Sabtu, 09 September 2017

Perjuangan Klas dan Psikoanalisis Proletar

Proletariat dilahirkan dari rahim sistem kapitalisme, atas usaha klas borjuasi dalam revolusi borjuis, revolusi industri, enclosure, dan kolonialisme. Oleh karenanya, borjuasi mengenal betul keberadaan klas proletar. Borjuasi, meski senantiasa berkompetisi satu sama lain, mereka memiliki hukum tak tertulis yang sama-sama mesti dipatuhi, yaitu eksploitasi nilai lebih dari curahan kerja proletar.

Akan tetapi, proletariat belum tentu mengenal borjuasi sebagai sebuah klas, yang beriringan dengan ketidaktahuannya atas dirinya sendiri sebagai sebuah klas. Proletariat dan borjuasi masih dianggap sebagai dua kategori yang saling berkontradiksi namun saling mengandaikan, atau dalam istilah Hegel mengandung relasi internal. Anggapan ini bukan saja diamini oleh intelektual kelas menengah ngehek saja, tapi bahkan dalam beberapa hal diamini juga oleh proletariat.

Engels menerangkan bahwa itulah bagaimana cara ideologi bekerja :

Ideologi adalah sebuah proses yang dicapai dengan sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran palsu. Motif nyata yang mendorongnya sesungguhnya adalah sesuatu yang asing baginya; jika tidak demikian maka itu bukanlah sebuah proses ideologis. Makanya ia hanya membayangkan sesuatu yang palsu atau yang tampak permukaan saja. Karena ideologi ini adalah sebuah proses pemikiran, maka bentuknya berasal dari murni hasil pemikiran, apakah itu pemikirannya sendiri atau orang lain sebelum dirinya. Ia bekerja melulu dengan materi pikirannya, yang ia terima tanpa mengujinya sebagai sebuah produk pemikiran dan tidak menginvestigasi lebih lanjut demi kepentingan pemikiran independen yang lebih rinci; tentu saja ini adalah masalahnya sendiri, karena seluruh tindakan yang dimediasi oleh pikiran, pada akhirnya muncul padanya atas dasar pikirannya.

Keterasingan proletariat atas keberadaan klasnya sendiri merupakan konsekuensi langsung dari corak produksi kapitalis yang mengasingkan proletar dari keseluruhan proses produksi, melalui pembagian kerja (division of labour) yang menyudutkan proletar satu sama lain di bawah satu atap rantai produksi yang sama, sehingga proletariat hanya perlu mencurahkan kerja abstraknya saja (kerja tak berkeahlian yang hanya dihitung kuantitasnya). Situasi ini memungkinkan terjadi karena relasi tersebut terus disegel oleh borjuasi atas nama kepemilikan pribadi. Komoditi yang dihasilkan dianggap otonom dan memiliki logika pasarnya sendiri, terpisah dari curahan kerja dalam proses produksi. Inilah fetisisme komoditi, yang berimplikasi pada keterasingan proletar, yang merupakan 'ideologi' yang pertama kali dikenalkan kepada proletar sejak dalam rahim proses produksi kapitalis.

Dalam kamus Lacanian, borjuasi dengan demikian telah mengabjeksi proletar. Bagi borjuasi, dirinya adalah Subjek, sedangkan proletar adalah Yang Lain. Sedangkan bagi proletar, dirinya ialah Subjek yang tak utuh alias senantiasa kurang (lack). Proletarisasi ialah fase Imajiner yang membelah diri dan citra diri proletar. Sedangkan proses produksi kapitalis sebagai tatanan Simbolik yang dikondisikan oleh Yang Lain-Besar. Proletariat terjerembab dalam lubang hasrat, berharap bisa naik kelas, naik haji, naik mobil mewah, dan menghasrati hal-hal lainnya. Yang pada akhirnya yang ia hasrati ternyata ialah hasrat yang telah disituasikan oleh Yang Lain-Besar, ia menghasrati objek petit-a. Jika sudah demikian, bagaimanakah proletariat dapat menemui yang Riil? Atau dengan kata lain menemui emansipasi atas seluruh tatanan simbolik?

Ada pepatah dari Perancis pada saat peristiwa Mei 68, "Bos butuh kamu, kamu tidak butuh bos." Memang pepatah tersebut benar adanya. Meski proletariat ialah anak dari rahim sistem kapitalisme, akan tetapi kapitalisme itu sendiri pada gilirannya merupakan sesuatu 'Yang Lain' bagi proletar. Bagi kapitalis, uang, bahan baku, tanah, dan mesin merupakan kapital konstan, sedangkan curahan kerja proletar merupakan kapital variabel. Artinya hanya melalui curahan kerja proletar-lah, kapitalis dapat memperoleh pertambahan nilai. Hal ini dikarenakan kapital konstan tidak dapat menambah nilai pada dirinya sendiri, tidak dapat mengerjakan dirinya sendiri. Proletariat adalah titik gravitasi bagi keseluruhan proses dan rantai produksi kapitalis, hanya saja, mereka belum menyadarinya.

Dengan kata lain, proletariat mesti mengabjeksi balik borjuasi. Memperlakukan klas borjuasi dan kapitalisme sebagai sesuatu yang-Lain, atau me-Liyan-kannya. Akan tetapi, metode yang dilakukan proletar sama sekali berbeda dengan yang dilakukan borjuasi. Klas proletar melenyapkan keseluruhan belenggu relasi internal yang dianggap saling mengandaikan tadi. Ketika relasi internal tadi melenyap, eksistensi proletar maupun borjuasi sebagai klas pun ikut melenyap. Dan itulah yang disebut masyakat tanpa klas, momen dimana proletariat telah menemukan, dalam istilah Lacan, 'Yang Riil'.

( Pada bagian selanjutnya merupakan jawaban untuk @Symphati Dimas R dan @ahmad sucipto dalam komentar di tulisan saya di 
https://timeline.line.me/post/_dY_25uMy4_Kmuu1cbOBNc-R30qEWJZwlEHw4nwk/1150494574703015865 )

Abjeksi dalam kajian Julia Kristeva awalnya memang diperuntukkan dalam medan problematisnya sendiri, yaitu perihal relasi antara anak perempuan dengan ibunya. Akan tetapi konsep abjeksi pada gilirannya dapat digunakan untuk berbagai hal. Sarah Salih dalam On Judith Butler Performativity mengatakan bahwa abjeksi juga digunakan untuk menjelaskan perihal kelompok-kelompok yang termarjinalisasi seperti kaum perempuan, kaum penganut kepercayaan minoritas, pekerja seksual, dan penyandang disabilitas. Tapi siapapun sasaran kajiannya, abjeksi dapat dimengerti sebagai kebalikan dari subjeksi. Jika subjeksi ialah pembentukkan citra diri, maka abjeksi ialah pelepasan citra diri. Saya menginterpretasikan relasi antara proletar dan borjuis dengan konsep abjeksi ini.

Entah bisa atau tidak, saya hanya mengembangkan konsepnya untuk medan problematis yang saya utarakan. Tapi sejarah mengkonfirmasi hal ini secara positif, bahwa tanpa abjeksi, niscaya proletariat akan terus membutuhkan borjuasi (bahkan jika itu adalah borjuasi di dalam Partai Komunis, seperti kasus revisionisme modern-nya Deng Xiao Ping di Tiongkok). Salah satu tolak ukur bahwa proletariat telah menyubjeksi dirinya dan mengabjeksi borjuasi, ialah diterimanya filsafat materialisme dialektis sebagai pandangan dunia proletar sebagai prasyarat epistemologis untuk melenyapkan relasi internal borjuis-proletar. Atau dengan kata lain, proletariat mesti membangun kesadaran klas untuk perjuangan klas.

Sebenarnya sesederhana itu. Tapi seolah dibuat rumit karena saya bermaksud meninjau probem ini dari segi psikoanalisis, yang selama ini dipandang sebagai kajian yang nirfaedah bagi perjuangan klas. Saya membuktikan sebaliknya dengan melampaui batas dari medan problematisnya.

Di bawah rejim Jokowi, klas proletariat baik itu di kota maupun di desa, baik itu yang sedang bekerja maupun akan bekerja, semuanya sedang menjadi subjek yang mengalami kontingensi. Kemiskinan dan perampasan tanah yang semakin akut di desa-desa mendorong tenaga produktifnya terseret gelombang proletarisasi. Nasib tani gurem maupun buruh tani pun tak jauh beda di bawah tindasan setengah feodal yang berkelindan dengan setengah jajahan, yang makin lama makin kehilangan pandangan dunianya sendiri. Terjadilah apa yang disebut Marx sebagai penaklukkan kota atas desa-desa. Di bawah payung PP 78, proletariat semakin dianggap sebagai yang Lain (The Other). Hal ini dapat dilihat dari mekanisme kenaikan upah minimum yang mesti disesuaikan dengan tingkat inflasi. Keterlibatan buruh dalam menentukan nasibnya sendiri bahkan semakin dibatasi. Pemerintah melipatgandakan alienasi yang dialami buruh. Kini proletariat tak hanya teralienasi di dalam proses produksi, tapi juga teralienasi sebagai warga negara.

Proletariat di Indonesia sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal bukan merupakan klas yang mayoritas. Mereka membutuhkan banyak sekali sekutu antara lain dari golongan borjuasi kecil,  serabutan-pengangguran (cadangan tentara industrial yang dikenal sebagai semi proletar), bahkan suku adat minoritas dan elemen-elemen demokratik lainnya. Sialnya, keberagaman klas ini mau tidak mau meniscayakan adanya keberagaman ideologi yang lahir dari cara produksinya masing-masing yang kecil, berdiri secara sendiri-sendiri, dan bahkan saling berkompetisi. Kompetisi antar cara produksi ini dalam banyak kasus berujung pada konflik identitas, seperti konflik suku, agama, dan ras. Mereka saling mengabjeksi satu sama lain dan mengabsolutkan citra dirinya sendiri.

Tapi apapun ragam cara produksinya, mereka semua juga sama-sama terabjeksi oleh relasi internalnya, yaitu imperialis-negara boneka-tuan tanah besar. Pelanggengan atas cara produksi lama juga diiringi dengan pembentukkan ideologi yang senantiasa sektarian, yang memang potensial untuk memecah belah massa. Keberadaan "tiga musuh rakyat" tadi telah mengambat tenaga produktif massa, dan tentu saja penghambat bagi klas proletar dalam rangka membentuk pandangan dunianya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke