( Ini adalah wawancara yang saya lakukan sekitar awal 2014, yang dimuat di majalah LPM Pro Justitia FH Unsoed. Saya muat ulang di sini untuk tujuan pendidikan )
Di dalam ruangan yang cukup redup, ia sedang duduk membaca beberapa dokumen. Matanya yang sudah tidak lagi tajam itu, masih jeli mempelajari seluk beluk agraria di Indonesia. Meski tubuhnya telah dimakan usia, tapi pikirannya masih bekerja. Masih fasih betul dalam berargumen, lengkap dengan teori dan data. Prof. Dr. HC. Ir. Gunawan Wiradi M. Sos. Sc. adalah namanya, atau yang akrab disapa GWR. Beliau adalah guru besar agraria Indonesia yang seumur hidupnya mengkaji dan memperjuangkan reforma agraria, sebagai landasan pembangunan bangsa Indonesia. Di usianya yang yang sudah 82 tahun, beliau tidak pernah berhenti untuk terus membangun gagasan-gagasan dan mendorong pelaksanaan reforma agraria yang sejati. Sampai hari ini, beliau masih memegang peranan sebagai Dewan Pakar KPA, dan juga aktif di Sayogyo Instititute.
PMA : Panji Mulkillah
GWR : Gunawan Wiradi
PMA :
Menurut anda, apa yang dimaksud perampasan tanah?
GWR :
Perampasan tanah atau landgrabbing, itu istilah baru. Pakar-pakar kita menerjemahkan perampasan tanah sebagai pelanggaran hak konstitusional masyarakat atas tanah. Menurut saya itu nggak tepat. Karena merampas tanah itu bisa dengan ganti rugi, bisa tidak. Tapi perampasan tanah itu pokoknya memperoleh sesuatu (tanah) dengan cara yang tidak bermoral. Jadi ini bukan masalah hukum. Pendeknya, masalah agraria itu bukan masalah hukum. Hukum itu belakangan. Hukum itu bisa dipakai untuk menegakkan kebenaran dan ketidakadilan, tapi juga bisa dipakai untuk menegakkan ketidakbenaran dan ketidakadilan. Jadi hanya pembenar. Jadi itu belakangan. Kalau bicara agraria, apa saja, adalah masalah ekonomi politik.
Perampasan tanah yang dimaksud adalah terjemahan bahasa inggris, land grabbing. Pada abad ke-12 di Inggris disebut enclosure. Di Inggris itu sendiri selama 600 tahun parlemennya berubah-ubah, mulai dari membenarkan enclosure, lalu berubah menjadi membatalkan. Yang terakhir ketika tanah rakyat tinggal 4000 hektar barulah sadar, akhirnya dilarang. Kalau memang itulah yang dimaksud dengan land grabbing.
Nah sekarang dengan arus globalisasi ekonomi neolib ini, sudah terjadi (perampasan tanah) dimana-mana, tidak hanya di Indonesia.
PMA :
Bagaimana peran pemerintah atas terjadinya perampasan tanah ini?
GWR :
Kita harus pahami dulu bahwa zaman selalu berubah. Tiap zaman itu potretnya beda-beda. Potret sebuah masarakat itu ptoses dari bekerjanya ada empat faktor yang saling berinteraksi. Yaitu dinamika internal masyarakat itu sendiri, kemudian intervensi pemerintah melalui kebijakannya, lalu dengan warisan sejarah, lalu dengan asing. Tiap zaman dari faktor itu yang dominan beda-beda. Nah kalau sekarang yang mana? Menurut saya yang dominan ini intervensi asing. Ini menguji mental bangsa Indonesia.
PMA :
Kenapa intervensi asing bisa dominan di Indonesia?
GWR :
Nah itulah menurut pendapat saya, merupakan pengkhianatan terhadap NKRI. Awal penghianatan adalah lahirnya Orde Baru, dengan tiga Undang-Undangnya sejak 1967 yakni Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Kehutanan, lalu Undang-Undang tentang Pertambangan. Nah jadi masalahnya ialah masalah politik.
PMA :
Lalu siapa sebenarnya yang paling berperan dengan adanya perampasan tanah?
GWR :
Kalau ditanya peran ini peran itu, semua punya peran yang mendukung proses perampasan tanah. Karena bagaimanapun juga, pendiri republik sadar benar bahwa masalah dasar adalah masalah agraria, yakni bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Jadi ini implikasinya, orang bisa menganalisis rumit-rumit, tapi intinya itu. Lahirnya kolonialisme ketika kapitalisme menanam modalnya di suatu negeri itu jenuh. Dia punya yang disebut oleh Bung Karno, istilahnya, ‘nafsu’ untuk ekspansi.
Zaman dulu ekspansinya menggunakan militer. Jadi penaklukan-penaklukan itu pada hakikatnya untuk memperoleh tanah. Itulah lahirnya kolonialisme.
Ketika sesudah Perang Dunia II cara penaklukan tidak populer, maka dengan cara lain, cara halus. Dengan intelijen, dengan membujuk melalui konsep-konsep yang menyesatkan dan sebagainya. Ini prosesnya sedari dulu. Jadi kalau sekarang ada buku Merindukan Soeharto, wah ini nggak ngerti ini. Bahwa zaman Soeharto itu memang stabil, tapi korbannya berapa ratus ribu kekerasan dengan tangan besi.
Jadi menurut saya kalau potret sekarang ituu kita anggap sebagai potret yang buruk maka menurut saya ini adalah akibat dari Orde Baru. Tapi ada yang menganggap sekarang ini bagus. Ya, bagus menurut mengikuti gerak duni yang neolib.
Negara berkembang terutama Indonesia itu mengalami Triple Squeeze atau tiga jepitan. Dari atas globalisasi ekonomi, dari samping privatisasi, dan dari bawah otonomi daerah. Ini yang banyak nggak sadar. Sebelum era reformasi ini, kita sudah punya otonomi daerah bernama daerah swatantra bahkan sampai tingkat 3.
Sekarang negara kita ini seperti puing-puing. Menjadi desentralisasi korupsi. Desentralisasi raja-raja kecil. Jadi kalau ditanya peran negara apa, peran ini apa, itu semua berinteraksi.
Peran pemerintah jelas melalui izin. Karena itu saya bilang, ini bukan masalah hukum. Lalu etika pergaulan internasional juga berhubungan. Jadi ada konsep asing langsung begitu saja diadopsi.
Bahkan neolib itu pinter. Mereka didonor oleh 300 orang, tapi namanya dirahasiakan. Coba baca pidatonya SBY di APEC, dalam kalimat terakhirnya dia mengaku sebagai Chiefperson of Indonesia Incorporation. Jadi RI dianggap perusahaan. Ini bertentangan sekali dengan cita-cita proklamasi.
PMA :
Jadi dia sebagai salesman?
GWR :
Iya. Nah itu kita nggak bisa. Kita lengah. Kita tidak setia. Kita bukan lagi bangsa merdeka. Atau jika masih diklaim bangsa merdeka, kita bukan lagi RI Proklamasi 45. Coba, malah UUD 45 diobrak-abrik seperti itu.
PMA :
Apa tanggapan anda melihat hari ini masih banyak monopoli tanah di Indonesia?
GWR :
Saya pernah nulis makalah di STPN pada tahun 1999, judulnya Reforma Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, dan sebaliknya Konflik Agraria Anak Kandung Reforma Agraria. Yang dimaksud apa? Pelaksanaan reforma agraria bagaimanapun akan menimbulkan konflik juga.
Tuan-tuan tanah yang nggak rela, itu pasti akan menentang sebagian besar. Karena yang dicita-citakan oleh kita kan tanah yang melampaui batas itu kan diambil negara tetapi tidak dirampas atau disita, tetapi diberi kompensasi.
Jadi pemahaman mengenai reforma agraria belum sempat meluas dan dipahami dengan benar, malah pemerintahan Sukarno digulingkan. Padahal waktu itu ada banyak ahli-ahli hukum membahas landasan filosofi hukum lahirnya UUPA.
Ini ada implikasi pada konsep ketatanegaraan yaitu merujuk pada pertanyaan, tanah itu milik siapa? Milik Tuhan? Negara? Atau individu? Atau siapa? Karena pada waktu itu sedang berlangsung suasana perang dingin, dan tidak mau berpihak ke salah satu, maka lahirlah filosofi monodualis.
Jadi dalam sistem kapitalisme, tanah dibagi habis kepada semua individu, termasuk individu yang bernama negara. Karena itu ada tanah milik negara.
Dalam sosialisme, negara sebagai individu, tapi satu-satunya diberi hak memiliki tanah. Rakyat hanya menggarap. Kita nggak mau dua-duanya. Lalu bagaimana?
Lalu diletakkan tanah ini milik seluruh bangsa. Berarti milik bersama. Kalau milik seluruh bangsa, bagaimana mengaturnya? Maka lahirlah MPR. Ini merupakah implikasi ketatanegaraan. Karena itu ketatanegaraan menurut UUD 45 (yang pertama) adalah MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kalau sekarang kan dilucuti jadi lembaga tinggi negara. Ini kan jadi amburadul semua. Jadi itu lembaga tertinggi negara, karena tanah milik bersama. Lalu MPR memberi mandat kepada Presiden untuk mengatur tata kelola tanah itu tadi.
Merdeka itu masalah martabat. Karena itu selalu diplesetkan kalau “tujuan kita harus begini-begitu supaya rakyat sejahtera.” Itu betul. Tapi tujuan reforma agraria bukanlah sejahtera, tapi keadilan. Kalau sejahtera, dijajah tapi sejahtera nggak apa-apa kan? Nah itu ada anak muda yang begitu. Apa mau? Semangat merdeka itu keadilan.
Kalau kita lihat sejarah reforma agraria, itu bukan hanya di Indonesia. Kalau yang diakui sebagai sejarah reforma agraria itu pertama kali di Yunani, hampir 600 SM. Tapi sebetulnya kalau dilacak lebih jauh, lebih dari 1000 tahun SM.
Jadi untuk mengatasi masalah agraria ini tidak lain solusinya adalah kembali pemahaman secara politik. Lalu masalah kemauan politik untuk merombak struktur agraria itu. Kalau tidak kesana itu tambal sulam.
PMA :
Apa komentar anda tentang UUPA, yang orang-orang nilai itu seperti pisau bermata dua?
GWR :
Bahwa sekarang UUPA seperti itu, itu memang belum sempurna seperti cita-citanya. Itu karena KMB. Dulu sasaran utama, karena lahirnya kolonialisme Belanda yang liberal, maka lahirlah perkebunan-perkebunan besar.
Jadi sasaran pertama adalah perkebunan besar. Agresi militer Belanda pertama dan kedua, yang jadi sasaran adalah perkebunan besar.
Jadi untuk mengamankan investasi mereka.
Belum ada setahun Indonesia merdeka, Bung Hatta sudah pidato, “mendayung diantara dua karang.” Ini kapitalis, ini komunis, nah kita di tengahnya. Untuk bangsa Indonesia, tanah tidak boleh dijadikan barang dagangan.
Yang kedua, perkebunan-perkebunan besar ini dulunya tanah milik rakyat. Hanya karena kongkalikongnya sultan-sultan dengan pengusaha swasta Belanda, akhirnya lepas. Itu yang harusnya diredistribusi.
Karena itu waktu Gus Dur pernah bilang, “40% perkebunan harus diredistribusi.” Tapi ya mohon maaf karena Gus Dur kan buta, jadi kurang bisa ngitung, jadi pokoknya ceplas-ceplos aja, belum dipersiapkan betul argumennya, dan konsepnya.
Tetapi kalau menurut seorang pakar, UUPA itu ada segi positifnya ada segi kelamahannya. Segi positifnya pertama, semangat rakyat berusaha menghapuskan exploitation de l’homme par l’homme. Kedua, sudah sadar gender, walaupun dulu belum populer istilah gender, tapi haknya wanita sama. Ketiga, rumusan hukumnya modern.
Tapi ada kelemahannya. Satu, dasar hukum adat kurang jelas, ini juga akibat kompromi. Karena saya terlibat dalam masalah kiblat hukum adat ketika UUPA masih menjadi RUU. Kelemahan kedua, hambatan ilmiah. Mulai dari birokratnya sampai rakyatnya belum memahami benar apa itu land reform.
Menurut saya, betul ada kelemahan-kelemahan. Tapi ketika Orde Baru, saya bertahan sampai sekarang, “jangan diubah dulu,” karena sekarang ini kan apa-apa harus pakai undang-undang. Supremasi hukum diterjemahkan sebagai DPR harus tiap tahun buat undang-undang.
Nah jadi solusinya ialah musti dilaksanakan reforma agraria yang sejati, yang genuine. Untuk bisa melakukan itu maka pertama, diperlukan kemauan politik betul-betul. Tidak hanya hiasan bibir. Kedua, data yang akurat supaya tidak menimbulkan konflik. Yang ketiga, birokrasinya harus bersih dan jujur.
Yang keempat, organisasi rakyat harus kuat. Sebab dalam sejarah, kalau organisasi rakyat tidak kuat, pemerintah kan ada umurnya, ketika diganti dengan pemerintahan nggak setuju, diobrak-abrik lagi. Seperti di Meksiko. Tapi kalau organisasi rakyat kuat, tidak bisa begitu.
Syarat berikutnya, elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis. Dan syarat berikutnya militer harus mendukung, kalau tidak nanti berdarah-darah. Karena militernya dengan dalih membela pemerintahan, malah mbedili rakyatnya sendiri. Jadi itu prasyaratnya.
Nah sekarang ini berat. Maka dari itu yang harus diubah mental kebangsaannya. Masih punya rasa kebangsaan nggak? Otonomi daerah ini kan akibatnya adat. Sehingga adat yang satu dengan adat yang lain bentrok sendiri. Nah kalau dasarnya mau kembali ke adat. Kamu di sini nggak punya hak, saya di sini nggak punya hak. Saya orang jawa, bukan orang sunda. Tapi kalau nation state, yang namanya citizen itu haknya sama. Jadi ini problematis memang hak soal adat. Nah kalau analisis saya mengapat gerakan adat mencuat, karena ketika mau menuntut keadilan agraria dengan segala jalan sudah mentok. Sehingga pakainya adat. Ditumpangi lagi intervensi asing dan otonomi daerah.
PM :
Dalam buku anda, anda bilang bahwa ciri khas reforma agraria di Indonesia itu berwatak neopopulis. Itu maksudnya bagaimana?
GWR :
Nah walaupun tidak tepat benar karena asumsi-asumsi neopopulis terutama di pulau Jawa sudah nggak berlaku. Kenapa neopopulis? Jadi di Eropa, gerakan populisme itu lahirnya hampir bersamaan dengan di US dan Rusia. Kalau di Rusia tahun 1961, kalau di US 1885. Jadi kalau lahirnya neopopulis, itu istilah yang diciptakan ilmuwan sekarang terhadap tokoh bernama Alexander Chayanov. Padahal ia sendiri tidak mau disebut demikian. Sebab kalau disebut neopopulis, nanti diasosiasikan dengan yang teroris (Kelompok Narodnik-red) nggak mau.
Lalu dia melakukan penelitian, sebetulnya rakyat itu ciri usaha taninya seperti apa? Dia mempunyai dalil yang asumsi dasarnya, hutan itu masih open foreigner atau ruang terbuka. Jadi pertanian rakyat itu pertanian keluarga. Sehingga teori ekonomi modern tidak bisa diterapkan di pedesaan karena tidak ada pasar tenaga kerja.
Dia sebagai ekonom juga, lalu dia bilang bahwa teori ekonomi itu pilarnya lima yang saling berkaitan. Satu saja pilarnya jatuh, bangunan runtuh. Salah satu pilarnya adalah pasar tenaga kerja. Jadi ada teori modal, sewa, bunga, harga, dan pasar tenaga kerja. Nah di sini nggak ada pasar tenaga kerja. Jadi ada asumsi hutan masih terbuka, tidak ada pasar tenaga kerja, dan makin besar keluarganya, makin tanahnya luas karna terpaksa membuka hutan.
Di Pulau Jawa sudah nggak mungkin, jadi nggak 100% neopopulis. Tapi saya sebut neopopulis karena satu, asumsi dasar yang penting adalah pandangan bahwa yang kecil yang efisien.
Ahli ekonomi pecah dua pandangan, ada yang kecil yang efisien ada yang besar yang efisien. Maka itu land grabbing kan ingin bikin estate, karena itu yang dianggap efisien. Neopopulis tidak. Yang kecil yang efisien. Lalu kalau sosialisme, menggunakan kelas. Sementara neopopulis tidak. Stratifikasi yang ada di pedesaan bukan stratifikasi kelas, tapi stratifikasi demografis. Artinya suatu keluarga itu dalam perjalanan sejarahnya suatu saat kaya suatu saat miskin. Nah itu dijelaskan dengan angka-angka.
Asumsikan orang kawin umut 25. Tahun pertama punya anak satu. Yang mengerjakan tanah cuma berdua, suami dan istri. Jadi tenaga kerjanya cuma dua, konsumennya tiga karena anaknya satu. Tiap tiga tahun katakanlah punya anak. Jadi tahun keempat punya anak dua. Jadi konsumennya tambah. Labour dan consume rationya berubah. Terus sampai usia kawin 15 tahun, anak yang pertama sudah berusia 14, masuk ke tenaga kerja. Jadi consume dan labour ratio berbalik. Nah jadi selama 15 tahun keluarga meras tenaga sendiri, atau self exploitation. Karena itu self eksploitation, maka tidak ada untung rugi.
Chayanov, ia mengasumsikan yang kecil yang efisien. Oleh karena itu, land reform gaya neopopulis tidak ada batas minimum. Jepang tidak ada, di Korsel tidak ada. Jadi semula Jepang atau Korsel, arus pemikiran semula neopopulis. Tapi dalam masa transisi berubah menjadi kapitalis.
Di dunia ini, menurut Russel King, itu ada contoh transisi yang berubah pola agrarianya. Jepang, tadinya neopopulis jadi kapitalis. Italia, mula-mula kapitalis menjadi sosialis. Yugoslavia, mula-mula sosialis menjadi kapitalis. Jadi karena itu kepemimpinan dalam masa yang bergolak itu teorinya lain. Nah itu yang sering saya perhatikan. Dalam masa transisi dan masa stabil itu kepemimpinannya beda.
PM :
Andai neopopulis itu berhasil. Sementara suatu negara biasanya tidak ingin melulu menjadi negara agraris, tapi ingin jadi negara industri. Ingin membangun industri nasional. Apakah neopopulis memiliki orientasi ke sana? Karena menimbang tadi orientasi neopopulis berbasis pada pertanian keluarga.
GWR :
Nah itulah sebab mengapa aliran neopopulis ini dimusuhi dua-duanya, oleh kapitalis dan sosialis. Land reform a la kapitalis sendiri mengakui bahwa land reform diperlukan supaya startnya sama. Sebab kalau kapitalis kan persaingan bebas, boleh bersaing, tapi startnya harus sama. Karena itu negara barat pu yang kapitalis melakukan land reform. Jadi kalau orde baru menuduh land reform adalah komunis, itu nggak ngerti aja.
Di Jepang, saya kebetulan sewaktu Bandara Narita masih baru, di sana saya pernah ke pelosok desa. Itu rata-rata tanah sawahnya hanya 500 meter persegi. Kok bisa hidup? Karena ada industrialisasi pedesaan. Jadi bukan pertanian dijadikan industri. Industrialisasi pedesaan di Jepang adalah industri-industri kecil yang menopang bagi tanah yang terlalu sedikit. Itu ada di bukunya Trio Tambunan judulnya Industrialisasi Pedesaan.
Jadi betul, perubahan zaman akhirnya menuju industri. Tapi industri yang mana? waktu zaman Orde Lama juga kita membangun industri besar. Maka membangun industri Cilegon, industri berat, tapi sekarang malah dijual. Saya membaca laporan Corruption Watch, ternyata semua partai terlibat.
Sumber dari semua krisis ekonomi dunia adalah spekulasi tanah. Argumen sederhananya dalam teori ekonomi, spekulasi itu sah. Karena dalam setiap spekulasi mengandung resiko, kecuali tanah. Contoh anda menspekulasikan tidak mau kerja kalau tidak sehari 5 juta. Resikonya ya nganggur. Nah tanah, saya beli saya diemin. Ada musim durian lewat, bijinya jatuh, malah tumbuh pohon durian. Tidak ada resiko. Nah oleh karena itu ketika berspekulasi tanah, malah jadinya krisis.
Itu industrialisasi, teknologi, semua itu politik. Korut bikin nuklir, barat ribut. India bikin nuklir kok nggak ribut? Itu politik. Karena semua itu politik, maka menurut saya jawabannya adalah mengembalikan mentalitas bangsa kita. Kenapa Soeharto bertahan sampai 32 tahun? Karena asing menginginkan investasinya mapan dulu, maka harus otoriter, biar mapan dulu. Nah setelah mapan, baru dijatuhkan sendiri.