hak tersebut. Tapi ada kalanya negara tidak memenuhi hak warga negaranya, karena berbagai sebab. Bahkan negara malah melucuti, merampas hak, sampai mengekang kebebasan seseorang. Kalau sudah begini, adalah hal yang wajar kalau kemudian muncul berbagai gerakan sosial maupun individu yang berjuang memenuhi hak-haknya.

Tetapi tidak semua orang punya kemampuan untuk memperjuangkan haknya sendiri. Bahkan tidak semua orang mengerti akan hak-haknya. Karena tidak semua orang mempelajari hukum, semisal, yang memuat hak-hak warga negara. Tidak semua orang tau bagaimana caranya memperjuangkan hak.
Tapi di sisi lain, ada orang-orang yang tahu apa saja hak warga negara. Tahu bahwa sedang terjadi perampasan hak pada masyarakat. Nah, tapi gawatnya, dia tidak melakukan apapun dengan dalih, “gue belum merasa tertindas kok”.
Semisal, sedang terjadi masalah di kampus. Ada kenaikan biaya kuliah yang terjadi pada mahasiswa baru angkatan 2016. Ternyata peraturan yang memuat kenaikan biaya kuliah itu cacat hukum, dan melanggar beberapa hak mahasiswa 2016. Tapi namanya juga mahasiswa baru, pola pikirnya masih anak sekolahan. Mereka ikut saja dengan sistem yang ada. Kalaupun ada yang merasa dilanggar hak-haknya, dia tidak tahu bagaimana caranya untuk berjuang.
Kalau kita biarkan terus menerus, tentu kita menjadi orang yang sama jahatnya dengan para pejabat yang melanggar hak warganya. Kita melanggengkan adanya pelanggaran hak. Kalau kata Edmund Burke, kejahatan itu terjadi karena orang baik tidak melakukan apapun.
Tapi untungnya masih ada orang-orang yang peduli. Di dunia ini entah kenapa masih saja ada orang yang mau menukar waktu luang mereka untuk kerja-kerja advokasi kebijakan, pengorganisiran, sampai ikut turun ke jalan. Orang macam ini kerap dijuluki aktivis, anak gerakan, maupun community organizer. Mereka memiliki pengetahuan yang cukup mumpuni perihal hak-hak warga negara dan bagaimana cara memperjuangkannya.
Sialnya, orang-orang seperti ini jumlahnya makin ke sini makin sedikit. Sebabnya macam-macam. Tapi saya hanya akan mengemukakan satu sebab yang barangkali mulai terlupakan di benak orang-orang, yaitu motivasi berjuang.
Ada banyak macam motivasi seseorang ikut dalam perjuangan. Yang paling pokok tentu saja, untuk memperjuangkan hak dirinya sendiri. Hal demikian adalah tujuan bagi orang yang sedang dirampas haknya. Sedangkan seorang aktivis, mereka berjuang dengan alasan bermacam-macam. Ada yang berjuang karena kepedulian, kemanusiaan, sekedar mencari eksistensi dan sensasi, maupun menjadikan perjuangan sebagai hobi. Alasan mereka bisa bermacam-macam karena asal muasal mereka pun juga bermacam-macam.
Untuk mencapai kemenangan, tentu kita butuh gerakan yang besar. Kalau kita butuh gerakan yang besar, tentu membutuhkan aktivis dengan jumlah yang banyak dengan beragam kemampuannya. Semakin banyak aktivisnya, maka makin banyak tenaga untuk mengedukasi tentang hak, mengorganisir, dan menyebarluaskan isu perjuangan dengan cara yang beraneka ragam. Singkatnya, makin banyak aktivisnya maka makin banyak yang bisa tersadar akan haknya dan mau memperjuangkan dirinya sendiri, sehingga gerakan menjadi semakin besar, kuat, dan mudah mencapai kemenangan. Terjadinya perubahan sosial pun menjadi mungkin.
Tapi, tapi, dan tapi. Tidak semua orang punya rasa kemanusiaan dan kepedulian untuk tergerak ikut dalam perjuangan. Tidak semua orang ingin mencari eksistensi dan sensasi dengan cara ikut gerakan. Juga tidak semua orang hobinya demonstrasi ataupun turun langsung ke basis massa. Barangkali pernah seseorang dari kita ikut aksi massa, lalu keesokan harinya ketika bertemu teman-teman di kelas, kita malah dijauhi, disoraki, bahkan disindir oleh dosen. Belum lagi jika orangtua kita tahu, maka kita akan dinasehati berjam-jam. Bahkan sampai-sampai kita dijauhi gebetan. Akhirnya kita merasa enggan untuk ikut gerakan lagi, enggan untuk aksi massa lagi. Ini bukan salah mereka yang menjauhi kita. Ini hanya karena mereka belum menyadari pentingnya terlibat dalam perjuangan.
Rela berkorban, rasa kemanusiaan, kepedulian,memang diperlukan, tapi bagaimanapun, seseorang butuh sesuatu bagi dirinya sendiri. Setiap orang butuh mendapatkan manfaat dari suatu aktivitas. Inilah barangkali yang tidak diperoleh atau disadari banyak orang, sehingga enggan untuk ikut dalam gerakan. Tapi apa sih sebenarnya yang kita dapat dari ikut sebuah gerakan? Pada dasarnya, manfaatnya adalah untuk melatih atau menempa kapasitas diri kita sendiri.
Barangkali kita saat ini belum merasakan bagaimana rasanya dikekang haknya, belum paham rasanya ditindas. Tapi bisa jadi ketika suatu saat nanti kita merasakannya. Ketika bekerja di perusahaan, lalu si bos bertindak semena-mena. Ataupun ketika pulang ke desa, ternyata tanah kita terancam perampasan oleh perusahaan besar. Atau juga ketika sudah punya anak, ternyata biaya pendidikan makin melambung tinggi. Kalau semasa muda, kita tidak pernah melatih diri kita dalam perjuangan, maka kita akan kalah. Hak kita akan terus dilanggar, dan tidak ada kesempatan melawan. Hanya bisa pasrah, jatuh miskin, sakit, dan kemudian mati terlupakan.
Beda jadinya kalau semasa muda sudah terlatih ikut berbagai gerakan dan terlibat dalam perjuangan. Sudah tidak ada kecanggungan lagi dalam menganalisis masalah, menentukan pihak-pihak, dan menetapkan langkah ke depan. Tidak ada ketakutan untuk menghadapi kebijakan-kebijakan dan perlakuan negara yang melanggar hak-hak kita. Kalau sudah terlatih, maka kita menjadi berani untuk berkata lantang tentang hak kita kepada siapapun, bahkan kepada atasan kita, maupun pejabat negara.Karena kita tahu cara mengatasinya, tahu siapa yang bisa membantu kita, dan tahu siapa yang kita lawan.
Kalau sudah begini, tentunya setiap orang memiliki potensi yang sama untuk ikut gerakan, untuk terlibat dalam perjuangan. Gerakan pun tidak lagi diisi oleh orang-orang yang itu lagi itu lagi. Makin banyak yang terlibat, makin beragam pula kontribusinya. Bahkan makin variatif pula isu yang bisa dikembangkan. Pada akhirnya setiap orang dapat saling mendukung dan bersolidaritas memperjuangkan haknya, dan tentu saja membangun adanya perubahan sosial. Jadi, siapkah kamu untuk berjuang?

(Materi ini disampaikan pada Upgrading BEM Unsoed Kabinet Melesat 2016 di Desa Windujaya)

Anda Pengunjung ke