TANYA JAWAB TENTANG PENOLAKAN PROYEK PLTP DI GUNUNG SLAMET[1]
Q : Apa sih yang terjadi
dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Gunung Slamet?
A: Sebelumnya, kamu harus mengerti
terlebih dahulu apa itu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Nah,
PLTPB adalah pembangkit listrik yang menggunakan panas bumi sebagai sumber
energinya. Cara kerjanya persis seperti ketika seorang sedang merebus air
dengan ceret di atas kompor. Bisa diibaratkan api kompornya sebagai magma di
bawah tanah. Ceret bagian bawah yang terkena api sebagai lapisan bumi yang
menghambat magma keluar. Wadah airnya adalah pipa yang di masukan kedalam bumi
sampai ke titik dapur magma dan akan merebus air sampai mendidih dan menguap.
Uap yang dihasilkan nanti akan disalurkan ke turbin pembangkit listrik serta
memutarnya dan akhirnya menghasilkan listrik.
Perusahaan yang sedang beroperasi
membangun PLTP di Gunung Slamet bernama PT Sejahtera Alam Energy (PT. SAE).
Adapun PT SAE dimiliki oleh 2 perusahaan. Yang pertama adalah perusahaan asing
STEAG PE GmbH asal Jerman dengan saham mayoritas
75%. Sedangkan 25% sisanya dimiliki
oleh PT. Trinergy asal Indonesia. Rencana biaya yang dikeluarkan untuk
Pengusahaan Tenaga Panas Bumi sebesar 70 juta US Dollar[2].
Proyek ini pun tidak terlalu membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Rencananya
akan digunakan tenaga kerja dari dalam negeri untuk proses pengusahaan tenaga
panas bumi sebanyak 450 orang, dan untuk proses pembangkitan tenaga listrik
sejumlah 225 orang. Semua ini diperlukan untuk menghasilkan listrik dengan
target 220 Mega Watt.
PT. SAE memegang Izin Usaha
Pertambangan berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 541.1/27/2011, yang kemudian
disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral No. 4577k/30/MEM/2015. Mengacu pada izin tersebut, PT SAE
memegang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang mencakup area seluas 24.660
Hektar, di Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, Kab. Tegal, Kab. Brebes, dan Kab. Pemalang.
Area prospek WKP sebagian besar
terletak di Kawasan Hutan Lindung dengan rincian Hutan Lindung seluas 14.270 Ha
dan Hutan Produksi Terbatas sebesar 5.437 Ha serta sisanya kawasan non-hutan.
Dari total Wilayah Kerja sebanyak 24.660 Ha itu, rencana landasan sumur
pengeboran (wellpad) berjumlah 21 buah. Luasan dari satu wellpad ialah
3,5 hektar.
Setiap satu wellpad, terdiri
dari 3 sampai 8 sumur. Artinya, estimasi maksimum titik pengeboran ialah
berjumlah 168 buah. Adapun kedalaman yang akan dibor dapat mencapai 3000 meter
di bawah permukaan bumi.
Saat ini, PT SAE sedang memasuki tahap
eksplorasi. Tahap ini terdiri dari beberapa kegiatan, antara lain pembangunan
landasan sumur, pembangunan jalan untuk akses ke landasan sumur, pembukaan
lahan untuk pemasangan pipa, area dispossal, embung, dan bangunan sementara.
Berdasarkan UKL-UPL yang dimiliki PT SAE, pada tahap eksplorasi ini dibutuhkan
lahan seluas 675,7 hektar, yang diperoleh dari pembabatan hutan lindung. Pembabatan
hutan saat ini telah mencapai area Rawa Taman Dringo dan Bukit Rata Amba.
Q : Bukankah PLTPB ramah
lingkungan?
A : Iya, jika dibanding PLTU yang dari
batu bara. Tapi PLTPB menjadi tidak ramah lingkungan ketika dibangun di hutan
lindung di Gunung Slamet. Akan ada 675,7 hektar hutan yang mengalami
deforestasi. Serapan air akan berkurang karena hutan lindung yang berperan untuk
menyerap air hutan juga berkurang. Maka desa-desa yang bergantung pada air
tanah maupun air sungai juga akan terganggu. Ekosistem flora dan fauna
terganggu keseimbangannya. Bahkan semenjak eksplorasi berlangsung akhir-akhir
ini saja, hewan-hewan dari gunung makin sering bermunculan di desa-desa pinggir
hutan. Menyebabkan rusaknya lahan pertanian warga.[3] Sepanjang
November 2016 sampai Maret 2017 telah terjadi pencemaran air sungai di Kecamatan
Cilongok, Kabupaten Banyumas.[4] Hulu
Sungai Krukut berubah warnanya menjadi merah kecoklatan. Padahal sungai
tersebut selama ini menjadi sumber air bagi Desa Sambirata, Karang Tengah,
Gunung Lurah, Panembangan, dan Kalisari. Kegiatan ekonomi produksi di desa
tersebut terhambat. Bahkan ada yang berhenti total karena memang mayoritas di
desa tersebut kegiatan ekonominya bergantung pada sumber air bersih.
Masyarakat di desa tersebut kebanyakan
berkegiatan di sektor pertanian, perikanan, peternakan, produksi tahu rumahan
(di Desa Kalisari terdapat 283 pengerajin tahu – Sentra produksi tahu terbesar
di Banyumas) dan wisata alam seperti curug (air terjun).
Pemenuhan kebutuhan air bersih untuk
rumah tangga pun juga terganggu. Air sungai yang biasa digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan tersebut terlalu kotor untuk diminum, mandi, memasak,
ataupun mencuci. Untuk menyiasati cobaan ini, masyarakat akhirnya membeli air bersih
kurang lebih 5 sampai 10 dirijen per rumah per hari. Baru setelah keluhan rutin
diajukan sepanjang Januari-Februari, pihak perusahaan membuka posko pengaduan
dan bersama Pemerintah Kabupaten Banyumas memberi bantuan air bersih. Itu pun
bantuannya tidak rutin.
Pencemaran ini disebabkan oleh
pembukaan hutan dan pembangunan jalan dari kawasan agrowisata Kaligua, Kab.
Brebes sampai ke area Taman Dringo (sebuah rawa di hutan lindung Gunung
Slamet). Jalan tersebut dibangun untuk memudahkan mobilisasi transportasi dan
peralatan yang diperlukan untuk eksplorasi panas bumi. Limbah pembukaan jalan tersebut
tidak dikelola dengan tepat, sehingga ketika hujan berlangsung (waktu itu
sedang musim hujan) limbah materialnya masuk ke hulu sungai Prukut.
Pada 29 Juli 2017, hujan deras kembali
mengguyur lereng selatan Slamet dan membuat material tanah di lokasi proyek
kembali jatuh ke sungai Prukut. Air kembali keruh dan berlumpur selama beberapa
hari.
Setelah eksplorasi, tahapan selajutnya
adalah eksploitasi. Mulai dilakukan pengeboran dan produksi listrik. Di
beberapa tempat seperti Kertasari (Jawa Barat)[5]
ataupun Basel (Swiss)[6], pengeboran
menyebabkan gempa minor sebesar 3,4 sampai 5 skala richter yang membuat tanah
longsor dan bangunan retak-retak. Limbah PLTPB juga dapat mengkontaminasi lingkungan.
Adapun kandungan beracun yang terdapat pada limbah tersebut antara lain Arsenik,
Antimon, dan Boron. Contoh pencemaran akibat limbah beracun ini terjadi di Balcova
(Turki)[7] dan
Mataloko (Nusa Tenggara Timur).[8]
Di Mataloko, limbah beracun ini
menyebakan sebanyak 545 warga menderita infeksi saluran pernafasan akut,
infeksi kulit 185 warga, dan 33 warga sesak napas berasal dari kelurahan Mataloko
dan Todabelu yang tak jauh dari lokasi semburan.[9]
Pertanian perkebunan perlahan mati, gagal panen, rusak, keropos bahkan jenis
kayu-kayuan tanaman umur panjang seperti kayu albasia, mahoni, pohon alpokat,
pohon enau juga keropos dan mati. Sebelum adanya semburan gas lumpur panas
panen buah alpukat dan tanaman kopi cukup besar, tetapi sejak adanya radiasi
gas lumpur panas, walau tiba musim hujan banyak tanaman tersebut mati dan kering,
buah alpukat juga semakin mengecil dan setelah dibelah di dalamnya tidak
berisi, rusak bahkan membusuk. Begitu juga tanaman jagung, kacang-kacangan,
sayur mayur. Awalnya kelihatan segar tetapi mendekat musim berbuah justru
mengering dan mati.[10]
Q : Kalian yang menolak
PLTPB itu anti pembangunan ya? Gimana negara ini mau maju?
A : Kami tidak anti pembangunan. Tapi
kami anti pembangunan yang melanggar prinsip-prinsip ekologi. PLTPB itu bagus.
Tapi jika PLTPB dibangun di hutan lindung Gunung Slamet, itu yang tidak tepat.
Perumpamaannya, memasak rendang menggunakan kompor gas bukanlah kekeliruan,
tapi menjadi keliru ketika memasaknya di atas kasur di dalam kamar.
Q : Indonesia kan masih
kurang listrik. Jadi pembangunan pembangkit listrik ya harus didukung dong.
A : Indonesia justru mengalami surplus
listrik. Jawa Tengah surplus listrik 750 megawatt[11], Jawa
Timur surplus listrik 2600 megawatt[12], Nusa
Tenggara Timur surplus listrik 90 megawatt[13], Papua
surplus listrik 59 megawatt[14],
Sulawesi surplus 70,9 megawatt[15], Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Selatan surplus listrik 100 megawatt.[16]
Berdasarkan Peta Zona Pergerakan Tanah
Kab. Banyumas, hampir semua lereng Slamet bagian Selatan berada pada ZONA
MERAH. Itu artinya, pada area ini mempunyai potensi tinggi terhadap bencana
longsor. Jadi, saat Pembangunan PLTP ini terus dilanjutkan, bukan cuma soal
kerusakan lingkungan saja yang akan terjadi, tetapi keselamatan masyarakat di
Sekitar Lereng akan sangat terancam.
Orang yang tewas tertimpa longsor tidak bisa menikmati surplus listrik.
Q : Pasti ada dampak
positif dong dengan adanya PLTPB di Gunung Slamet?
A : Ada, yaitu tumbuhnya ekonomi
Jerman. Karena 75% investor dari PT. Sejahtera Alam Energy berasal dari
perusahaan Jerman yaitu STEAG Gmbh Energy.
Q : Sisi positif yang
didapat Indonesia? Minimal ada lapangan kerja baru dong?
A : Ya. Ketika ini berhasil dibangun,
Tenaga Kerja asal Indonesia yang digunakan untuk proses pengusahaan tenaga
panas bumi sebanyak 450 orang dan untuk proses pembangkitan tenaga listrik
sejumlah 225 orang.[17]
Sedangkan 15 desa pinggiran hutan di Lereng Selatan Gunung Slamet akan
mengalami krisis ekologi yang menyebabkan terancamnya produktifitas pertanian,
perikanan, dan perkebunan petani. Ada serapan lapangan kerja baru yang mengorbankan
lapangan kerja yang sudah ada dalam jumlah besar.
Q : Dari sisi hukum kan
memang PLTPB boleh dibangun meski di atas hutan lindung. Ini kan sudah legal?
Kenapa mesti dipermasalahkan?
A : Segala yang legal belum tentu
benar. Berkuasa menjadi Presiden selama 32 tahun pernah legal di Indonesia pada
masa Orde Baru (1966-1998), tapi apakah itu hal yang benar?
Perbudakan pernah legal pada masa
penjajahan Belanda, tapi apakah itu hal yang benar? Begitu pula dengan proyek
bisnis yang mengatasnamakan pembangunan nasional, sekalipun itu legal, bukan
berarti itu hal yang benar. Dan jika itu bukan hal yang benar, berarti itu bermasalah.
Q : Anda ini sok heroik sekali.
Gunung Slamet itu milik negara. Biarlah negara yang mengatur mau diperuntukkan
seperti apa, bahkan jika itu diusahakan ke korporasi asing untuk pengeboran
panas bumi.
A : Salah. Jauh sebelum negara ini
lahir pada 1945, masyarakat lereng hutanlah yang menjaga Gunung Slamet tetap
lestari. Banyak peradaban, kebudayaan kuno, mitos-mitos masyarakat yang lahir
dan hidup di Gunung Slamet. Negara tidak punya kewenangan semutlak itu
mempersilahkan korporasi mengeruk Gunung Slamet.
Q : Tapi ini sudah dilegitimasi
oleh hukum! Oleh negara! Apa anda bermaksud melawan negara?
A : Izinkan kami mengutip Pasal 18
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan :
(1) Pemerintah menetapkan
dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap
daerah aliran sungai, dan atau pulau guna
optimalisasi manfaat
lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang
harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh
persen) dari luas daerah aliran sungai dan
atau pulau dengan sebaran
yang proporsional.
Bagaimana dengan kondisi hutan di Pulau
Jawa? Pada tahun 2006 luas hutan di Pulau Jawa yang tersisa hanya sekitar 11%
dari total luas Pulau Jawa 13 juta hektar.[18]
Jadi, siapa yang sebenarnya melawan hukum? Kami tidak bermaksud melawan hukum,
apalagi negara. Kami hanya ingin menyelamatkan sedikit hutan yang tersisa. Kami
hanya ingin menyelamatkan Gunung Slamet #SelamatkanSlamet #SaveSlamet.
[1] Dimuat di
website Soeara Massa, berbagai official account LINE, dan disebar dalam bentuk
hardcopy di desa-desa
[2]
Sepenuturan Bambang Purdiantoro (Dirjen EBTKE Kementerian ESDM) pada Seminar
Panas Bumi 24 Juli 2017 di Auditorium Fakultas Pertanian
[3] http://www.soearamassa.com/2017/05/pembangunan-pembangkit-listrik-tenaga.html
[4] Masalah
pencemaran air ini lebih detil dikisahkan dalam film dokumenter Banyu Buthek,
https://www.youtube.com/watch?v=h2oRKerJNMI
[5]
https://www.youtube.com/watch?v=njdsdTVSxH0
[6] Bosman
Batubara, Dampak Negatif Energi Geothermal Terhadap Lingkungan, Front
Nahdliyyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, Yogyakarta, 2014, halaman 3.
[7] Ibid.,
halaman 5.
[8]
http://www.floreskita.com/pltpb-mataloko-resahkan-warga/
[9]
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/25156-1060-warga-di-lokasi-lumpur-sakit
[10]
http://www.zonalinenews.com/2016/03/tanaman-pertanian-mati-warga-cemas-gas-lumpur-mataloko-beracun/
[11]
http://industri.bisnis.com/read/20160811/44/574040/surplus-listrik-750-mw-pln-jateng-siap-tampung-industri
megawatt
[12]
https://finance.detik.com/energi/3173736/jatim-surplus-listrik-hingga-2000-mw
[13]
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/2382011/pulau-timor-surplus-listrik-silahkan-investasi
[14]
http://www.jitunews.com/read/60576/surplus-listrik-di-papua-pln-buka-peluang-investasi
[15]
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20161127162745-85-175647/optimalkan-pltg-sulut-dan-gorontalosurplus-
listrik-709-mw/
[16]
https://bisnis.tempo.co/read/news/2017/05/11/090874340/pln-listrik-barito-surplus-100-mw
[17] UKL-UPL
PLTPB Baturraden
[18]
http://www.antaranews.com/berita/26789/luas-hutan-di-pulau-jawa-tinggal-11-persen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar