Siapa
sih yang tidak mengenal Gunung Slamet? Gunung tertinggi di Jawa Tengah yang
memiliki hutan tropis alami terakhir di Pulau Jawa ini, terlihat oleh kita setiap
hari.
Berbagai
flora dan fauna hidup di Gunung Slamet. Mulai dari Elang Jawa, Macan Tutul, Anggrek
Gunung, hingga spesies Katak yang belum diberi nama pun ada di Gunung Slamet.
Kesemuanya
dapat hidup lestari di Gunung Slamet karena rapatnya tutupan hutan lindung,
yang membuat suhu di sana selalu lembab dengan kondisi tanah yang selalu basah
karena serapan air yang baik. Dengan kondisi demikian pun, Gunung Slamet dapat menyediakan
pasokan air melalui berbagai sumber mata air untuk keperluan makhluk hidup di
sekitarnya.
Masyarakat
Banyumas, amat bergantung pada keberadaan Gunung Slamet ini, mulai dari untuk
air minum sehari-hari, pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, bahkan pariwisata.
Akan tetapi berkah __pan Tuhan yang begitu indah ini, kondisinya tak lagi sama
sejak datangnya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) dari PT Sejahtera
Alam Energy (SAE).
PLTPB
merupakan industri penyediaan energi listrik yang bersumber dari panas bumi (geothermal).
Proses pembangunan industri ini terdiri dari eksplorasi dan eksploitasi. Pada
proses eksplorasi ini terdapat beberapa kegiatan yaitu mobilisasi peralatan dan
material untuk pembuatan infrastruktur seper_ jalan, jalur pipa, embung, dan
landasan sumur pengeboran (wellpad). Setelah itu, dilakukan pengeboran
untuk uji panas bumi.
Saat
ini, Gunung Slamet akan dibangun PLTPB yang Wilayah Kerja Pertambangannya
mencakup seluas 24.660 hektar, dari Kaligua Kab. Brebes sampai Kec. Baturraden
Kab. Banyumas.
Dari
total keseluruhan wilayah tersebut, 2 seluas 675,7 hektar atau 6.755.770 m hutan
lindung mulai ditebangi habis-habisan pepohonannya, untuk pembangunan infrastruktur.
Pembabatan
hutan lindung untuk pembangunan infrastruktur ini sudah berlangsung sejak
Oktober 2016, dan kini sedang mencapai di kecamatan Cilongok.
Dampak Kerusakan
Ada beberapa dampak yang dapat terjadi
ketika PLTPB dibangun :
1.
Berdasarkan Peta Kerentanan Gerakan Tanah
yang diterbitkan Dinas ESDM Banyumas, lereng selatan Slamet berada di zona
merah. Artinya, tanah di zona ini selalu bergerak sehingga rawan bencana.
Sewaktu-waktu dapat terjadi bencana longsor meskipun tanpa ada ak_vitas apapun.
Zona ini mencakup di sebagian besar kecamatan Cilongok, dan sebagian lagi di
Kedungbanteng, Karanglewas, Baturraden, dan Sumbang di sisi utara. Proses eksplorasi
dan eksploitasi panas bumi seperti mobilisasi alat berat dan pengeboran,
menghasilkan getaran tanah yang besar. Penelitian dari Bosman Batubara (ahli
geologi/ilmu bumi) menyatakan pada umumnya proses pengeboran dapat menghasilkan
gempa minor 3 sampai 4 skala richter. Getaran seukuran itu tergolong berdampak
serius bagi area di lereng selatan Slamet, mengingat kemiringannya yang curam,
dan posisinya yang berada di zona merah kerentanan gerakan tanah.
2. Saat
proses pengeboran, pada umumnya kedalaman yang akan dibor ialah mencapai 3000
meter di bawah permukaan bumi. Dibutuhkan air permukaan untuk membantu pengeboran
dalam memecah bebatuan di dalam bumi. Air yang akan diambil berasal dari Sungai
Logawa dan Sungai Banjaran, serta air tanah yang lokasinya belum diketahui. Dalam
dokumen lingkungan PT SAE juga belum jelas berapa jumlah air yang akan diambil untuk
pengeboran. Yang jelas jumlah air di lereng selatan Slamet akan berkurang. Padahal
air adalah sumber penghidupan bagi warga lereng selatan Gunung Slamet.
3. Hutan
di Slamet adalah tempat tinggal berbagai hewan liar. Ketika hutan lindung dibabat
dengan area seluas itu, wilayah jelajah hewan akan semakin menyempit. Hewan-hewan
liat terpaksa menyingkir dan mencari tempat hidup lain, termasuk ke pemukiman masyarakat.
Bahkan warga pinggiran hutan Lereng Gunung Slamet kini mulai mengeluh karena
kebunnya dirusak oleh turunnya Babi Hutan yang biasanya hidup di tengah hutan.
Pembabatan
area hutan lindung ini juga akan berdampak langsung pada musnahnya hewan-hewan
langka contohnya Owa Jawa, Elang Jawa, dan Harimau.
Alam Rusak Tanggungjawab Siapa?
Berbagai
elemen masyarakat Banyumas sempat menggelar aksi massa di Kantor Bupati pada 18
Juli 2017. Jumlah massa aksi yang tergabung kurang lebih 500 orang. Aksi tersebut
bermaksud menanyakan kepada Pemkab dan PT SAE terkait :
1.
Apakah pemerintah dan PT SAE akan menjamin
proyek ini tidak akan mengakibatkan bencana longsor maupun banjir bandang?
2.
Apakah sistem perairan di Gunung Slamet tidak
akan terganggu dengan adanya proyek ini?
3.
Para proyek ini, PT SAE hanya berbekal
dokumen lingkungan yang seadanya, yaitu UKL-UPL. Apakah dokumen ini sudah layak
dan tepat sebagai landasan perencanaan untuk proyek PLTPB di Gunung Slamet?
Mengingat, ada banyak sekali kekeliruan data dan potensi kebencanaan yang tidak
dimuat dalam dokumen lingkungan PT SAE.
Bupati
Banyumas menyampaikan bahwa semua pertanyaan yang disampaikan masyarakat, akan
dijawab semua oleh PT SAE pada acara seminar tanggal 24 Juli di Unsoed. Pihak
PT SAE yang diwakili Cepi Suryaman menyanggupi kepada Bupati dan masyarakat
yang hadir pada saat itu akan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh
aliansi Selamatkan Slamet.
Akan
tetapi pada saat seminar berlangsung, sangat disesali PT SAE tidak sanggup menjawab
dengan ilmiah. Bahkan ada beberapa pertanyaan yang tidak dijawab sama sekali.
Pada waktu itu PT SAE diwakili oleh Bintang Sasongko. Masyarakat juga meminta agar
ada pernyataan hitam di atas pu_h, bahwa pemerintah dan PT SAE akan bertanggungjawab
terhadap bencana yang akan terjadi. Akan tetapi permintaan ini tidak disanggupi.
Jika sudah begini, pantaskah proyek panas bumi terus dilanjutkan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar