Senin, 31 Desember 2018

[FREE BOOK] Kuliah Kok Mahal?

Langsung sedot aja gan, semoga bermanfaat bagi sesama.

Lumayan untuk menambah amunisi wacana kepada gerakan yg concern pada isu komersialisasi di perguruan tinggi.

bit.ly/kuliahkokmahal

Mohon kritik, saran, dan share ke lingkaran sekitarmu.

Senin, 26 November 2018

TENTANG WACANA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Tulisan ini juga tersedia dalam format PDF :

http://bit.ly/wacana40


Dua kali saya diundang jadi pemateri untuk membahas tentang Revolusi Industri 4.0. Pertama pada acara PPB Raya BEM KM UGM Oktober 2018, kedua pada Pekan Raya Kastrat BEM SV UGM November 2018. Tulisan ini akan mencoba memaparkan kembali apa yang saya sampaikan di acara itu, ditambah beberapa hal. Luangkan waktu setidaknya 30 menit untuk membaca tulisan ini sampai tuntas.

Berhubung telah banyak yang mengulas tentang apa itu Revolusi Industri 4.0, sepertinya saya tidak perlu lagi menjelaskan. Yang dapat kita pahami bersama, bahwa melalui penemuan artificial inteligence dan internet of things, telah menghasilkan dampak efisiensi pada ranah produksi. Narasi yang kerap dibawakan ketika membicarakan efisiensi adalah pengurangan tenaga kerja, sebab mesin akan menggantikan manusia. Ancaman ini sungguh terjadi, dan dapat kita lihat sendiri contohnya pada 1300 pekerja penjaga gerbang tol yang dimutasi dan di-PHK, karena penggunaan e-toll yang tak lagi membutuhkan tenaga kerja manusia yang harus melayani konsumen di gerbang jalan tol.

Sejak Revolusi Industri 4.0 ini dianggap sebagai masalah karena belum siapnya masyarakat menghadapi ini, sejak itu pula pemerintah mencoba merumuskan solusi. Salah satu rumusan yang kerap kita dengar untuk menghadapi masalah di atas adalah dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan vokasional.

Solusi di atas sebenarnya bukan hal baru. Saya pertama kali mengetahui bahwa pendidikan vokasional akan diprioritaskan sejak terbitnya Perpres Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Bahwa rasio jumlah SMK dan SMA diharapkan akan ditargetkan menjadi 70:30. Harapannya agar ada banyak manusia Indonesia yang siap untuk mengisi pos industri yang di masa depan akan tumbuh pesat, sebagai efek dari pembangunan konektivitas infrastruktur. Pemerintah era Jokowi-JK melanjutkan gagasan tersebut dengan memberi perhatian khusus pada pendidikan vokasional di perguruan tinggi.

Namun sepertinya solusi pemerintah dalam memberi perhatian pada pendidikan vokasional belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data BPS menunjukkan terjadi kenaikan angka pengangguran yang disumbangkan oleh perguruan tinggi vokasional atua diploma, yakni sebanyak 195.258 orang pada tahun 2014 menjadi 249.705 pada tahun 2017.[1] Di level SMK, data dari LIPI juga menunjukkan bahwa lulusan SMK termasuk memberi kontribusi angka pengangguran yang jumlahya besar, yakni 1,3 juta orang. Komite Pelatihan Vokasional memaparkan bahwa sebab dari demikian adalah besarnya angka mismatch antara kebutuhan industri dengan kompetensi lulusan, yakni sebesar 50 persen.[2]

Berhubung sepertinya solusi yang dijalankan pemerintah tidak solutif, maka mari kita coba keluar dari cara berpikir pemerintah.

Dalam video dokumenter dari Vox yang berjudul The Big Debate About the Future of Work, Explained, di situ dijelaskan bahwa narasi ancaman mesin akan menggantikan manusia telah muncul setidaknya pada tahun 1920-an. Pada tahun 1928, sebuah media di Amerika Serikat memuat artikel tentang otomatisasi yang akan membuat pekerja di sektor tertentu kehilangan pekerjaan. Di video itu diilustrasikan bahwa pada tahun 1920-an, elevator saja masih menggunakan tenaga manusia, yakni ada seseorang yang bertugas menjadi operator di dalam elevator. Pekerjaan semacam itu telah punah di zaman sekarang ini, sejak elevator bisa diperintah dengan tombol-tombol secara langsung oleh penggunanya. Ini artinya, narasi ancaman bahwa mesin akan menggantikan manusia bukan hal baru.

Di video itu juga dipaparkan bagan sebagai berikut:



Teknologi baru menghasilkan efisiensi. Efisiensi menghasilkan surplus. Surplus bisa dialokasikan untuk membeli produk lebih banyak, atau disimpan untuk pemenuhan kebutuhan baru. Nah, kebutuhan baru ini nantinya akan mendorong lahirnya pekerjaan baru. Jadi, teknologi, disamping melenyapkan pekerjaan lama, juga pada gilirannya menghasilkan pekerjaan baru.

Pada pola yang demikian itu, peran lembaga pendidikan adalah menjawab persoalan, apa dan bagaimana kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan di masa depan? Perguruan tinggi yang menerima mahasiswa baru angkatan 2019 misalnya, harus punya proyeksi kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan pada 2023. Sehingga ketika mahasiswa angkatan 2019 tadi lulus, maka tidak ada lagi persoalan mismatch separah sebelumnya.

Dengan memahami pola tadi, maka seharusnya tugas perguruan tinggi tidak untuk memenuhi permintaan industri. Sebab industri terus berkembang, dan oleh karenanya pendidikan akan selalu tertinggal. Tugas pendidikan harus lebih mulia dari itu, yakni menemukan solusi atas permasalahan masyarakat secara lintas bidang keilmuan. Ini artinya perguruan tinggi akan senantiasa menciptakan industri baru, pekerjaan baru. Manakala perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan diri dengan permintaan industri, dengan sendirinya jumlah mismatch melenyap.

***

Di timeline media sosial saya, pernah ada yang membagikan tautan berita yang kurang lebih berjudul Jokowi Minta Perguruan Tinggi Hapus Fakultas yang Sudah Usang. Berita itu biasa saja sebetulnya. Yang menarik adalah komentar dari berita itu. Fakultas filsafat menjadi bahan guyonan orang-orang. Seolah di masa depan, keberadaan  filsafat, atau bisa dibilang ilmu sosial-humaniora secara umum menjadi tidak relevan.

Saya tidak yakin Revolusi Industri 4.0 akan diterapkan di Indonesia secara optimal dalam waktu dekat. Meski demikian percakapan publik sudah membahas hal demikian sekarang-sekarang ini. Percakapan publik hari ini cenderung mengarah bagaimana kesiapan masyarakat menghadapi Revolusi Industri 4.0. Siap di sini adalah soal menyesuaikan zaman. Cara kita menyesuaikan “zaman” persis seperti orang gumun. Tidak hanya gumun, tapi juga latah. Semua kampus membicarakan Revolusi Industri 4.0 dengan narasi yang mirip satu sama lain: bahwa kita harus kreatif, inovatif, berdaya saing, dsb, dsb. Hal yang kerap luput dalam percakapan perihal Revolusi Industri 4.0 adalah soal nasib kemanusiaan kita.

Masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat saat ini tengah mengalami polarisasi akibat bangkitnya sentimen politik rasis dan fasis. Tengok saja kebijakan dan retorika Donald Trump yang sangat seksis, islamofobia, anti-imigran, heteronormatif, dan pro-supremasi kulit putih. Ataupun kebangkitan partai sayap kanan di Eropa seperti di Jerman, Perancis, Polandia, hingga Yunani. Padahal Amerika Serikat dan Eropa sudah lebih dulu memasuki fase Revolusi Industri 4.0.

Teknologi hanyalah alat, yang tujuannya bisa diarahkan tergantung penggunanya. Di tangan orang biadab, gawai bisa digunakan untuk mengirim pesan hoax ke grup-grup keluarga, merekam dan menyebarkan foto bugil mantan, hingga merekrut orang ke jaringan teroris.

Pada porsi inilah sosial-humaniora mesti mengisi problem yang tidak dicakup narasi Revolusi Industri 4.0 secara umum. Sebab robot bukan makhluk berbudaya, tidak punya hati, tidak punya kemanusiaan. Robot tidak bisa menjawab persoalan ketimpangan akses terhadap lahan, ketidakadilan karena diskriminasi gender, ras, klas sosial, dsb. Robot tidak bisa menciptakan gerakan sosial. Ini artinya rumpun ilmu sosial-humaniora tidak hanya relevan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, namun juga menentukan wajah kemanusiaan, menentukan nasib demokrasi ke depannya.

***

Seorang kawan pernah menyoal bagaimana relevansi Marxisme di tengah Revolusi Industri 4.0. Menjawab soal ini, mungkin kita akan jadi ingat bulan September. Setiap bulan September, biasanya ada saja pihak-pihak yang mengungkit sejarah 65, yang dihubungkan dengan komunisme, Marxisme, dsb. Biasanya pula, ada pihak yang ingin mengakhiri penggorengan isu tersebut dengan berkata, “Buat apa takut dengan komunisme, sebab komunisme sudah bangkrut.” Di sini kita tidak perlu memusingkan perbedaan Marxisme dan komunisme. Marxisme adalah rumpun pemikiran sosial-politik yang bersumber dari Karl Marx dan Friedrich Engels, sedangkan komunisme adalah salah satu komponen dari Marxisme. Engels mendefiniskan komunisme sebagai, “Ajaran tentang syarat-syarat pembebasan/emansipasi proletariat.

Dari definisinya saja kita sudah mengetahui bahwa Marxisme belum bangkrut, sebab pertama, klas buruh upahan atau proletariat masih eksis dalam masyarakat. Kedua, proletariat belum terbebaskan dari belenggu kerja upahan dan kapital.

Jika kebangkrutan Marxisme mengacu pada runtuhnya tembok Berlin, bubarnya Uni Soviet, dan disorientasi Republik Rakyat Tiongkok, hal ini tidak serta merta membuat Marxisme bangkrut. Hal itu hanya menandakan bahwa ada kekeliruan dalam penerapan Marxisme di Jerman, Rusia, dan Tiongkok.

Kalau mau adil, bisakah kita bilang bahwa Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha juga telah bangkrut, hanya karena ada kelompok teroris maupun garis keras yang mencoreng kemuliaan agama-agama tersebut? Sebut saja ISIS dan Boko Haram. Penerapan mereka yang sangat keliru atas agama Islam, apakah lantas kemudian membangkrutkan Islam? Ternyata tidak, sebab penganut agama Islam masih cukup besar di muka bumi ini. Metode yang sama bisa kita uji terhadap Marxisme, dan akan mendapatkan kesimpulan yang sama pula. Di berbagai negeri masih terdapat banyak organisasi atau partai yang menggunakan Marxisme sebagai asasnya.

Tundingan selanjutnya adalah bahwa Marxisme itu utopis, bahwa masyarakat tanpa klas tidak mungkin tercapai. Metode pengujian yang sama bisa kita lakukan pada ajaran agama. Apakah ada yang bisa membuktikan surga secara empiris, dalam artian secara indrawi? Sejauh ini bahkan tidak ada teknologi apapun yang telah menunjukkan bukti-bukti keberadaan surga. Tapi apakah lantas kemudian surga itu tidak ada? Belum tentu. Secara hipotetis, surga ada. Ajaran agama mengisyaratkan bahwa bukti empiris surga hanya dapat manifes ketika seseorang sudah mati. Jika metode pengujian ini kita terapkan pada Marxisme, kesimpulannya akan serupa, yakni bahwa masyarakat tanpa klas, masyarakat di mana tidak ada lagi klas-klas sosial, secara hipotetis ada. Namun hal itu mesti mengandaikan adanya perjuangan klas proletariat yang kemudian melenyapkan kepemilikan pribadi atas alat produksi.

Akan tetapi Marxisme selangkah lebih maju karena bukan saja masyarakat tanpa klas dapat terjelaskan secara hipotetis, namun telah terkonfirmasi secara historis. Temuan Lewis Morgan dalam Ancient Society membuktikan bahwa jauh sebelum zaman perbudakan, masyarakat komunal primitif ternyata dapat berlangsung tanpa adanya klas-klas sosial. Ini artinya klas-klas sosial tidak tercipta secara alamiah, melainkan melalui proses sosial. Dan melalui proses sosial pula, klas-klas sosial bisa lenyap. Corak produksi kapitalisme sebagai bentuk masyarakat ber-klas yang eksis hari ini, oleh karenanya, juga bisa berakhir. Di masa depan, masyarakat tanpa klas bisa terjadi.

Kembali ke persoalan dari seorang kawan. Revolusi Industri 4.0 menciptakan mesin otomatis, perangkat siber, dan robot pintar. Teknologi mutakhir ini bisa menggantikan manusia dalam kerja produksi. Manakala manusia tergantikan dalam kerja produksi, maka tidak perlu ada tenaga kerja, tidak perlu ada klas buruh, tidak perlu ada proletar. Marxisme menjadi tidak relevan karena proletariat tidak perlu dibebaskan, sebab keberadaannya akan lenyap dengan sendirinya oleh perkembangan teknologi. Benarkah?

Proposisi seorang kawan ini merupakan hipotesis. Pembuktiannya belum terkonfirmasi secara historis. Sialnya, kenyataan historis membuktikan sebaliknya. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang telah memasuki fase Revolusi Industri 4.0, nyatanya proletariat masih eksis. Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi seperti Tesla, Google, dan Amazon, masih mempekerjakan buruh dalam jumlah besar dan masih pula mengeksploitasi nilai lebih terhadap mereka.

Tesla mempekerjakan buruh sejumlah 46.000 orang[3]. Artikel dari Guardian[4] pernah memuat kondisi pekerja di Tesla yang berproduksi di bawah tekanan, mengalami stres, dan gangguan kesehatan. Sepanjang tahun 2014 sampai 2017, setidaknya telah ada 100 kali layanan ambulan yang datang karena kondisi pekerja yang bekerja melampaui kapasitas tubuhnya. Seorang teknisi Tesla mengatakan bahwa ia tak jarang melihat orang yang sedang bekerja tiba-tiba jatuh pingsan dengan mulut menganga. Durasi kerja buruh Tesla yang bisa mencapai 12 jam adalah salah satu sebab terjadinya hal-hal di atas.

Ambil contoh lain, perusahaan Apple. Pada kuartal ketiga lalu, Apple menghasilkan profit sebanyak 53,3 juta USD. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tengah pencapaian Apple yang prestisius, ada ribuan buruh yang mereka eksploitasi. Tech Insider dalam videonya This Man Worked Undercover in Chinese iPhone Factory menggambarkan kondisi kerja di pabrik iPhone di Shanghai. Para buruh di sana bekerja sepanjang 12 jam. Setiap hari atasan mereka membentak ke pekerjanya. Beberapa kali ada kasus bunuh diri oleh buruh di pabrik itu, hingga akhirnya perusahaan memasang jaring di tangga dan jendela untuk mencegah bunuh diri terjadi. Meskipun mereka bekerja memproduksi iPhone, akan tetapi hanya sedikit dari mereka yang memiliki iPhone.

Kondisi proletariat di negeri yang telah memasuki fase Revolusi Industri 4.0 ternyata menunjukkan bahwa Marxisme masih relevan. Berbagai teori-teori Marxis dapat menjelaskan hal ini mulai dari teori eksploitasi nilai lebih, teori alienasi buruh, teori kesadaran palsu, dsb.

Tapi mari bayangkan bagaimana jika hipotesis yang diajukan seorang kawan tadi itu benar-benar terjadi? Maksudnya, bagaimana jika entah di suatu masa, berkat adanya Revolusi Industri 4.0, maka eksistensi proletariat menjadi lenyap? Pengandaian ini bermasalah. Seolah-olah Revolusi Industri 4.0 adalah fenomena perkembangan teknologi belaka, yang terlepas dari relasi sosial-ekonominya. Oleh karenanya, mari kita ajukan medan persoalan baru: dalam relasi sosial-ekonomi kapitalisme, apakah penggantian sepenuhnya kerja manusia oleh robot dalam kerangka Revolusi Industri 4.0 menjadi mungkin? Untuk menjawab soal ini, mari kutip tulisan dari seseorang bernama Adam Booth yang berjudul Capitalism’s Economic Singularities.

Inti dari tulisan ini adalah bahwa perkembangan teknologi dihambat oleh adanya kepemilikan pribadi (private property) atas alat produksi dalam kerangka kapitalisme-monopoli. Penjelasannya sebagai berikut.

Majalah The Economist pernah memuat artikel berjudul “Clean Energy’s Dirty Secret.” yang isinya bahwa revolusi energi terbarukan malah menghancurkan pasar kelistrikan dunia. Demikian yang ia tulis:

“Sudah tidak terlalu jauh sekarang untuk berpikir bahwa dunia sedang memasuki era energi yang bersih, murah, dan tak terbatas. Akan tetapi ada resiko sebesar $20 triliun. Secara umum, investor senang menaruh uangnya pada sektor kelistrikan karena menawarkan imbal hasil yang memadai. Akan tetapi energi hijau mempunyai rahasia yang kotor. Makin banyak ia diterapkan, akan makin turunlah harga daya listrik dari semua sumber apapun. Ini membuat sulit untuk mengelola transisi ke masa depan bebas-karbon, di mana berbagai teknologi pembangkit listrik, baik bersih maupun kotor, harus tetap menguntungkan apabila kita masih menginginkan lampu-lampu menyala.”

Penjelasan dari kutipan di atas adalah bahwa biaya marjinal dari energi terbarukan adalah (hampir) nol. Sekali kincir angin atau panel surya terpasang, listrik yang diproduksi dengan bantuan angin dan matahari secara efektif bersifat gratis. Kalaupun ada biaya seperti maintenance, pemasangan, distribusi, biaya-biaya ini akan relatif murah karena ada perkembangan teknologi dan penggunaan secara massal. Semakin tinggi pasokan energi terbarukan, harga listrik akan tertekan turun menuju (hampir) nol. Oleh karenanya, turun pula profit dari berbagai perusahaan energi. Dengan profit yang kecil atau hampir tidak ada, mustahil menemukan investor untuk membiayai.

Barangkali inilah kenapa Donald Trump menentang Paris Agreement. Alasannya jelas, Donald Trump mewakili kepentingan industrialis pendukung energi non terbarukan seperti migas dan batubara. Segala upaya untuk mendorong transisi ke energi terbarukan akan ditentang oleh mereka. Kapitalisme menghambat kemajuan penggunaan energi terbarukan.

Sekarang kita coba lanjut ke contoh kedua. Di era digital, banyak barang fisik digantikan oleh deretan bilangan biner. Piringan hitam diganti CD, lalu digantikan lagi oleh MP3. Termasuk tulisan ini yang di zaman dulu mesti didistribusikan lewat kertas, sekarang dapat dibaca lewat layar gawai. Tidak seperti barang pada umumya, barang digital dapat digandakan cukup dengan copy paste secara gratis. Dalam bahasa ekonomi, benda tersebut memiliki biaya marjinal nol. Karena biaya marjinalnya nol, maka sinyal harga tidak akan muncul, dan sama seperti kasus sebelumnya, profit melenyap.

Para kapitalis kemudian menemukan jalan untuk tetap menjalankan bisnis industri berbasis informasi digital, adalah dengan tidak membiarkannya ke pasar bebas, melainkan menundukkannya. Dengan kata lain, kapitalis membutuhkan monopoli. Paul Mason dalam Post Capitalism menjelaskan bahwa, “Dengan kapitalisme-informasi, monopoli bukanlah hanya sekedar taktik cerdas untuk memaksimalkan profit. Melainkan, inilah satu-satunya cara sebuah industri dapat berjalan. Sedikitnya jumlah perusahaan yang mendominasi masing-masing sektor sangatlah mencolok... misi perusahaan Apple, secara jujur, adalah untuk mencegak adanya kelimpahan musik.

Kedua contoh di atas adalah bentuk dari kontradiksi antara kemajuan teknologi dengan corak produksi kapitalisme. Lebih dari seabad silam, Karl Marx dalam A Contribution to the Critique of Political Economy mengatakan ini:

“Pada tingkat tertentu dalam perkembangan masyarakat, daya produksi material akan mengalami konflik dengan relasi produksi yang sedang berjalan, atau sekedar menggambarkan hal yang sama dalam istilah yang lebih resmi – dengan relasi properti dalam kerangka di mana mereka beroperasi sebelumnya. Dari sebelumnya menjadi bentuk pengembangan terhadap daya produksi, kini relasi-relasi ini justri berubah menjadi penghambat. Pada saat inilah revolusi sosial akan dimulai.”

Calum Chace dalam The Economic Singularity: Artificial Inteligence and the Death of Capitalism mengatakan bahwa teknologi berkembang dengan laju yang terlalu cepat dibandingkan dengan kemampuan pekerja untuk mengimbanginya. Singularitas ekonomi ini menghasilkan kontradiksi di bawah kapitalisme. Apabila nanti tidak ada lagi buruh, tidak ada relasi kerja upahan, maka darimana permintaan pasar untuk produk para kapitalis akan datang? Siapa yang akan membeli berbagai barang yang diproduksi oleh para robot? Tanpa ada yang membeli komoditi, alias barang-barang tidak ada yang laku, maka yang terjadi adalah krisis.

Masyarakat kapitalis hanya bisa hidup dari profit. Profit dalam masyarakat kapitalis tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan mesin, sekalipun mesin itu memproduksi komoditasnya sendiri. Sebab mesin tidak menghasilkan nilai (value), curahan kerja lah yang menghasilkannya. Otomatisasi dalam kerangka Revolusi Industri 4.0, jika itu dimaksudkan menggantikan kerja manusia dengan robot, bertentangan dengan corak produksi kapitalis.

Marxisme tidak hanya relevan dengan pembahasan Revolusi Industri 4.0. Perjuangan klas proletariat untuk menghapus kepemilikan pribadi atas alat produksi, melakukan kolektifisasi dan kontrol demokratis atas alat produksi, dapat mendorong Revolusi Industri 4.0 menjadi mungkin terealisasi secara penuh bagi umat manusia.

***

Kamis, 18 Januari 2018

Wawancara dengan GWR

( Ini adalah wawancara yang saya lakukan sekitar awal 2014, yang dimuat di majalah LPM Pro Justitia FH Unsoed. Saya muat ulang di sini untuk tujuan pendidikan )




Di dalam ruangan yang cukup redup, ia sedang duduk membaca beberapa dokumen. Matanya yang sudah tidak lagi tajam itu, masih jeli mempelajari seluk beluk agraria di Indonesia. Meski tubuhnya telah dimakan usia, tapi pikirannya masih bekerja. Masih fasih betul dalam berargumen, lengkap dengan teori dan data. Prof. Dr. HC. Ir. Gunawan Wiradi M. Sos. Sc. adalah namanya, atau yang akrab disapa GWR. Beliau adalah guru besar agraria Indonesia yang seumur hidupnya mengkaji dan memperjuangkan reforma agraria, sebagai landasan pembangunan bangsa Indonesia. Di usianya yang yang sudah 82 tahun, beliau tidak pernah berhenti untuk terus membangun gagasan-gagasan dan mendorong pelaksanaan reforma agraria yang sejati. Sampai hari ini, beliau masih memegang peranan sebagai Dewan Pakar KPA, dan juga aktif di Sayogyo Instititute.

PMA : Panji Mulkillah
GWR : Gunawan Wiradi

PMA :
Menurut anda, apa yang dimaksud perampasan tanah?
GWR :
Perampasan tanah atau landgrabbing, itu istilah baru. Pakar-pakar kita menerjemahkan perampasan tanah sebagai pelanggaran hak konstitusional masyarakat atas tanah. Menurut saya itu nggak tepat. Karena merampas tanah itu bisa dengan ganti rugi, bisa tidak. Tapi perampasan tanah itu pokoknya memperoleh sesuatu (tanah) dengan cara yang tidak bermoral. Jadi ini bukan masalah hukum. Pendeknya, masalah agraria itu bukan masalah hukum. Hukum itu belakangan. Hukum itu bisa dipakai untuk menegakkan kebenaran dan ketidakadilan, tapi juga bisa dipakai untuk menegakkan ketidakbenaran dan ketidakadilan. Jadi hanya pembenar. Jadi itu belakangan. Kalau bicara agraria, apa saja, adalah masalah ekonomi politik.
Perampasan tanah yang dimaksud adalah terjemahan bahasa inggris, land grabbing. Pada abad ke-12 di Inggris disebut enclosure. Di Inggris itu sendiri selama 600 tahun parlemennya berubah-ubah, mulai dari membenarkan enclosure, lalu berubah menjadi membatalkan. Yang terakhir ketika tanah rakyat tinggal 4000 hektar barulah sadar, akhirnya dilarang. Kalau memang itulah yang dimaksud dengan land grabbing.
Nah sekarang dengan arus globalisasi ekonomi neolib ini, sudah terjadi (perampasan tanah) dimana-mana, tidak hanya di Indonesia.

PMA :
Bagaimana peran pemerintah atas terjadinya perampasan tanah ini?
GWR :
Kita harus pahami dulu bahwa zaman selalu berubah. Tiap zaman itu potretnya beda-beda. Potret sebuah masarakat itu ptoses dari bekerjanya ada empat faktor yang saling berinteraksi. Yaitu dinamika internal masyarakat itu sendiri, kemudian intervensi pemerintah melalui kebijakannya, lalu dengan warisan sejarah, lalu dengan asing. Tiap zaman dari faktor itu yang dominan beda-beda. Nah kalau sekarang yang mana? Menurut saya yang dominan ini intervensi asing. Ini menguji mental bangsa Indonesia.

PMA :
Kenapa intervensi asing bisa dominan di Indonesia?
GWR :
Nah itulah menurut pendapat saya, merupakan pengkhianatan terhadap NKRI. Awal penghianatan adalah lahirnya Orde Baru, dengan tiga Undang-Undangnya sejak 1967 yakni Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Kehutanan, lalu Undang-Undang tentang Pertambangan. Nah jadi masalahnya ialah masalah politik.

PMA :
Lalu siapa sebenarnya yang paling berperan dengan adanya perampasan tanah?
GWR :
Kalau ditanya peran ini peran itu, semua punya peran yang mendukung proses perampasan tanah. Karena bagaimanapun juga, pendiri republik sadar benar bahwa masalah dasar adalah masalah agraria, yakni bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Jadi ini implikasinya, orang bisa menganalisis rumit-rumit, tapi intinya itu. Lahirnya kolonialisme ketika kapitalisme menanam modalnya di suatu negeri itu jenuh. Dia punya yang disebut oleh Bung Karno, istilahnya, ‘nafsu’ untuk ekspansi.
Zaman dulu ekspansinya menggunakan militer. Jadi penaklukan-penaklukan itu pada hakikatnya untuk memperoleh tanah. Itulah lahirnya kolonialisme.
Ketika sesudah Perang Dunia II cara penaklukan tidak populer, maka dengan cara lain, cara halus. Dengan intelijen, dengan membujuk melalui konsep-konsep yang menyesatkan dan sebagainya. Ini prosesnya sedari dulu. Jadi kalau sekarang ada buku Merindukan Soeharto, wah ini nggak ngerti ini. Bahwa zaman Soeharto itu memang stabil, tapi korbannya berapa ratus ribu kekerasan dengan tangan besi.
Jadi menurut saya kalau potret sekarang ituu kita anggap sebagai potret yang buruk maka menurut saya ini adalah akibat dari Orde Baru. Tapi ada yang menganggap sekarang ini bagus. Ya, bagus menurut mengikuti gerak duni yang neolib.
Negara berkembang terutama Indonesia itu mengalami Triple Squeeze atau tiga jepitan. Dari atas globalisasi ekonomi, dari samping privatisasi, dan dari bawah otonomi daerah. Ini yang banyak nggak sadar. Sebelum era reformasi ini, kita sudah punya otonomi daerah bernama daerah swatantra bahkan sampai tingkat 3.
Sekarang negara kita ini seperti puing-puing. Menjadi desentralisasi korupsi. Desentralisasi raja-raja kecil. Jadi kalau ditanya peran negara apa, peran ini apa, itu semua berinteraksi.
Peran pemerintah jelas melalui izin. Karena itu saya bilang, ini bukan masalah hukum. Lalu etika pergaulan internasional juga berhubungan. Jadi ada konsep asing langsung begitu saja diadopsi.
Bahkan neolib itu pinter. Mereka didonor oleh 300 orang, tapi namanya dirahasiakan. Coba baca pidatonya SBY di APEC, dalam kalimat terakhirnya dia mengaku sebagai Chiefperson of Indonesia Incorporation. Jadi RI dianggap perusahaan. Ini bertentangan sekali dengan cita-cita proklamasi.

PMA :
Jadi dia sebagai salesman?
GWR :
Iya. Nah itu kita nggak bisa. Kita lengah. Kita tidak setia. Kita bukan lagi bangsa merdeka. Atau jika masih diklaim bangsa merdeka, kita bukan lagi RI Proklamasi 45. Coba, malah UUD 45 diobrak-abrik seperti itu.

PMA :
Apa tanggapan anda melihat hari ini masih banyak monopoli tanah di Indonesia?
GWR :
Saya pernah nulis makalah di STPN pada tahun 1999, judulnya Reforma Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, dan sebaliknya Konflik Agraria Anak Kandung Reforma Agraria. Yang dimaksud apa? Pelaksanaan reforma agraria bagaimanapun akan menimbulkan konflik juga.
Tuan-tuan tanah yang nggak rela, itu pasti akan menentang sebagian besar. Karena yang dicita-citakan oleh kita kan tanah yang melampaui batas itu kan diambil negara tetapi tidak dirampas atau disita, tetapi diberi kompensasi.
Jadi pemahaman mengenai reforma agraria belum sempat meluas dan dipahami dengan benar, malah pemerintahan Sukarno digulingkan. Padahal waktu itu ada banyak ahli-ahli hukum membahas landasan filosofi hukum lahirnya UUPA.
Ini ada implikasi pada konsep ketatanegaraan yaitu merujuk pada pertanyaan, tanah itu milik siapa? Milik Tuhan? Negara? Atau individu? Atau siapa? Karena pada waktu itu sedang berlangsung suasana perang dingin, dan tidak mau berpihak ke salah satu, maka lahirlah filosofi monodualis.
Jadi dalam sistem kapitalisme, tanah dibagi habis kepada semua individu, termasuk individu yang bernama negara. Karena itu ada tanah milik negara.
Dalam sosialisme, negara sebagai individu, tapi satu-satunya diberi hak memiliki tanah. Rakyat hanya menggarap. Kita nggak mau dua-duanya. Lalu bagaimana?
Lalu diletakkan tanah ini milik seluruh bangsa. Berarti milik bersama. Kalau milik seluruh bangsa, bagaimana mengaturnya? Maka lahirlah MPR. Ini merupakah implikasi ketatanegaraan. Karena itu ketatanegaraan menurut UUD 45 (yang pertama) adalah MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kalau sekarang kan dilucuti jadi lembaga tinggi negara. Ini kan jadi amburadul semua. Jadi itu lembaga tertinggi negara, karena tanah milik bersama. Lalu MPR memberi mandat kepada Presiden untuk mengatur tata kelola tanah itu tadi.
Merdeka itu masalah martabat. Karena itu selalu diplesetkan kalau “tujuan kita harus begini-begitu supaya rakyat sejahtera.” Itu betul. Tapi tujuan reforma agraria bukanlah sejahtera, tapi keadilan. Kalau sejahtera, dijajah tapi sejahtera nggak apa-apa kan? Nah itu ada anak muda yang begitu. Apa mau? Semangat merdeka itu keadilan.
Kalau kita lihat sejarah reforma agraria, itu bukan hanya di Indonesia. Kalau yang diakui sebagai sejarah reforma agraria itu pertama kali di Yunani, hampir 600 SM. Tapi sebetulnya kalau dilacak lebih jauh, lebih dari 1000 tahun SM.
Jadi untuk mengatasi masalah agraria ini tidak lain solusinya adalah kembali pemahaman secara politik. Lalu masalah kemauan politik untuk merombak struktur agraria itu. Kalau tidak kesana itu tambal sulam.

PMA :
Apa komentar anda tentang UUPA, yang orang-orang nilai itu seperti pisau bermata dua?
GWR :
Bahwa sekarang UUPA seperti itu, itu memang belum sempurna seperti cita-citanya. Itu karena KMB. Dulu sasaran utama, karena lahirnya kolonialisme Belanda yang liberal, maka lahirlah perkebunan-perkebunan besar.
Jadi sasaran pertama adalah perkebunan besar. Agresi militer Belanda pertama dan kedua, yang jadi sasaran adalah perkebunan besar.
Jadi untuk mengamankan investasi mereka.
Belum ada setahun Indonesia merdeka, Bung Hatta sudah pidato, “mendayung diantara dua karang.” Ini kapitalis, ini komunis, nah kita di tengahnya. Untuk bangsa Indonesia, tanah tidak boleh dijadikan barang dagangan.
Yang kedua, perkebunan-perkebunan besar ini dulunya tanah milik rakyat. Hanya karena kongkalikongnya sultan-sultan dengan pengusaha swasta Belanda, akhirnya lepas. Itu yang harusnya diredistribusi.
Karena itu waktu Gus Dur pernah bilang, “40% perkebunan harus diredistribusi.” Tapi ya mohon maaf karena Gus Dur kan buta, jadi kurang bisa ngitung, jadi pokoknya ceplas-ceplos aja, belum dipersiapkan betul argumennya, dan konsepnya.
Tetapi kalau menurut seorang pakar, UUPA itu ada segi positifnya ada segi kelamahannya. Segi positifnya pertama, semangat rakyat berusaha menghapuskan exploitation de l’homme par l’homme. Kedua, sudah sadar gender, walaupun dulu belum populer istilah gender, tapi haknya wanita sama. Ketiga, rumusan hukumnya modern.
Tapi ada kelemahannya. Satu, dasar hukum adat kurang jelas, ini juga akibat kompromi. Karena saya terlibat dalam masalah kiblat hukum adat ketika UUPA masih menjadi RUU. Kelemahan kedua, hambatan ilmiah. Mulai dari birokratnya sampai rakyatnya belum memahami benar apa itu land reform.
Menurut saya, betul ada kelemahan-kelemahan. Tapi ketika Orde Baru, saya bertahan sampai sekarang, “jangan diubah dulu,” karena sekarang ini kan apa-apa harus pakai undang-undang. Supremasi hukum diterjemahkan sebagai DPR harus tiap tahun buat undang-undang.
Nah jadi solusinya ialah musti dilaksanakan reforma agraria yang sejati, yang genuine. Untuk bisa melakukan itu maka pertama, diperlukan kemauan politik betul-betul. Tidak hanya hiasan bibir. Kedua, data yang akurat supaya tidak menimbulkan konflik. Yang ketiga, birokrasinya harus bersih dan jujur.
Yang keempat, organisasi rakyat harus kuat. Sebab dalam sejarah, kalau organisasi rakyat tidak kuat, pemerintah kan ada umurnya, ketika diganti dengan pemerintahan nggak setuju, diobrak-abrik lagi. Seperti di Meksiko. Tapi kalau organisasi rakyat kuat, tidak bisa begitu.
Syarat berikutnya, elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis. Dan syarat berikutnya militer harus mendukung, kalau tidak nanti berdarah-darah. Karena militernya dengan dalih membela pemerintahan, malah mbedili rakyatnya sendiri. Jadi itu prasyaratnya.
Nah sekarang ini berat. Maka dari itu yang harus diubah mental kebangsaannya. Masih punya rasa kebangsaan nggak? Otonomi daerah ini kan akibatnya adat. Sehingga adat yang satu dengan adat yang lain bentrok sendiri. Nah kalau dasarnya mau kembali ke adat. Kamu di sini nggak punya hak, saya di sini nggak punya hak. Saya orang jawa, bukan orang sunda. Tapi kalau nation state, yang namanya citizen itu haknya sama. Jadi ini problematis memang hak soal adat. Nah kalau analisis saya mengapat gerakan adat mencuat, karena ketika mau menuntut keadilan agraria dengan segala jalan sudah mentok. Sehingga pakainya adat. Ditumpangi lagi intervensi asing dan otonomi daerah.

PM :
Dalam buku anda, anda bilang bahwa ciri khas reforma agraria di Indonesia itu berwatak neopopulis. Itu maksudnya bagaimana?
GWR :
Nah walaupun tidak tepat benar karena asumsi-asumsi neopopulis terutama di pulau Jawa sudah nggak berlaku. Kenapa neopopulis? Jadi di Eropa, gerakan populisme itu lahirnya hampir bersamaan dengan di US dan Rusia. Kalau di Rusia tahun 1961, kalau di US 1885. Jadi kalau lahirnya neopopulis, itu istilah yang diciptakan ilmuwan sekarang terhadap tokoh bernama Alexander Chayanov. Padahal ia sendiri tidak mau disebut demikian. Sebab kalau disebut neopopulis, nanti diasosiasikan dengan yang teroris (Kelompok Narodnik-red) nggak mau.
Lalu dia melakukan penelitian, sebetulnya rakyat itu ciri usaha taninya seperti apa? Dia mempunyai dalil yang asumsi dasarnya, hutan itu masih open foreigner atau ruang terbuka. Jadi pertanian rakyat itu pertanian keluarga. Sehingga teori ekonomi modern tidak bisa diterapkan di pedesaan karena tidak ada pasar tenaga kerja.
Dia sebagai ekonom juga, lalu dia bilang bahwa teori ekonomi itu pilarnya lima yang saling berkaitan. Satu saja pilarnya jatuh, bangunan runtuh. Salah satu pilarnya adalah pasar tenaga kerja. Jadi ada teori modal, sewa, bunga, harga, dan pasar tenaga kerja. Nah di sini nggak ada pasar tenaga kerja. Jadi ada asumsi hutan masih terbuka, tidak ada pasar tenaga kerja, dan makin besar keluarganya, makin tanahnya luas karna terpaksa membuka hutan.
Di Pulau Jawa sudah nggak mungkin, jadi nggak 100% neopopulis. Tapi saya sebut neopopulis karena satu, asumsi dasar yang penting adalah pandangan bahwa yang kecil yang efisien.
Ahli ekonomi pecah dua pandangan, ada yang kecil yang efisien ada yang besar yang efisien. Maka itu land grabbing kan ingin bikin estate, karena itu yang dianggap efisien. Neopopulis tidak. Yang kecil yang efisien. Lalu kalau sosialisme, menggunakan kelas. Sementara neopopulis tidak. Stratifikasi yang ada di pedesaan bukan stratifikasi kelas, tapi stratifikasi demografis. Artinya suatu keluarga itu dalam perjalanan sejarahnya suatu saat kaya suatu saat miskin. Nah itu dijelaskan dengan angka-angka.
Asumsikan orang kawin umut 25. Tahun pertama punya anak satu. Yang mengerjakan tanah cuma berdua, suami dan istri. Jadi tenaga kerjanya cuma dua, konsumennya tiga karena anaknya satu. Tiap tiga tahun katakanlah punya anak. Jadi tahun keempat punya anak dua. Jadi konsumennya tambah. Labour dan consume rationya berubah. Terus sampai usia kawin 15 tahun, anak yang pertama sudah berusia 14, masuk ke tenaga kerja. Jadi consume dan labour ratio berbalik. Nah jadi selama 15 tahun keluarga meras tenaga sendiri, atau self exploitation. Karena itu self eksploitation, maka tidak ada untung rugi.
Chayanov, ia mengasumsikan yang kecil yang efisien. Oleh karena itu, land reform gaya neopopulis tidak ada batas minimum. Jepang tidak ada, di Korsel tidak ada. Jadi semula Jepang atau Korsel, arus pemikiran semula neopopulis. Tapi dalam masa transisi berubah menjadi kapitalis.
Di dunia ini, menurut Russel King, itu ada contoh transisi yang berubah pola agrarianya. Jepang, tadinya neopopulis jadi kapitalis. Italia, mula-mula kapitalis menjadi sosialis. Yugoslavia, mula-mula sosialis menjadi kapitalis. Jadi karena itu kepemimpinan dalam masa yang bergolak itu teorinya lain. Nah itu yang sering saya perhatikan. Dalam masa transisi dan masa stabil itu kepemimpinannya beda.

PM :
Andai neopopulis itu berhasil. Sementara suatu negara biasanya tidak ingin melulu menjadi negara agraris, tapi ingin jadi negara industri. Ingin membangun industri nasional. Apakah neopopulis memiliki orientasi ke sana? Karena menimbang tadi orientasi neopopulis berbasis pada pertanian keluarga.
GWR :
Nah itulah sebab mengapa aliran neopopulis ini dimusuhi dua-duanya, oleh kapitalis dan sosialis. Land reform a la kapitalis sendiri mengakui bahwa land reform diperlukan supaya startnya sama. Sebab kalau kapitalis kan persaingan bebas, boleh bersaing, tapi startnya harus sama. Karena itu negara barat pu yang kapitalis melakukan land reform. Jadi kalau orde baru menuduh land reform adalah komunis, itu nggak ngerti aja.
Di Jepang, saya kebetulan sewaktu Bandara Narita masih baru, di sana saya pernah ke pelosok desa. Itu rata-rata tanah sawahnya hanya 500 meter persegi. Kok bisa hidup? Karena ada industrialisasi pedesaan. Jadi bukan pertanian dijadikan industri. Industrialisasi pedesaan di Jepang adalah industri-industri kecil yang menopang bagi tanah yang terlalu sedikit. Itu ada di bukunya Trio Tambunan judulnya Industrialisasi Pedesaan.
Jadi betul, perubahan zaman akhirnya menuju industri. Tapi industri yang mana? waktu zaman Orde Lama juga kita membangun industri besar. Maka membangun industri Cilegon, industri berat, tapi sekarang malah dijual. Saya membaca laporan Corruption Watch, ternyata semua partai terlibat.
Sumber dari semua krisis ekonomi dunia adalah spekulasi tanah. Argumen sederhananya dalam teori ekonomi, spekulasi itu sah. Karena dalam setiap spekulasi mengandung resiko, kecuali tanah. Contoh anda menspekulasikan tidak mau kerja kalau tidak sehari 5 juta. Resikonya ya nganggur. Nah tanah, saya beli saya diemin. Ada musim durian lewat, bijinya jatuh, malah tumbuh pohon durian. Tidak ada resiko. Nah oleh karena itu ketika berspekulasi tanah, malah jadinya krisis.
Itu industrialisasi, teknologi, semua itu politik. Korut bikin nuklir, barat ribut. India bikin nuklir kok nggak ribut? Itu politik. Karena semua itu politik, maka menurut saya jawabannya adalah mengembalikan mentalitas bangsa kita. Kenapa Soeharto bertahan sampai 32 tahun? Karena asing menginginkan investasinya mapan dulu, maka harus otoriter, biar mapan dulu. Nah setelah mapan, baru dijatuhkan sendiri.

Selasa, 16 Januari 2018

Paradigma Kemiskinan dan Kemiskinan Paradigma



Tulisan ini bukan sebuah analisis maupun gagasan yang utuh. Hanya sekedar kegelisahan atas suatu hal yang menurut saya kurang pas.

Berawal dari foto tersebut, yang saya ambil dari sumbernya (tertera di foto itu sendiri). Sri Mulyani berkata bahwa ingkat kemiskinan dan pengangguran terbuka turun dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan mencapai 10,12 persen pada September 2017, sedangkan pada September 2014 masih 11,13 persen. Tingkat pengangguran terbuka juga turun. Pada Agustus 2014 tercatat 5,94 persen, sedangkan pada Agustus 2017 menjadi 5,5 persen.

Biasanya orang-orang dalam menanggapi hal seperti ini akan bertanya, "memang indikator kemiskinannya seperti apa?" Di sumber berita yang lain, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Bojonegoro mengatakan, sejak September 2016, penghasilan penduduk yang menjadi batas garis kemiskinan yakni Rp 361.990 per kapita per bulan.

Bank Dunia menggunakan indikator kemiskinan berdasarkan Purchasing Power Parity yaitu 2 USD per hari, atau 60 USD per bulan, atau jika dikonversi menjadi rupiah ialah 810.780 rupiah. Dengan menggunakan indikator ini, maka jumlah orang miskin di Indonesia dapat diperkirakan jumlahnya dua atau tiga kali lipat dari data BPS.

Tapi bagi saya, entah itu menggunakan indikator dari BPS maupun Bank Dunia, keduanya sama-sama bermasalah untuk diterapkan di Indonesia. Saya tidak bermaksud menambah-nambahi agar jumlah data orang miskin bertambah. Malahan saya punya optimisme bahwa sebenarnya rakyat Indonesia itu kaya.

Sebagai negeri agraris dan belum memasuki fase industrialisasi sempurna (atau bisa dibilang sebagai setengah jajahan dan setengah feodal), kapital belum sepenuhnya menjadi relasi sosial. Di desa-desa pedalaman terutama di luar jawa, karena sumber daya alam suatu komunitas tidak diprivatisasi dan dikapitalisasi, maka peredaran uang hanya sedikit. Bahkan tak perlu jauh-jauh saya ke luar jawa, di beberapa desa di Lereng Gunung Slamet misalnya. Untuk keperluan air sifatnya gratis, sepanjang untuk konsumsi rumahan. Energi listrik juga hanya separuh harga karena menggunakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang dibuat sendiri. Untuk keperluan makan, mereka tidak selalu membeli karena banyak bahan pangan yang ditanam maupun yang sudah tersedia di alam. Karena kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani gurem, mereka tidak punya pendapatan yang tetap. Tapi pemasukan per bulan mereka kebanyakan di bawah 361.990 rupiah. Jika dilihat sepintas, mereka dapat dikategorikan di bawah garis kemiskinan. Tapi jika ditelisik lagi, mereka sebenarnya kaya. Air yang mereka konsumsi sama banyaknya dengan para konsumen PDAM/PAM. Listrik yang mereka konsumsi sama banyaknya dengan para konsumen PLN. Pangan yang mereka konsumsi juga sama bergizinya (atau bahkan lebih bergizi karena langsung dari alam) dengan para konsumen restoran atau warung makan. Udara yang mereka hirup sama bersihnya dengan konsumen tabung oksigen.

Katakanlah si petani lereng Gunung Slamet ini terusir karena ada megaproyek di desanya. Lalu katakanlah dia menjadi buruh kontrak dengan pendapatan UMK 1.400.000 per bulan. Apakah dengan demikian dia telah menjadi lebih kaya dari sebelumnya? Sementara listrik harus beli, air beli, makanan beli (itupun bukan makanan yang sehat), rumah sewa, kualitas udara buruk sehingga kesehatan terganggu sehingga harus mengkonsumsi obat-obat tertentu, dsb.

Masyarakat pedesaan memperoleh kebanyakan dari kebutuhannya terlihat seolah-olah secara gratis. Padahal tidak ada yang gratis di situ. Semua diperoleh dari kerja. Dan karena ada curahan kerja, maka suatu barang menjadi bernilai. Bedanya, kerja yang dicurahkan tidak perlu ditukar dengan uang, sehingga tidak perlu ada jual beli untuk memperoleh suatu barang. Inilah yang saya maksud bahwa di pedesaan, kapital belum menjadi relasi sosial yang dominan. Dan karena mayoritas wilayah Indonesia adalah pedesaan, maka dapat disimpulkan bahwa kapital belum menjadi relasi sosial yang dominan di Indonesia. Catat ya, "belum". Ke depannya sih nggak tahu.

Pada keadaan yang demikian, paradigma indikator kemiskinan yang dianut BPS maupun Bank Dunia menjadi patut diragukan untuk diterapkan. Karena indikator kemiskinan yang berbasis pendapatan berupa uang, mau tidak mau hanya bisa diterapkan pada masyarakat yang telah menjadikan uang (yang merupakan kapital) sebagai relasi sosial yang dominan. Hal ini dapat ditandai dari telah dominannya industri, relasi kerja upahan, perbankan, dan kepemilikan pribadi.

Dalam keraguan yang demikian ini, bukankah tak ada kelirunya jika saya menganggap justru ekonom kitalah yang paradigmanya miskin? .

Sumber berita :

https://bisnis.tempo.co/read/1046837/sri-mulyani-tingkat-kemiskinan-turun-dalam-tiga-tahun-terakhir

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/07/06/183640226/berapa.penghasilan.yang.masuk.kategori.miskin.di.indonesia.

HAM, Rasio, LGBT, Moralitas, dan Negara

Hak Asasi Manusia (HAM) berpangkal pada rasio. Dan karena setiap manusia punya rasio, itulah kenapa HAM bersifat universal. Manakala HAM menjadi bersifat partikular, yang dapat dibatasi/dikurangi menurut agama dan adat istiadat negeri-negeri setempat, seperti yang dimuat di Deklarasi HAM versi Kairo, maka ini menandakan bahwa rasio manusia tidak lagi dianggap universal. Bahwa di negeri-negeri tertentu, rasio manusia dapat dibatasi, rasio manusia harus tunduk pada nilai-nilai tertentu di luar rasio. Tapi tentu ini masih bisa diperdebatkan. Penempatan posisi rasio dalam hubungannya dengan manusia, alam, tuhan, dsb telah menjadi perdebatan filosofis sejak zaman Yunani Kuno.

Di Indonesia sendiri, diskursus tentang HAM belumlah final. Atau bahkan dapat dikatakan bahwa usia wacana HAM di Indonesia masihlah belia, sebab selama ini Orde Baru mengubur HAM sepanjang 32 tahun. Berpikir secara kefilsafatan juga belum menjadi sebuah tradisi yang populer, bahkan untuk sekedar di kalangan intelektual.

Salah satu contoh kasus menarik tentu saja pada isu LGBT yang sempat didiskusikan dan ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Berkali-kali argumen-argumen yang dilayangkan selalu dikembalikan pada Pancasila sebagai ideologi positif negara Indonesia, tanpa dilakukan penggalian filosofis atas konsepsi HAM berdasarkan Pancasila (sebagai sumber hukum negara) itu sendiri. Layakkah negara menggunakan koersi pada kehidupan privat seseorang? Pertanyaan ini selalu muncul, dan selalu tak terjawab. Problem seputar rasionalitas selalu dibenturkan dengan moralitas positif yang penjelasannya tak boleh diperdebatkan karena bersifat sakral.

Ketika HAM dan segala konsep rasionalitasnya dicela karena klaimnya yang bersifat universal, toh nilai-nilai agama (terutama agama semit) juga pada dasarnya mengklaim universalitas nilainya sendiri. Karena suatu agama pasti punya doktrin penciptaan dunia yang hukum-hukumnya berlaku di setiap ruang dan waktu, yang kemudian menderivasi konsep-konsep moral yang wajib dipatuhi oleh umatnya. Bahkan ruang lingkup universalitas agama lebih luas ketimbang HAM. Dalam HAM, tidak ada aturan bagaimana melakukan makan, tidur, cebok, dan hal-hal privat lainnya. Tapi agama mengatur itu semua. Bagaimana doa sebelum makan, jam tidur, tangan mana yang mesti digunakan untuk cebok, hanya agama saja yang mengatur secara rigid atas segala hal dalam hidup dan mati.

Manakala sumber hukum suatu negara didasarkan pada agama tertentu, maka barang tentu, negara dapat memberi koersi pada setiap jengkal aktivitas kehidupan warga negaranya berdasarkan ketentuan moral agama yang dijadikan hukum positif. Tapi persoalannya, mungkinkah ada negara yang dapat melakukan hal demikian? Berapa anggaran negara yang dibutuhkan untuk menghukum seorang yang makan tanpa berdoa? Berapa jumlah polisi yang dibutuhkan untuk mengintai warganya agar tak berzinah? Negara semacam itu tidak pernah dan tidak mungkin ada. Negara bukanlah semacam tuhan yang maha mengetahui, dan maha berkuasa atas segalanya. Negara hanyalah sebuah institusi ciptaan manusia, yang memiliki banyak keterbatasan, dan memang sengaja dibuat berdasarkan batasan-batasan. Lebih dalam lagi, Friedrich Engels berkata bahwa negara hanyalah suatu fenomena historis tertentu dalam masyarakat tertentu.

Inilah kenapa kemudian tidak semua aturan agama dapat dijadikan hukum positif bagi setiap warga negara (atau dalam istilah Foucault digunakan untuk mendisiplinkan tubuh). Katakanlah seorang umat beragama tertentu, tidak diajarkan untuk membenarkan praktek LGBT karena itu tindakan dosa, terkutuk, bukan teladan nabi, dsb. Seorang pemuka agama berhak untuk menganjurkan umat di komunitas keagamaannya, agar tidak melakukan perbuatan semacam itu. Anjuran dan seruan di internal komunitasnya ialah hak dia dalam rangka melaksanakan perintah agama. Tapi hal ini tidak dapat berlaku pada negara. Negara tidak memiliki agama, tidak bertuhan, tidak bisa masuk surga atau neraka. Seorang ayah bisa menyuruh anaknya ke gereja, tapi dia tidak bisa menyuruh negara supaya memaksa anaknya untuk ke gereja.

HAM dibuat untuk melakukan pembatasan-pembatasan semacam itu. Dibuat agar negara tidak bertindak berlebihan, dalam artian mengintervensi segala urusan individu. Sebagaimana itulah fungsi rasio pada manusia, agar dirinya dapat memilah benar, salah, baik, buruk, mungkin, tidak mungkin, konsisten, kontradiktif, dsb. Fungsi itu ada pada diri setiap manusia. Dan pada fungsi yang demikian itu, apakah keliru jika kemudian HAM bersifat universal?

(Maaf tidak ada catatan kaki atau referensi yang bisa saya kutip karena memang saya sedang tidak sedang membuat karya ilmiah. Apa yang saya tulis ini berdasarkan sempalan-ingatan belaka dari beberapa buku, artikel, dan diskusi yang sempat saya konsumsi)

Jumat, 20 Oktober 2017

Diskusi Hari Tani Nasional 2017 di FH Unsoed



Pada 28 September 2017, saya memenuhi undangan dari BEM FH Unsoed dkk untuk mengisi menjadi pembicara dalam Diskusi Publik memperingati Hari Tani Nasional 2017. Saya mewakili AGRA, disandingkan dengan Ahmad Nasih Lutfi (Akademisi STPN) dan Juli Krisdianto (Ketua DPRD Banyumas). Namun Juli berhalangan hadir dan digantikan oleh Jarot Setyoko (Staf Ahli DPR-RI). Karena waktu yang diberikan hanya terbatas, saya tak sempat memaparkan pokok-pokok materi saya. Postingan kali ini akan menuntaskan ketidaksempatan tersebut, meskipun saya rasa tulisan ini juga tidak lengkap karena bahan materi saya (yang tadinya mau disampaikan) memang tidak dibuat tertulis, sehingga mungkin sudah banyak yang lepas dari ingatan.

Pokok materi yang saya sampaikan dalam diskusi ini ialah, bahwa konflik agraria bukan sesuatu yang muncul secara alamiah. Konflik agraria merupakan suatu proses historis yang menandai suatu epos sosial. Ini menyanggah paradigma yang dianut pemerintah bahwa, "konflik agraria ada karena ketimpangan agraria, yang terjadi karena populasi manusia terus bertambah, sementara jumlah lahan tetap." Paradigma ini digunakan untuk melegitimasi keberadaan negara agar hadir untuk memberi keadilan sosial (semacam social justice warrior/SJW) kepada rakyat dalam hal alokasi sumber daya agraria. Paradigma tsb terbukti invalid karena faktanya ketimpangan terjadi karena adanya konsentrasi kepemilikan tanah alias monopoli tanah, yang kemudian memonopoli pula seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Yang ada malah, negara (sebagai alat klas) mempercepat proses perampasan tanah untuk monopoli tanah.

Kedua, monopoli tanah terjadi karena adanya pasar tanah atau spekulasi tanah. UUPA dan UUD45 mengamanatkan bahwa tanah ialah pemberian Tuhan YME bagi bangsa Indonesia. Relasi antara rakyat Indonesia dengan tanahnya bersifat lahiriah dan batiniah serta abadi sepanjang bangsa Indonesia masih ada. Namun sejak rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah melakukan serangkaian deregulasi terhadap berbagai peraturan-peraturan tentang agraria. Salah satu contoh yang paling krusial tentu saja ialah UU No 1 Tahun 1967 ttg Penanaman Modal Asing. Rezim ini menggeser pemaknaan relasi antara rakyat Indonesia dengan tanah. Tanah kemudian diperlakukan sebagai komoditi/properti yang tunduk pada mekanisme pasar. Kompetisi antar korporasi (baik itu korporasi milik swasta maupun korporasi milik negara) memuncak pada pembentukkan kartel, trust, dan sindikat mafia tanah yang memonopoli tanah dan kekayaan alam di Indonesia. Komite Nasional Pembaruan Agraria memaparkan bahwa dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 persen dikuasai korporasi kehutanan, 16 persen dikuasai korporasi perkebunan skala besar dan 7 persen dikuasai para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya 1 persen orang ter­kaya di Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional.

Ketiga, monopoli tanah telah menghambat tenaga produktif rakyat yang selama ini bergantung pada tanah, yaitu kaum tani. Monopoli berdampak pada minimnya ketersediaan lapangan kerja di desa, sehingga tenaga produktif di desa kemudian menjadi buruh pabrik, dan buruh migran. Namun karena jumlah tenaga kerja yang terus membludak sementara pabrik tidak bisa menampung semuanya, maka hukum pasar memutuskan untuk menekan upah buruh, menerapkan sistem kerja outsourcing, menerapkan efisiensi jumlah buruh melalui PHK massal, dsb. Tidak sedikit kemudian tenaga kerja yang tersingkir dari dunia kerja, memasuki dunia kriminal. Kita lihat bahwa persoalan tanah bersifat multidimensi dan mengandung efek domino pada berbagai sendi-sendi kehidupan sosial.

Keempat, jalan keluar satu-satunya hanyalah reforma agraria sejati yang bertujuan menghapus sama sekali monopoli tanah, menghapus setiap norma dan institusi yang melanggengkan keberadaan mekanisme pasar atas tanah, dan melenyapkan watak klas negara yang mengabdi pada kepentingan imperialis, tuan tanah besar, kapitalis birokrat dan borjuasi besar komprador. Gunawan Wiradi menyatakan ada beberapa syarat untuk melaksanakan reforma agraria, yaitu adanya kemauan politik atas reforma agraria, data-data yang akurat, birokrasi yang bersih dan jujur serta terpisah dari urusan bisnis, dukungan dari militer, dan organisasi rakyat yang kuat. Agaknya syarat pertama sampai empat masih jauh dari capaian. Syarat yang saat ini paling mungkin disiapkan hanyalah membangun organisasi rakyat yang kuat, di sektor tani, buruh, pemuda, nelayan, masyarakat adat, dsb, yang dapat mendorong dan melaksanakan terwujudnya reforma agraria sejati. Konflik agraria bukan suatu fenomena alamiah, dia berawal dari suatu proses historis, dan oleh karenanya akan berakhir dalam suatu proses historis pula. Seperti apakah gambaran epos tersebut di kemudian hari? Generasi kita lah yang bisa menjawabnya.

Selasa, 17 Oktober 2017

Shock Doctrine Menurut Naomi Klein dalam Polemik Panas Bumi di Gunung Slamet

Tulisan ini bermaksud mengulas serangkaian peristiwa yang baru-baru ini terjadi terkait dengan Penolakan atas Proyek PLTP di Gunung Slamet, dan berbagai respon terhadapnya. Ulasan atas fenomena ini akan ditelaah dari pemikiran Naomi Klein tentang Shock Doctrine. Penulis menyarankan sebelum membaca tulisan ini agar terlebih dahulu mengikuti perkembangan isu PLTP di Gunung Slamet, yang sudah disediakan Selamatkan Slamet di akun media sosialnya, ataupun dengan mengikuti hashtag #SelamatkanSlamet atau #SaveSlamet .

Tiga hari pasca aksi massa penolakan PLTP di Gunung Slamet di depan Pemkab Banyumas (Tragedi 9 Oktober), muncul sebuah berita di Suara Merdeka yang berjudul, Proyek PLTPB di Gunung Slamet Jalan Terus. Muatan pada berita tersebut pada intinya ialah bahwa Ditjen ESDM Kementerian ESDM tetap memutuskan bahwa proyek panas bumi di Gunung Slamet harus tetap dilanjutkan karena merupakan proyek strategis nasional, dalam rangka pemenuhan target listrik Jawa, Madura, dan Bali. Masalah yang terjadi seperti air yang keruh dapat diatasi dengan penyediaan air bersih, yang nantinya akan dilaksanakan oleh PT SAE selaku pelaksana proyek.

Dari sini kita sudah melihat bahwa pemerintah pusat dan daerah sama sekali tidak serius dalam memahami persoalan utamanya. Jika mereka memahami, seharusnya mereka tidak hanya melihat masalah PLTP di Gunung Slamet ini sebagai masalah air keruh belaka. Di desa hutan dan pinggiran hutan, tanaman kaum tani berkali-kali diserang satwa liar secara tidak lazim. Bukan hanya babi hutan yang turun, tapi juga kera, kijang, bahkan beberapa kali melihat macan tutul. Tanaman palawija dan pohon buah-buahan disikat. Bahkan pohon kayu albasia pun mati karena pucuknya dimakan kera. Fenomena ini terjadi setidak-tidaknya di 5 desa di 3 kecamatan di lereng selatan Gunung Slamet. Petani merugi . Masalah ini tidak kalah pelik dibanding masalah air keruh yang dialami warga Kec. Cilongok.

Masalah satwa liar yang turun adalah bukti bahwa telah terjadi defragmentasi habitat akibat penurunan kualitas ekosistem sebagai dampak dari deforestasi yang dilakukan PT SAE pada masa eksplorasi panas bumi. Kesimbangan alam goyah. Lokasi pengeboran terlalu dekat dengan wilayah penduduk. Ditambah lagi, data dari Dinas ESDM Banyumas telah menunjukkan bahwa lereng selatan Gunung Slamet merupakan Zona Merah Pergerakan Tanah yang bersifat rawan bencana. Tanpa ada aktifitas apa-apa saja tanahnya sudah selalu bergerak. Apalagi jika ada aktifitas seperti pembukaan lahan dan pengeboran, maka bencana seperti longsor dan banjir bandang sangat mungkin terjadi.

PT SAE pun ternyata dalam prakteknya tidak melakukan kewajiban seperti yang sudah tertera di dalam Izin Lingkungannya. Adapun Izin Lingkungan yang berdasarkan pada Rekomendasi Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Nomor : 660.1/BLH.II/1374, telah memerintahkan kepada PT SAE untuk, “Melakukan sosialisasi rencana kegiatan kepada masyarakat sebelum kegiatan eksplorasi panas bumi dilakukan.” Apakah kewajiban ini sudah ditunaikan? Faktanya berdasarkan hasil riset dari Lembaga Kajian Banyumas FISIP Unsoed, sosialisasi dilakukan pada akhir tahun 2016 di desa-desa di Banyumas bagian lereng selatan Gunung Slamet, yang artinya ketika tahap eksplorasi sedang berlangsung. Sosialisasi pun kebanyakan baru terlaksana ketika dampak air keruh sudah terjadi. Sebelumnya, masyarakat hanya mengerti bahwa akan dibangun jalan tol dan jalan wisata dari Kaligua ke Baturraden.

Beberapa fakta-fakta di atas merupakan bukti kecil bahwa proyek PLTP di Gunung Slamet ini cacat dari segi perencanaan maupun pelaksanaan. Tentu masih banyak fakta-fakta lain yang takkan cukup untuk dibahas semuanya di sini. Namun jika pembaca ingin mengetahui, silakan unduh saja kajian dari Aliansi Selamatkan Slamat sebagaimana sudah diunggah di media sosial mereka.

Sebagai proyek strategis nasional, pembangunan PLTP di Gunung Slamet akan terus dipertahankan mati-matian oleh pemerintah. Apalagi mengingat masa eksplorasi proyek ini akan berakhir pada April 2018. Maka metode apapun akan digunakan oleh pemerintah, sepanjang itu bisa mencapai tujuannya. Salah satu metode yang digunakan oleh pemerintah dalam melanggengkan proyek ini ialah melalui Shock Doctrine.

Shock Doctrine Menurut Naomi Klein

Shock Doctrine, atau Doktrin Syok adalah kajian yang ditulis oleh Naomi Klein dalam bukunya The Shock Doctrine pada tahun 2007 dan diangkat kembali dalam bukunya yang terbaru No is Not Enough : Resisting Trump’s Shock Politics and Winning The World We Need pada 2017. Klein meneliti fenomena selama 4 dekade, bahwa pemerintahan sayap kanan senantiasa menggunakan taktik yang brutal secara berulang setelah adanya kejadian yang membuat syok masyarakat, semisal perang, kudeta, serangan teroris, jatuhnya bursa saham, atau bahkan bencana alam. Kemudian pemerintah akan memanfaatkan momen itu untuk menerbitkan kebijakan yang menguntungkan pihak elit maupun mengkebiri hak-hak sipil. Setiap momen krisis apapun dapat mengubah peta politik dalam semalam. Namun Klein juga mengamati bahwa taktik ini dapat dilawan. Klein menggambarkan ada 5 hal yang dapat dilakukan untuk melawan taktik Doktrin Syok.

Pertama, ketahui apa yang akan datang. Ketika ada suatu kebijakan sedang disiapkan untuk melancarkan agenda tertentu, maka segala potensi yang dapat menghalangi agenda tersebut akan dilenyapkan. Dalam temuan Klein pada kasus teror di Manchester dan Paris misalnya. Pasca peristiwa tersebut, pemerintah menganggap negara dalam situasi darurat sehingga merasa perlu untuk meningkatkan keamanan seperti adanya jam malam, anjuran untuk segera pulang, dsb. Pengekangan atas demokrasi menjadi dibenarkan untuk menjaga stabilitas. Bahkan jika itu bukan karena teror bom pun, pemerintah juga akan melakukan pengekangan demokrasi jika itu dianggap ancaman nasional. Aksi massa dengan memblokade bandara sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Trump yang melarang kaum Muslim masuk ke Amerika adalah salah satu contohnya. Massa aksi tentu akan menjadi sasaran tangkap dan pembatasan atas hak-hak sipil akan dilakukan melalui berbagai aturan. Ketika seseorang sudah bisa mengira atas peristiwa semacam ini, maka ia tidak akan terkejut.

Kedua, keluar rumah dan abaikan larangan. Manakala pemerintah menyuruh warganya untuk tetap di rumah supaya tetap aman, maka abaikan. Di Argentina, ketika negara sedang krisis ekonomi, Presiden Fernando de la Rua mengumumkan bahwa negara sedang dalam keadaan darurat, sehingga setiap warga negara diperintahkan untuk tetap di rumah. Namun kemudian rakyat Argentina merespon itu dengan turun ke jalan. Tak lama kemudian, Fernando de la Rua mengundurkan diri.

Ketiga, pelajari sejarah bangsamu. Doktrin Syok senantiasa berulang meskipun telah berkali-kali ganti rezim. Kita dapat mengantisipasi apa yang terjadi jika kita mempelajari sejarah.

Keempat, ikuti aliran uangnya. Ketika kekacauan berlangsung, pasti ada segelintir pihak yang diuntungkan. Telusurilah siapa elit yang mengambil kesempatan dan kesempitan itu. Sadarkan massa untuk kembali ke persoalan yang utama.

Kelima, bangun rencana tandingan. Jika sejarah bisa berulang, maka sejarah pun bisa diciptakan. Keempat rencana sebelumnya hanyalah upaya defensif dan antisipatif untuk mengungkap krisis yang tengah berlangsung. Apa yang kemudian perlu dilakukan ialah menyusun agenda untuk perjuangan ke depan untuk tatanan kehidupan alternatif yang lebih baik.

Doktrin Syok pada Isu PLTP di Gunung Slamet

Tragedi 9 Oktober, yaitu pemukulan, perampasan barang-barang, dan penangkapan sejumlah massa, adalah respon yang diberikan pemerintah atas aksi penolakan PLTP di Gunung Slamet. Bagi beberapa aktivis yang terbiasa meladeni aparat dalam setiap aksi massa, ini adalah pertama kalinya di Purwokerto ada aksi damai yang direspon dengan represifitas aparat. Saya bisa bilang itu aksi damai karena memang tidak ada rencana untuk bentrokan pada waktu itu dari panitia aksi. Yang kami persiapkan malahan agenda sholawat dan Panggung Kebudayaan untuk mengisi jadwal aksi massa. Jelas sudah pada waktu itu massa aksi mengalami syok.

Sesaat sebelum saya ditangkap, saya dengar ada salah satu petugas yang menginstruksikan begini kepada anak buahnya, “Itu dia yang tadi siang, tangkap.” Salah seorang teman saya dari warga yang terdampak pun bahkan tangannya retak kena pentungan polisi, pada saat dia sudah mengendarai sepeda motor untuk kabur. Aparat itu bilang, “Cepat pulang!” kepada teman saya. Saya mengamati bahwa represifitas ini dilakukan secara terencana. Apa sebenarnya rencana mereka? Tiga hari pasca Tragedi 9 Oktober, muncul sebuah berita di Suara Merdeka yang berjudul, Proyek PLTPB di Gunung Slamet Jalan Terus. Ditjen ESDM Kementerian ESDM tetap memutuskan bahwa proyek panas bumi di Gunung Slamet harus tetap dilanjutkan karena merupakan proyek strategis nasional, dalam rangka pemenuhan target listrik Jawa, Madura, dan Bali. Inilah Doktrin Syok.

Massa aksi telah menciptakan instabilitas karena menyerang proyek strategis nasional. Represifitas adalah balasannya. Wartawan bahkan ikut kena sasaran amuk aparat. Dan di saat orang-orang merasa syok, Pemerintah Pusat mengambil kesempatan itu untuk memutuskan bahwa proyek tetap dilanjut. Padahal pada 5 Oktober Bupati telah mengirim Surat Rekomendasi kepada Gubernur agar pengerjaan proyek PLTP di Gunung Slamet dihentikan sementara dan dievaluasi ulang. Namun Pemerintah Pusat tidak mengindahkan surat dari Bupati karena itu akan menghambat pelaksanaan proyek ini. Doktrin Syok bekerja.

Sehari setelah Tragedi 9 Oktober, massa melakukan aksi respon cepat. Ribuan orang berpartisipasi untuk menunjukkan solidaritas pada korban kekerasan negara, sekaligus mengecam tindakan represif aparat. Tanpa disadari, massa melakukan anjuran Naomi Klein yang kedua, yaitu abaikan larangan dan turun ke jalan. Hanya saja yang kurang perhatian dari aksi ini adalah tidak ada yang menyadari bahwa pada saat Bupati, Polres, dan massa aksi sedang saling bersitegang, PT SAE dan Pemerintah Pusat sedang duduk di atas menertawakan keadaan. Saya pribadi pun sedang dalam keadaan tidak berkutik karena tubuh penuh lebam dan kehilangan alat komunikasi karena disita aparat.

Saat ini, berita bahwa proyek PLTP di Gunung Slamet terus berjalan sudah mulai menyebar. Yang membaca berita itu tentu merasa kecolongan. Naomi Klein menunjukkan jalan bahwa yang perlu dilakukan saat ini ialah kembali ke persoalan utama dan bangun rencana tandingan. Karena hanya dengan cara demikianlah, massa akan dapat menciptakan sejarah.

Tulisan ini dimuat juga di : 
https://www.kompasiana.com/panjimulkillah/59e0c55f9a0ff438051dc972/shock-doctrine-menurut-naomi-klein-dalam-polemik-panas-bumi-di-gunung-slamet

Jumat, 22 September 2017

Minggu, 17 September 2017

Bekerjanya Hukum dan Perubahan Sosial

Bekerjanya hukum menurut Lawrence M. Friedman dapat dilihat dari 3 hal :

1. Legal Substance, yaitu substansi hukum, berupa peraturan perundang-undangan.
2. Legal Structure, berupa aparat yang menegakkan legal substance
3. Legal Culture, yaitu masyarakat yang mematuhi legal substance yang ditegakkan oleh legal structure

Jika salah satu dari tiga aspek tidak berjalan, maka hukum tidak bekerja. Sejarah mengkonfirmasi teori ini secara positif. Di jalan raya, wajib hukumnya pengendara motor roda dua menggunakan helm. Tapi jika kamu sudah tau jadwal razia yang kosong, kamu bisa saja tidak mengenakan helm. Polisi sedang tidak ada, kamu melaju bebas tanpa helm. Legal structurenya tidak berjalan. Hukum tidak bekerja.

Dulu ada yang namanya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang melegitimasi adanya Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PTBHMN). Kampus bisa otonom mencari uang sendiri, yang tidak perlu disetor ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Legal structure sudah pada siap dari jajaran Menteri, Dikti, hingga kampus. Lalu ada warga negara yang menggugat peraturan tentang hal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Warga menang. UU BHP dicabut. Legal substance hilang. Hukum tidak bekerja.

Ada pasal tentang judi di KUHP. Tapi pasal tersebut tidak bekerja di masyarakat yang memang sudah turun temurun main judi, dan dianggap sebagai ritual tradisi. Pasalnya ada, polisinya ada, tapi masyarakat tidak mematuhi keduanya. Legal culture tidak berjalan. Hukum tidak bekerja.

Banyak anak muda zaman sekarang alias kids zaman now ingin mengubah masyarakat Indonesia, dengan cara masuk ke pemerintahan, untuk memperbaiki sistem. Mereka ingin memperbaiki legal substance dan legal structure suatu negara. Menurut saya ini hal yang baik, tapi sayangnya lebih banyak nirfaedahnya karena tidak efektif dan tidak efisien.

Diantara ketiga faktor bekerjanya hukum tadi, yang manakah yang paling menentukan? Mari kita uji.

Pertama pada kasus legal structure yang tidak berjalan pada kasus di pengendara motor di jalan raya. Tidak semua warga negara tidak taat pada hukum. Malah kebanyakan kalau urusan di jalan raya, kebanyakan pada taat hukum dalam hal mengenakan helm. Walaupun legal structurenya tidak ada, masyarakat pasti masih ada yang patuh. Bahkan tidak jarang masyarakat masih mengingatkan satu sama lain untuk mematuhi peraturan, meski sedang tidak ada aparat yang bekerja. Artinya hukum masih bekerja, hanya saja tidak optimal.

Kedua pada kasus UU BHP. Memang ketika UU tidak ada, aparat tidak bisa bekerja. Tapi kemudian sejarah membuktikan pasca UU BHP dicabut, lahirlah UU Pendidikan Tinggi (Dikti) yang memiliki semangat yang sama dengan UU BHP yakni liberalisasi pendidikan. Malahan UU Dikti bisa dibilang telah sukses menambal kecacatan-kecacatan di UU BHP. Di bawah kondisi negara yang dapat akrobat hukum seenaknya karena pemerintahannya dikuasai oleh kelompok-kelompok politik yang elit, legal substance bisa dibikin berkali-kali. Kasus serupa juga terjadi di konflik agraria di Kendeng.

Ketiga pada kasus judi. Meski ada peraturan dan ada aparat penegak hukum, kalau masyarakat tidak patuh pada keduanya maka hukum tidak bekerja. Bahkan secara tidak langsung, masyarakat telah membentuk hukumnya sendiri. Ternyata faktor ketiga ini yang paling menentukan.

Cicero pernah berkata, "Ubi societas ibi ius," yang artinya dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Masyarakat telah ada mendahului hukum dan aparat penegaknya. Masyarakatlah yang membentuk keduanya.


Hari ini kita sudah sama-sama sudah menyaksikan berbagai aturan yang tumpang tindih dan sering bongkar pasang akrobat hukum mengikuti pemodal dan penguasa. Para pembuat kebijakan dan penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang demi kenaikan karir dan meraup celah-celah kebocoran anggaran negara yang kemudian dikorupsi. Tanda-tanda krisis bekerjanya hukum sudah dekat. Tidak ada yang bisa ditambal sulam lagi. Hanya jika masyarakat sudah tidak lagi mematuhi hukum beserta penegak hukumnya, maka kemudian akan lahir masyarakat yang baru yang meniadakan hukum dan pemerintahan yang lama. Sistem yang lama berganti dengan sistem yang baru.

Anda Pengunjung ke