Proletariat dilahirkan dari rahim
sistem kapitalisme, atas usaha klas borjuasi dalam revolusi borjuis, revolusi
industri, enclosure, dan kolonialisme. Oleh karenanya, borjuasi mengenal betul
keberadaan klas proletar. Borjuasi, meski senantiasa berkompetisi satu sama
lain, mereka memiliki hukum tak tertulis yang sama-sama mesti dipatuhi, yaitu
eksploitasi nilai lebih dari curahan kerja proletar.
Akan tetapi, proletariat belum tentu
mengenal borjuasi sebagai sebuah klas, yang beriringan dengan ketidaktahuannya
atas dirinya sendiri sebagai sebuah klas. Proletariat dan borjuasi masih
dianggap sebagai dua kategori yang saling berkontradiksi namun saling
mengandaikan, atau dalam istilah Hegel mengandung relasi internal. Anggapan ini
bukan saja diamini oleh intelektual kelas menengah ngehek saja, tapi bahkan
dalam beberapa hal diamini juga oleh proletariat.
Engels menerangkan bahwa itulah
bagaimana cara ideologi bekerja :
“Ideologi adalah sebuah proses yang
dicapai dengan sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran
palsu. Motif nyata yang mendorongnya sesungguhnya adalah sesuatu yang asing baginya;
jika tidak demikian maka itu bukanlah sebuah proses ideologis. Makanya ia hanya
membayangkan sesuatu yang palsu atau yang tampak permukaan saja. Karena
ideologi ini adalah sebuah proses pemikiran, maka bentuknya berasal dari murni
hasil pemikiran, apakah itu pemikirannya sendiri atau orang lain sebelum
dirinya. Ia bekerja melulu dengan materi pikirannya, yang ia terima tanpa
mengujinya sebagai sebuah produk pemikiran dan tidak menginvestigasi lebih
lanjut demi kepentingan pemikiran independen yang lebih rinci; tentu saja ini
adalah masalahnya sendiri, karena seluruh tindakan yang dimediasi oleh pikiran,
pada akhirnya muncul padanya atas dasar pikirannya.”
Keterasingan proletariat atas
keberadaan klasnya sendiri merupakan konsekuensi langsung dari corak produksi
kapitalis yang mengasingkan proletar dari keseluruhan proses produksi, melalui
pembagian kerja (division of labour) yang menyudutkan proletar satu sama lain
di bawah satu atap rantai produksi yang sama, sehingga proletariat hanya perlu
mencurahkan kerja abstraknya saja (kerja tak berkeahlian yang hanya dihitung
kuantitasnya). Situasi ini memungkinkan terjadi karena relasi tersebut terus
disegel oleh borjuasi atas nama kepemilikan pribadi. Komoditi yang dihasilkan
dianggap otonom dan memiliki logika pasarnya sendiri, terpisah dari curahan
kerja dalam proses produksi. Inilah fetisisme komoditi, yang berimplikasi pada
keterasingan proletar, yang merupakan 'ideologi' yang pertama kali dikenalkan
kepada proletar sejak dalam rahim proses produksi kapitalis.
Dalam kamus Lacanian, borjuasi dengan
demikian telah mengabjeksi proletar. Bagi borjuasi, dirinya adalah Subjek,
sedangkan proletar adalah Yang Lain. Sedangkan bagi proletar, dirinya ialah
Subjek yang tak utuh alias senantiasa kurang (lack). Proletarisasi ialah fase
Imajiner yang membelah diri dan citra diri proletar. Sedangkan proses produksi
kapitalis sebagai tatanan Simbolik yang dikondisikan oleh Yang Lain-Besar.
Proletariat terjerembab dalam lubang hasrat, berharap bisa naik kelas, naik
haji, naik mobil mewah, dan menghasrati hal-hal lainnya. Yang pada akhirnya
yang ia hasrati ternyata ialah hasrat yang telah disituasikan oleh Yang
Lain-Besar, ia menghasrati objek petit-a. Jika sudah demikian, bagaimanakah
proletariat dapat menemui yang Riil? Atau dengan kata lain menemui emansipasi
atas seluruh tatanan simbolik?
Ada pepatah dari Perancis pada saat
peristiwa Mei 68, "Bos butuh kamu, kamu tidak butuh bos." Memang
pepatah tersebut benar adanya. Meski proletariat ialah anak dari rahim sistem
kapitalisme, akan tetapi kapitalisme itu sendiri pada gilirannya merupakan
sesuatu 'Yang Lain' bagi proletar. Bagi kapitalis, uang, bahan baku, tanah, dan
mesin merupakan kapital konstan, sedangkan curahan kerja proletar merupakan
kapital variabel. Artinya hanya melalui curahan kerja proletar-lah, kapitalis
dapat memperoleh pertambahan nilai. Hal ini dikarenakan kapital konstan tidak
dapat menambah nilai pada dirinya sendiri, tidak dapat mengerjakan dirinya
sendiri. Proletariat adalah titik gravitasi bagi keseluruhan proses dan rantai
produksi kapitalis, hanya saja, mereka belum menyadarinya.
Dengan kata lain, proletariat mesti
mengabjeksi balik borjuasi. Memperlakukan klas borjuasi dan kapitalisme sebagai
sesuatu yang-Lain, atau me-Liyan-kannya. Akan tetapi, metode yang dilakukan
proletar sama sekali berbeda dengan yang dilakukan borjuasi. Klas proletar
melenyapkan keseluruhan belenggu relasi internal yang dianggap saling
mengandaikan tadi. Ketika relasi internal tadi melenyap, eksistensi proletar
maupun borjuasi sebagai klas pun ikut melenyap. Dan itulah yang disebut
masyakat tanpa klas, momen dimana proletariat telah menemukan, dalam istilah
Lacan, 'Yang Riil'.
( Pada bagian selanjutnya merupakan jawaban untuk @Symphati Dimas R dan
@ahmad sucipto dalam komentar di tulisan saya di
https://timeline.line.me/post/_dY_25uMy4_Kmuu1cbOBNc-R30qEWJZwlEHw4nwk/1150494574703015865 )
Abjeksi dalam kajian Julia Kristeva
awalnya memang diperuntukkan dalam medan problematisnya sendiri, yaitu perihal
relasi antara anak perempuan dengan ibunya. Akan tetapi konsep abjeksi pada
gilirannya dapat digunakan untuk berbagai hal. Sarah Salih dalam On Judith
Butler Performativity mengatakan bahwa abjeksi juga digunakan untuk menjelaskan
perihal kelompok-kelompok yang termarjinalisasi seperti kaum perempuan, kaum
penganut kepercayaan minoritas, pekerja seksual, dan penyandang disabilitas.
Tapi siapapun sasaran kajiannya, abjeksi dapat dimengerti sebagai kebalikan
dari subjeksi. Jika subjeksi ialah pembentukkan citra diri, maka abjeksi ialah
pelepasan citra diri. Saya menginterpretasikan relasi antara proletar dan
borjuis dengan konsep abjeksi ini.
Entah bisa atau tidak, saya hanya
mengembangkan konsepnya untuk medan problematis yang saya utarakan. Tapi
sejarah mengkonfirmasi hal ini secara positif, bahwa tanpa abjeksi, niscaya proletariat
akan terus membutuhkan borjuasi (bahkan jika itu adalah borjuasi di dalam
Partai Komunis, seperti kasus revisionisme modern-nya Deng Xiao Ping di
Tiongkok). Salah satu tolak ukur bahwa proletariat telah menyubjeksi dirinya
dan mengabjeksi borjuasi, ialah diterimanya filsafat materialisme dialektis
sebagai pandangan dunia proletar sebagai prasyarat epistemologis untuk
melenyapkan relasi internal borjuis-proletar. Atau dengan kata lain,
proletariat mesti membangun kesadaran klas untuk perjuangan klas.
Sebenarnya sesederhana itu. Tapi seolah
dibuat rumit karena saya bermaksud meninjau probem ini dari segi psikoanalisis,
yang selama ini dipandang sebagai kajian yang nirfaedah bagi perjuangan klas.
Saya membuktikan sebaliknya dengan melampaui batas dari medan problematisnya.
Di bawah rejim Jokowi, klas proletariat
baik itu di kota maupun di desa, baik itu yang sedang bekerja maupun akan
bekerja, semuanya sedang menjadi subjek yang mengalami kontingensi. Kemiskinan
dan perampasan tanah yang semakin akut di desa-desa mendorong tenaga
produktifnya terseret gelombang proletarisasi. Nasib tani gurem maupun buruh
tani pun tak jauh beda di bawah tindasan setengah feodal yang berkelindan
dengan setengah jajahan, yang makin lama makin kehilangan pandangan dunianya
sendiri. Terjadilah apa yang disebut Marx sebagai penaklukkan kota atas
desa-desa. Di bawah payung PP 78, proletariat semakin dianggap sebagai yang
Lain (The Other). Hal ini dapat dilihat dari mekanisme kenaikan upah minimum
yang mesti disesuaikan dengan tingkat inflasi. Keterlibatan buruh dalam
menentukan nasibnya sendiri bahkan semakin dibatasi. Pemerintah melipatgandakan
alienasi yang dialami buruh. Kini proletariat tak hanya teralienasi di dalam
proses produksi, tapi juga teralienasi sebagai warga negara.
Proletariat di Indonesia sebagai negeri
setengah jajahan dan setengah feodal bukan merupakan klas yang mayoritas.
Mereka membutuhkan banyak sekali sekutu antara lain dari golongan borjuasi
kecil, serabutan-pengangguran (cadangan
tentara industrial yang dikenal sebagai semi proletar), bahkan suku adat
minoritas dan elemen-elemen demokratik lainnya. Sialnya, keberagaman klas ini
mau tidak mau meniscayakan adanya keberagaman ideologi yang lahir dari cara
produksinya masing-masing yang kecil, berdiri secara sendiri-sendiri, dan
bahkan saling berkompetisi. Kompetisi antar cara produksi ini dalam banyak
kasus berujung pada konflik identitas, seperti konflik suku, agama, dan ras.
Mereka saling mengabjeksi satu sama lain dan mengabsolutkan citra dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar