Jumat, 20 Oktober 2017
Diskusi Hari Tani Nasional 2017 di FH Unsoed
Pada 28 September 2017, saya memenuhi undangan dari BEM FH Unsoed dkk untuk mengisi menjadi pembicara dalam Diskusi Publik memperingati Hari Tani Nasional 2017. Saya mewakili AGRA, disandingkan dengan Ahmad Nasih Lutfi (Akademisi STPN) dan Juli Krisdianto (Ketua DPRD Banyumas). Namun Juli berhalangan hadir dan digantikan oleh Jarot Setyoko (Staf Ahli DPR-RI). Karena waktu yang diberikan hanya terbatas, saya tak sempat memaparkan pokok-pokok materi saya. Postingan kali ini akan menuntaskan ketidaksempatan tersebut, meskipun saya rasa tulisan ini juga tidak lengkap karena bahan materi saya (yang tadinya mau disampaikan) memang tidak dibuat tertulis, sehingga mungkin sudah banyak yang lepas dari ingatan.
Pokok materi yang saya sampaikan dalam diskusi ini ialah, bahwa konflik agraria bukan sesuatu yang muncul secara alamiah. Konflik agraria merupakan suatu proses historis yang menandai suatu epos sosial. Ini menyanggah paradigma yang dianut pemerintah bahwa, "konflik agraria ada karena ketimpangan agraria, yang terjadi karena populasi manusia terus bertambah, sementara jumlah lahan tetap." Paradigma ini digunakan untuk melegitimasi keberadaan negara agar hadir untuk memberi keadilan sosial (semacam social justice warrior/SJW) kepada rakyat dalam hal alokasi sumber daya agraria. Paradigma tsb terbukti invalid karena faktanya ketimpangan terjadi karena adanya konsentrasi kepemilikan tanah alias monopoli tanah, yang kemudian memonopoli pula seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Yang ada malah, negara (sebagai alat klas) mempercepat proses perampasan tanah untuk monopoli tanah.
Kedua, monopoli tanah terjadi karena adanya pasar tanah atau spekulasi tanah. UUPA dan UUD45 mengamanatkan bahwa tanah ialah pemberian Tuhan YME bagi bangsa Indonesia. Relasi antara rakyat Indonesia dengan tanahnya bersifat lahiriah dan batiniah serta abadi sepanjang bangsa Indonesia masih ada. Namun sejak rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah melakukan serangkaian deregulasi terhadap berbagai peraturan-peraturan tentang agraria. Salah satu contoh yang paling krusial tentu saja ialah UU No 1 Tahun 1967 ttg Penanaman Modal Asing. Rezim ini menggeser pemaknaan relasi antara rakyat Indonesia dengan tanah. Tanah kemudian diperlakukan sebagai komoditi/properti yang tunduk pada mekanisme pasar. Kompetisi antar korporasi (baik itu korporasi milik swasta maupun korporasi milik negara) memuncak pada pembentukkan kartel, trust, dan sindikat mafia tanah yang memonopoli tanah dan kekayaan alam di Indonesia. Komite Nasional Pembaruan Agraria memaparkan bahwa dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 persen dikuasai korporasi kehutanan, 16 persen dikuasai korporasi perkebunan skala besar dan 7 persen dikuasai para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional.
Ketiga, monopoli tanah telah menghambat tenaga produktif rakyat yang selama ini bergantung pada tanah, yaitu kaum tani. Monopoli berdampak pada minimnya ketersediaan lapangan kerja di desa, sehingga tenaga produktif di desa kemudian menjadi buruh pabrik, dan buruh migran. Namun karena jumlah tenaga kerja yang terus membludak sementara pabrik tidak bisa menampung semuanya, maka hukum pasar memutuskan untuk menekan upah buruh, menerapkan sistem kerja outsourcing, menerapkan efisiensi jumlah buruh melalui PHK massal, dsb. Tidak sedikit kemudian tenaga kerja yang tersingkir dari dunia kerja, memasuki dunia kriminal. Kita lihat bahwa persoalan tanah bersifat multidimensi dan mengandung efek domino pada berbagai sendi-sendi kehidupan sosial.
Keempat, jalan keluar satu-satunya hanyalah reforma agraria sejati yang bertujuan menghapus sama sekali monopoli tanah, menghapus setiap norma dan institusi yang melanggengkan keberadaan mekanisme pasar atas tanah, dan melenyapkan watak klas negara yang mengabdi pada kepentingan imperialis, tuan tanah besar, kapitalis birokrat dan borjuasi besar komprador. Gunawan Wiradi menyatakan ada beberapa syarat untuk melaksanakan reforma agraria, yaitu adanya kemauan politik atas reforma agraria, data-data yang akurat, birokrasi yang bersih dan jujur serta terpisah dari urusan bisnis, dukungan dari militer, dan organisasi rakyat yang kuat. Agaknya syarat pertama sampai empat masih jauh dari capaian. Syarat yang saat ini paling mungkin disiapkan hanyalah membangun organisasi rakyat yang kuat, di sektor tani, buruh, pemuda, nelayan, masyarakat adat, dsb, yang dapat mendorong dan melaksanakan terwujudnya reforma agraria sejati. Konflik agraria bukan suatu fenomena alamiah, dia berawal dari suatu proses historis, dan oleh karenanya akan berakhir dalam suatu proses historis pula. Seperti apakah gambaran epos tersebut di kemudian hari? Generasi kita lah yang bisa menjawabnya.
Selasa, 17 Oktober 2017
Shock Doctrine Menurut Naomi Klein dalam Polemik Panas Bumi di Gunung Slamet
Tulisan ini bermaksud mengulas serangkaian peristiwa yang
baru-baru ini terjadi terkait dengan Penolakan atas Proyek PLTP di Gunung
Slamet, dan berbagai respon terhadapnya. Ulasan atas fenomena ini akan ditelaah
dari pemikiran Naomi Klein tentang Shock
Doctrine. Penulis menyarankan sebelum membaca tulisan ini agar terlebih
dahulu mengikuti perkembangan isu PLTP di Gunung Slamet, yang sudah disediakan
Selamatkan Slamet di akun media sosialnya, ataupun dengan mengikuti hashtag
#SelamatkanSlamet atau #SaveSlamet .
Tiga hari pasca aksi massa penolakan PLTP di Gunung Slamet
di depan Pemkab Banyumas (Tragedi 9 Oktober), muncul sebuah berita di Suara
Merdeka yang berjudul, Proyek PLTPB di
Gunung Slamet Jalan Terus. Muatan pada berita tersebut pada intinya ialah
bahwa Ditjen ESDM Kementerian ESDM tetap memutuskan bahwa proyek panas bumi di
Gunung Slamet harus tetap dilanjutkan karena merupakan proyek strategis
nasional, dalam rangka pemenuhan target listrik Jawa, Madura, dan Bali. Masalah
yang terjadi seperti air yang keruh dapat diatasi dengan penyediaan air bersih,
yang nantinya akan dilaksanakan oleh PT SAE selaku pelaksana proyek.
Dari sini kita sudah melihat bahwa pemerintah pusat dan
daerah sama sekali tidak serius dalam memahami persoalan utamanya. Jika mereka memahami,
seharusnya mereka tidak hanya melihat masalah PLTP di Gunung Slamet ini sebagai
masalah air keruh belaka. Di desa hutan dan pinggiran hutan, tanaman kaum tani
berkali-kali diserang satwa liar secara tidak lazim. Bukan hanya babi hutan
yang turun, tapi juga kera, kijang, bahkan beberapa kali melihat macan tutul. Tanaman
palawija dan pohon buah-buahan disikat. Bahkan pohon kayu albasia pun mati
karena pucuknya dimakan kera. Fenomena ini terjadi setidak-tidaknya di 5 desa
di 3 kecamatan di lereng selatan Gunung Slamet. Petani merugi . Masalah ini
tidak kalah pelik dibanding masalah air keruh yang dialami warga Kec. Cilongok.
Masalah satwa liar yang turun adalah bukti bahwa telah
terjadi defragmentasi habitat akibat penurunan kualitas ekosistem sebagai
dampak dari deforestasi yang dilakukan PT SAE pada masa eksplorasi panas bumi.
Kesimbangan alam goyah. Lokasi pengeboran terlalu dekat dengan wilayah
penduduk. Ditambah lagi, data dari Dinas ESDM Banyumas telah menunjukkan bahwa
lereng selatan Gunung Slamet merupakan Zona Merah Pergerakan Tanah yang
bersifat rawan bencana. Tanpa ada aktifitas apa-apa saja tanahnya sudah selalu
bergerak. Apalagi jika ada aktifitas seperti pembukaan lahan dan pengeboran,
maka bencana seperti longsor dan banjir bandang sangat mungkin terjadi.
PT SAE pun ternyata dalam prakteknya tidak melakukan
kewajiban seperti yang sudah tertera di dalam Izin Lingkungannya. Adapun Izin
Lingkungan yang berdasarkan pada Rekomendasi Badan Lingkungan Hidup Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah Nomor : 660.1/BLH.II/1374, telah memerintahkan kepada PT
SAE untuk, “Melakukan sosialisasi rencana
kegiatan kepada masyarakat sebelum kegiatan eksplorasi panas bumi
dilakukan.” Apakah kewajiban ini sudah ditunaikan? Faktanya berdasarkan
hasil riset dari Lembaga Kajian Banyumas FISIP Unsoed, sosialisasi dilakukan
pada akhir tahun 2016 di desa-desa di Banyumas bagian lereng selatan Gunung
Slamet, yang artinya ketika tahap eksplorasi sedang berlangsung. Sosialisasi
pun kebanyakan baru terlaksana ketika dampak air keruh sudah terjadi.
Sebelumnya, masyarakat hanya mengerti bahwa akan dibangun jalan tol dan jalan
wisata dari Kaligua ke Baturraden.
Beberapa fakta-fakta di atas merupakan bukti kecil bahwa
proyek PLTP di Gunung Slamet ini cacat dari segi perencanaan maupun pelaksanaan.
Tentu masih banyak fakta-fakta lain yang takkan cukup untuk dibahas semuanya di
sini. Namun jika pembaca ingin mengetahui, silakan unduh saja kajian dari
Aliansi Selamatkan Slamat sebagaimana sudah diunggah di media sosial mereka.
Sebagai proyek strategis nasional, pembangunan PLTP di
Gunung Slamet akan terus dipertahankan mati-matian oleh pemerintah. Apalagi
mengingat masa eksplorasi proyek ini akan berakhir pada April 2018. Maka metode
apapun akan digunakan oleh pemerintah, sepanjang itu bisa mencapai tujuannya. Salah
satu metode yang digunakan oleh pemerintah dalam melanggengkan proyek ini ialah
melalui Shock Doctrine.
Shock Doctrine Menurut Naomi Klein
Shock Doctrine,
atau Doktrin Syok adalah kajian yang ditulis oleh Naomi Klein dalam bukunya The Shock Doctrine pada tahun 2007 dan
diangkat kembali dalam bukunya yang terbaru No
is Not Enough : Resisting Trump’s Shock Politics and Winning The World We Need pada
2017. Klein meneliti fenomena selama
4 dekade, bahwa pemerintahan sayap kanan senantiasa menggunakan taktik yang
brutal secara berulang setelah adanya kejadian yang membuat syok masyarakat,
semisal perang, kudeta, serangan teroris, jatuhnya bursa saham, atau bahkan
bencana alam. Kemudian pemerintah akan memanfaatkan momen itu untuk menerbitkan
kebijakan yang menguntungkan pihak elit maupun mengkebiri hak-hak sipil. Setiap
momen krisis apapun dapat mengubah peta politik dalam semalam. Namun Klein juga
mengamati bahwa taktik ini dapat dilawan. Klein menggambarkan ada 5 hal yang
dapat dilakukan untuk melawan taktik Doktrin Syok.
Pertama, ketahui apa yang akan datang. Ketika ada suatu
kebijakan sedang disiapkan untuk melancarkan agenda tertentu, maka segala
potensi yang dapat menghalangi agenda tersebut akan dilenyapkan. Dalam temuan
Klein pada kasus teror di Manchester dan Paris misalnya. Pasca peristiwa
tersebut, pemerintah menganggap negara dalam situasi darurat sehingga merasa
perlu untuk meningkatkan keamanan seperti adanya jam malam, anjuran untuk
segera pulang, dsb. Pengekangan atas demokrasi menjadi dibenarkan untuk menjaga
stabilitas. Bahkan jika itu bukan karena teror bom pun, pemerintah juga akan
melakukan pengekangan demokrasi jika itu dianggap ancaman nasional. Aksi massa
dengan memblokade bandara sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Trump yang
melarang kaum Muslim masuk ke Amerika adalah salah satu contohnya. Massa aksi
tentu akan menjadi sasaran tangkap dan pembatasan atas hak-hak sipil akan
dilakukan melalui berbagai aturan. Ketika seseorang sudah bisa mengira atas
peristiwa semacam ini, maka ia tidak akan terkejut.
Kedua, keluar rumah dan abaikan larangan. Manakala
pemerintah menyuruh warganya untuk tetap di rumah supaya tetap aman, maka
abaikan. Di Argentina, ketika negara sedang krisis ekonomi, Presiden Fernando
de la Rua mengumumkan bahwa negara sedang dalam keadaan darurat, sehingga
setiap warga negara diperintahkan untuk tetap di rumah. Namun kemudian rakyat
Argentina merespon itu dengan turun ke jalan. Tak lama kemudian, Fernando de la
Rua mengundurkan diri.
Ketiga, pelajari sejarah bangsamu. Doktrin Syok senantiasa
berulang meskipun telah berkali-kali ganti rezim. Kita dapat mengantisipasi apa
yang terjadi jika kita mempelajari sejarah.
Keempat, ikuti aliran uangnya. Ketika kekacauan berlangsung,
pasti ada segelintir pihak yang diuntungkan. Telusurilah siapa elit yang
mengambil kesempatan dan kesempitan itu. Sadarkan massa untuk kembali ke
persoalan yang utama.
Kelima, bangun rencana tandingan. Jika sejarah bisa
berulang, maka sejarah pun bisa diciptakan. Keempat rencana sebelumnya hanyalah
upaya defensif dan antisipatif untuk mengungkap krisis yang tengah berlangsung.
Apa yang kemudian perlu dilakukan ialah menyusun agenda untuk perjuangan ke
depan untuk tatanan kehidupan alternatif yang lebih baik.
Doktrin Syok pada Isu
PLTP di Gunung Slamet
Tragedi 9 Oktober, yaitu pemukulan, perampasan
barang-barang, dan penangkapan sejumlah massa, adalah respon yang diberikan
pemerintah atas aksi penolakan PLTP di Gunung Slamet. Bagi beberapa aktivis
yang terbiasa meladeni aparat dalam setiap aksi massa, ini adalah pertama
kalinya di Purwokerto ada aksi damai yang direspon dengan represifitas aparat.
Saya bisa bilang itu aksi damai karena memang tidak ada rencana untuk bentrokan
pada waktu itu dari panitia aksi. Yang kami persiapkan malahan agenda sholawat dan Panggung Kebudayaan untuk
mengisi jadwal aksi massa. Jelas sudah pada waktu itu massa aksi mengalami
syok.
Sesaat sebelum saya ditangkap, saya dengar ada salah satu
petugas yang menginstruksikan begini kepada anak buahnya, “Itu dia yang tadi
siang, tangkap.” Salah seorang teman saya dari warga yang terdampak pun bahkan
tangannya retak kena pentungan polisi, pada saat dia sudah mengendarai sepeda
motor untuk kabur. Aparat itu bilang, “Cepat pulang!” kepada teman saya. Saya
mengamati bahwa represifitas ini dilakukan secara terencana. Apa sebenarnya
rencana mereka? Tiga hari pasca Tragedi 9 Oktober, muncul sebuah berita di
Suara Merdeka yang berjudul, Proyek PLTPB
di Gunung Slamet Jalan Terus. Ditjen ESDM Kementerian ESDM tetap memutuskan
bahwa proyek panas bumi di Gunung Slamet harus tetap dilanjutkan karena
merupakan proyek strategis nasional, dalam rangka pemenuhan target listrik
Jawa, Madura, dan Bali. Inilah Doktrin Syok.
Massa aksi telah menciptakan instabilitas karena menyerang
proyek strategis nasional. Represifitas adalah balasannya. Wartawan bahkan ikut
kena sasaran amuk aparat. Dan di saat orang-orang merasa syok, Pemerintah Pusat
mengambil kesempatan itu untuk memutuskan bahwa proyek tetap dilanjut. Padahal
pada 5 Oktober Bupati telah mengirim Surat Rekomendasi kepada Gubernur agar
pengerjaan proyek PLTP di Gunung Slamet dihentikan sementara dan dievaluasi
ulang. Namun Pemerintah Pusat tidak mengindahkan surat dari Bupati karena itu
akan menghambat pelaksanaan proyek ini. Doktrin Syok bekerja.
Sehari setelah Tragedi 9 Oktober, massa melakukan aksi
respon cepat. Ribuan orang berpartisipasi untuk menunjukkan solidaritas pada
korban kekerasan negara, sekaligus mengecam tindakan represif aparat. Tanpa
disadari, massa melakukan anjuran Naomi Klein yang kedua, yaitu abaikan larangan dan turun ke jalan. Hanya saja yang
kurang perhatian dari aksi ini adalah tidak ada yang menyadari bahwa pada saat
Bupati, Polres, dan massa aksi sedang saling bersitegang, PT SAE dan Pemerintah
Pusat sedang duduk di atas menertawakan keadaan. Saya pribadi pun sedang dalam
keadaan tidak berkutik karena tubuh penuh lebam dan kehilangan alat komunikasi
karena disita aparat.
Saat ini, berita bahwa proyek PLTP di Gunung Slamet terus
berjalan sudah mulai menyebar. Yang membaca berita itu tentu merasa kecolongan.
Naomi Klein menunjukkan jalan bahwa yang perlu dilakukan saat ini ialah kembali
ke persoalan utama dan bangun rencana tandingan. Karena hanya dengan cara
demikianlah, massa akan dapat menciptakan sejarah.
Tulisan ini dimuat juga di :
https://www.kompasiana.com/panjimulkillah/59e0c55f9a0ff438051dc972/shock-doctrine-menurut-naomi-klein-dalam-polemik-panas-bumi-di-gunung-slamet
Jumat, 22 September 2017
Minggu, 17 September 2017
Bekerjanya Hukum dan Perubahan Sosial
Bekerjanya hukum menurut Lawrence M.
Friedman dapat dilihat dari 3 hal :
1. Legal Substance, yaitu substansi
hukum, berupa peraturan perundang-undangan.
2. Legal Structure, berupa aparat yang
menegakkan legal substance
3. Legal Culture, yaitu masyarakat yang
mematuhi legal substance yang ditegakkan oleh legal structure
Jika salah satu dari tiga aspek tidak
berjalan, maka hukum tidak bekerja. Sejarah mengkonfirmasi teori ini secara
positif. Di jalan raya, wajib hukumnya pengendara motor roda dua menggunakan
helm. Tapi jika kamu sudah tau jadwal razia yang kosong, kamu bisa saja tidak
mengenakan helm. Polisi sedang tidak ada, kamu melaju bebas tanpa helm. Legal
structurenya tidak berjalan. Hukum tidak bekerja.
Dulu ada yang namanya UU Badan Hukum
Pendidikan (BHP), yang melegitimasi adanya Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik
Negara (PTBHMN). Kampus bisa otonom mencari uang sendiri, yang tidak perlu
disetor ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Legal
structure sudah pada siap dari jajaran Menteri, Dikti, hingga kampus. Lalu ada
warga negara yang menggugat peraturan tentang hal tersebut ke Mahkamah
Konstitusi. Warga menang. UU BHP dicabut. Legal substance hilang. Hukum tidak
bekerja.
Ada pasal tentang judi di KUHP. Tapi
pasal tersebut tidak bekerja di masyarakat yang memang sudah turun temurun main
judi, dan dianggap sebagai ritual tradisi. Pasalnya ada, polisinya ada, tapi
masyarakat tidak mematuhi keduanya. Legal culture tidak berjalan. Hukum tidak
bekerja.
Banyak anak muda zaman sekarang alias
kids zaman now ingin mengubah masyarakat Indonesia, dengan cara masuk ke
pemerintahan, untuk memperbaiki sistem. Mereka ingin memperbaiki legal
substance dan legal structure suatu negara. Menurut saya ini hal yang baik,
tapi sayangnya lebih banyak nirfaedahnya karena tidak efektif dan tidak
efisien.
Diantara ketiga faktor bekerjanya hukum
tadi, yang manakah yang paling menentukan? Mari kita uji.
Pertama pada kasus legal structure yang
tidak berjalan pada kasus di pengendara motor di jalan raya. Tidak semua warga
negara tidak taat pada hukum. Malah kebanyakan kalau urusan di jalan raya,
kebanyakan pada taat hukum dalam hal mengenakan helm. Walaupun legal
structurenya tidak ada, masyarakat pasti masih ada yang patuh. Bahkan tidak
jarang masyarakat masih mengingatkan satu sama lain untuk mematuhi peraturan,
meski sedang tidak ada aparat yang bekerja. Artinya hukum masih bekerja, hanya
saja tidak optimal.
Kedua pada kasus UU BHP. Memang ketika
UU tidak ada, aparat tidak bisa bekerja. Tapi kemudian sejarah membuktikan
pasca UU BHP dicabut, lahirlah UU Pendidikan Tinggi (Dikti) yang memiliki
semangat yang sama dengan UU BHP yakni liberalisasi pendidikan. Malahan UU
Dikti bisa dibilang telah sukses menambal kecacatan-kecacatan di UU BHP. Di
bawah kondisi negara yang dapat akrobat hukum seenaknya karena pemerintahannya
dikuasai oleh kelompok-kelompok politik yang elit, legal substance bisa dibikin
berkali-kali. Kasus serupa juga terjadi di konflik agraria di Kendeng.
Ketiga pada kasus judi. Meski ada
peraturan dan ada aparat penegak hukum, kalau masyarakat tidak patuh pada
keduanya maka hukum tidak bekerja. Bahkan secara tidak langsung, masyarakat
telah membentuk hukumnya sendiri. Ternyata faktor ketiga ini yang paling
menentukan.
Cicero pernah berkata, "Ubi
societas ibi ius," yang artinya dimana ada masyarakat di situ ada hukum.
Masyarakat telah ada mendahului hukum dan aparat penegaknya. Masyarakatlah yang
membentuk keduanya.
Hari ini kita sudah sama-sama sudah
menyaksikan berbagai aturan yang tumpang tindih dan sering bongkar pasang
akrobat hukum mengikuti pemodal dan penguasa. Para pembuat kebijakan dan
penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang demi kenaikan karir dan meraup
celah-celah kebocoran anggaran negara yang kemudian dikorupsi. Tanda-tanda
krisis bekerjanya hukum sudah dekat. Tidak ada yang bisa ditambal sulam lagi.
Hanya jika masyarakat sudah tidak lagi mematuhi hukum beserta penegak hukumnya,
maka kemudian akan lahir masyarakat yang baru yang meniadakan hukum dan
pemerintahan yang lama. Sistem yang lama berganti dengan sistem yang baru.
Sabtu, 09 September 2017
Perjuangan Klas dan Psikoanalisis Proletar
Proletariat dilahirkan dari rahim
sistem kapitalisme, atas usaha klas borjuasi dalam revolusi borjuis, revolusi
industri, enclosure, dan kolonialisme. Oleh karenanya, borjuasi mengenal betul
keberadaan klas proletar. Borjuasi, meski senantiasa berkompetisi satu sama
lain, mereka memiliki hukum tak tertulis yang sama-sama mesti dipatuhi, yaitu
eksploitasi nilai lebih dari curahan kerja proletar.
Akan tetapi, proletariat belum tentu
mengenal borjuasi sebagai sebuah klas, yang beriringan dengan ketidaktahuannya
atas dirinya sendiri sebagai sebuah klas. Proletariat dan borjuasi masih
dianggap sebagai dua kategori yang saling berkontradiksi namun saling
mengandaikan, atau dalam istilah Hegel mengandung relasi internal. Anggapan ini
bukan saja diamini oleh intelektual kelas menengah ngehek saja, tapi bahkan
dalam beberapa hal diamini juga oleh proletariat.
Engels menerangkan bahwa itulah
bagaimana cara ideologi bekerja :
“Ideologi adalah sebuah proses yang
dicapai dengan sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran
palsu. Motif nyata yang mendorongnya sesungguhnya adalah sesuatu yang asing baginya;
jika tidak demikian maka itu bukanlah sebuah proses ideologis. Makanya ia hanya
membayangkan sesuatu yang palsu atau yang tampak permukaan saja. Karena
ideologi ini adalah sebuah proses pemikiran, maka bentuknya berasal dari murni
hasil pemikiran, apakah itu pemikirannya sendiri atau orang lain sebelum
dirinya. Ia bekerja melulu dengan materi pikirannya, yang ia terima tanpa
mengujinya sebagai sebuah produk pemikiran dan tidak menginvestigasi lebih
lanjut demi kepentingan pemikiran independen yang lebih rinci; tentu saja ini
adalah masalahnya sendiri, karena seluruh tindakan yang dimediasi oleh pikiran,
pada akhirnya muncul padanya atas dasar pikirannya.”
Keterasingan proletariat atas
keberadaan klasnya sendiri merupakan konsekuensi langsung dari corak produksi
kapitalis yang mengasingkan proletar dari keseluruhan proses produksi, melalui
pembagian kerja (division of labour) yang menyudutkan proletar satu sama lain
di bawah satu atap rantai produksi yang sama, sehingga proletariat hanya perlu
mencurahkan kerja abstraknya saja (kerja tak berkeahlian yang hanya dihitung
kuantitasnya). Situasi ini memungkinkan terjadi karena relasi tersebut terus
disegel oleh borjuasi atas nama kepemilikan pribadi. Komoditi yang dihasilkan
dianggap otonom dan memiliki logika pasarnya sendiri, terpisah dari curahan
kerja dalam proses produksi. Inilah fetisisme komoditi, yang berimplikasi pada
keterasingan proletar, yang merupakan 'ideologi' yang pertama kali dikenalkan
kepada proletar sejak dalam rahim proses produksi kapitalis.
Dalam kamus Lacanian, borjuasi dengan
demikian telah mengabjeksi proletar. Bagi borjuasi, dirinya adalah Subjek,
sedangkan proletar adalah Yang Lain. Sedangkan bagi proletar, dirinya ialah
Subjek yang tak utuh alias senantiasa kurang (lack). Proletarisasi ialah fase
Imajiner yang membelah diri dan citra diri proletar. Sedangkan proses produksi
kapitalis sebagai tatanan Simbolik yang dikondisikan oleh Yang Lain-Besar.
Proletariat terjerembab dalam lubang hasrat, berharap bisa naik kelas, naik
haji, naik mobil mewah, dan menghasrati hal-hal lainnya. Yang pada akhirnya
yang ia hasrati ternyata ialah hasrat yang telah disituasikan oleh Yang
Lain-Besar, ia menghasrati objek petit-a. Jika sudah demikian, bagaimanakah
proletariat dapat menemui yang Riil? Atau dengan kata lain menemui emansipasi
atas seluruh tatanan simbolik?
Ada pepatah dari Perancis pada saat
peristiwa Mei 68, "Bos butuh kamu, kamu tidak butuh bos." Memang
pepatah tersebut benar adanya. Meski proletariat ialah anak dari rahim sistem
kapitalisme, akan tetapi kapitalisme itu sendiri pada gilirannya merupakan
sesuatu 'Yang Lain' bagi proletar. Bagi kapitalis, uang, bahan baku, tanah, dan
mesin merupakan kapital konstan, sedangkan curahan kerja proletar merupakan
kapital variabel. Artinya hanya melalui curahan kerja proletar-lah, kapitalis
dapat memperoleh pertambahan nilai. Hal ini dikarenakan kapital konstan tidak
dapat menambah nilai pada dirinya sendiri, tidak dapat mengerjakan dirinya
sendiri. Proletariat adalah titik gravitasi bagi keseluruhan proses dan rantai
produksi kapitalis, hanya saja, mereka belum menyadarinya.
Dengan kata lain, proletariat mesti
mengabjeksi balik borjuasi. Memperlakukan klas borjuasi dan kapitalisme sebagai
sesuatu yang-Lain, atau me-Liyan-kannya. Akan tetapi, metode yang dilakukan
proletar sama sekali berbeda dengan yang dilakukan borjuasi. Klas proletar
melenyapkan keseluruhan belenggu relasi internal yang dianggap saling
mengandaikan tadi. Ketika relasi internal tadi melenyap, eksistensi proletar
maupun borjuasi sebagai klas pun ikut melenyap. Dan itulah yang disebut
masyakat tanpa klas, momen dimana proletariat telah menemukan, dalam istilah
Lacan, 'Yang Riil'.
( Pada bagian selanjutnya merupakan jawaban untuk @Symphati Dimas R dan
@ahmad sucipto dalam komentar di tulisan saya di
https://timeline.line.me/post/_dY_25uMy4_Kmuu1cbOBNc-R30qEWJZwlEHw4nwk/1150494574703015865 )
Abjeksi dalam kajian Julia Kristeva
awalnya memang diperuntukkan dalam medan problematisnya sendiri, yaitu perihal
relasi antara anak perempuan dengan ibunya. Akan tetapi konsep abjeksi pada
gilirannya dapat digunakan untuk berbagai hal. Sarah Salih dalam On Judith
Butler Performativity mengatakan bahwa abjeksi juga digunakan untuk menjelaskan
perihal kelompok-kelompok yang termarjinalisasi seperti kaum perempuan, kaum
penganut kepercayaan minoritas, pekerja seksual, dan penyandang disabilitas.
Tapi siapapun sasaran kajiannya, abjeksi dapat dimengerti sebagai kebalikan
dari subjeksi. Jika subjeksi ialah pembentukkan citra diri, maka abjeksi ialah
pelepasan citra diri. Saya menginterpretasikan relasi antara proletar dan
borjuis dengan konsep abjeksi ini.
Entah bisa atau tidak, saya hanya
mengembangkan konsepnya untuk medan problematis yang saya utarakan. Tapi
sejarah mengkonfirmasi hal ini secara positif, bahwa tanpa abjeksi, niscaya proletariat
akan terus membutuhkan borjuasi (bahkan jika itu adalah borjuasi di dalam
Partai Komunis, seperti kasus revisionisme modern-nya Deng Xiao Ping di
Tiongkok). Salah satu tolak ukur bahwa proletariat telah menyubjeksi dirinya
dan mengabjeksi borjuasi, ialah diterimanya filsafat materialisme dialektis
sebagai pandangan dunia proletar sebagai prasyarat epistemologis untuk
melenyapkan relasi internal borjuis-proletar. Atau dengan kata lain,
proletariat mesti membangun kesadaran klas untuk perjuangan klas.
Sebenarnya sesederhana itu. Tapi seolah
dibuat rumit karena saya bermaksud meninjau probem ini dari segi psikoanalisis,
yang selama ini dipandang sebagai kajian yang nirfaedah bagi perjuangan klas.
Saya membuktikan sebaliknya dengan melampaui batas dari medan problematisnya.
Di bawah rejim Jokowi, klas proletariat
baik itu di kota maupun di desa, baik itu yang sedang bekerja maupun akan
bekerja, semuanya sedang menjadi subjek yang mengalami kontingensi. Kemiskinan
dan perampasan tanah yang semakin akut di desa-desa mendorong tenaga
produktifnya terseret gelombang proletarisasi. Nasib tani gurem maupun buruh
tani pun tak jauh beda di bawah tindasan setengah feodal yang berkelindan
dengan setengah jajahan, yang makin lama makin kehilangan pandangan dunianya
sendiri. Terjadilah apa yang disebut Marx sebagai penaklukkan kota atas
desa-desa. Di bawah payung PP 78, proletariat semakin dianggap sebagai yang
Lain (The Other). Hal ini dapat dilihat dari mekanisme kenaikan upah minimum
yang mesti disesuaikan dengan tingkat inflasi. Keterlibatan buruh dalam
menentukan nasibnya sendiri bahkan semakin dibatasi. Pemerintah melipatgandakan
alienasi yang dialami buruh. Kini proletariat tak hanya teralienasi di dalam
proses produksi, tapi juga teralienasi sebagai warga negara.
Proletariat di Indonesia sebagai negeri
setengah jajahan dan setengah feodal bukan merupakan klas yang mayoritas.
Mereka membutuhkan banyak sekali sekutu antara lain dari golongan borjuasi
kecil, serabutan-pengangguran (cadangan
tentara industrial yang dikenal sebagai semi proletar), bahkan suku adat
minoritas dan elemen-elemen demokratik lainnya. Sialnya, keberagaman klas ini
mau tidak mau meniscayakan adanya keberagaman ideologi yang lahir dari cara
produksinya masing-masing yang kecil, berdiri secara sendiri-sendiri, dan
bahkan saling berkompetisi. Kompetisi antar cara produksi ini dalam banyak
kasus berujung pada konflik identitas, seperti konflik suku, agama, dan ras.
Mereka saling mengabjeksi satu sama lain dan mengabsolutkan citra dirinya sendiri.
Kamis, 31 Agustus 2017
Akrobat Hukum Pada Proyek PLTP Baturraden di Gunung Slamet
AKROBAT
HUKUM PADA PROYEK PLTP BATURRADEN DI GUNUNG SLAMET[1]
Tulisan ini disusun setelah PT Sejahtera
Alam Energy (SAE) ingkar janji dengan masyarakat, karena tidak mampu beradu
data secara ilmiah, pada acara Seminar di Auditorium Faperta Unsoed 24 Juli
2017. Gagasan utama dari tulisan ini ialah bahwa Gunung Slamet sedang diambang
kerusakan ekosistem dan ancaman bencana, karena kacaunya perencanaan proyek panas bumi dari berbagai aspek. Kacaunya perencanaan ini dilegitimasi oleh
hukum yang terus diotak-atik oleh pemerintah selaku aktor pertunjukkan akrobat
hukum.
Tentang
Akrobat Hukum
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, akrobat hukum ialah putusan yang berubah-ubah secara mendadak dalam
persoalan yang sama dan sering terjadi cabut-mencabut atau ralat-meralat suatu
putusan atau kebijakan. Saya pertama mendengar istilah akrobat hukum pada kasus
konflik agraria dan lingkungan antara PT Semen Indonesia melawan warga Kendeng.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia yang diterbitkan melalui SK
Gubernur Jateng telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Tapi, Gubernur Jateng
Ganjar Pranowo menerbitkan izin baru bagi PT Semen Indonesia sehingga
penambangan berlanjut lagi. Adanya akrobat hukum ini bertentangan asas
kepastian hukum. Menurut Lon Fuller dalam Morality
of Law, ada 8 asas kepastian hukum :
- Hukum
tidak boleh berdasarkan pada putusan-putusan sesaat untuk hal-hal
tertentu, melainkan harus memiliki sistem hukum;
- Peraturan
tersebut diumumkan ke publik;
- Tidak
berlaku surut;
- Dibuat
dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
- Tidak
boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
- Tidak
boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
- Tidak
boleh sering diubah-ubah;
- Harus
ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari
Tanpa ada kepastian hukum, maka tak ada
kepastian bagi penegak hukum untuk menjalankan suatu peraturan, tak ada
kepastian pula bagi warga negara untuk mematuhi suatu peraturan. Hukum tidak
bekerja. Fenomena akrobat hukum ini merupakan penghinaan terhadap hukum itu
sendiri.
Fenomena akrobat hukum ini juga
terdapat pada kasus konflik agraria dan lingkungan, antara masyarakat Lereng
Gunung Slamet melawan perusahaan panas bumi PT SAE. Mari kita ulas sama-sama
akrobat hukum kolaborasi antara pemerintah dengan PT. SAE.
Menyaksikan
Akrobat Hukum Pembangunan PLTP Baturraden di Gunung Slamet
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 27
Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
tadinya dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan. Karena merupakan
pertambangan, maka kegiatan pertambangan Panas Bumi tidak boleh dilakukan di
hutan lindung. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa, “Pada kawasan hutan lindung dilarang
melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.” Yang dimaksud
penambangan terbuka (surface mining)
artinya penambangan tersebut dilakukan di atas permukaan tanah, ini lain dengan
penambangan tertutup dimana yang perlu membuat terowongan untuk menjangkau
deposit di dalam bumi. Kegiatan pertambangan panas bumi merupakan penambangan
terbuka, sehingga ia terikat oleh ketentuan ini. Hutan lindung dilarang untuk
dilakukan aktifitas pertambangan karena hutan lindung memiliki fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang
Kehutanan. Jika dilakukan pertambangan, maka kerusakan ekosistem akan terjadi.
Kepmen ESDM Nomor 1557.K/30/MEM/2010
menetapkan Gunung Slamet sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) dengan luasan
24.660 hektar. Kemudian pada 11 April 2011, PT SAE mendapat Izin Usaha
Pertambangan (IUP) berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 541/27/2011. Dari sini
sudah lahir suatu pelanggaran atas ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Kehutanan
tentang larangan melakukan penambangan di hutan lindung.
UU Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas
Bumi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 dengan judul
yang sama. Di sini terjadi perubahan besar atas konsep kegiatan panas bumi yang
tadinya merupakan pertambangan, menjadi kegiatan jasa lingkungan. Karena bukan
merupakan pertambangan, maka kegiatan panas bumi dapat dilakukan di hutan
lindung melalui izin pinjam pakai kawasan hutan. Sungguh gerakan akrobatik yang
tak terduga. Namun pertunjukkan belum berhenti, masih ada atraksi yang tak
boleh anda lewati.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Nomor
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) ,
yang dimaksud analisis
mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian
mengenai ‘dampak
penting’ suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Adapun yang dimaksud
dengan Dampak Penting menurut
Pasal 1 angka 5, adalah
perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu
Usaha dan/atau Kegiatan. Kriteria dampak penting berdasar penjelasan
Pasal 3 ayat (1) terdiri atas:
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak
rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
b. Luas wilayah penyebaran dampak;
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak;
e. Sifat kumulatif dampak;
f. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. Kiteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Adapun dalam sebuah usaha yang tidak memiliki dampak penting, maka usaha
tersebut hanya diwajibkan menggunakan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Sebagai sebuah kegiatan di
hutan lindung yang memiliki dampak penting, maka kegiatan panas bumi termasuk
kategori wajib Amdal. Salah satu yang menjadi ciri perbedaan UKL-UPL dan Amdal
ialah pada proses pengesahannya. UKL-UPL dapat terbit tanpa memerlukan
partisipasi dari masyarakat, sedangkan Amdal memerlukan partisipasi masyarakat,
akademisi, dan bahkan diuji terlebih dahulu dalam Sidang Amdal.
Tapi Menteri Lingkungan Hidup kemudian
menerbitkan PermenLH Nomor 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Pada
Pasal 3 ayat (4), diatur bahwa eksplorasi pertambangan Panas Bumi dikecualikan
dari wajib Amdal. Adapun pada pertambangan Panas Bumi, Amdal diwajibkan ketika
proses eksploitasi. Padahal dalam sebuah kegiatan Panas Bumi, tahap eksplorasi
merupakah tahap yang perusakan lingkungannya paling destruktif karena
memerlukan pembabatan hutan lindung, untuk pembangunan jalan, pipa, dan landasan
sumur (wellpad). Di Gunung Slamet
sendiri, tahap eksplorasi ini membutuhkan 675,7 hektar lahan yang diperoleh
dari pembabatan hutan lindung. Melihat dari daya kerusakannya, apakah memang
proses ekplorasi ini tidak dianggap memiliki dampak penting? Akrobat hukum
barusan menunjukkan kebolehannya dalam otak-atik aturan.
Selanjutnya ialah perihal masa
eksplorasi. Adapun eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi
penyelidikan geologi, geofisika, geokimia,pengeboran uji, dan pengeboran sumur
eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah
permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan Panas
Bumi.Eksplorasi itu ibarat menyicipi makanan, hanya mengambil sebagian kecil
saja untuk sekedar mengetahui rasa dan tekstur makanan. Kalau menyicipinya
terus-terusan, itu namanya makan besar. Inilah kenapa eksplorasi memeiliki
batas waktu, karena sekedar menyicipi saja.
Dalam Pasal 22 UU Nomor 27 Tahun 2003
tentang Panas Bumi, diatur tentang masa eksplorasi panas bumi ialah 3 (tiga)
tahun sejak IUP diterbitkan, lalu dapat diperpanjang 2 (dua) tahun. Totalnya 5
(lima). Ini berarti PT SAE pada awalnya hanya memiliki izin eksplorasi sampai
11 April 2016. Hal ini sesuai dengan kewajiban mereka yang diatur di IUP
berdasarkan SK Gubernur Jateng 541.1/27/2011:
“Selama
jangka waktu IUP sebagaimana dimaksud pada diktum ketiga, pemegang IUP
berkewajiban, (f). menyelesaikan pemboran paling sedikit 2 (dua) sumur
eksplorasi, paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak ditetapkannya Keputusan
ini sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian mereka mendapat perpanjangan
pada tahun 2014 berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 541.1/004341/2014, sampai
11 April 2015. Dan terdapat ketentuan apabila dipandang perlu, PT SAE dapat, “memperpanjang jangka waktu eksplorasi ke-2
(dua) selama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya masa perpanjangan ke-1 (satu) ini
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mengingat ini sudah 2017, seharusnya
PT SAE tidak dapat melanjutkan eksplorasi.
Namun berkat perubahan UU Panas Bumi
yang tadinya Nomor 27 tahun 2003 menjadi Nomor 21 Tahun 2014, masa eksplorasi
tidak lagi maksimal 5 tahun, melainkan menjadi 7 tahun sebagaimana dalam Pasal
31. Adapun IUP yang dipegang PT SAE disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi (IPB)
berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 4577 K/30/MEM/2015. Hal ini dipertegas oleh
Bambang Purdiantoro selaku Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, pada Seminar Panas
Bumi di Auditorium Faperta Unsoed pada 24 Juli 2017 bahwa masa eksplorasi PT
SAE ialah sampai 11 April 2018.
Hal ini tentu masih bisa diperdebatkan
apakah penyesuaian dari IUP menjadi IPB hanyalah penyesuaian dari segi formil
belaka (perubahan nama izin), ataukah juga dapat mengubah segi materiilnya
(mengubah hak dan kewajiban). Saya beranggapan bahwa penyesuaian izin ini mesti
dimaknai dari segi formil belaka, tidak boleh sampai mengubah hak dan
kewajiban. Analoginya seperti menyicipi makanan tadi. Jika jangka waktu
eksplorasi PT SAE bisa diotak-atik, hal ini tentu berakibat pelik pada ekosistem
hutan lindung Gunung Slamet. Di samping itu, jika masa berlaku eksplorasi ini
dapat diperpanjang dengan mengubah aturan, ini sama saja dengan akrobat hukum
yang mengacaukan kepastian hukum.
Sebenarnya masih banyak lagi akrobat
hukum yang dapat diulas pada isu PLTB di Gunung Slamet ini. Akan tetapi karena
keterbatasan ruang, semoga sekiranya beberapa penemuan fenomena akrobatik hukum
tadi dapat membuka jendela pikiran kita bahwa hukum di Indonesia semakin tidak
baik-baik saja. Pemerintah melegitimasi hukum yang tidak selaras dengan
kenyataan. Hukum negara bisa diotak-atik seenaknya, tapi alam memiliki hukumnya
sendiri. Dan ketika masyarakat tertimpa bencana dari adanya proyek ini, sebagai
akibat dari dijebolnya keseimbangan alam yang ada, maka hukum negara menjadi
tidak ada gunanya lagi. Karena orang yang tewas tertimpa bencana, tidak bisa
menyaksikan akrobat hukum.
[1] Tulisan
ini dimuat di Majalah LPM Bhaskara Universitas Muhammadiyah Purwokereto Edisi
Agustus 2017
Sabtu, 12 Agustus 2017
Gunung Slamet dalam Ancaman
Siapa
sih yang tidak mengenal Gunung Slamet? Gunung tertinggi di Jawa Tengah yang
memiliki hutan tropis alami terakhir di Pulau Jawa ini, terlihat oleh kita setiap
hari.
Berbagai
flora dan fauna hidup di Gunung Slamet. Mulai dari Elang Jawa, Macan Tutul, Anggrek
Gunung, hingga spesies Katak yang belum diberi nama pun ada di Gunung Slamet.
Kesemuanya
dapat hidup lestari di Gunung Slamet karena rapatnya tutupan hutan lindung,
yang membuat suhu di sana selalu lembab dengan kondisi tanah yang selalu basah
karena serapan air yang baik. Dengan kondisi demikian pun, Gunung Slamet dapat menyediakan
pasokan air melalui berbagai sumber mata air untuk keperluan makhluk hidup di
sekitarnya.
Masyarakat
Banyumas, amat bergantung pada keberadaan Gunung Slamet ini, mulai dari untuk
air minum sehari-hari, pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, bahkan pariwisata.
Akan tetapi berkah __pan Tuhan yang begitu indah ini, kondisinya tak lagi sama
sejak datangnya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) dari PT Sejahtera
Alam Energy (SAE).
PLTPB
merupakan industri penyediaan energi listrik yang bersumber dari panas bumi (geothermal).
Proses pembangunan industri ini terdiri dari eksplorasi dan eksploitasi. Pada
proses eksplorasi ini terdapat beberapa kegiatan yaitu mobilisasi peralatan dan
material untuk pembuatan infrastruktur seper_ jalan, jalur pipa, embung, dan
landasan sumur pengeboran (wellpad). Setelah itu, dilakukan pengeboran
untuk uji panas bumi.
Saat
ini, Gunung Slamet akan dibangun PLTPB yang Wilayah Kerja Pertambangannya
mencakup seluas 24.660 hektar, dari Kaligua Kab. Brebes sampai Kec. Baturraden
Kab. Banyumas.
Dari
total keseluruhan wilayah tersebut, 2 seluas 675,7 hektar atau 6.755.770 m hutan
lindung mulai ditebangi habis-habisan pepohonannya, untuk pembangunan infrastruktur.
Pembabatan
hutan lindung untuk pembangunan infrastruktur ini sudah berlangsung sejak
Oktober 2016, dan kini sedang mencapai di kecamatan Cilongok.
Dampak Kerusakan
Ada beberapa dampak yang dapat terjadi
ketika PLTPB dibangun :
1.
Berdasarkan Peta Kerentanan Gerakan Tanah
yang diterbitkan Dinas ESDM Banyumas, lereng selatan Slamet berada di zona
merah. Artinya, tanah di zona ini selalu bergerak sehingga rawan bencana.
Sewaktu-waktu dapat terjadi bencana longsor meskipun tanpa ada ak_vitas apapun.
Zona ini mencakup di sebagian besar kecamatan Cilongok, dan sebagian lagi di
Kedungbanteng, Karanglewas, Baturraden, dan Sumbang di sisi utara. Proses eksplorasi
dan eksploitasi panas bumi seperti mobilisasi alat berat dan pengeboran,
menghasilkan getaran tanah yang besar. Penelitian dari Bosman Batubara (ahli
geologi/ilmu bumi) menyatakan pada umumnya proses pengeboran dapat menghasilkan
gempa minor 3 sampai 4 skala richter. Getaran seukuran itu tergolong berdampak
serius bagi area di lereng selatan Slamet, mengingat kemiringannya yang curam,
dan posisinya yang berada di zona merah kerentanan gerakan tanah.
2. Saat
proses pengeboran, pada umumnya kedalaman yang akan dibor ialah mencapai 3000
meter di bawah permukaan bumi. Dibutuhkan air permukaan untuk membantu pengeboran
dalam memecah bebatuan di dalam bumi. Air yang akan diambil berasal dari Sungai
Logawa dan Sungai Banjaran, serta air tanah yang lokasinya belum diketahui. Dalam
dokumen lingkungan PT SAE juga belum jelas berapa jumlah air yang akan diambil untuk
pengeboran. Yang jelas jumlah air di lereng selatan Slamet akan berkurang. Padahal
air adalah sumber penghidupan bagi warga lereng selatan Gunung Slamet.
3. Hutan
di Slamet adalah tempat tinggal berbagai hewan liar. Ketika hutan lindung dibabat
dengan area seluas itu, wilayah jelajah hewan akan semakin menyempit. Hewan-hewan
liat terpaksa menyingkir dan mencari tempat hidup lain, termasuk ke pemukiman masyarakat.
Bahkan warga pinggiran hutan Lereng Gunung Slamet kini mulai mengeluh karena
kebunnya dirusak oleh turunnya Babi Hutan yang biasanya hidup di tengah hutan.
Pembabatan
area hutan lindung ini juga akan berdampak langsung pada musnahnya hewan-hewan
langka contohnya Owa Jawa, Elang Jawa, dan Harimau.
Alam Rusak Tanggungjawab Siapa?
Berbagai
elemen masyarakat Banyumas sempat menggelar aksi massa di Kantor Bupati pada 18
Juli 2017. Jumlah massa aksi yang tergabung kurang lebih 500 orang. Aksi tersebut
bermaksud menanyakan kepada Pemkab dan PT SAE terkait :
1.
Apakah pemerintah dan PT SAE akan menjamin
proyek ini tidak akan mengakibatkan bencana longsor maupun banjir bandang?
2.
Apakah sistem perairan di Gunung Slamet tidak
akan terganggu dengan adanya proyek ini?
3.
Para proyek ini, PT SAE hanya berbekal
dokumen lingkungan yang seadanya, yaitu UKL-UPL. Apakah dokumen ini sudah layak
dan tepat sebagai landasan perencanaan untuk proyek PLTPB di Gunung Slamet?
Mengingat, ada banyak sekali kekeliruan data dan potensi kebencanaan yang tidak
dimuat dalam dokumen lingkungan PT SAE.
Bupati
Banyumas menyampaikan bahwa semua pertanyaan yang disampaikan masyarakat, akan
dijawab semua oleh PT SAE pada acara seminar tanggal 24 Juli di Unsoed. Pihak
PT SAE yang diwakili Cepi Suryaman menyanggupi kepada Bupati dan masyarakat
yang hadir pada saat itu akan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh
aliansi Selamatkan Slamet.
Akan
tetapi pada saat seminar berlangsung, sangat disesali PT SAE tidak sanggup menjawab
dengan ilmiah. Bahkan ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab sama sekali.
Pada waktu itu PT SAE diwakili oleh Bintang Sasongko. Masyarakat juga meminta agar
ada pernyataan hitam di atas pu_h, bahwa pemerintah dan PT SAE akan bertanggungjawab
terhadap bencana yang akan terjadi. Akan tetapi permintaan ini tidak disanggupi.
Jika sudah begini, pantaskah proyek panas bumi terus dilanjutkan ?
Jumat, 28 Juli 2017
Indonesia dan Penjajahan Di Atas Dunia
Tulisan ini saya dedikasikan untuk
kawan-kawan yang sedang berjuang di Yerusalem melawan tindasan rejim Israel,
dan kawan-kawan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang sedang berulang tahun, yang
tak pernah lelah berjuang demi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam
pembebasan nasional Papua Barat. Tak lupa, tulisan ini saya tujukan sebagai
kritik untuk Presiden Jokowi, yang dianggap representasi golongan politik yang
katanya nasionalis. Gagasan utama tulisan ini ialah penekanan kembali bahwa
kemerdekaan sejati suatu bangsa hanya mungkin terjadi jika terdapat kemerdekaan
seluruh bangsa di dunia.
Mari kita mulai pembicaraan singkat
kita dengan membahas negara. Kaum fasis seperti Benito Mussolini (Mussolini,
1932 : 29) berkata, “Semua ada di dalam
negara, tidak ada sesuatu di luar negara, tidak ada yang bertentangan dengan
negara.” Tentu kita tidak akan mengikuti pandangan negara yang fasistik
seperti ini (tentang alasan terkait hal ini akan saya bahas di tulisan lain).
Friedrich Engels dalam Asal Usul
Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara telah menyelidiki berdasarkan
fakta-fakta antropologis bahwa ternyata negara hanyalah sebuah tahap tertentu
dari masyarakat tertentu. Negara bukanlah tujuan, melainkan merupakan sarana.
Ada yang menjadikannya sebagai sarana untuk menjaga kepemilikan pribadi seperti
pada masyarakat kapitalis, ataupun menjaga hak-hak istimewa seperti pada masa
feodalisme. Tapi ada juga yang bermaksud menjadikannya untuk sarana
kesejahteraan warganya.
Bagaimana dengan tujuan negara
Indonesia? Berdasarkan sejarahnya, negara Indonesia merupakan sarana untuk
mempertahankan kemerdekaan dari imperialisme Belanda. Indonesia dibangun untuk
mewujudkan tatanan masyarakat adil makmur. Kita kerap mendengar hal ini. Tapi,
ini saja tidak cukup. Indonesia dibangun bukan untuk tujuan nasional belaka.
Simak kalimat awal pembukaan :
"Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan."
Para pendiri republik menyadari bahwa
kemerdekaan Indonesia hanyalah bagian dari gerakan pembebasan nasional
anti-imperialis di seluruh dunia seperti di India (1947), Burma (1948), Sri
Lanka (1948), Libanon (1943), Suriah (1943), Jordania (1946), Filipina (1946),
Tiongkok (1949), Libya (1951), Sudan (1956), dan bangsa-bangsa lainnya.
Indonesia tidak hanya dibangun untuk terbebas dari imperialisme Belanda. Tapi
lebih jauh dari itu, Indonesia mengkehendaki lenyapnya imperialisme "diatas
dunia." Banyak dari teks-teks Sukarno mengutip teori-teori imperialisme
yang digagas Vladimir Lenin dan Rosa Luxemburg. Situasi imperialisme yang masih
berlangsung pada saat itu mendorong para pendiri Indonesia untuk menancapkan
tujuan, “ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
sebagai salah satu tujuan bangsa Indonesia di Pembukaan UUD 1945.
Ini menandakan bahwa Indonesia bukanlah
menonjolkan sisi nasionalisme di bagian depan, melaikan justru internasionalisme.
Tidak ada kemerdekaan penuh bagi Indonesia, tanpa kemerdekaan di seluruh
negeri. Andaikata pada waktu itu negara Indonesia hanyalah untuk kepentingan
nasional belaka, tidak perlu Indonesia repot-repot membangun gerakan Non Blok,
KAA, dan New Emerging Forces di negeri-negeri bekas jajahan dan setengah
jajahan. Tak perlu juga sampai mengecam pendudukan imperialis Inggris di
Malaysia dan Israel di Palestina, bahkan sampai keluar dari PBB.
Lantas bagaimana pandangan politik dari
rejim yang memerintah Indonesia saat ini? Apakah masih anti imperialis seperti
rejim terdahulu?
Kepentingan
Nasional ala Jokowi
Pada 18 Mei 2017, Jokowi berpidato di
Istana Negara, mengeluhkan kenapa bangsa Indonesia masih sibuk, “berkutat pada
hal-hal yang tidak produktif, urusan demo, urusan fitnah, urusan hujat
menghujat,” sementara di negeri-negeri maju ada orang seperti, “Elon Musk yang
sudah mengembangkan mobil masa depan, teknologi hyperloop serta
pemanfaatan ruang angkasa bagi manusia.” Jokowi secara tidak langsung mengakui
adanya perkembangan yang tidak merata antara Indonesia yang merupakan negera
Dunia Ketiga dengan negeri-negeri maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, Rusia,
China, maupun Perancis. Jokowi ingin Indonesia dapat modern dan sejajar dengan
negara-negara maju. Jokowi ingin Indonesia dengan segera memasuki fase negeri
industri, melalui serangkaian proses pembangunan infrastruktur untuk
industrialisasi. Tapi mungkinkah hal tersebut dapat terwujud dengan strategi
kebijakan yang Jokowi keluarkan saat ini? Kita akan mengkritisi hal tersebut.
Tapi sebelumnya, mari kita bahas lebih dulu mengapa negeri-negeri kapitalis
maju dapat mengalami industrialisasi lebih awal dibanding negeri-negeri
lainnya, terutama negeri Dunia Ketiga.
Karl Marx dalam Bab ke-XXXI Das Kapital yang berjudul Asal Usul Kapitalis Industri menulis
sebagai berikut :
“Penemuan
emas dan perak di Amerika, pemusnahan, perbudakan, dan penguburan penduduk asli
dalam tambang-tambang, dimulainya penaklukan dan perampokan Hindia Timur,
diubahnya Afrika menjadi daerah daerah pemburuan komersial terhadap orang-orang
kulit hitam, menandakan fajarnya zaman produksi kapitalis.”
“Metode-metode
ini sebagian tergantung pada kekerasan yang bengis, misalnya, sistem kolonial.
Akan tetapi mereka semuanya mempergunakan kekuasaan negara, kekuatan
terkonsentrasi dan terorganisasi dari masyarakat, untuk mempercepat proses
perubahan dari corak produksi feodal menjadi corak produksi kapitalis.”
“Sistem
kolonial, hutang-hutang negara, pajak-pajak tinggi, proteksi, perang-perang
dagang, dan sebagainya, anak-anak dari zaman manufaktur yang sebenarnya,
berkembang secara raksasa dalam masa kanak-kanak industri modern. Kelahiran
industri modern ini telah dipermaklumkan dengan penyembelihan besar-besaran
terhadap orang-orang yang tidak berdosa.”
Dari tulisan Marx tersebut, ketimpangan
perkembangan corak produksi dan teknologi selama ini hanya dimungkinkan dari
adanya surplus yang diperoleh dari sumber daya alam dan tenaga kerja murah di
negeri Dunia Ketiga, yang dieksploitasi oleh korporasi-korporasi besar
negeri-negeri kapitalis maju. Perampokan ini masih terus berlangsung baik
secara tidak langsung (melalui perantara penguasa lokal) seperti di Indonesia,
maupun secara langsung (melalui intervensi militer imperialis) seperti di Timur
Tengah.
Ketertinggalan dan ketimpangan
perkembangan ini hanya bisa disudahi dengan cara menghentikan akar penyebabnya,
yaitu imperialisme. Eksploitasi terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga harus
disudahi. Dan ini ternyata sejalan dengan pandangan pendiri republik Indonesia
dalam membangun Indonesia, yaitu bertujuan menghapus “penjajahan atas dunia”,
yang tidak lain dengan menghapus imperialisme. Hanya dengan inilah Indonesia
bisa sejajar dengan bangsa-bangsa maju, karena memang seluruh bangsa kemudian menjadi
sama-sama maju, sama-sama sejajar.
Lantas bagaimana dengan kebijakan
Jokowi? Skema kebijakan nasional Jokowi ternyata jauh dari yang sudah digagas
pendiri republik Indonesia. Kebijakan umum yang dia ajukan ialah pembangunan
ekonomi melalui utang luar negeri, pembangunan infrastruktur berbasis PPP
(Public-Private-Partnership), deregulasi ekonomi, pengetatan anggaran dengan
mencabut sejumlah subsidi sosial, land
market flexibility, dan labour market
flexibility. Skema Jokowi yang demikian sebenarnya tidak akan membuat
bangsa Indonesia bisa melampaui atau bahkan sejajar dengan bangsa-bangsa maju.
Skema demikian masih melanggengkan tatanan imperialisme, dan karenanya, adalah
kebohongan jika itu demi "kepentingan nasional".
Indonesia di bawah rejim Jokowi semakin
pragmatis dengan menunjukkan sikapnya yang jauh dari cita-cita anti penjajahan,
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Demi “kepentingan
nasional”, apapun dilakukan. Bahkan jika itu harus menjajah bangsa Papua Barat.
Bahkan jika itu harus menjilat Raja Salman yang sedang menjajah Yaman. Bahkan
jika itu harus terikat utang pada negeri-negeri imperialis seperti Amerika,
Jepang, Tiongkok dan Jerman.
Dengan mengikuti kebijakan rejim Jokowi
yang demikian, mustahil Indonesia dapat sejajar dengan negeri-negeri maju. Jika
negeri penjajah menggunakan corak produksi industri kapitalis, maka negeri
jajahan atau setengah jajahannya pasti setingkat atau dua tingkat lebih rendah
dari corak produksi industri kapitalis. Jika Indonesia saat ini sedang mengalami
transisi menuju masyarakat kapitalis industri, maka negeri-negeri imperialis
telah memasuki fase kapitalis-monopoli, fase konsentrasi produksi, fase
oligarki finansial, fase ekspor kapital, fase perlombaan senjata, nuklir dan space program. Kondisi imperialisme
membuat selalu ada ketimpangan segelintir negeri yang maju, dan mayoritas
negeri yang tertinggal dan bergantung.
Jika Jokowi mengimpikan Indonesia
menjadi negeri maju, maka hendaknya ia sudahi berkhayal dan berspekulasi dengan
kebijakan pembangunan pragmatisnya. Bebaskan kawan Obby Kogoya dan hentikan
penjajahan atas rakyat Papua Barat, dukung penuh kemerdekaan rakyat Palestina,
bela rakyat Yaman dari tindasan Arab Saudi, dukung pembebasan nasional
demokratis rakyat Kurdi di Turki dan Suriah, dukung pembebasan nasional kaum
republikan Irlandia, bela rakyat Yunani dari jeratan utang Jerman, desak Donald
Trump untuk mencabut kebijakannya yang rasis, anti-imigran, dan anti kaum
muslim, dan bangun solidaritas bangsa-bangsa anti imperialis. Hanya dengan
inilah Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju, bukan hanya maju secara
ekonomi, tapi juga maju harga diri dan martabatnya. Bangsa yang dapat memenuhi
janji konstitusionalnya berdasarkan Pembukaan UUD 1945. Tapi bagaimana jika
lantas Jokowi terlalu takut untuk melakukannya? Maka jangan heran jika generasi
baru kaum muda yang akan melakukannya, generasi yang lebih pemberani, generasi
yang lebih tercerahkan dari gelapnya ketertutupan dan hipokrisi generasi tua.
Langganan:
Komentar (Atom)


