Kamis, 31 Agustus 2017

Akrobat Hukum Pada Proyek PLTP Baturraden di Gunung Slamet

AKROBAT HUKUM PADA PROYEK PLTP BATURRADEN DI GUNUNG SLAMET[1]

Tulisan ini disusun setelah PT Sejahtera Alam Energy (SAE) ingkar janji dengan masyarakat, karena tidak mampu beradu data secara ilmiah, pada acara Seminar di Auditorium Faperta Unsoed 24 Juli 2017. Gagasan utama dari tulisan ini ialah bahwa Gunung Slamet sedang diambang kerusakan ekosistem dan ancaman bencana, karena kacaunya perencanaan proyek panas bumi dari berbagai aspek. Kacaunya perencanaan ini dilegitimasi oleh hukum yang terus diotak-atik oleh pemerintah selaku aktor pertunjukkan akrobat hukum.

Tentang Akrobat Hukum

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, akrobat hukum ialah putusan yang berubah-ubah secara mendadak dalam persoalan yang sama dan sering terjadi cabut-mencabut atau ralat-meralat suatu putusan atau kebijakan. Saya pertama mendengar istilah akrobat hukum pada kasus konflik agraria dan lingkungan antara PT Semen Indonesia melawan warga Kendeng. Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia yang diterbitkan melalui SK Gubernur Jateng telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Tapi, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menerbitkan izin baru bagi PT Semen Indonesia sehingga penambangan berlanjut lagi. Adanya akrobat hukum ini bertentangan asas kepastian hukum. Menurut Lon Fuller dalam Morality of Law, ada 8 asas kepastian hukum :

  1. Hukum tidak boleh berdasarkan pada putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu, melainkan harus memiliki sistem hukum;
  2. Peraturan tersebut diumumkan ke publik;
  3. Tidak berlaku surut;
  4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
  5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
  6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
  7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
  8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari
Tanpa ada kepastian hukum, maka tak ada kepastian bagi penegak hukum untuk menjalankan suatu peraturan, tak ada kepastian pula bagi warga negara untuk mematuhi suatu peraturan. Hukum tidak bekerja. Fenomena akrobat hukum ini merupakan penghinaan terhadap hukum itu sendiri.
Fenomena akrobat hukum ini juga terdapat pada kasus konflik agraria dan lingkungan, antara masyarakat Lereng Gunung Slamet melawan perusahaan panas bumi PT SAE. Mari kita ulas sama-sama akrobat hukum kolaborasi antara pemerintah dengan PT. SAE.

Menyaksikan Akrobat Hukum Pembangunan PLTP Baturraden di Gunung Slamet

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) tadinya dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan. Karena merupakan pertambangan, maka kegiatan pertambangan Panas Bumi tidak boleh dilakukan di hutan lindung. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa, “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.” Yang dimaksud penambangan terbuka (surface mining) artinya penambangan tersebut dilakukan di atas permukaan tanah, ini lain dengan penambangan tertutup dimana yang perlu membuat terowongan untuk menjangkau deposit di dalam bumi. Kegiatan pertambangan panas bumi merupakan penambangan terbuka, sehingga ia terikat oleh ketentuan ini. Hutan lindung dilarang untuk dilakukan aktifitas pertambangan karena hutan lindung memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Kehutanan. Jika dilakukan pertambangan, maka kerusakan ekosistem akan terjadi.

Kepmen ESDM Nomor 1557.K/30/MEM/2010 menetapkan Gunung Slamet sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) dengan luasan 24.660 hektar. Kemudian pada 11 April 2011, PT SAE mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 541/27/2011. Dari sini sudah lahir suatu pelanggaran atas ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Kehutanan tentang larangan melakukan penambangan di hutan lindung.

UU Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 dengan judul yang sama. Di sini terjadi perubahan besar atas konsep kegiatan panas bumi yang tadinya merupakan pertambangan, menjadi kegiatan jasa lingkungan. Karena bukan merupakan pertambangan, maka kegiatan panas bumi dapat dilakukan di hutan lindung melalui izin pinjam pakai kawasan hutan. Sungguh gerakan akrobatik yang tak terduga. Namun pertunjukkan belum berhenti, masih ada atraksi yang tak boleh anda lewati.

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) , yang dimaksud analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Adapun yang dimaksud dengan Dampak Penting menurut Pasal 1 angka 5, adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu Usaha dan/atau Kegiatan. Kriteria dampak penting berdasar penjelasan Pasal 3 ayat (1) terdiri atas:

a.   Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
b.   Luas wilayah penyebaran dampak;
c.    Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d.   Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e.   Sifat kumulatif dampak;
f.    Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g.   Kiteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Adapun dalam sebuah usaha yang tidak memiliki dampak penting, maka usaha tersebut hanya diwajibkan menggunakan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Sebagai sebuah kegiatan di hutan lindung yang memiliki dampak penting, maka kegiatan panas bumi termasuk kategori wajib Amdal. Salah satu yang menjadi ciri perbedaan UKL-UPL dan Amdal ialah pada proses pengesahannya. UKL-UPL dapat terbit tanpa memerlukan partisipasi dari masyarakat, sedangkan Amdal memerlukan partisipasi masyarakat, akademisi, dan bahkan diuji terlebih dahulu dalam Sidang Amdal.

Tapi Menteri Lingkungan Hidup kemudian menerbitkan PermenLH Nomor 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Pada Pasal 3 ayat (4), diatur bahwa eksplorasi pertambangan Panas Bumi dikecualikan dari wajib Amdal. Adapun pada pertambangan Panas Bumi, Amdal diwajibkan ketika proses eksploitasi. Padahal dalam sebuah kegiatan Panas Bumi, tahap eksplorasi merupakah tahap yang perusakan lingkungannya paling destruktif karena memerlukan pembabatan hutan lindung, untuk pembangunan jalan, pipa, dan landasan sumur (wellpad). Di Gunung Slamet sendiri, tahap eksplorasi ini membutuhkan 675,7 hektar lahan yang diperoleh dari pembabatan hutan lindung. Melihat dari daya kerusakannya, apakah memang proses ekplorasi ini tidak dianggap memiliki dampak penting? Akrobat hukum barusan menunjukkan kebolehannya dalam otak-atik aturan.

Selanjutnya ialah perihal masa eksplorasi. Adapun eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia,pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan Panas Bumi.Eksplorasi itu ibarat menyicipi makanan, hanya mengambil sebagian kecil saja untuk sekedar mengetahui rasa dan tekstur makanan. Kalau menyicipinya terus-terusan, itu namanya makan besar. Inilah kenapa eksplorasi memeiliki batas waktu, karena sekedar menyicipi saja.

Dalam Pasal 22 UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, diatur tentang masa eksplorasi panas bumi ialah 3 (tiga) tahun sejak IUP diterbitkan, lalu dapat diperpanjang 2 (dua) tahun. Totalnya 5 (lima). Ini berarti PT SAE pada awalnya hanya memiliki izin eksplorasi sampai 11 April 2016. Hal ini sesuai dengan kewajiban mereka yang diatur di IUP berdasarkan SK Gubernur Jateng 541.1/27/2011:

Selama jangka waktu IUP sebagaimana dimaksud pada diktum ketiga, pemegang IUP berkewajiban, (f). menyelesaikan pemboran paling sedikit 2 (dua) sumur eksplorasi, paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak ditetapkannya Keputusan ini sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian mereka mendapat perpanjangan pada tahun 2014 berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 541.1/004341/2014, sampai 11 April 2015. Dan terdapat ketentuan apabila dipandang perlu, PT SAE dapat, “memperpanjang jangka waktu eksplorasi ke-2 (dua) selama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya masa perpanjangan ke-1 (satu) ini sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mengingat ini sudah 2017, seharusnya PT SAE tidak dapat melanjutkan eksplorasi.

Namun berkat perubahan UU Panas Bumi yang tadinya Nomor 27 tahun 2003 menjadi Nomor 21 Tahun 2014, masa eksplorasi tidak lagi maksimal 5 tahun, melainkan menjadi 7 tahun sebagaimana dalam Pasal 31. Adapun IUP yang dipegang PT SAE disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi (IPB) berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 4577 K/30/MEM/2015. Hal ini dipertegas oleh Bambang Purdiantoro selaku Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, pada Seminar Panas Bumi di Auditorium Faperta Unsoed pada 24 Juli 2017 bahwa masa eksplorasi PT SAE ialah sampai 11 April 2018.

Hal ini tentu masih bisa diperdebatkan apakah penyesuaian dari IUP menjadi IPB hanyalah penyesuaian dari segi formil belaka (perubahan nama izin), ataukah juga dapat mengubah segi materiilnya (mengubah hak dan kewajiban). Saya beranggapan bahwa penyesuaian izin ini mesti dimaknai dari segi formil belaka, tidak boleh sampai mengubah hak dan kewajiban. Analoginya seperti menyicipi makanan tadi. Jika jangka waktu eksplorasi PT SAE bisa diotak-atik, hal ini tentu berakibat pelik pada ekosistem hutan lindung Gunung Slamet. Di samping itu, jika masa berlaku eksplorasi ini dapat diperpanjang dengan mengubah aturan, ini sama saja dengan akrobat hukum yang mengacaukan kepastian hukum.

Sebenarnya masih banyak lagi akrobat hukum yang dapat diulas pada isu PLTB di Gunung Slamet ini. Akan tetapi karena keterbatasan ruang, semoga sekiranya beberapa penemuan fenomena akrobatik hukum tadi dapat membuka jendela pikiran kita bahwa hukum di Indonesia semakin tidak baik-baik saja. Pemerintah melegitimasi hukum yang tidak selaras dengan kenyataan. Hukum negara bisa diotak-atik seenaknya, tapi alam memiliki hukumnya sendiri. Dan ketika masyarakat tertimpa bencana dari adanya proyek ini, sebagai akibat dari dijebolnya keseimbangan alam yang ada, maka hukum negara menjadi tidak ada gunanya lagi. Karena orang yang tewas tertimpa bencana, tidak bisa menyaksikan akrobat hukum.





[1] Tulisan ini dimuat di Majalah LPM Bhaskara Universitas Muhammadiyah Purwokereto Edisi Agustus 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke