Jumat, 28 Juli 2017

Indonesia dan Penjajahan Di Atas Dunia

Tulisan ini saya dedikasikan untuk kawan-kawan yang sedang berjuang di Yerusalem melawan tindasan rejim Israel, dan kawan-kawan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang sedang berulang tahun, yang tak pernah lelah berjuang demi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam pembebasan nasional Papua Barat. Tak lupa, tulisan ini saya tujukan sebagai kritik untuk Presiden Jokowi, yang dianggap representasi golongan politik yang katanya nasionalis. Gagasan utama tulisan ini ialah penekanan kembali bahwa kemerdekaan sejati suatu bangsa hanya mungkin terjadi jika terdapat kemerdekaan seluruh bangsa di dunia.

Mari kita mulai pembicaraan singkat kita dengan membahas negara. Kaum fasis seperti Benito Mussolini (Mussolini, 1932 : 29) berkata, “Semua ada di dalam negara, tidak ada sesuatu di luar negara, tidak ada yang bertentangan dengan negara.” Tentu kita tidak akan mengikuti pandangan negara yang fasistik seperti ini (tentang alasan terkait hal ini akan saya bahas di tulisan lain). Friedrich Engels dalam Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara telah menyelidiki berdasarkan fakta-fakta antropologis bahwa ternyata negara hanyalah sebuah tahap tertentu dari masyarakat tertentu. Negara bukanlah tujuan, melainkan merupakan sarana. Ada yang menjadikannya sebagai sarana untuk menjaga kepemilikan pribadi seperti pada masyarakat kapitalis, ataupun menjaga hak-hak istimewa seperti pada masa feodalisme. Tapi ada juga yang bermaksud menjadikannya untuk sarana kesejahteraan warganya.

Bagaimana dengan tujuan negara Indonesia? Berdasarkan sejarahnya, negara Indonesia merupakan sarana untuk mempertahankan kemerdekaan dari imperialisme Belanda. Indonesia dibangun untuk mewujudkan tatanan masyarakat adil makmur. Kita kerap mendengar hal ini. Tapi, ini saja tidak cukup. Indonesia dibangun bukan untuk tujuan nasional belaka. Simak kalimat awal pembukaan :

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Para pendiri republik menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia hanyalah bagian dari gerakan pembebasan nasional anti-imperialis di seluruh dunia seperti di India (1947), Burma (1948), Sri Lanka (1948), Libanon (1943), Suriah (1943), Jordania (1946), Filipina (1946), Tiongkok (1949), Libya (1951), Sudan (1956), dan bangsa-bangsa lainnya. Indonesia tidak hanya dibangun untuk terbebas dari imperialisme Belanda. Tapi lebih jauh dari itu, Indonesia mengkehendaki lenyapnya imperialisme "diatas dunia." Banyak dari teks-teks Sukarno mengutip teori-teori imperialisme yang digagas Vladimir Lenin dan Rosa Luxemburg. Situasi imperialisme yang masih berlangsung pada saat itu mendorong para pendiri Indonesia untuk menancapkan tujuan, “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” sebagai salah satu tujuan bangsa Indonesia di Pembukaan UUD 1945.

Ini menandakan bahwa Indonesia bukanlah menonjolkan sisi nasionalisme di bagian depan, melaikan justru internasionalisme. Tidak ada kemerdekaan penuh bagi Indonesia, tanpa kemerdekaan di seluruh negeri. Andaikata pada waktu itu negara Indonesia hanyalah untuk kepentingan nasional belaka, tidak perlu Indonesia repot-repot membangun gerakan Non Blok, KAA, dan New Emerging Forces di negeri-negeri bekas jajahan dan setengah jajahan. Tak perlu juga sampai mengecam pendudukan imperialis Inggris di Malaysia dan Israel di Palestina, bahkan sampai keluar dari PBB.

Lantas bagaimana pandangan politik dari rejim yang memerintah Indonesia saat ini? Apakah masih anti imperialis seperti rejim terdahulu?

Kepentingan Nasional ala Jokowi

Pada 18 Mei 2017, Jokowi berpidato di Istana Negara, mengeluhkan kenapa bangsa Indonesia masih sibuk, “berkutat pada hal-hal yang tidak produktif, urusan demo, urusan fitnah, urusan hujat menghujat,” sementara di negeri-negeri maju ada orang seperti, “Elon Musk yang sudah mengembangkan mobil masa depan, teknologi hyperloop serta pemanfaatan ruang angkasa bagi manusia.” Jokowi secara tidak langsung mengakui adanya perkembangan yang tidak merata antara Indonesia yang merupakan negera Dunia Ketiga dengan negeri-negeri maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, Rusia, China, maupun Perancis. Jokowi ingin Indonesia dapat modern dan sejajar dengan negara-negara maju. Jokowi ingin Indonesia dengan segera memasuki fase negeri industri, melalui serangkaian proses pembangunan infrastruktur untuk industrialisasi. Tapi mungkinkah hal tersebut dapat terwujud dengan strategi kebijakan yang Jokowi keluarkan saat ini? Kita akan mengkritisi hal tersebut. Tapi sebelumnya, mari kita bahas lebih dulu mengapa negeri-negeri kapitalis maju dapat mengalami industrialisasi lebih awal dibanding negeri-negeri lainnya, terutama negeri Dunia Ketiga.

Karl Marx dalam Bab ke-XXXI Das Kapital yang berjudul Asal Usul Kapitalis Industri menulis sebagai berikut :

“Penemuan emas dan perak di Amerika, pemusnahan, perbudakan, dan penguburan penduduk asli dalam tambang-tambang, dimulainya penaklukan dan perampokan Hindia Timur, diubahnya Afrika menjadi daerah daerah pemburuan komersial terhadap orang-orang kulit hitam, menandakan fajarnya zaman produksi kapitalis.”

“Metode-metode ini sebagian tergantung pada kekerasan yang bengis, misalnya, sistem kolonial. Akan tetapi mereka semuanya mempergunakan kekuasaan negara, kekuatan terkonsentrasi dan terorganisasi dari masyarakat, untuk mempercepat proses perubahan dari corak produksi feodal menjadi corak produksi kapitalis.”

“Sistem kolonial, hutang-hutang negara, pajak-pajak tinggi, proteksi, perang-perang dagang, dan sebagainya, anak-anak dari zaman manufaktur yang sebenarnya, berkembang secara raksasa dalam masa kanak-kanak industri modern. Kelahiran industri modern ini telah dipermaklumkan dengan penyembelihan besar-besaran terhadap orang-orang yang tidak berdosa.”

Dari tulisan Marx tersebut, ketimpangan perkembangan corak produksi dan teknologi selama ini hanya dimungkinkan dari adanya surplus yang diperoleh dari sumber daya alam dan tenaga kerja murah di negeri Dunia Ketiga, yang dieksploitasi oleh korporasi-korporasi besar negeri-negeri kapitalis maju. Perampokan ini masih terus berlangsung baik secara tidak langsung (melalui perantara penguasa lokal) seperti di Indonesia, maupun secara langsung (melalui intervensi militer imperialis) seperti di Timur Tengah.

Ketertinggalan dan ketimpangan perkembangan ini hanya bisa disudahi dengan cara menghentikan akar penyebabnya, yaitu imperialisme. Eksploitasi terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga harus disudahi. Dan ini ternyata sejalan dengan pandangan pendiri republik Indonesia dalam membangun Indonesia, yaitu bertujuan menghapus “penjajahan atas dunia”, yang tidak lain dengan menghapus imperialisme. Hanya dengan inilah Indonesia bisa sejajar dengan bangsa-bangsa maju, karena memang seluruh bangsa kemudian menjadi sama-sama maju, sama-sama sejajar.

Lantas bagaimana dengan kebijakan Jokowi? Skema kebijakan nasional Jokowi ternyata jauh dari yang sudah digagas pendiri republik Indonesia. Kebijakan umum yang dia ajukan ialah pembangunan ekonomi melalui utang luar negeri, pembangunan infrastruktur berbasis PPP (Public-Private-Partnership), deregulasi ekonomi, pengetatan anggaran dengan mencabut sejumlah subsidi sosial, land market flexibility, dan labour market flexibility. Skema Jokowi yang demikian sebenarnya tidak akan membuat bangsa Indonesia bisa melampaui atau bahkan sejajar dengan bangsa-bangsa maju. Skema demikian masih melanggengkan tatanan imperialisme, dan karenanya, adalah kebohongan jika itu demi "kepentingan nasional".

Indonesia di bawah rejim Jokowi semakin pragmatis dengan menunjukkan sikapnya yang jauh dari cita-cita anti penjajahan, kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Demi “kepentingan nasional”, apapun dilakukan. Bahkan jika itu harus menjajah bangsa Papua Barat. Bahkan jika itu harus menjilat Raja Salman yang sedang menjajah Yaman. Bahkan jika itu harus terikat utang pada negeri-negeri imperialis seperti Amerika, Jepang, Tiongkok dan Jerman.

Dengan mengikuti kebijakan rejim Jokowi yang demikian, mustahil Indonesia dapat sejajar dengan negeri-negeri maju. Jika negeri penjajah menggunakan corak produksi industri kapitalis, maka negeri jajahan atau setengah jajahannya pasti setingkat atau dua tingkat lebih rendah dari corak produksi industri kapitalis. Jika Indonesia saat ini sedang mengalami transisi menuju masyarakat kapitalis industri, maka negeri-negeri imperialis telah memasuki fase kapitalis-monopoli, fase konsentrasi produksi, fase oligarki finansial, fase ekspor kapital, fase perlombaan senjata, nuklir dan space program. Kondisi imperialisme membuat selalu ada ketimpangan segelintir negeri yang maju, dan mayoritas negeri yang tertinggal dan bergantung.


Jika Jokowi mengimpikan Indonesia menjadi negeri maju, maka hendaknya ia sudahi berkhayal dan berspekulasi dengan kebijakan pembangunan pragmatisnya. Bebaskan kawan Obby Kogoya dan hentikan penjajahan atas rakyat Papua Barat, dukung penuh kemerdekaan rakyat Palestina, bela rakyat Yaman dari tindasan Arab Saudi, dukung pembebasan nasional demokratis rakyat Kurdi di Turki dan Suriah, dukung pembebasan nasional kaum republikan Irlandia, bela rakyat Yunani dari jeratan utang Jerman, desak Donald Trump untuk mencabut kebijakannya yang rasis, anti-imigran, dan anti kaum muslim, dan bangun solidaritas bangsa-bangsa anti imperialis. Hanya dengan inilah Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju, bukan hanya maju secara ekonomi, tapi juga maju harga diri dan martabatnya. Bangsa yang dapat memenuhi janji konstitusionalnya berdasarkan Pembukaan UUD 1945. Tapi bagaimana jika lantas Jokowi terlalu takut untuk melakukannya? Maka jangan heran jika generasi baru kaum muda yang akan melakukannya, generasi yang lebih pemberani, generasi yang lebih tercerahkan dari gelapnya ketertutupan dan hipokrisi generasi tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke