Gue lagi pengen bahas sesuatu yang agak serius. Tapi semoga dengan penyampaian gue yang (semoga) sederhana ini, yang serius pun bisa diselingin kudapan.
Jadi ceritanya ini berawal pas gue lagi curhat ama temen gue, namanya Kibe. Gue curhat tentang cewek yang lagi bikin gue penasaran (belum bisa dibilang suka, soalnya baru kenal). Jadi ceritanya si cewek ini jago olahraga. Nah, di sisi lain gue nggak jago olahraga sama sekali. Berhubung si Kibe ini atlit sepakbola, futsal, basket, dan taekwondo, maka wajar kalo gue cari info tentang cewek ini dari dia. Dan bener ternyata asumsi gue, bahwa si Kibe ini tau tentang cewek itu. Tapi sayangnya nggak kenal. Si Kibe ini bukannya ngasih solusi, eh malah ngetawain gue. Sebenernya bukan cuma Kibe sih yang ngetawain. Dari dulu pun orang-orang ngetawain gue gara-gara gue nggak suka dan nggak bisa main sepak bola. Tapi bukan ketawa ngerendahin, ya cuma ketawa aja.
Gue bilang deh ke Kibe dengan sebuah pengandaian. "Bayangin nih be, ada kos-kosan yang dihuni 3 mahasiswa. Si A, B, dan C. Ini peristiwa terjadi pas bulan puasa. Semuanya ini pada dasarnya males puasa. Tapi karena saling menghormati, akhirnya mereka puasa. Si A pikir dia bakalan ga enakan sama B dan C kalo ga puasa. Begitupun pula dengan B dan C satu sama lain. Jadinya, mereka puasa bukan karena keinginan sendiri."
"Trus hubungannya apaan?" tanya Kibe.
"Begitupun dengan gua Be. Gue tau sejak SD bahkan, kalo gue ngupdate tentang bola dan ikutan main sepak bole, itu ya biar ada temen main dan temen obrolan aja di sekolah. Persis kayak cerita ttg A,B, dan C di kos-kosan tadi. Tapi pas mulai masuk kuliah, gue udah tegaskan diri nggak mau melakukan sesuatu yang nggak gue ingin, dalam hal ini main bola. Berhubung semakin dewasa, akhirnya orang-orang makin menghargai pilihan masing-masing, akhirnya gue pun makin yakin untuk nggak terlibat dalam segala hal yang berurusan dengan sepak bola," ujar gue.
"Tapi tetep aja lo musti minimal ngikutin bola lah, kalo pengen punya bahan obrolan ama dia," kata Kibe.
Sampai akhir pembicaraan pun gue tetep bersikukuh untuk melakukan sesuatu karena gue ingin, bukan karena ikut-ikutan kayak contoh si ABC itu.
Oke pembicaraan gue ama Kibe selesai.
Tapi masih ada yang mengganjal di pikiran gue. Peristiwa mahasiswa ABC (kita sebut saja demikian) itu namanya apa ya? Karena gue rasa ini penting. Banyak orang melakukan hal sejenis ABC tadi, melakukan hal bukan karena dia ingin. Kayak semisal lagi, ada pertunjukkan stand up comedy. Si komikanya itu nggak lucu banget. Tapi orang-orang masih aja tepuk tanganin dia, meskipun terpaksa. Gue pernah iseng nanya ke yang tepuk tangan pas lagi ada suatu pertunjukan stand up, dan dia bilang, "gak apa apa, ikut-ikutan aja, lagipula kasian." Well, gue heran kenapa begitu murahnya dia kasih apresiasi ke itu orang.
Balik lagi. Ini namanya fenomena apa?
Akhirnya gue tanya ke temen 1 kontrakan gue, anak Sosiologi, namanya Oji. Katanya, itu adalah problem pilihan rasional. Dia pakai teorinya Weber. Tapi gue nggak setuju dengan hal ini. Yang gue tanya itu bukan alasan si individunya, melainkan fenomenanya.
Oji pun mengakui agak susah kalau ini bukan dibahas secara strukturalis. Lagipula, dia cuma punya contoh-contoh yang strukturalis. Semisal kenapa orang-orang masuk sekolah polisi pake sogokan segala, padahal kalau nggak nyogok pun masih bisa. Katanya Oji sih ya karena ada yang melanggengkan itu, yaitu birokrasi internal kepolisian. Itu kalo contoh yang struktural.
Tapi Oji punya pengalaman yang sama contohnya dengan ilustrasi mahasiswa ABC gue tadi. Jadi dulu Sosiologi 2011 sering ngadain futsal, buat ngerekatin persahabatan gitu deh. Tapi sebenernya nggak semuanya suka dan pengen main futsal. Tapi mau gamau futsal pun dipilih gara-gara ada 1 orang yang ngebet banget pengen futsalan sama Sosiologi 2011. Gue gatau namanya siapa, dan lagipula nggak penting juga sih menurut gue. Tapi sebut saja si X. Pada awalnya, futsal selalu berjalan. Tapi lama-lama pada cabut dan nggak pernah main futsal lagi. Gara-garanya, semua kemudian menyadari bahwa selama ini futsalan cuma sekedar nggak enakan sama si X tadi.
Hegemoni. Ah, kayaknya itu ada hubungannya sama hegemoni. Contoh kasus mahasiswa ABC misalnya. Mereka saling puasa karena ada hegemoni nilai-nilai religius yang sudah terlebih dahulu ada di masyarakat. Si A merasa mesti puasa biar keliatan religius oleh B dan C. Begitupun sebaliknya.
Sedangkan kasus futsalannya Oji misalnya, itu terjadi karena ada hegemoni yang dilakukan si X melalui serangkaian upaya-upaya persuasif dan propagandik.
Tapi ada yang berbeda.
Pada kasus futsalannya Oji, si X bertindak sebagai sang Hegemon (pihak yang memproduksi dan pereproduksi nilai hegemonik). Si X berusaha menjaga keberlangsungan nilai-nilai yang ia emban, kepada anak-anak Sosiologi 2011.
Sedangkan pada kasus mahasiswa ABC, sang Hegemon tidak terdapat pada naskah. Sang hegemon yang berupa penjaga nilai-nilai religius bukan si ABC, melainkan ustad, kyai, pendeta, santo, uskup, klerik, biksu, dukun, teolog dan sebagainya. Gue nggak bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi pada ABC tadi, tapi bisa ditebak mereka hanya akan puasa selama 1 minggu dan sisanya bolos puasa bersama.
Tapi tetep aja ada yang aneh.
Teori tentang Hegemoni dari Antonio Gramsci nggak pernah ngajarin hal-hal sepele kayak gini. Dia selalu berangkat dari analisis klas a la Marx. Bahwa ada dua macam klas yaitu klas yang yang berkuasa (rulling class) dan klas yang dikuasai (rulled class). Klas berkuasa bisa berlangsung karena menguasai alat produksi dan hubungan produksi ekonomi (basis struktur) dan juga perangkat represif dan ideologisnya seperti politik dan kebudayaan (super struktur). Nah kalau perangkat represif ini beroperasi dengan cara-cara kekerasan seperti segala hal yang berhubungan dengan senjata, pentungan, dan penjara, maka perangkat ideologis ini beroperasi dengan cara-cara non kererasan melalui propaganda, pendidikan, atau penanaman nilai budaya. Yang kedua itulah ranah hegemoni, yaitu upaya klas berkuasa untuk membuat klas yang dikuasai bisa sepakat dengan sistem yang berlangsung melalui cara-cara non fisik.
Tapi bicara tentang Gramsci, ini malah tambah aneh.
Apalagi kalau dikontekskan dengan masyarakat Indonesia. Coba deh kalo ngeliat rumah-rumah orang-orang Indonesia. Pasti ada aja stiker partai politik, ormas, atau tokoh tertentu di pintu atau jendela rumahnya. Atau juga di kendaraannya. Kalau dia itu adalah anggota organisasi politik, ya wajar. Kalau bukan?
Sama aja kayak pas lagi masa pemilu, trus kita nongkrong aja coba di warteg, warkop, terminal atau tempat publik apapun. Pasti ada aja deh orang-orang ngobrolin politik dan saling ngejagoin calonnya masing-masing. Kalau dia itu bagian dari tim sukses sih, wajar. Kalau bukan?
Kita pasti deh punya temen yang pas Pemilu 2014 ikutan jadi tim sukses Prabowo maupun Jokowi. Mereka nggak dibayar, ataupun dibayar tapi cuma palingan 100 ribu. Dan mereka keliatan aktif banget ngebela calon dan keyakinan politik yang mereka anut.
Contoh lagi. Di suatu desa ada dua mushola. Yang satu haluannya NU, yang satu Muhammadiyah. Kalo sampe terjadi ribut-ribut masalah agama, kita tau ini gara-gara apa. Tapi anehnya, di satu desa itu semuanya tani miskin (ya ada sih yang tani sedang, tapi ga ada yang tani kaya). Pasti di desa yang pernah kalian temui ada aja hal kayak gini.
Contoh lagi (biar banyak). Ada anggota ormas preman fasis reaksioner kanan yang suka narik jatah parkiran dan jatah pengamanan pasar. Nggak perlu sebut nama soalnya ormas kayak ini sebenernya nggak cuma satu jenis, tapi banyak banget. Kita bisa imajinasikan sendiri ormas apa ini. Coba kita fokus ke anggotanya. Satu aja. Kita ambil yang paling sering narikin jatah preman. Dia ini biasanya paling setia ama organisasi. Kalau ada perang rebutan lahan parkir lawan sesama ormas preman, dia biasanya mati duluan. Tapi anehnya mereka sama-sama miskinnya dengan klas pekerja lainnya. Mereka juga dihimpit harga sembako, biaya pendidikan anak, kesehatan, listrik, dan sewa rumah yang semakin mahal.
Di Indonesia banyak banget dan akan masih banyak lagi contoh kayak gini. Yaitu orang-orang yang membela keyakinan sesuatu yang padahal itu menyakiti dan merugikan dirinya sendiri. Apalagi di Indonesia banyak banget organisasi dengan berbagai keyakinan politiknya.
Gue nggak habis pikir kenapa orang-orang begitu murahnya menyerahkan diri mereka ke hal yang bahkan mereka tidak nikmati.
Kalo ini karena suatu kemiskinan, nggak juga. Gue punya kenalan. Dia ini kerja di perusahaan rokok. Yang jelas dia bukan pegawai atasan. Bisa dibilang menengah lah. Dia ini berpandangan liberal a la Partai Republiknya AS. Negara harus melindungi kepemilikan pribadi, bebas pajak, menyerahkan segalanya ke individu, dan sebagianya. Dia suka ngejelek-jelekin gerakan buruh (padahal dia sendiri buruh). Tapi gue nggak ngerti apa maksud dia. Dia ini nggak diuntungkan sama sekali dari pandangan politik yang ia anut, tapi masih aja dipertahanin. Kalo nantinya bakalan naik pangkat, toh kerja di perusahaan rokok nggak perlu punya pandangan politik liberal. Asalkan disiplin dan punya skill, pasti naik pangkat.
Jadi, di Indonesia ini ada banyak banget orang yang melakukan sesuatu bukan karena ingin. Ada pula yang melakukan sesuatu karena ingin berdasar keyakinan, tapi sebenarnya itu merugikan dirinya sendiri. Ada banyak banget hegemon-hegemon di Indonesia. Hampir semua orang terus mereproduksi suatu pandangan politik, begitu saja, dengan murahnya. Orang Indonesia itu gampang banget dibeli pandangan politiknya, dan murah, bahkan gratis.
Trus kalo pake teori Hegemoni Gramsci, ini jadi agak susah. Karena banyak hegemon yang bukan bagian dari klas yang berkuasa, tapi bukan melakukan konter hegemoni, dan malahan turut melanggengkan sistem juga. Contohnya ya hegemon di desa yang isinya tani miskin, preman yang setia membela nama baik ormas fasisnya, maupun para relawan atau tim sukses pas lagi pemilu. Padahal kalo pake Gramsci, yang namanya hegemoni itu ya erat kaitannya dengan klas yang berkuasa. Nah ini, berkuasa nggak, miskin iya, tapi mau-maunya jadi hegemon.
Ah
Akhirnya gue sama Oji nemu alat analisis yang tepat buat fenomena ini yaitu "Kesadaran Palsu" nya Marx. Karl Marx sebenarnya nggak pernah pake istilah kesadaran palsu dalam menjelaskan fenomena kesadaran kelas proletariat. Terma ini pertama kalinya muncul dalam tulisan Friedrich Engels, yakni dalam suratnya kepada Franz Mehring (14 Juli 1898) :
“Ideologi adalah sebuah proses yang dicapai dengan sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran palsu. Motif nyata yang mendorongnya sesungguhnya adalah sesuatu yang asing baginya; jika tidak demikian maka itu bukanlah sebuah proses ideologis. Makanya ia hanya membayangkan sesuatu yang palsu atau yang tampak permukaan saja. Karena ideologi ini adalah sebuah proses pemikiran, maka bentuknya berasal dari murni hasil pemikiran, apakah itu pemikirannya sendiri atau orang lain sebelum dirinya. Ia bekerja melulu dengan materi pikirannya, yang ia terima tanpa mengujinya sebagai sebuah produk pemikiran dan tidak menginvestigasi lebih lanjut demi kepentingan pemikiran independen yang lebih rinci; tentu saja ini adalah masalahnya sendiri, karena seluruh tindakan yang dimediasi oleh pikiran, pada akhirnya muncul padanya atas dasar pikirannya.”
Nah, itu dia. Bekerja melulu dengan materi pikiran yang ia terima tanpa mengujinya dan tidak diinvestigasi lebih lanjut. Inilah mungkin yang bisa merangkum serangkaian contoh dengan anasir-anasir yang berbeda satu sama lain, tapi memiliki substratum yang sama.
Gilak bahaya banget ini kesadaran palsu. Beruntung banget gue tau tentang hal ini. Jangan-jangan gue juga punya sejenis kesadaran palsu juga ya? Tapi semoga aja nggak.
Tapi ini sebenarnya belum bisa dibilang selesai. Darimana munculnya kesadaran palsu itu? Kenapa suatu kesadaran palsu bisa terus direproduksi? Kenapa direproduksi? Siapa yang mereproduksi? Bagaimana pula mengakhirinya? Yah, tulisan ini emang nggak bermaksud menjawab itu semua. Namanya juga random talk random post.
Bye ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar