Jumat, 20 Oktober 2017

Diskusi Hari Tani Nasional 2017 di FH Unsoed



Pada 28 September 2017, saya memenuhi undangan dari BEM FH Unsoed dkk untuk mengisi menjadi pembicara dalam Diskusi Publik memperingati Hari Tani Nasional 2017. Saya mewakili AGRA, disandingkan dengan Ahmad Nasih Lutfi (Akademisi STPN) dan Juli Krisdianto (Ketua DPRD Banyumas). Namun Juli berhalangan hadir dan digantikan oleh Jarot Setyoko (Staf Ahli DPR-RI). Karena waktu yang diberikan hanya terbatas, saya tak sempat memaparkan pokok-pokok materi saya. Postingan kali ini akan menuntaskan ketidaksempatan tersebut, meskipun saya rasa tulisan ini juga tidak lengkap karena bahan materi saya (yang tadinya mau disampaikan) memang tidak dibuat tertulis, sehingga mungkin sudah banyak yang lepas dari ingatan.

Pokok materi yang saya sampaikan dalam diskusi ini ialah, bahwa konflik agraria bukan sesuatu yang muncul secara alamiah. Konflik agraria merupakan suatu proses historis yang menandai suatu epos sosial. Ini menyanggah paradigma yang dianut pemerintah bahwa, "konflik agraria ada karena ketimpangan agraria, yang terjadi karena populasi manusia terus bertambah, sementara jumlah lahan tetap." Paradigma ini digunakan untuk melegitimasi keberadaan negara agar hadir untuk memberi keadilan sosial (semacam social justice warrior/SJW) kepada rakyat dalam hal alokasi sumber daya agraria. Paradigma tsb terbukti invalid karena faktanya ketimpangan terjadi karena adanya konsentrasi kepemilikan tanah alias monopoli tanah, yang kemudian memonopoli pula seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Yang ada malah, negara (sebagai alat klas) mempercepat proses perampasan tanah untuk monopoli tanah.

Kedua, monopoli tanah terjadi karena adanya pasar tanah atau spekulasi tanah. UUPA dan UUD45 mengamanatkan bahwa tanah ialah pemberian Tuhan YME bagi bangsa Indonesia. Relasi antara rakyat Indonesia dengan tanahnya bersifat lahiriah dan batiniah serta abadi sepanjang bangsa Indonesia masih ada. Namun sejak rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah melakukan serangkaian deregulasi terhadap berbagai peraturan-peraturan tentang agraria. Salah satu contoh yang paling krusial tentu saja ialah UU No 1 Tahun 1967 ttg Penanaman Modal Asing. Rezim ini menggeser pemaknaan relasi antara rakyat Indonesia dengan tanah. Tanah kemudian diperlakukan sebagai komoditi/properti yang tunduk pada mekanisme pasar. Kompetisi antar korporasi (baik itu korporasi milik swasta maupun korporasi milik negara) memuncak pada pembentukkan kartel, trust, dan sindikat mafia tanah yang memonopoli tanah dan kekayaan alam di Indonesia. Komite Nasional Pembaruan Agraria memaparkan bahwa dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 persen dikuasai korporasi kehutanan, 16 persen dikuasai korporasi perkebunan skala besar dan 7 persen dikuasai para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya 1 persen orang ter­kaya di Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional.

Ketiga, monopoli tanah telah menghambat tenaga produktif rakyat yang selama ini bergantung pada tanah, yaitu kaum tani. Monopoli berdampak pada minimnya ketersediaan lapangan kerja di desa, sehingga tenaga produktif di desa kemudian menjadi buruh pabrik, dan buruh migran. Namun karena jumlah tenaga kerja yang terus membludak sementara pabrik tidak bisa menampung semuanya, maka hukum pasar memutuskan untuk menekan upah buruh, menerapkan sistem kerja outsourcing, menerapkan efisiensi jumlah buruh melalui PHK massal, dsb. Tidak sedikit kemudian tenaga kerja yang tersingkir dari dunia kerja, memasuki dunia kriminal. Kita lihat bahwa persoalan tanah bersifat multidimensi dan mengandung efek domino pada berbagai sendi-sendi kehidupan sosial.

Keempat, jalan keluar satu-satunya hanyalah reforma agraria sejati yang bertujuan menghapus sama sekali monopoli tanah, menghapus setiap norma dan institusi yang melanggengkan keberadaan mekanisme pasar atas tanah, dan melenyapkan watak klas negara yang mengabdi pada kepentingan imperialis, tuan tanah besar, kapitalis birokrat dan borjuasi besar komprador. Gunawan Wiradi menyatakan ada beberapa syarat untuk melaksanakan reforma agraria, yaitu adanya kemauan politik atas reforma agraria, data-data yang akurat, birokrasi yang bersih dan jujur serta terpisah dari urusan bisnis, dukungan dari militer, dan organisasi rakyat yang kuat. Agaknya syarat pertama sampai empat masih jauh dari capaian. Syarat yang saat ini paling mungkin disiapkan hanyalah membangun organisasi rakyat yang kuat, di sektor tani, buruh, pemuda, nelayan, masyarakat adat, dsb, yang dapat mendorong dan melaksanakan terwujudnya reforma agraria sejati. Konflik agraria bukan suatu fenomena alamiah, dia berawal dari suatu proses historis, dan oleh karenanya akan berakhir dalam suatu proses historis pula. Seperti apakah gambaran epos tersebut di kemudian hari? Generasi kita lah yang bisa menjawabnya.

Selasa, 17 Oktober 2017

Shock Doctrine Menurut Naomi Klein dalam Polemik Panas Bumi di Gunung Slamet

Tulisan ini bermaksud mengulas serangkaian peristiwa yang baru-baru ini terjadi terkait dengan Penolakan atas Proyek PLTP di Gunung Slamet, dan berbagai respon terhadapnya. Ulasan atas fenomena ini akan ditelaah dari pemikiran Naomi Klein tentang Shock Doctrine. Penulis menyarankan sebelum membaca tulisan ini agar terlebih dahulu mengikuti perkembangan isu PLTP di Gunung Slamet, yang sudah disediakan Selamatkan Slamet di akun media sosialnya, ataupun dengan mengikuti hashtag #SelamatkanSlamet atau #SaveSlamet .

Tiga hari pasca aksi massa penolakan PLTP di Gunung Slamet di depan Pemkab Banyumas (Tragedi 9 Oktober), muncul sebuah berita di Suara Merdeka yang berjudul, Proyek PLTPB di Gunung Slamet Jalan Terus. Muatan pada berita tersebut pada intinya ialah bahwa Ditjen ESDM Kementerian ESDM tetap memutuskan bahwa proyek panas bumi di Gunung Slamet harus tetap dilanjutkan karena merupakan proyek strategis nasional, dalam rangka pemenuhan target listrik Jawa, Madura, dan Bali. Masalah yang terjadi seperti air yang keruh dapat diatasi dengan penyediaan air bersih, yang nantinya akan dilaksanakan oleh PT SAE selaku pelaksana proyek.

Dari sini kita sudah melihat bahwa pemerintah pusat dan daerah sama sekali tidak serius dalam memahami persoalan utamanya. Jika mereka memahami, seharusnya mereka tidak hanya melihat masalah PLTP di Gunung Slamet ini sebagai masalah air keruh belaka. Di desa hutan dan pinggiran hutan, tanaman kaum tani berkali-kali diserang satwa liar secara tidak lazim. Bukan hanya babi hutan yang turun, tapi juga kera, kijang, bahkan beberapa kali melihat macan tutul. Tanaman palawija dan pohon buah-buahan disikat. Bahkan pohon kayu albasia pun mati karena pucuknya dimakan kera. Fenomena ini terjadi setidak-tidaknya di 5 desa di 3 kecamatan di lereng selatan Gunung Slamet. Petani merugi . Masalah ini tidak kalah pelik dibanding masalah air keruh yang dialami warga Kec. Cilongok.

Masalah satwa liar yang turun adalah bukti bahwa telah terjadi defragmentasi habitat akibat penurunan kualitas ekosistem sebagai dampak dari deforestasi yang dilakukan PT SAE pada masa eksplorasi panas bumi. Kesimbangan alam goyah. Lokasi pengeboran terlalu dekat dengan wilayah penduduk. Ditambah lagi, data dari Dinas ESDM Banyumas telah menunjukkan bahwa lereng selatan Gunung Slamet merupakan Zona Merah Pergerakan Tanah yang bersifat rawan bencana. Tanpa ada aktifitas apa-apa saja tanahnya sudah selalu bergerak. Apalagi jika ada aktifitas seperti pembukaan lahan dan pengeboran, maka bencana seperti longsor dan banjir bandang sangat mungkin terjadi.

PT SAE pun ternyata dalam prakteknya tidak melakukan kewajiban seperti yang sudah tertera di dalam Izin Lingkungannya. Adapun Izin Lingkungan yang berdasarkan pada Rekomendasi Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Nomor : 660.1/BLH.II/1374, telah memerintahkan kepada PT SAE untuk, “Melakukan sosialisasi rencana kegiatan kepada masyarakat sebelum kegiatan eksplorasi panas bumi dilakukan.” Apakah kewajiban ini sudah ditunaikan? Faktanya berdasarkan hasil riset dari Lembaga Kajian Banyumas FISIP Unsoed, sosialisasi dilakukan pada akhir tahun 2016 di desa-desa di Banyumas bagian lereng selatan Gunung Slamet, yang artinya ketika tahap eksplorasi sedang berlangsung. Sosialisasi pun kebanyakan baru terlaksana ketika dampak air keruh sudah terjadi. Sebelumnya, masyarakat hanya mengerti bahwa akan dibangun jalan tol dan jalan wisata dari Kaligua ke Baturraden.

Beberapa fakta-fakta di atas merupakan bukti kecil bahwa proyek PLTP di Gunung Slamet ini cacat dari segi perencanaan maupun pelaksanaan. Tentu masih banyak fakta-fakta lain yang takkan cukup untuk dibahas semuanya di sini. Namun jika pembaca ingin mengetahui, silakan unduh saja kajian dari Aliansi Selamatkan Slamat sebagaimana sudah diunggah di media sosial mereka.

Sebagai proyek strategis nasional, pembangunan PLTP di Gunung Slamet akan terus dipertahankan mati-matian oleh pemerintah. Apalagi mengingat masa eksplorasi proyek ini akan berakhir pada April 2018. Maka metode apapun akan digunakan oleh pemerintah, sepanjang itu bisa mencapai tujuannya. Salah satu metode yang digunakan oleh pemerintah dalam melanggengkan proyek ini ialah melalui Shock Doctrine.

Shock Doctrine Menurut Naomi Klein

Shock Doctrine, atau Doktrin Syok adalah kajian yang ditulis oleh Naomi Klein dalam bukunya The Shock Doctrine pada tahun 2007 dan diangkat kembali dalam bukunya yang terbaru No is Not Enough : Resisting Trump’s Shock Politics and Winning The World We Need pada 2017. Klein meneliti fenomena selama 4 dekade, bahwa pemerintahan sayap kanan senantiasa menggunakan taktik yang brutal secara berulang setelah adanya kejadian yang membuat syok masyarakat, semisal perang, kudeta, serangan teroris, jatuhnya bursa saham, atau bahkan bencana alam. Kemudian pemerintah akan memanfaatkan momen itu untuk menerbitkan kebijakan yang menguntungkan pihak elit maupun mengkebiri hak-hak sipil. Setiap momen krisis apapun dapat mengubah peta politik dalam semalam. Namun Klein juga mengamati bahwa taktik ini dapat dilawan. Klein menggambarkan ada 5 hal yang dapat dilakukan untuk melawan taktik Doktrin Syok.

Pertama, ketahui apa yang akan datang. Ketika ada suatu kebijakan sedang disiapkan untuk melancarkan agenda tertentu, maka segala potensi yang dapat menghalangi agenda tersebut akan dilenyapkan. Dalam temuan Klein pada kasus teror di Manchester dan Paris misalnya. Pasca peristiwa tersebut, pemerintah menganggap negara dalam situasi darurat sehingga merasa perlu untuk meningkatkan keamanan seperti adanya jam malam, anjuran untuk segera pulang, dsb. Pengekangan atas demokrasi menjadi dibenarkan untuk menjaga stabilitas. Bahkan jika itu bukan karena teror bom pun, pemerintah juga akan melakukan pengekangan demokrasi jika itu dianggap ancaman nasional. Aksi massa dengan memblokade bandara sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Trump yang melarang kaum Muslim masuk ke Amerika adalah salah satu contohnya. Massa aksi tentu akan menjadi sasaran tangkap dan pembatasan atas hak-hak sipil akan dilakukan melalui berbagai aturan. Ketika seseorang sudah bisa mengira atas peristiwa semacam ini, maka ia tidak akan terkejut.

Kedua, keluar rumah dan abaikan larangan. Manakala pemerintah menyuruh warganya untuk tetap di rumah supaya tetap aman, maka abaikan. Di Argentina, ketika negara sedang krisis ekonomi, Presiden Fernando de la Rua mengumumkan bahwa negara sedang dalam keadaan darurat, sehingga setiap warga negara diperintahkan untuk tetap di rumah. Namun kemudian rakyat Argentina merespon itu dengan turun ke jalan. Tak lama kemudian, Fernando de la Rua mengundurkan diri.

Ketiga, pelajari sejarah bangsamu. Doktrin Syok senantiasa berulang meskipun telah berkali-kali ganti rezim. Kita dapat mengantisipasi apa yang terjadi jika kita mempelajari sejarah.

Keempat, ikuti aliran uangnya. Ketika kekacauan berlangsung, pasti ada segelintir pihak yang diuntungkan. Telusurilah siapa elit yang mengambil kesempatan dan kesempitan itu. Sadarkan massa untuk kembali ke persoalan yang utama.

Kelima, bangun rencana tandingan. Jika sejarah bisa berulang, maka sejarah pun bisa diciptakan. Keempat rencana sebelumnya hanyalah upaya defensif dan antisipatif untuk mengungkap krisis yang tengah berlangsung. Apa yang kemudian perlu dilakukan ialah menyusun agenda untuk perjuangan ke depan untuk tatanan kehidupan alternatif yang lebih baik.

Doktrin Syok pada Isu PLTP di Gunung Slamet

Tragedi 9 Oktober, yaitu pemukulan, perampasan barang-barang, dan penangkapan sejumlah massa, adalah respon yang diberikan pemerintah atas aksi penolakan PLTP di Gunung Slamet. Bagi beberapa aktivis yang terbiasa meladeni aparat dalam setiap aksi massa, ini adalah pertama kalinya di Purwokerto ada aksi damai yang direspon dengan represifitas aparat. Saya bisa bilang itu aksi damai karena memang tidak ada rencana untuk bentrokan pada waktu itu dari panitia aksi. Yang kami persiapkan malahan agenda sholawat dan Panggung Kebudayaan untuk mengisi jadwal aksi massa. Jelas sudah pada waktu itu massa aksi mengalami syok.

Sesaat sebelum saya ditangkap, saya dengar ada salah satu petugas yang menginstruksikan begini kepada anak buahnya, “Itu dia yang tadi siang, tangkap.” Salah seorang teman saya dari warga yang terdampak pun bahkan tangannya retak kena pentungan polisi, pada saat dia sudah mengendarai sepeda motor untuk kabur. Aparat itu bilang, “Cepat pulang!” kepada teman saya. Saya mengamati bahwa represifitas ini dilakukan secara terencana. Apa sebenarnya rencana mereka? Tiga hari pasca Tragedi 9 Oktober, muncul sebuah berita di Suara Merdeka yang berjudul, Proyek PLTPB di Gunung Slamet Jalan Terus. Ditjen ESDM Kementerian ESDM tetap memutuskan bahwa proyek panas bumi di Gunung Slamet harus tetap dilanjutkan karena merupakan proyek strategis nasional, dalam rangka pemenuhan target listrik Jawa, Madura, dan Bali. Inilah Doktrin Syok.

Massa aksi telah menciptakan instabilitas karena menyerang proyek strategis nasional. Represifitas adalah balasannya. Wartawan bahkan ikut kena sasaran amuk aparat. Dan di saat orang-orang merasa syok, Pemerintah Pusat mengambil kesempatan itu untuk memutuskan bahwa proyek tetap dilanjut. Padahal pada 5 Oktober Bupati telah mengirim Surat Rekomendasi kepada Gubernur agar pengerjaan proyek PLTP di Gunung Slamet dihentikan sementara dan dievaluasi ulang. Namun Pemerintah Pusat tidak mengindahkan surat dari Bupati karena itu akan menghambat pelaksanaan proyek ini. Doktrin Syok bekerja.

Sehari setelah Tragedi 9 Oktober, massa melakukan aksi respon cepat. Ribuan orang berpartisipasi untuk menunjukkan solidaritas pada korban kekerasan negara, sekaligus mengecam tindakan represif aparat. Tanpa disadari, massa melakukan anjuran Naomi Klein yang kedua, yaitu abaikan larangan dan turun ke jalan. Hanya saja yang kurang perhatian dari aksi ini adalah tidak ada yang menyadari bahwa pada saat Bupati, Polres, dan massa aksi sedang saling bersitegang, PT SAE dan Pemerintah Pusat sedang duduk di atas menertawakan keadaan. Saya pribadi pun sedang dalam keadaan tidak berkutik karena tubuh penuh lebam dan kehilangan alat komunikasi karena disita aparat.

Saat ini, berita bahwa proyek PLTP di Gunung Slamet terus berjalan sudah mulai menyebar. Yang membaca berita itu tentu merasa kecolongan. Naomi Klein menunjukkan jalan bahwa yang perlu dilakukan saat ini ialah kembali ke persoalan utama dan bangun rencana tandingan. Karena hanya dengan cara demikianlah, massa akan dapat menciptakan sejarah.

Tulisan ini dimuat juga di : 
https://www.kompasiana.com/panjimulkillah/59e0c55f9a0ff438051dc972/shock-doctrine-menurut-naomi-klein-dalam-polemik-panas-bumi-di-gunung-slamet

Jumat, 22 September 2017

Minggu, 17 September 2017

Bekerjanya Hukum dan Perubahan Sosial

Bekerjanya hukum menurut Lawrence M. Friedman dapat dilihat dari 3 hal :

1. Legal Substance, yaitu substansi hukum, berupa peraturan perundang-undangan.
2. Legal Structure, berupa aparat yang menegakkan legal substance
3. Legal Culture, yaitu masyarakat yang mematuhi legal substance yang ditegakkan oleh legal structure

Jika salah satu dari tiga aspek tidak berjalan, maka hukum tidak bekerja. Sejarah mengkonfirmasi teori ini secara positif. Di jalan raya, wajib hukumnya pengendara motor roda dua menggunakan helm. Tapi jika kamu sudah tau jadwal razia yang kosong, kamu bisa saja tidak mengenakan helm. Polisi sedang tidak ada, kamu melaju bebas tanpa helm. Legal structurenya tidak berjalan. Hukum tidak bekerja.

Dulu ada yang namanya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang melegitimasi adanya Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PTBHMN). Kampus bisa otonom mencari uang sendiri, yang tidak perlu disetor ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Legal structure sudah pada siap dari jajaran Menteri, Dikti, hingga kampus. Lalu ada warga negara yang menggugat peraturan tentang hal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Warga menang. UU BHP dicabut. Legal substance hilang. Hukum tidak bekerja.

Ada pasal tentang judi di KUHP. Tapi pasal tersebut tidak bekerja di masyarakat yang memang sudah turun temurun main judi, dan dianggap sebagai ritual tradisi. Pasalnya ada, polisinya ada, tapi masyarakat tidak mematuhi keduanya. Legal culture tidak berjalan. Hukum tidak bekerja.

Banyak anak muda zaman sekarang alias kids zaman now ingin mengubah masyarakat Indonesia, dengan cara masuk ke pemerintahan, untuk memperbaiki sistem. Mereka ingin memperbaiki legal substance dan legal structure suatu negara. Menurut saya ini hal yang baik, tapi sayangnya lebih banyak nirfaedahnya karena tidak efektif dan tidak efisien.

Diantara ketiga faktor bekerjanya hukum tadi, yang manakah yang paling menentukan? Mari kita uji.

Pertama pada kasus legal structure yang tidak berjalan pada kasus di pengendara motor di jalan raya. Tidak semua warga negara tidak taat pada hukum. Malah kebanyakan kalau urusan di jalan raya, kebanyakan pada taat hukum dalam hal mengenakan helm. Walaupun legal structurenya tidak ada, masyarakat pasti masih ada yang patuh. Bahkan tidak jarang masyarakat masih mengingatkan satu sama lain untuk mematuhi peraturan, meski sedang tidak ada aparat yang bekerja. Artinya hukum masih bekerja, hanya saja tidak optimal.

Kedua pada kasus UU BHP. Memang ketika UU tidak ada, aparat tidak bisa bekerja. Tapi kemudian sejarah membuktikan pasca UU BHP dicabut, lahirlah UU Pendidikan Tinggi (Dikti) yang memiliki semangat yang sama dengan UU BHP yakni liberalisasi pendidikan. Malahan UU Dikti bisa dibilang telah sukses menambal kecacatan-kecacatan di UU BHP. Di bawah kondisi negara yang dapat akrobat hukum seenaknya karena pemerintahannya dikuasai oleh kelompok-kelompok politik yang elit, legal substance bisa dibikin berkali-kali. Kasus serupa juga terjadi di konflik agraria di Kendeng.

Ketiga pada kasus judi. Meski ada peraturan dan ada aparat penegak hukum, kalau masyarakat tidak patuh pada keduanya maka hukum tidak bekerja. Bahkan secara tidak langsung, masyarakat telah membentuk hukumnya sendiri. Ternyata faktor ketiga ini yang paling menentukan.

Cicero pernah berkata, "Ubi societas ibi ius," yang artinya dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Masyarakat telah ada mendahului hukum dan aparat penegaknya. Masyarakatlah yang membentuk keduanya.


Hari ini kita sudah sama-sama sudah menyaksikan berbagai aturan yang tumpang tindih dan sering bongkar pasang akrobat hukum mengikuti pemodal dan penguasa. Para pembuat kebijakan dan penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang demi kenaikan karir dan meraup celah-celah kebocoran anggaran negara yang kemudian dikorupsi. Tanda-tanda krisis bekerjanya hukum sudah dekat. Tidak ada yang bisa ditambal sulam lagi. Hanya jika masyarakat sudah tidak lagi mematuhi hukum beserta penegak hukumnya, maka kemudian akan lahir masyarakat yang baru yang meniadakan hukum dan pemerintahan yang lama. Sistem yang lama berganti dengan sistem yang baru.

Sabtu, 09 September 2017

Perjuangan Klas dan Psikoanalisis Proletar

Proletariat dilahirkan dari rahim sistem kapitalisme, atas usaha klas borjuasi dalam revolusi borjuis, revolusi industri, enclosure, dan kolonialisme. Oleh karenanya, borjuasi mengenal betul keberadaan klas proletar. Borjuasi, meski senantiasa berkompetisi satu sama lain, mereka memiliki hukum tak tertulis yang sama-sama mesti dipatuhi, yaitu eksploitasi nilai lebih dari curahan kerja proletar.

Akan tetapi, proletariat belum tentu mengenal borjuasi sebagai sebuah klas, yang beriringan dengan ketidaktahuannya atas dirinya sendiri sebagai sebuah klas. Proletariat dan borjuasi masih dianggap sebagai dua kategori yang saling berkontradiksi namun saling mengandaikan, atau dalam istilah Hegel mengandung relasi internal. Anggapan ini bukan saja diamini oleh intelektual kelas menengah ngehek saja, tapi bahkan dalam beberapa hal diamini juga oleh proletariat.

Engels menerangkan bahwa itulah bagaimana cara ideologi bekerja :

Ideologi adalah sebuah proses yang dicapai dengan sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran palsu. Motif nyata yang mendorongnya sesungguhnya adalah sesuatu yang asing baginya; jika tidak demikian maka itu bukanlah sebuah proses ideologis. Makanya ia hanya membayangkan sesuatu yang palsu atau yang tampak permukaan saja. Karena ideologi ini adalah sebuah proses pemikiran, maka bentuknya berasal dari murni hasil pemikiran, apakah itu pemikirannya sendiri atau orang lain sebelum dirinya. Ia bekerja melulu dengan materi pikirannya, yang ia terima tanpa mengujinya sebagai sebuah produk pemikiran dan tidak menginvestigasi lebih lanjut demi kepentingan pemikiran independen yang lebih rinci; tentu saja ini adalah masalahnya sendiri, karena seluruh tindakan yang dimediasi oleh pikiran, pada akhirnya muncul padanya atas dasar pikirannya.

Keterasingan proletariat atas keberadaan klasnya sendiri merupakan konsekuensi langsung dari corak produksi kapitalis yang mengasingkan proletar dari keseluruhan proses produksi, melalui pembagian kerja (division of labour) yang menyudutkan proletar satu sama lain di bawah satu atap rantai produksi yang sama, sehingga proletariat hanya perlu mencurahkan kerja abstraknya saja (kerja tak berkeahlian yang hanya dihitung kuantitasnya). Situasi ini memungkinkan terjadi karena relasi tersebut terus disegel oleh borjuasi atas nama kepemilikan pribadi. Komoditi yang dihasilkan dianggap otonom dan memiliki logika pasarnya sendiri, terpisah dari curahan kerja dalam proses produksi. Inilah fetisisme komoditi, yang berimplikasi pada keterasingan proletar, yang merupakan 'ideologi' yang pertama kali dikenalkan kepada proletar sejak dalam rahim proses produksi kapitalis.

Dalam kamus Lacanian, borjuasi dengan demikian telah mengabjeksi proletar. Bagi borjuasi, dirinya adalah Subjek, sedangkan proletar adalah Yang Lain. Sedangkan bagi proletar, dirinya ialah Subjek yang tak utuh alias senantiasa kurang (lack). Proletarisasi ialah fase Imajiner yang membelah diri dan citra diri proletar. Sedangkan proses produksi kapitalis sebagai tatanan Simbolik yang dikondisikan oleh Yang Lain-Besar. Proletariat terjerembab dalam lubang hasrat, berharap bisa naik kelas, naik haji, naik mobil mewah, dan menghasrati hal-hal lainnya. Yang pada akhirnya yang ia hasrati ternyata ialah hasrat yang telah disituasikan oleh Yang Lain-Besar, ia menghasrati objek petit-a. Jika sudah demikian, bagaimanakah proletariat dapat menemui yang Riil? Atau dengan kata lain menemui emansipasi atas seluruh tatanan simbolik?

Ada pepatah dari Perancis pada saat peristiwa Mei 68, "Bos butuh kamu, kamu tidak butuh bos." Memang pepatah tersebut benar adanya. Meski proletariat ialah anak dari rahim sistem kapitalisme, akan tetapi kapitalisme itu sendiri pada gilirannya merupakan sesuatu 'Yang Lain' bagi proletar. Bagi kapitalis, uang, bahan baku, tanah, dan mesin merupakan kapital konstan, sedangkan curahan kerja proletar merupakan kapital variabel. Artinya hanya melalui curahan kerja proletar-lah, kapitalis dapat memperoleh pertambahan nilai. Hal ini dikarenakan kapital konstan tidak dapat menambah nilai pada dirinya sendiri, tidak dapat mengerjakan dirinya sendiri. Proletariat adalah titik gravitasi bagi keseluruhan proses dan rantai produksi kapitalis, hanya saja, mereka belum menyadarinya.

Dengan kata lain, proletariat mesti mengabjeksi balik borjuasi. Memperlakukan klas borjuasi dan kapitalisme sebagai sesuatu yang-Lain, atau me-Liyan-kannya. Akan tetapi, metode yang dilakukan proletar sama sekali berbeda dengan yang dilakukan borjuasi. Klas proletar melenyapkan keseluruhan belenggu relasi internal yang dianggap saling mengandaikan tadi. Ketika relasi internal tadi melenyap, eksistensi proletar maupun borjuasi sebagai klas pun ikut melenyap. Dan itulah yang disebut masyakat tanpa klas, momen dimana proletariat telah menemukan, dalam istilah Lacan, 'Yang Riil'.

( Pada bagian selanjutnya merupakan jawaban untuk @Symphati Dimas R dan @ahmad sucipto dalam komentar di tulisan saya di 
https://timeline.line.me/post/_dY_25uMy4_Kmuu1cbOBNc-R30qEWJZwlEHw4nwk/1150494574703015865 )

Abjeksi dalam kajian Julia Kristeva awalnya memang diperuntukkan dalam medan problematisnya sendiri, yaitu perihal relasi antara anak perempuan dengan ibunya. Akan tetapi konsep abjeksi pada gilirannya dapat digunakan untuk berbagai hal. Sarah Salih dalam On Judith Butler Performativity mengatakan bahwa abjeksi juga digunakan untuk menjelaskan perihal kelompok-kelompok yang termarjinalisasi seperti kaum perempuan, kaum penganut kepercayaan minoritas, pekerja seksual, dan penyandang disabilitas. Tapi siapapun sasaran kajiannya, abjeksi dapat dimengerti sebagai kebalikan dari subjeksi. Jika subjeksi ialah pembentukkan citra diri, maka abjeksi ialah pelepasan citra diri. Saya menginterpretasikan relasi antara proletar dan borjuis dengan konsep abjeksi ini.

Entah bisa atau tidak, saya hanya mengembangkan konsepnya untuk medan problematis yang saya utarakan. Tapi sejarah mengkonfirmasi hal ini secara positif, bahwa tanpa abjeksi, niscaya proletariat akan terus membutuhkan borjuasi (bahkan jika itu adalah borjuasi di dalam Partai Komunis, seperti kasus revisionisme modern-nya Deng Xiao Ping di Tiongkok). Salah satu tolak ukur bahwa proletariat telah menyubjeksi dirinya dan mengabjeksi borjuasi, ialah diterimanya filsafat materialisme dialektis sebagai pandangan dunia proletar sebagai prasyarat epistemologis untuk melenyapkan relasi internal borjuis-proletar. Atau dengan kata lain, proletariat mesti membangun kesadaran klas untuk perjuangan klas.

Sebenarnya sesederhana itu. Tapi seolah dibuat rumit karena saya bermaksud meninjau probem ini dari segi psikoanalisis, yang selama ini dipandang sebagai kajian yang nirfaedah bagi perjuangan klas. Saya membuktikan sebaliknya dengan melampaui batas dari medan problematisnya.

Di bawah rejim Jokowi, klas proletariat baik itu di kota maupun di desa, baik itu yang sedang bekerja maupun akan bekerja, semuanya sedang menjadi subjek yang mengalami kontingensi. Kemiskinan dan perampasan tanah yang semakin akut di desa-desa mendorong tenaga produktifnya terseret gelombang proletarisasi. Nasib tani gurem maupun buruh tani pun tak jauh beda di bawah tindasan setengah feodal yang berkelindan dengan setengah jajahan, yang makin lama makin kehilangan pandangan dunianya sendiri. Terjadilah apa yang disebut Marx sebagai penaklukkan kota atas desa-desa. Di bawah payung PP 78, proletariat semakin dianggap sebagai yang Lain (The Other). Hal ini dapat dilihat dari mekanisme kenaikan upah minimum yang mesti disesuaikan dengan tingkat inflasi. Keterlibatan buruh dalam menentukan nasibnya sendiri bahkan semakin dibatasi. Pemerintah melipatgandakan alienasi yang dialami buruh. Kini proletariat tak hanya teralienasi di dalam proses produksi, tapi juga teralienasi sebagai warga negara.

Proletariat di Indonesia sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal bukan merupakan klas yang mayoritas. Mereka membutuhkan banyak sekali sekutu antara lain dari golongan borjuasi kecil,  serabutan-pengangguran (cadangan tentara industrial yang dikenal sebagai semi proletar), bahkan suku adat minoritas dan elemen-elemen demokratik lainnya. Sialnya, keberagaman klas ini mau tidak mau meniscayakan adanya keberagaman ideologi yang lahir dari cara produksinya masing-masing yang kecil, berdiri secara sendiri-sendiri, dan bahkan saling berkompetisi. Kompetisi antar cara produksi ini dalam banyak kasus berujung pada konflik identitas, seperti konflik suku, agama, dan ras. Mereka saling mengabjeksi satu sama lain dan mengabsolutkan citra dirinya sendiri.

Tapi apapun ragam cara produksinya, mereka semua juga sama-sama terabjeksi oleh relasi internalnya, yaitu imperialis-negara boneka-tuan tanah besar. Pelanggengan atas cara produksi lama juga diiringi dengan pembentukkan ideologi yang senantiasa sektarian, yang memang potensial untuk memecah belah massa. Keberadaan "tiga musuh rakyat" tadi telah mengambat tenaga produktif massa, dan tentu saja penghambat bagi klas proletar dalam rangka membentuk pandangan dunianya sendiri.

Kamis, 31 Agustus 2017

Akrobat Hukum Pada Proyek PLTP Baturraden di Gunung Slamet

AKROBAT HUKUM PADA PROYEK PLTP BATURRADEN DI GUNUNG SLAMET[1]

Tulisan ini disusun setelah PT Sejahtera Alam Energy (SAE) ingkar janji dengan masyarakat, karena tidak mampu beradu data secara ilmiah, pada acara Seminar di Auditorium Faperta Unsoed 24 Juli 2017. Gagasan utama dari tulisan ini ialah bahwa Gunung Slamet sedang diambang kerusakan ekosistem dan ancaman bencana, karena kacaunya perencanaan proyek panas bumi dari berbagai aspek. Kacaunya perencanaan ini dilegitimasi oleh hukum yang terus diotak-atik oleh pemerintah selaku aktor pertunjukkan akrobat hukum.

Tentang Akrobat Hukum

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, akrobat hukum ialah putusan yang berubah-ubah secara mendadak dalam persoalan yang sama dan sering terjadi cabut-mencabut atau ralat-meralat suatu putusan atau kebijakan. Saya pertama mendengar istilah akrobat hukum pada kasus konflik agraria dan lingkungan antara PT Semen Indonesia melawan warga Kendeng. Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia yang diterbitkan melalui SK Gubernur Jateng telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Tapi, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menerbitkan izin baru bagi PT Semen Indonesia sehingga penambangan berlanjut lagi. Adanya akrobat hukum ini bertentangan asas kepastian hukum. Menurut Lon Fuller dalam Morality of Law, ada 8 asas kepastian hukum :

  1. Hukum tidak boleh berdasarkan pada putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu, melainkan harus memiliki sistem hukum;
  2. Peraturan tersebut diumumkan ke publik;
  3. Tidak berlaku surut;
  4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
  5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
  6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
  7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
  8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari
Tanpa ada kepastian hukum, maka tak ada kepastian bagi penegak hukum untuk menjalankan suatu peraturan, tak ada kepastian pula bagi warga negara untuk mematuhi suatu peraturan. Hukum tidak bekerja. Fenomena akrobat hukum ini merupakan penghinaan terhadap hukum itu sendiri.
Fenomena akrobat hukum ini juga terdapat pada kasus konflik agraria dan lingkungan, antara masyarakat Lereng Gunung Slamet melawan perusahaan panas bumi PT SAE. Mari kita ulas sama-sama akrobat hukum kolaborasi antara pemerintah dengan PT. SAE.

Menyaksikan Akrobat Hukum Pembangunan PLTP Baturraden di Gunung Slamet

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) tadinya dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan. Karena merupakan pertambangan, maka kegiatan pertambangan Panas Bumi tidak boleh dilakukan di hutan lindung. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa, “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.” Yang dimaksud penambangan terbuka (surface mining) artinya penambangan tersebut dilakukan di atas permukaan tanah, ini lain dengan penambangan tertutup dimana yang perlu membuat terowongan untuk menjangkau deposit di dalam bumi. Kegiatan pertambangan panas bumi merupakan penambangan terbuka, sehingga ia terikat oleh ketentuan ini. Hutan lindung dilarang untuk dilakukan aktifitas pertambangan karena hutan lindung memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Kehutanan. Jika dilakukan pertambangan, maka kerusakan ekosistem akan terjadi.

Kepmen ESDM Nomor 1557.K/30/MEM/2010 menetapkan Gunung Slamet sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) dengan luasan 24.660 hektar. Kemudian pada 11 April 2011, PT SAE mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 541/27/2011. Dari sini sudah lahir suatu pelanggaran atas ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Kehutanan tentang larangan melakukan penambangan di hutan lindung.

UU Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 dengan judul yang sama. Di sini terjadi perubahan besar atas konsep kegiatan panas bumi yang tadinya merupakan pertambangan, menjadi kegiatan jasa lingkungan. Karena bukan merupakan pertambangan, maka kegiatan panas bumi dapat dilakukan di hutan lindung melalui izin pinjam pakai kawasan hutan. Sungguh gerakan akrobatik yang tak terduga. Namun pertunjukkan belum berhenti, masih ada atraksi yang tak boleh anda lewati.

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) , yang dimaksud analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Adapun yang dimaksud dengan Dampak Penting menurut Pasal 1 angka 5, adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu Usaha dan/atau Kegiatan. Kriteria dampak penting berdasar penjelasan Pasal 3 ayat (1) terdiri atas:

a.   Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
b.   Luas wilayah penyebaran dampak;
c.    Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d.   Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e.   Sifat kumulatif dampak;
f.    Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g.   Kiteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Adapun dalam sebuah usaha yang tidak memiliki dampak penting, maka usaha tersebut hanya diwajibkan menggunakan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Sebagai sebuah kegiatan di hutan lindung yang memiliki dampak penting, maka kegiatan panas bumi termasuk kategori wajib Amdal. Salah satu yang menjadi ciri perbedaan UKL-UPL dan Amdal ialah pada proses pengesahannya. UKL-UPL dapat terbit tanpa memerlukan partisipasi dari masyarakat, sedangkan Amdal memerlukan partisipasi masyarakat, akademisi, dan bahkan diuji terlebih dahulu dalam Sidang Amdal.

Tapi Menteri Lingkungan Hidup kemudian menerbitkan PermenLH Nomor 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Pada Pasal 3 ayat (4), diatur bahwa eksplorasi pertambangan Panas Bumi dikecualikan dari wajib Amdal. Adapun pada pertambangan Panas Bumi, Amdal diwajibkan ketika proses eksploitasi. Padahal dalam sebuah kegiatan Panas Bumi, tahap eksplorasi merupakah tahap yang perusakan lingkungannya paling destruktif karena memerlukan pembabatan hutan lindung, untuk pembangunan jalan, pipa, dan landasan sumur (wellpad). Di Gunung Slamet sendiri, tahap eksplorasi ini membutuhkan 675,7 hektar lahan yang diperoleh dari pembabatan hutan lindung. Melihat dari daya kerusakannya, apakah memang proses ekplorasi ini tidak dianggap memiliki dampak penting? Akrobat hukum barusan menunjukkan kebolehannya dalam otak-atik aturan.

Selanjutnya ialah perihal masa eksplorasi. Adapun eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia,pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan Panas Bumi.Eksplorasi itu ibarat menyicipi makanan, hanya mengambil sebagian kecil saja untuk sekedar mengetahui rasa dan tekstur makanan. Kalau menyicipinya terus-terusan, itu namanya makan besar. Inilah kenapa eksplorasi memeiliki batas waktu, karena sekedar menyicipi saja.

Dalam Pasal 22 UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, diatur tentang masa eksplorasi panas bumi ialah 3 (tiga) tahun sejak IUP diterbitkan, lalu dapat diperpanjang 2 (dua) tahun. Totalnya 5 (lima). Ini berarti PT SAE pada awalnya hanya memiliki izin eksplorasi sampai 11 April 2016. Hal ini sesuai dengan kewajiban mereka yang diatur di IUP berdasarkan SK Gubernur Jateng 541.1/27/2011:

Selama jangka waktu IUP sebagaimana dimaksud pada diktum ketiga, pemegang IUP berkewajiban, (f). menyelesaikan pemboran paling sedikit 2 (dua) sumur eksplorasi, paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak ditetapkannya Keputusan ini sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian mereka mendapat perpanjangan pada tahun 2014 berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 541.1/004341/2014, sampai 11 April 2015. Dan terdapat ketentuan apabila dipandang perlu, PT SAE dapat, “memperpanjang jangka waktu eksplorasi ke-2 (dua) selama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya masa perpanjangan ke-1 (satu) ini sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mengingat ini sudah 2017, seharusnya PT SAE tidak dapat melanjutkan eksplorasi.

Namun berkat perubahan UU Panas Bumi yang tadinya Nomor 27 tahun 2003 menjadi Nomor 21 Tahun 2014, masa eksplorasi tidak lagi maksimal 5 tahun, melainkan menjadi 7 tahun sebagaimana dalam Pasal 31. Adapun IUP yang dipegang PT SAE disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi (IPB) berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 4577 K/30/MEM/2015. Hal ini dipertegas oleh Bambang Purdiantoro selaku Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, pada Seminar Panas Bumi di Auditorium Faperta Unsoed pada 24 Juli 2017 bahwa masa eksplorasi PT SAE ialah sampai 11 April 2018.

Hal ini tentu masih bisa diperdebatkan apakah penyesuaian dari IUP menjadi IPB hanyalah penyesuaian dari segi formil belaka (perubahan nama izin), ataukah juga dapat mengubah segi materiilnya (mengubah hak dan kewajiban). Saya beranggapan bahwa penyesuaian izin ini mesti dimaknai dari segi formil belaka, tidak boleh sampai mengubah hak dan kewajiban. Analoginya seperti menyicipi makanan tadi. Jika jangka waktu eksplorasi PT SAE bisa diotak-atik, hal ini tentu berakibat pelik pada ekosistem hutan lindung Gunung Slamet. Di samping itu, jika masa berlaku eksplorasi ini dapat diperpanjang dengan mengubah aturan, ini sama saja dengan akrobat hukum yang mengacaukan kepastian hukum.

Sebenarnya masih banyak lagi akrobat hukum yang dapat diulas pada isu PLTB di Gunung Slamet ini. Akan tetapi karena keterbatasan ruang, semoga sekiranya beberapa penemuan fenomena akrobatik hukum tadi dapat membuka jendela pikiran kita bahwa hukum di Indonesia semakin tidak baik-baik saja. Pemerintah melegitimasi hukum yang tidak selaras dengan kenyataan. Hukum negara bisa diotak-atik seenaknya, tapi alam memiliki hukumnya sendiri. Dan ketika masyarakat tertimpa bencana dari adanya proyek ini, sebagai akibat dari dijebolnya keseimbangan alam yang ada, maka hukum negara menjadi tidak ada gunanya lagi. Karena orang yang tewas tertimpa bencana, tidak bisa menyaksikan akrobat hukum.





[1] Tulisan ini dimuat di Majalah LPM Bhaskara Universitas Muhammadiyah Purwokereto Edisi Agustus 2017

Sabtu, 12 Agustus 2017

Gunung Slamet dalam Ancaman


Siapa sih yang tidak mengenal Gunung Slamet? Gunung tertinggi di Jawa Tengah yang memiliki hutan tropis alami terakhir di Pulau Jawa ini, terlihat oleh kita setiap hari.
Berbagai flora dan fauna hidup di Gunung Slamet. Mulai dari Elang Jawa, Macan Tutul, Anggrek Gunung, hingga spesies Katak yang belum diberi nama pun ada di Gunung Slamet.
Kesemuanya dapat hidup lestari di Gunung Slamet karena rapatnya tutupan hutan lindung, yang membuat suhu di sana selalu lembab dengan kondisi tanah yang selalu basah karena serapan air yang baik. Dengan kondisi demikian pun, Gunung Slamet dapat menyediakan pasokan air melalui berbagai sumber mata air untuk keperluan makhluk hidup di sekitarnya.
Masyarakat Banyumas, amat bergantung pada keberadaan Gunung Slamet ini, mulai dari untuk air minum sehari-hari, pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, bahkan pariwisata. Akan tetapi berkah __pan Tuhan yang begitu indah ini, kondisinya tak lagi sama sejak datangnya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) dari PT Sejahtera Alam Energy (SAE).
PLTPB merupakan industri penyediaan energi listrik yang bersumber dari panas bumi (geothermal). Proses pembangunan industri ini terdiri dari eksplorasi dan eksploitasi. Pada proses eksplorasi ini terdapat beberapa kegiatan yaitu mobilisasi peralatan dan material untuk pembuatan infrastruktur seper_ jalan, jalur pipa, embung, dan landasan sumur pengeboran (wellpad). Setelah itu, dilakukan pengeboran untuk uji panas bumi.
Saat ini, Gunung Slamet akan dibangun PLTPB yang Wilayah Kerja Pertambangannya mencakup seluas 24.660 hektar, dari Kaligua Kab. Brebes sampai Kec. Baturraden Kab. Banyumas.
Dari total keseluruhan wilayah tersebut, 2 seluas 675,7 hektar atau 6.755.770 m hutan lindung mulai ditebangi habis-habisan pepohonannya, untuk pembangunan infrastruktur.
Pembabatan hutan lindung untuk pembangunan infrastruktur ini sudah berlangsung sejak Oktober 2016, dan kini sedang mencapai di kecamatan Cilongok.
Dampak Kerusakan
Ada beberapa dampak yang dapat terjadi ketika PLTPB dibangun :
1.   Berdasarkan Peta Kerentanan Gerakan Tanah yang diterbitkan Dinas ESDM Banyumas, lereng selatan Slamet berada di zona merah. Artinya, tanah di zona ini selalu bergerak sehingga rawan bencana. Sewaktu-waktu dapat terjadi bencana longsor meskipun tanpa ada ak_vitas apapun. Zona ini mencakup di sebagian besar kecamatan Cilongok, dan sebagian lagi di Kedungbanteng, Karanglewas, Baturraden, dan Sumbang di sisi utara. Proses eksplorasi dan eksploitasi panas bumi seperti mobilisasi alat berat dan pengeboran, menghasilkan getaran tanah yang besar. Penelitian dari Bosman Batubara (ahli geologi/ilmu bumi) menyatakan pada umumnya proses pengeboran dapat menghasilkan gempa minor 3 sampai 4 skala richter. Getaran seukuran itu tergolong berdampak serius bagi area di lereng selatan Slamet, mengingat kemiringannya yang curam, dan posisinya yang berada di zona merah kerentanan gerakan tanah.
2.  Saat proses pengeboran, pada umumnya kedalaman yang akan dibor ialah mencapai 3000 meter di bawah permukaan bumi. Dibutuhkan air permukaan untuk membantu pengeboran dalam memecah bebatuan di dalam bumi. Air yang akan diambil berasal dari Sungai Logawa dan Sungai Banjaran, serta air tanah yang lokasinya belum diketahui. Dalam dokumen lingkungan PT SAE juga belum jelas berapa jumlah air yang akan diambil untuk pengeboran. Yang jelas jumlah air di lereng selatan Slamet akan berkurang. Padahal air adalah sumber penghidupan bagi warga lereng selatan Gunung Slamet.
3.  Hutan di Slamet adalah tempat tinggal berbagai hewan liar. Ketika hutan lindung dibabat dengan area seluas itu, wilayah jelajah hewan akan semakin menyempit. Hewan-hewan liat terpaksa menyingkir dan mencari tempat hidup lain, termasuk ke pemukiman masyarakat. Bahkan warga pinggiran hutan Lereng Gunung Slamet kini mulai mengeluh karena kebunnya dirusak oleh turunnya Babi Hutan yang biasanya hidup di tengah hutan.
Pembabatan area hutan lindung ini juga akan berdampak langsung pada musnahnya hewan-hewan langka contohnya Owa Jawa, Elang Jawa, dan Harimau.
Alam Rusak Tanggungjawab Siapa?
Berbagai elemen masyarakat Banyumas sempat menggelar aksi massa di Kantor Bupati pada 18 Juli 2017. Jumlah massa aksi yang tergabung kurang lebih 500 orang. Aksi tersebut bermaksud menanyakan kepada Pemkab dan PT SAE terkait :
1.   Apakah pemerintah dan PT SAE akan menjamin proyek ini tidak akan mengakibatkan bencana longsor maupun banjir bandang?
2.   Apakah sistem perairan di Gunung Slamet tidak akan terganggu dengan adanya proyek ini?
3.   Para proyek ini, PT SAE hanya berbekal dokumen lingkungan yang seadanya, yaitu UKL-UPL. Apakah dokumen ini sudah layak dan tepat sebagai landasan perencanaan untuk proyek PLTPB di Gunung Slamet? Mengingat, ada banyak sekali kekeliruan data dan potensi kebencanaan yang tidak dimuat dalam dokumen lingkungan PT SAE.
Bupati Banyumas menyampaikan bahwa semua pertanyaan yang disampaikan masyarakat, akan dijawab semua oleh PT SAE pada acara seminar tanggal 24 Juli di Unsoed. Pihak PT SAE yang diwakili Cepi Suryaman menyanggupi kepada Bupati dan masyarakat yang hadir pada saat itu akan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh aliansi Selamatkan Slamet.
Akan tetapi pada saat seminar berlangsung, sangat disesali PT SAE tidak sanggup menjawab dengan ilmiah. Bahkan ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab sama sekali. Pada waktu itu PT SAE diwakili oleh Bintang Sasongko. Masyarakat juga meminta agar ada pernyataan hitam di atas pu_h, bahwa pemerintah dan PT SAE akan bertanggungjawab terhadap bencana yang akan terjadi. Akan tetapi permintaan ini tidak disanggupi. Jika sudah begini, pantaskah proyek panas bumi terus dilanjutkan ?



[1] Dimuat pada Leaflet Selamatkan Slamet 12 Agustus 2017 yang disebar di desa-desa

Jumat, 28 Juli 2017

Indonesia dan Penjajahan Di Atas Dunia

Tulisan ini saya dedikasikan untuk kawan-kawan yang sedang berjuang di Yerusalem melawan tindasan rejim Israel, dan kawan-kawan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang sedang berulang tahun, yang tak pernah lelah berjuang demi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam pembebasan nasional Papua Barat. Tak lupa, tulisan ini saya tujukan sebagai kritik untuk Presiden Jokowi, yang dianggap representasi golongan politik yang katanya nasionalis. Gagasan utama tulisan ini ialah penekanan kembali bahwa kemerdekaan sejati suatu bangsa hanya mungkin terjadi jika terdapat kemerdekaan seluruh bangsa di dunia.

Mari kita mulai pembicaraan singkat kita dengan membahas negara. Kaum fasis seperti Benito Mussolini (Mussolini, 1932 : 29) berkata, “Semua ada di dalam negara, tidak ada sesuatu di luar negara, tidak ada yang bertentangan dengan negara.” Tentu kita tidak akan mengikuti pandangan negara yang fasistik seperti ini (tentang alasan terkait hal ini akan saya bahas di tulisan lain). Friedrich Engels dalam Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara telah menyelidiki berdasarkan fakta-fakta antropologis bahwa ternyata negara hanyalah sebuah tahap tertentu dari masyarakat tertentu. Negara bukanlah tujuan, melainkan merupakan sarana. Ada yang menjadikannya sebagai sarana untuk menjaga kepemilikan pribadi seperti pada masyarakat kapitalis, ataupun menjaga hak-hak istimewa seperti pada masa feodalisme. Tapi ada juga yang bermaksud menjadikannya untuk sarana kesejahteraan warganya.

Bagaimana dengan tujuan negara Indonesia? Berdasarkan sejarahnya, negara Indonesia merupakan sarana untuk mempertahankan kemerdekaan dari imperialisme Belanda. Indonesia dibangun untuk mewujudkan tatanan masyarakat adil makmur. Kita kerap mendengar hal ini. Tapi, ini saja tidak cukup. Indonesia dibangun bukan untuk tujuan nasional belaka. Simak kalimat awal pembukaan :

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Para pendiri republik menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia hanyalah bagian dari gerakan pembebasan nasional anti-imperialis di seluruh dunia seperti di India (1947), Burma (1948), Sri Lanka (1948), Libanon (1943), Suriah (1943), Jordania (1946), Filipina (1946), Tiongkok (1949), Libya (1951), Sudan (1956), dan bangsa-bangsa lainnya. Indonesia tidak hanya dibangun untuk terbebas dari imperialisme Belanda. Tapi lebih jauh dari itu, Indonesia mengkehendaki lenyapnya imperialisme "diatas dunia." Banyak dari teks-teks Sukarno mengutip teori-teori imperialisme yang digagas Vladimir Lenin dan Rosa Luxemburg. Situasi imperialisme yang masih berlangsung pada saat itu mendorong para pendiri Indonesia untuk menancapkan tujuan, “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” sebagai salah satu tujuan bangsa Indonesia di Pembukaan UUD 1945.

Ini menandakan bahwa Indonesia bukanlah menonjolkan sisi nasionalisme di bagian depan, melaikan justru internasionalisme. Tidak ada kemerdekaan penuh bagi Indonesia, tanpa kemerdekaan di seluruh negeri. Andaikata pada waktu itu negara Indonesia hanyalah untuk kepentingan nasional belaka, tidak perlu Indonesia repot-repot membangun gerakan Non Blok, KAA, dan New Emerging Forces di negeri-negeri bekas jajahan dan setengah jajahan. Tak perlu juga sampai mengecam pendudukan imperialis Inggris di Malaysia dan Israel di Palestina, bahkan sampai keluar dari PBB.

Lantas bagaimana pandangan politik dari rejim yang memerintah Indonesia saat ini? Apakah masih anti imperialis seperti rejim terdahulu?

Kepentingan Nasional ala Jokowi

Pada 18 Mei 2017, Jokowi berpidato di Istana Negara, mengeluhkan kenapa bangsa Indonesia masih sibuk, “berkutat pada hal-hal yang tidak produktif, urusan demo, urusan fitnah, urusan hujat menghujat,” sementara di negeri-negeri maju ada orang seperti, “Elon Musk yang sudah mengembangkan mobil masa depan, teknologi hyperloop serta pemanfaatan ruang angkasa bagi manusia.” Jokowi secara tidak langsung mengakui adanya perkembangan yang tidak merata antara Indonesia yang merupakan negera Dunia Ketiga dengan negeri-negeri maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, Rusia, China, maupun Perancis. Jokowi ingin Indonesia dapat modern dan sejajar dengan negara-negara maju. Jokowi ingin Indonesia dengan segera memasuki fase negeri industri, melalui serangkaian proses pembangunan infrastruktur untuk industrialisasi. Tapi mungkinkah hal tersebut dapat terwujud dengan strategi kebijakan yang Jokowi keluarkan saat ini? Kita akan mengkritisi hal tersebut. Tapi sebelumnya, mari kita bahas lebih dulu mengapa negeri-negeri kapitalis maju dapat mengalami industrialisasi lebih awal dibanding negeri-negeri lainnya, terutama negeri Dunia Ketiga.

Karl Marx dalam Bab ke-XXXI Das Kapital yang berjudul Asal Usul Kapitalis Industri menulis sebagai berikut :

“Penemuan emas dan perak di Amerika, pemusnahan, perbudakan, dan penguburan penduduk asli dalam tambang-tambang, dimulainya penaklukan dan perampokan Hindia Timur, diubahnya Afrika menjadi daerah daerah pemburuan komersial terhadap orang-orang kulit hitam, menandakan fajarnya zaman produksi kapitalis.”

“Metode-metode ini sebagian tergantung pada kekerasan yang bengis, misalnya, sistem kolonial. Akan tetapi mereka semuanya mempergunakan kekuasaan negara, kekuatan terkonsentrasi dan terorganisasi dari masyarakat, untuk mempercepat proses perubahan dari corak produksi feodal menjadi corak produksi kapitalis.”

“Sistem kolonial, hutang-hutang negara, pajak-pajak tinggi, proteksi, perang-perang dagang, dan sebagainya, anak-anak dari zaman manufaktur yang sebenarnya, berkembang secara raksasa dalam masa kanak-kanak industri modern. Kelahiran industri modern ini telah dipermaklumkan dengan penyembelihan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak berdosa.”

Dari tulisan Marx tersebut, ketimpangan perkembangan corak produksi dan teknologi selama ini hanya dimungkinkan dari adanya surplus yang diperoleh dari sumber daya alam dan tenaga kerja murah di negeri Dunia Ketiga, yang dieksploitasi oleh korporasi-korporasi besar negeri-negeri kapitalis maju. Perampokan ini masih terus berlangsung baik secara tidak langsung (melalui perantara penguasa lokal) seperti di Indonesia, maupun secara langsung (melalui intervensi militer imperialis) seperti di Timur Tengah.

Ketertinggalan dan ketimpangan perkembangan ini hanya bisa disudahi dengan cara menghentikan akar penyebabnya, yaitu imperialisme. Eksploitasi terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga harus disudahi. Dan ini ternyata sejalan dengan pandangan pendiri republik Indonesia dalam membangun Indonesia, yaitu bertujuan menghapus “penjajahan atas dunia”, yang tidak lain dengan menghapus imperialisme. Hanya dengan inilah Indonesia bisa sejajar dengan bangsa-bangsa maju, karena memang seluruh bangsa kemudian menjadi sama-sama maju, sama-sama sejajar.

Lantas bagaimana dengan kebijakan Jokowi? Skema kebijakan nasional Jokowi ternyata jauh dari yang sudah digagas pendiri republik Indonesia. Kebijakan umum yang dia ajukan ialah pembangunan ekonomi melalui utang luar negeri, pembangunan infrastruktur berbasis PPP (Public-Private-Partnership), deregulasi ekonomi, pengetatan anggaran dengan mencabut sejumlah subsidi sosial, land market flexibility, dan labour market flexibility. Skema Jokowi yang demikian sebenarnya tidak akan membuat bangsa Indonesia bisa melampaui atau bahkan sejajar dengan bangsa-bangsa maju. Skema demikian masih melanggengkan tatanan imperialisme, dan karenanya, adalah kebohongan jika itu demi "kepentingan nasional".

Indonesia di bawah rejim Jokowi semakin pragmatis dengan menunjukkan sikapnya yang jauh dari cita-cita anti penjajahan, kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Demi “kepentingan nasional”, apapun dilakukan. Bahkan jika itu harus menjajah bangsa Papua Barat. Bahkan jika itu harus menjilat Raja Salman yang sedang menjajah Yaman. Bahkan jika itu harus terikat utang pada negeri-negeri imperialis seperti Amerika, Jepang, Tiongkok dan Jerman.

Dengan mengikuti kebijakan rejim Jokowi yang demikian, mustahil Indonesia dapat sejajar dengan negeri-negeri maju. Jika negeri penjajah menggunakan corak produksi industri kapitalis, maka negeri jajahan atau setengah jajahannya pasti setingkat atau dua tingkat lebih rendah dari corak produksi industri kapitalis. Jika Indonesia saat ini sedang mengalami transisi menuju masyarakat kapitalis industri, maka negeri-negeri imperialis telah memasuki fase kapitalis-monopoli, fase konsentrasi produksi, fase oligarki finansial, fase ekspor kapital, fase perlombaan senjata, nuklir dan space program. Kondisi imperialisme membuat selalu ada ketimpangan segelintir negeri yang maju, dan mayoritas negeri yang tertinggal dan bergantung.


Jika Jokowi mengimpikan Indonesia menjadi negeri maju, maka hendaknya ia sudahi berkhayal dan berspekulasi dengan kebijakan pembangunan pragmatisnya. Bebaskan kawan Obby Kogoya dan hentikan penjajahan atas rakyat Papua Barat, dukung penuh kemerdekaan rakyat Palestina, bela rakyat Yaman dari tindasan Arab Saudi, dukung pembebasan nasional demokratis rakyat Kurdi di Turki dan Suriah, dukung pembebasan nasional kaum republikan Irlandia, bela rakyat Yunani dari jeratan utang Jerman, desak Donald Trump untuk mencabut kebijakannya yang rasis, anti-imigran, dan anti kaum muslim, dan bangun solidaritas bangsa-bangsa anti imperialis. Hanya dengan inilah Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju, bukan hanya maju secara ekonomi, tapi juga maju harga diri dan martabatnya. Bangsa yang dapat memenuhi janji konstitusionalnya berdasarkan Pembukaan UUD 1945. Tapi bagaimana jika lantas Jokowi terlalu takut untuk melakukannya? Maka jangan heran jika generasi baru kaum muda yang akan melakukannya, generasi yang lebih pemberani, generasi yang lebih tercerahkan dari gelapnya ketertutupan dan hipokrisi generasi tua.

Anda Pengunjung ke