Oleh : Panji Mulkillah
Di hari itu inderawi massa demonstran menjadi saksi. Betapa anehnya pembuatan hukum di daerah ini. Perihal Perda yang sedang ramai dibacarakan itu, yaitu Perda Banyumas No.16 Tahun 2015 tentang Penyakit Masyarakat, ada banyak yang aneh di dalamnya. Ada pasal yang hilang, nomor yang loncat, tumpang tindih peraturan, dan masih banyak lainnya. Barangkali bukan kata “aneh”, tapi “cacat”, kata yang cocok menggambarkan Perda ini.
Tapi yang namanya membuat Perda itu pekerjaan sulit. Barangkali saja kecacatan itu terjadi karena komputernya rusak sewaktu di-print. Saya sebagai warga biasa pun tak mau su’udzon. Di benak saya, tidak mungkin pejabat pembuat Perda melakukan hal memalukan seperti itu. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya ke Bupati Banyumas, pada momen demonstrasi yang dilakukan Simalakama (Aliansi Masyarakat Menolak Perda Penyakit Masyarakat) Jumat 18 Maret kemarin. Bupati adalah yang turut mengesahkan Perda itu, melalui bubuhan tanda tangannya. Pastilah Bupati bisa menjawab pertanyaan saya, pikir saya pada waktu itu.
Saya bertanya. Kemudian Bupati menjawab. Dan jawaban Bupati kurang mengenakkan. “Mengenai hilangnya beberapa Pasal dalam Perda nanti kita bicarakan bersama DPRD, saya kan cuma tanda tangan, saya nggak baca semua,” tutur Bupati dengan nada meyakinkan. Saya hanya bisa terbengong, meski Bupati sangat terlihat percaya diri. Bukankah ini mengkhawatirkan sekali? Seorang kepala daerah yang dipilih oleh rakyat Banyumas, ternyata membuat Perda dengan cara serampangan seperti itu.
Pernah suatu hari saya membaca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan. Di situ diatur bahwa Pemerintah dalam membuat aturan, haruslah berdasarkan asas “kejelasan rumusan”. Itu ada di Pasal 5 huruf f. Hal ini berlaku pula tentunya bagi Perda tentang Penyakit Masyarakat. Tapi ternyata Bupati dan DPRD selaku pembuat Perda tersebut melanggar ketentuan ini. Pasal 9 loncat ke 11, Pasal 30 loncat ke 32, konsideran tidak sistematis, dan sebagainya.
Bagi saya, mengamen dan memberi uang ke pengemis maupun pengamen, tidaklah merugikan orang lain, pula bukanlah perbuatan jahat. Tidak pernah ada aturan sebelumnya yang mengkriminalisasi perbuatan tersebut. Oleh karenanya, saya jadi penasaran mengapa pembuat Perda menyantumkan ketentuan pidana pada pengamen. Saya berharap ada landasan filosofis maupun sosiologisnya. Kemudian Bupati dengan bijaknya menjawab, “Mengenai aturan pidana yang ada dalam Perda, kami mengikuti perda-perda lain yang sudah ada, kami kan tinggal copy-paste saja”. Ternyata sama saja jawabannya, sama-sama tidak mengenakkan.
Memang, ketentuan pidana tersebut hanyalah berupa pelanggaran (wetdelicten) dan bukan kejahatan (rechtdelicten). Tapi yang namanya tindak pidana tetaplah tindak pidana. Kalau menurut ahli hukum pidana Indonesia, Prof. Muladi, suatu perbuatan bisa menjadi tindak pidana jika mengandung nuansa pidana, jika memiliki suatu motif jahat. Nah, apakah mengamen dan mengemis mengandung nuansa pidana? Bisa jadi iya, tapi jika kita mau melihat secara utuh, maka sesungguhnya mengamen dan mengemis bukan masalah pidana, tapi masalah sosial ekonomi.
Tentu mengamen dan mengemis bukan cita-cita. Ada yang menjalaninya karena keterpaksaan, pula karena sudah menjadi kebiasaan. Keduanya adalah masalah sosial ekonomi yang tidak bisa diselesaikan dengan sanksi pidana. Bertahun-tahun bekerja di jalan meski berkali-kali menghadapi Satpol PP adalah bukti bahwa pentungan dan kurungan tidak memberi efek jera. Barangkali alangkah lebih baiknya ke depan perlu pembicaraan antara Bupati Banyumas, DPRD Banyumas, para pekerja jalanan, maupun akademisi yang mengerti tentang bagaimana seharusnya persoalan hukum dan sosial ini dipecahkan. Tentunya dalam suasana yang ilmiah, terbuka, dan tidak kabur dari tanggungjawab.
(Penulis adalah lulusan S1 Fakultas Hukum Unsoed)
Tulisan ini terbit di harian Satelit Post Purwokerto 22 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar