Sabtu, 12 Agustus 2017

Gunung Slamet dalam Ancaman


Siapa sih yang tidak mengenal Gunung Slamet? Gunung tertinggi di Jawa Tengah yang memiliki hutan tropis alami terakhir di Pulau Jawa ini, terlihat oleh kita setiap hari.
Berbagai flora dan fauna hidup di Gunung Slamet. Mulai dari Elang Jawa, Macan Tutul, Anggrek Gunung, hingga spesies Katak yang belum diberi nama pun ada di Gunung Slamet.
Kesemuanya dapat hidup lestari di Gunung Slamet karena rapatnya tutupan hutan lindung, yang membuat suhu di sana selalu lembab dengan kondisi tanah yang selalu basah karena serapan air yang baik. Dengan kondisi demikian pun, Gunung Slamet dapat menyediakan pasokan air melalui berbagai sumber mata air untuk keperluan makhluk hidup di sekitarnya.
Masyarakat Banyumas, amat bergantung pada keberadaan Gunung Slamet ini, mulai dari untuk air minum sehari-hari, pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, bahkan pariwisata. Akan tetapi berkah __pan Tuhan yang begitu indah ini, kondisinya tak lagi sama sejak datangnya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) dari PT Sejahtera Alam Energy (SAE).
PLTPB merupakan industri penyediaan energi listrik yang bersumber dari panas bumi (geothermal). Proses pembangunan industri ini terdiri dari eksplorasi dan eksploitasi. Pada proses eksplorasi ini terdapat beberapa kegiatan yaitu mobilisasi peralatan dan material untuk pembuatan infrastruktur seper_ jalan, jalur pipa, embung, dan landasan sumur pengeboran (wellpad). Setelah itu, dilakukan pengeboran untuk uji panas bumi.
Saat ini, Gunung Slamet akan dibangun PLTPB yang Wilayah Kerja Pertambangannya mencakup seluas 24.660 hektar, dari Kaligua Kab. Brebes sampai Kec. Baturraden Kab. Banyumas.
Dari total keseluruhan wilayah tersebut, 2 seluas 675,7 hektar atau 6.755.770 m hutan lindung mulai ditebangi habis-habisan pepohonannya, untuk pembangunan infrastruktur.
Pembabatan hutan lindung untuk pembangunan infrastruktur ini sudah berlangsung sejak Oktober 2016, dan kini sedang mencapai di kecamatan Cilongok.
Dampak Kerusakan
Ada beberapa dampak yang dapat terjadi ketika PLTPB dibangun :
1.   Berdasarkan Peta Kerentanan Gerakan Tanah yang diterbitkan Dinas ESDM Banyumas, lereng selatan Slamet berada di zona merah. Artinya, tanah di zona ini selalu bergerak sehingga rawan bencana. Sewaktu-waktu dapat terjadi bencana longsor meskipun tanpa ada ak_vitas apapun. Zona ini mencakup di sebagian besar kecamatan Cilongok, dan sebagian lagi di Kedungbanteng, Karanglewas, Baturraden, dan Sumbang di sisi utara. Proses eksplorasi dan eksploitasi panas bumi seperti mobilisasi alat berat dan pengeboran, menghasilkan getaran tanah yang besar. Penelitian dari Bosman Batubara (ahli geologi/ilmu bumi) menyatakan pada umumnya proses pengeboran dapat menghasilkan gempa minor 3 sampai 4 skala richter. Getaran seukuran itu tergolong berdampak serius bagi area di lereng selatan Slamet, mengingat kemiringannya yang curam, dan posisinya yang berada di zona merah kerentanan gerakan tanah.
2.  Saat proses pengeboran, pada umumnya kedalaman yang akan dibor ialah mencapai 3000 meter di bawah permukaan bumi. Dibutuhkan air permukaan untuk membantu pengeboran dalam memecah bebatuan di dalam bumi. Air yang akan diambil berasal dari Sungai Logawa dan Sungai Banjaran, serta air tanah yang lokasinya belum diketahui. Dalam dokumen lingkungan PT SAE juga belum jelas berapa jumlah air yang akan diambil untuk pengeboran. Yang jelas jumlah air di lereng selatan Slamet akan berkurang. Padahal air adalah sumber penghidupan bagi warga lereng selatan Gunung Slamet.
3.  Hutan di Slamet adalah tempat tinggal berbagai hewan liar. Ketika hutan lindung dibabat dengan area seluas itu, wilayah jelajah hewan akan semakin menyempit. Hewan-hewan liat terpaksa menyingkir dan mencari tempat hidup lain, termasuk ke pemukiman masyarakat. Bahkan warga pinggiran hutan Lereng Gunung Slamet kini mulai mengeluh karena kebunnya dirusak oleh turunnya Babi Hutan yang biasanya hidup di tengah hutan.
Pembabatan area hutan lindung ini juga akan berdampak langsung pada musnahnya hewan-hewan langka contohnya Owa Jawa, Elang Jawa, dan Harimau.
Alam Rusak Tanggungjawab Siapa?
Berbagai elemen masyarakat Banyumas sempat menggelar aksi massa di Kantor Bupati pada 18 Juli 2017. Jumlah massa aksi yang tergabung kurang lebih 500 orang. Aksi tersebut bermaksud menanyakan kepada Pemkab dan PT SAE terkait :
1.   Apakah pemerintah dan PT SAE akan menjamin proyek ini tidak akan mengakibatkan bencana longsor maupun banjir bandang?
2.   Apakah sistem perairan di Gunung Slamet tidak akan terganggu dengan adanya proyek ini?
3.   Para proyek ini, PT SAE hanya berbekal dokumen lingkungan yang seadanya, yaitu UKL-UPL. Apakah dokumen ini sudah layak dan tepat sebagai landasan perencanaan untuk proyek PLTPB di Gunung Slamet? Mengingat, ada banyak sekali kekeliruan data dan potensi kebencanaan yang tidak dimuat dalam dokumen lingkungan PT SAE.
Bupati Banyumas menyampaikan bahwa semua pertanyaan yang disampaikan masyarakat, akan dijawab semua oleh PT SAE pada acara seminar tanggal 24 Juli di Unsoed. Pihak PT SAE yang diwakili Cepi Suryaman menyanggupi kepada Bupati dan masyarakat yang hadir pada saat itu akan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh aliansi Selamatkan Slamet.
Akan tetapi pada saat seminar berlangsung, sangat disesali PT SAE tidak sanggup menjawab dengan ilmiah. Bahkan ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab sama sekali. Pada waktu itu PT SAE diwakili oleh Bintang Sasongko. Masyarakat juga meminta agar ada pernyataan hitam di atas pu_h, bahwa pemerintah dan PT SAE akan bertanggungjawab terhadap bencana yang akan terjadi. Akan tetapi permintaan ini tidak disanggupi. Jika sudah begini, pantaskah proyek panas bumi terus dilanjutkan ?



[1] Dimuat pada Leaflet Selamatkan Slamet 12 Agustus 2017 yang disebar di desa-desa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke