Tulisan ini saya dedikasikan untuk
kawan-kawan yang sedang berjuang di Yerusalem melawan tindasan rejim Israel,
dan kawan-kawan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang sedang berulang tahun, yang
tak pernah lelah berjuang demi hak untuk menentukan nasib sendiri dalam
pembebasan nasional Papua Barat. Tak lupa, tulisan ini saya tujukan sebagai
kritik untuk Presiden Jokowi, yang dianggap representasi golongan politik yang
katanya nasionalis. Gagasan utama tulisan ini ialah penekanan kembali bahwa
kemerdekaan sejati suatu bangsa hanya mungkin terjadi jika terdapat kemerdekaan
seluruh bangsa di dunia.
Mari kita mulai pembicaraan singkat
kita dengan membahas negara. Kaum fasis seperti Benito Mussolini (Mussolini,
1932 : 29) berkata, “Semua ada di dalam
negara, tidak ada sesuatu di luar negara, tidak ada yang bertentangan dengan
negara.” Tentu kita tidak akan mengikuti pandangan negara yang fasistik
seperti ini (tentang alasan terkait hal ini akan saya bahas di tulisan lain).
Friedrich Engels dalam Asal Usul
Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara telah menyelidiki berdasarkan
fakta-fakta antropologis bahwa ternyata negara hanyalah sebuah tahap tertentu
dari masyarakat tertentu. Negara bukanlah tujuan, melainkan merupakan sarana.
Ada yang menjadikannya sebagai sarana untuk menjaga kepemilikan pribadi seperti
pada masyarakat kapitalis, ataupun menjaga hak-hak istimewa seperti pada masa
feodalisme. Tapi ada juga yang bermaksud menjadikannya untuk sarana
kesejahteraan warganya.
Bagaimana dengan tujuan negara
Indonesia? Berdasarkan sejarahnya, negara Indonesia merupakan sarana untuk
mempertahankan kemerdekaan dari imperialisme Belanda. Indonesia dibangun untuk
mewujudkan tatanan masyarakat adil makmur. Kita kerap mendengar hal ini. Tapi,
ini saja tidak cukup. Indonesia dibangun bukan untuk tujuan nasional belaka.
Simak kalimat awal pembukaan :
"Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan."
Para pendiri republik menyadari bahwa
kemerdekaan Indonesia hanyalah bagian dari gerakan pembebasan nasional
anti-imperialis di seluruh dunia seperti di India (1947), Burma (1948), Sri
Lanka (1948), Libanon (1943), Suriah (1943), Jordania (1946), Filipina (1946),
Tiongkok (1949), Libya (1951), Sudan (1956), dan bangsa-bangsa lainnya.
Indonesia tidak hanya dibangun untuk terbebas dari imperialisme Belanda. Tapi
lebih jauh dari itu, Indonesia mengkehendaki lenyapnya imperialisme "diatas
dunia." Banyak dari teks-teks Sukarno mengutip teori-teori imperialisme
yang digagas Vladimir Lenin dan Rosa Luxemburg. Situasi imperialisme yang masih
berlangsung pada saat itu mendorong para pendiri Indonesia untuk menancapkan
tujuan, “ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
sebagai salah satu tujuan bangsa Indonesia di Pembukaan UUD 1945.
Ini menandakan bahwa Indonesia bukanlah
menonjolkan sisi nasionalisme di bagian depan, melaikan justru internasionalisme.
Tidak ada kemerdekaan penuh bagi Indonesia, tanpa kemerdekaan di seluruh
negeri. Andaikata pada waktu itu negara Indonesia hanyalah untuk kepentingan
nasional belaka, tidak perlu Indonesia repot-repot membangun gerakan Non Blok,
KAA, dan New Emerging Forces di negeri-negeri bekas jajahan dan setengah
jajahan. Tak perlu juga sampai mengecam pendudukan imperialis Inggris di
Malaysia dan Israel di Palestina, bahkan sampai keluar dari PBB.
Lantas bagaimana pandangan politik dari
rejim yang memerintah Indonesia saat ini? Apakah masih anti imperialis seperti
rejim terdahulu?
Kepentingan
Nasional ala Jokowi
Pada 18 Mei 2017, Jokowi berpidato di
Istana Negara, mengeluhkan kenapa bangsa Indonesia masih sibuk, “berkutat pada
hal-hal yang tidak produktif, urusan demo, urusan fitnah, urusan hujat
menghujat,” sementara di negeri-negeri maju ada orang seperti, “Elon Musk yang
sudah mengembangkan mobil masa depan, teknologi hyperloop serta
pemanfaatan ruang angkasa bagi manusia.” Jokowi secara tidak langsung mengakui
adanya perkembangan yang tidak merata antara Indonesia yang merupakan negera
Dunia Ketiga dengan negeri-negeri maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, Rusia,
China, maupun Perancis. Jokowi ingin Indonesia dapat modern dan sejajar dengan
negara-negara maju. Jokowi ingin Indonesia dengan segera memasuki fase negeri
industri, melalui serangkaian proses pembangunan infrastruktur untuk
industrialisasi. Tapi mungkinkah hal tersebut dapat terwujud dengan strategi
kebijakan yang Jokowi keluarkan saat ini? Kita akan mengkritisi hal tersebut.
Tapi sebelumnya, mari kita bahas lebih dulu mengapa negeri-negeri kapitalis
maju dapat mengalami industrialisasi lebih awal dibanding negeri-negeri
lainnya, terutama negeri Dunia Ketiga.
Karl Marx dalam Bab ke-XXXI Das Kapital yang berjudul Asal Usul Kapitalis Industri menulis
sebagai berikut :
“Penemuan
emas dan perak di Amerika, pemusnahan, perbudakan, dan penguburan penduduk asli
dalam tambang-tambang, dimulainya penaklukan dan perampokan Hindia Timur,
diubahnya Afrika menjadi daerah daerah pemburuan komersial terhadap orang-orang
kulit hitam, menandakan fajarnya zaman produksi kapitalis.”
“Metode-metode
ini sebagian tergantung pada kekerasan yang bengis, misalnya, sistem kolonial.
Akan tetapi mereka semuanya mempergunakan kekuasaan negara, kekuatan
terkonsentrasi dan terorganisasi dari masyarakat, untuk mempercepat proses
perubahan dari corak produksi feodal menjadi corak produksi kapitalis.”
“Sistem
kolonial, hutang-hutang negara, pajak-pajak tinggi, proteksi, perang-perang
dagang, dan sebagainya, anak-anak dari zaman manufaktur yang sebenarnya,
berkembang secara raksasa dalam masa kanak-kanak industri modern. Kelahiran
industri modern ini telah dipermaklumkan dengan penyembelihan besar-besaran
terhadap orang-orang yang tidak berdosa.”
Dari tulisan Marx tersebut, ketimpangan
perkembangan corak produksi dan teknologi selama ini hanya dimungkinkan dari
adanya surplus yang diperoleh dari sumber daya alam dan tenaga kerja murah di
negeri Dunia Ketiga, yang dieksploitasi oleh korporasi-korporasi besar
negeri-negeri kapitalis maju. Perampokan ini masih terus berlangsung baik
secara tidak langsung (melalui perantara penguasa lokal) seperti di Indonesia,
maupun secara langsung (melalui intervensi militer imperialis) seperti di Timur
Tengah.
Ketertinggalan dan ketimpangan
perkembangan ini hanya bisa disudahi dengan cara menghentikan akar penyebabnya,
yaitu imperialisme. Eksploitasi terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga harus
disudahi. Dan ini ternyata sejalan dengan pandangan pendiri republik Indonesia
dalam membangun Indonesia, yaitu bertujuan menghapus “penjajahan atas dunia”,
yang tidak lain dengan menghapus imperialisme. Hanya dengan inilah Indonesia
bisa sejajar dengan bangsa-bangsa maju, karena memang seluruh bangsa kemudian menjadi
sama-sama maju, sama-sama sejajar.
Lantas bagaimana dengan kebijakan
Jokowi? Skema kebijakan nasional Jokowi ternyata jauh dari yang sudah digagas
pendiri republik Indonesia. Kebijakan umum yang dia ajukan ialah pembangunan
ekonomi melalui utang luar negeri, pembangunan infrastruktur berbasis PPP
(Public-Private-Partnership), deregulasi ekonomi, pengetatan anggaran dengan
mencabut sejumlah subsidi sosial, land
market flexibility, dan labour market
flexibility. Skema Jokowi yang demikian sebenarnya tidak akan membuat
bangsa Indonesia bisa melampaui atau bahkan sejajar dengan bangsa-bangsa maju.
Skema demikian masih melanggengkan tatanan imperialisme, dan karenanya, adalah
kebohongan jika itu demi "kepentingan nasional".
Indonesia di bawah rejim Jokowi semakin
pragmatis dengan menunjukkan sikapnya yang jauh dari cita-cita anti penjajahan,
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Demi “kepentingan
nasional”, apapun dilakukan. Bahkan jika itu harus menjajah bangsa Papua Barat.
Bahkan jika itu harus menjilat Raja Salman yang sedang menjajah Yaman. Bahkan
jika itu harus terikat utang pada negeri-negeri imperialis seperti Amerika,
Jepang, Tiongkok dan Jerman.
Dengan mengikuti kebijakan rejim Jokowi
yang demikian, mustahil Indonesia dapat sejajar dengan negeri-negeri maju. Jika
negeri penjajah menggunakan corak produksi industri kapitalis, maka negeri
jajahan atau setengah jajahannya pasti setingkat atau dua tingkat lebih rendah
dari corak produksi industri kapitalis. Jika Indonesia saat ini sedang mengalami
transisi menuju masyarakat kapitalis industri, maka negeri-negeri imperialis
telah memasuki fase kapitalis-monopoli, fase konsentrasi produksi, fase
oligarki finansial, fase ekspor kapital, fase perlombaan senjata, nuklir dan space program. Kondisi imperialisme
membuat selalu ada ketimpangan segelintir negeri yang maju, dan mayoritas
negeri yang tertinggal dan bergantung.
Jika Jokowi mengimpikan Indonesia
menjadi negeri maju, maka hendaknya ia sudahi berkhayal dan berspekulasi dengan
kebijakan pembangunan pragmatisnya. Bebaskan kawan Obby Kogoya dan hentikan
penjajahan atas rakyat Papua Barat, dukung penuh kemerdekaan rakyat Palestina,
bela rakyat Yaman dari tindasan Arab Saudi, dukung pembebasan nasional
demokratis rakyat Kurdi di Turki dan Suriah, dukung pembebasan nasional kaum
republikan Irlandia, bela rakyat Yunani dari jeratan utang Jerman, desak Donald
Trump untuk mencabut kebijakannya yang rasis, anti-imigran, dan anti kaum
muslim, dan bangun solidaritas bangsa-bangsa anti imperialis. Hanya dengan
inilah Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju, bukan hanya maju secara
ekonomi, tapi juga maju harga diri dan martabatnya. Bangsa yang dapat memenuhi
janji konstitusionalnya berdasarkan Pembukaan UUD 1945. Tapi bagaimana jika
lantas Jokowi terlalu takut untuk melakukannya? Maka jangan heran jika generasi
baru kaum muda yang akan melakukannya, generasi yang lebih pemberani, generasi
yang lebih tercerahkan dari gelapnya ketertutupan dan hipokrisi generasi tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar