Kamis, 15 September 2016

Awkarin dan Hasrat Pembentukan Identitas

sumber gambar : dagelan.co

Jadi Begini

Saya orang yang tidak suka stalking. Apalagi selebgram, buzzer, influencer, youtuber, snapchatter, apalah. Tapi terimakasih, berkat tulisan di Line tentang “Awkarin” yang ditulis oleh seseorang bernama Ndari[1], saya pun jadi melakukan apa yang dilakukan daripadanya. Medan problematis yang diajukan Ndari, adalah kritik tentang fenomena oversharing yang ternyata bermuara ke profit dan ilusi kaum abege Indonesia terutama kaum perempuan. Kemudian Ndari pun berharap kepada perempuan dimana pun, terutama yang lebih muda darinya, untuk, “...berhentilah menjiplak hidup orang lain dan iri sama kesehariannya.”

Apa yang ditulis Ndari sangatlah baik. Tapi saya tidak akan sekedar ngetik, “keren banget kak tulisannya”, atau “iya sepakat tuh” di kolom komentar postingannya. Ada pepatah Prancis berkata, “du choch des idees jaillit la lumiere”, yang artinya “dengan benturan gagasan akan terpancar sinar kebenaran.” Saya akan mengapresiasi tulisan Ndari dengan membenturkannya lewat tulisan pula, karena menurut saya ada hal yang kurang dalam tulisan Ndari.

Di awal, Ndari begitu gigih dan jitu membelejeti  Awkarin dan bagaimana justru Awkarin mendapatkan popularitas dan profit kesehariannya. Fenomena Awkarin dan siapapun itu yang seperti dirinya, bagi Ndari adalah konsekuensi dari, “...era oversharing, gara-gara social media. Sebagai manusia modern, ada satu rasa gatal dari diri kita untuk membagikan sedikit dari siapa kita pada orang lain sebagai wujud pembuktian diri identitas – lewat gambar, tulisan, suara, yang dengan mudahnya tersebar ke siapapun.”

Well, tidak ada yang salah daripadanya. Hanya saja, ada hal yang ternyata lebih kompleks dari itu. Tidak lantas gara-gara ada sosial media, kemudian si manusia modern begitu saja ngeshare aktifitas hariannya, ataupun ngefollow orang-orang yang dipujanya. Sebagaimana gravitasi tidak satu-satunya sebab kenapa apel jatuh dari pohon ke tanah, karena tingkat kematangan internal apel justru lebih menentukan bagi dirinya untuk jatuh ke tanah. Gravitasi, sebagaimana sosial media, hanyalah prasyarat dari kemungkinan gerak dialektika internal suatu hal.

Ketika kita membicarakan Awkarin, kita sebenarnya bukan sedang membicarakan Awkarin sebagai ‘seorang manusia biasa bernama Awkarin’, melainkan ‘fenomena tentang Awkarin, tentang hubungan Awkarin dengan followersnya’, sehingga Awkarin adalah semacam seperangkat fenomena. Apa yang menjadikan Awkarin menjadi ‘Awkarin’, adalah ratusan ribu followernya di sosial media. Tanpa followernya, Awkarin hanyalah gadis biasa yang goler-goleran di rumah pake daster bau bawang. Sehingga yang kurang dari pemaparan Ndari adalah, apa yang membuat orang-orang mengikuti Awkarin? Kenapa Awkarin dianggap sebagai sosok yang harus diikuti, bahkan dibela? Hal ini perlu dipertanyakan, sebab saran baik dari Ndari agar mulai meneladani perjuangan figur-figur seperti Malala Yousafzai dan Anzimatta, bisa saja dibalas dengan, “Yaela ribet amat sih idup lo, mumpung masih muda itu waktunya kita seneng-seneng, makan-makan, jalan-jalan.”

Tentang Diri

“Remaja” adalah sebuah kata yang bisa dibilang baru. Pada awal manusia hidup di era berburu dan meramu, sampai dengan di era feodal, kita tidak mengenal kata “remaja” . Hanya ada masa “belum dewasa” dan “sudah dewasa”, yang ditandai dengan berbagai macam hal. Ada yang menjadi dewasa karena bisa melompati batu setinggi 5 meter, berhasil menangkap babi hutan, sudah akil balig dan sunat, ataupun sudah bisa nyambut gawe’ sendiri. Kata “remaja” ditemukan Madison Avenue (sebuah industri periklanan Amerika) pada tahun 1941. Remaja, kemudian dihubungkan dengan pencarian identitas diri, yang erat kaitannya dengan atribut yang melekat (ataupun dilekatkan) pada tubuh, mulai dari pernak-pernik, baju, sepatu, gadget, musik yang ia dengar, film yang ia tonton, pacar yang ia miliki, tempat wisata yang ia jelajahi, mobil yang ia kendarai, gaya hidup yang ia jalani, dan tentu saja hal yang penting adalah : seleb yang ia ikuti.

Pencarian identitas kaum remaja hari ini dilakukan melalui penjelajahan di internet. Tentu mereka tidak melakukannya dengan mengetik di Google : “siapakah aku?”. Mereka berjejaring di berbagai sosial media, berteman atau mengikuti beberapa orang, dan diantaranya adalah mereka-mereka sudah atau yang bakal menjadi embrio seleb sosmed. Mereka mencari orang-orang yang sekiranya dianggap ideal bagi mereka. Mencari orang yang bisa menjadi bahan perbincangan selama jam istirahat di sekolah, atau menjadi referensi untuk ditiru dan dibawa hasil tiruannya itu ke teman-temannya. Apa yang mereka anggap ideal ini tidak pernah terjelaskan, padahal yang tak terjelaskan inilah yang justru membentuk identitas diri. Ketidakjelasan ini yang akan kita bedah lewat psikoanalisis.

Dalam kajian psikoanalisis, diri adalah sesuatu yang sadar yang mana kesadaran itu ditentukan di ranah ketaksadaran. Ketaksadaran ini dibentuk sejak masa bayi sampai ke pendewasaannya. Sederhananya kalau kawan-kawan mengikuti kisah Naruto, kita akan melihat bagaimana identitas masing-masing karakter ternyata terbentuk akibat peristiwa psikis masa kecilnya. Naruto yang caper karena masa kecilnya yang tak punya keluarga, ataupun Sasuke yang dingin karena masa kecilnya yang kelam karena peristiwa berdarah keluarga besarnya. Tapi psikoanalisis tak sesederhana itu. Ranah ini belakangan menjadi diskursus yang penting, terutama sejak marak munculnya fenomena bunuh diri gara-gara gagal UN, menyiksa pacar gara-gara masalah relasi, calon legislatif yang gila dan stres gara-gara kalah pemilu, sampai dengan keinginan abnormal yang narsis-fasistik Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Apa yang membuat orang-orang sangat berhasrat untuk mengejar sesuatu? Sama seperti pertanyaan di muka, mengapa para kaum abege begitu berhasrat pada hal-hal seperti yang dilakukan Awkarin?

Menurut Jacques Lacan, hasrat adalah selalu tentang ‘hasrat yang-Lain’. Yang-Lain adalah istilah Lacan yang artinya adalah pusat dari sistem yang mengatur struktur bahasa. Hasrat selalu merupakan hasrat yang diinternalisasikan ke dalam kita melalui tuturan, nasihat, sindiran, ekspektasi—singkatnya, melalui bahasa. Sebagai contoh, si A menghasrati jalan-jalan ke Disneyland bukan karena Disneyland itu sendiri, melainkan karena kekinian yang terdapat dalam lingkungan pergaulan sosialnya yang menganggap jalan-jalan ke Disneyland itu ‘kekinian’. Padahal pergaulan sosialnya juga ke Disneyland karena dorongan hasrat tadi, dan seterusnya. Dengan kata lain, hasrat selalu bermain di ranah simbolik.

Jika remaja adalah sebuah fase pembentukan identitas, sedangkan pembentukan identitas terjadi karena dorongan hasrat, lalu hasrat itu sendiri adalah hasrat yang-Lain yang terstruktur secara simbolik, maka sejatinya si remaja ini senantiasa mengalami semacam represi hasrat. Si remaja selalu mengejar sesuatu yang tak lebih nyata ketimbang dirinya. Yang ketika sesuatu itu telah berhasil ia kejar dan ia tangkap, ternyata sesuatu itu tidak ada. Persis seperti Penyihir Jahat di kisah Snow White, yang selalu berusaha menjadi cantik, padahal yang ia kejar sebenarnya bukanlah sebuah kecantikan, melainkan pengakuan kecantikan dari Cermin Ajaib, yang ternyata kemudian terbukti bahwa kecantikan sejati ada di kebaikan hati Snow White. Sesuatu yang terus dikejar oleh hasrat inilah yang disebut Lacan sebagai ‘objek-a’, yang membuat subjek selalu salah mengira dan terasing.

Represi hasrat yang dialami si remaja ini terus berlangsung karena si subjek ini begitu narsistik, yaitu mengidap semacam hasrat tak sadar untuk memperoleh landasan bagi perasaan ke-diri-an yang utuh, supaya dapat dikenali, diterima, dan bahkan dicintai. Subjek sendirilah yang menginginkan, mendambakan, dan akhirnya menyerahkan dirinya pada ‘perbudakan’ otoritas simbolik. Si remaja hanya akan menjadi ‘ada’ selama ia tunduk pada hukum simbolik tersebut. Awkarin hanyalah gejala saja, dan selama formasi yang simbolik ini tak pernah runtuh, maka kaum remaja akan terus memunculkan Awkarin-Awkarin selanjutnya entah sampai kapan. Semakin remaja terus mencari yang ideal, maka semakin yang ideal itu tak pernah ditemukan.

Apa dan siapa yang kaum remaja cari sebenarnya tidak pernah jauh-jauh dari konstruksi ideal tubuh yang diciptakan oleh dunia industri yang kapitalistik. Dalam kebudayaan kapitalis, menurut Slavoj Žižek, hasrat apapun yang kita miliki selalu dikondisikan oleh kekuatan kapital. Sebagaimana telah dimisalkan Ndari, hasrat untuk menjadi seperti Awkarin tak lain adalah untuk melayani kepentingan industri yang dipasarkan oleh tubuh Awkarin. Mulai dari produk kosmetik, pakaian, sampai dengan profit yang diperoleh pemilik sosmed itu sendiri seperti Youtube sampai Ask FM. Kapitalisme ini lah yang menjadi biang keladi alias pemilik otoritas simbolik, yang terus merepresi hasrat remaja.

Kapitalisme memasang papan iklan dan boneka-bonekanya untuk menyebar mimpi dimana setiap orang berkesempatan untuk bisa menjadi cantik seperti si A, jalan-jalan seperti B, punya pacar seperti C, dan bergaya seperti D. Dan sialnya lagi orang-orang berlomba-lomba untuk membentuk identitas diri agar seperti A, B, C, dan D, atau bahkan ikut ambil bagian menjadi boneka dalam penyebaran mimpi itu. Identitas diri dalam masyarakat kapitalisme tidak lain adalah kesadaran palsu.

(Tulisan ini dimuat di OA Line Padepokan Li Ta Chao)

Daftar Bacaan

Alissa Quart, Belanja Sampai Mati, Resist Book, Yogyakarta, 2008.

Hizkia Yosie, Asal Usul Kedaulatan Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara, Penerbit Kepik, 2014.

http://indoprogress.com/2015/06/slavoj-zizek-dan-pembentukan-identitas-subjektif-melalui-bahasa/


















[1] https://inineracauan.wordpress.com/2016/07/22/tentang-karin-awkarin-novilda-line-dan-liverpool/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke