Indonesia. Semua orang Indonesia sudah
paham sejak kecil kalau Indonesia itu ya negeri agraris. Bukan semata-mata karena
mayoritas rakyatnya bekerja di sektor pertanian. Tapi karena memang
ekosistemnya mendukung untuk bercocok tanam. Tak heran tongkat dan kayu bisa
jadi tanaman.
Meledaknya populasi dunia membuat
pertanian sebagai sektor produksi pangan memiliki kedudukan yang strategis. Hal
ini memacu suatu negara untuk menaikkan target produksi pangannya. Tak
terkecuali Indonesia. Salah satu metode paling efektif dalam hal meningkatkan produktifitas tanaman ialah dengan
menggunakan teknologi. Perkara teknologi tersebut kemudian memperhatikan
lingkungan atau tidak, itu bisa dibahas nanti. Yang jelas, memang harus ada
terobosan untuk meningkatkan suplai pangan.
Tapi supaya pertanian kita berteknologi
maju dan dapat mencapai titik efisiensi produksi, perlu lahan dalam jumlah
besar. Hal ini amat kontras dengan sistem pertanian keluarga yang kemudian
mempetak-petak tanah jadi sempit, mulai dari 0,25 ha sampai 2 ha saja.
Kepemilikannya pun beragam asal-usulnya. Dalam suatu desa, misal, ada yang
tanahnya milik pribadi, milik desa (tanah bengkok), tanah milik Perhutani,
tanah milik PT. KAI, tanah milik PTPN, tanah tukar guling, tanah milik pribadi
tapi orangnya nggak tau dimana, dsb.
Pertanian di negara-negara maju bisa
begitu efisien karena mesinnya bergerak leluasa pada lahan yang luas. Bayangkan
jika itu diterapkan di Indonesia, yang ada malah mesinnya jalan belak-belok kayak
melintas di sirkuit Tamiya Mini 4WD. Kalau mesinnya yang diperkecil, malah jadi
tidak efisien, sementara produktifitas harus dikejar untuk menghindari
kelangkaan pangan.
Atau coba kita tidak menggunakan
teknologi dengan mesin besar, tapi menggunakan sistem permakultur ataupun
natural farming a la Masanobu Fukuoka yang berwawasan ekologis. Itu pun butuh
lahan yang luas juga karena mesti bikin ekosistem yang lengkap mulai dari sungai,
tegakan, semak-semak, fungus, bahkan hewan-hewannya pun mesti disediakan.
Inilah kenapa pola kepemilikan tanah
yang amat ruwet dan timpang ini mesti dirombak. Inilah kenapa untuk mencapai
peningkatan teknologi pertanian, mutlak ada reforma agraria, yakni penataan
kembali pola kepemilikan agraria yang lebih berkeadilan. Tidak boleh ada
monopoli supaya tidak ada ketimpangan dan penimbunan hasil produksi.
Jokowi-JK punya program reforma
agraria, yang diartikan secara berbeda. Lahan pertanian yang lestari dan
produktif dikonversi menjadi perumahan dan bahkan pabrik semen. Hutan adat suku
Malind di Merauke malah dikonversi jadi sawit dan food estate, yang bermasalah di
aspek irigasinya (lihat dokumenter The Mahuzes karya Watchdoc). Hutan hujan
sebagai habitat orang utan di Kalimantan disulap jadi kebun sawit besar untuk
kepentingan ekspor. Institusi TNI punya bisnis perkebunan besar malah dibiarkan
(melanggar UU TNI). Jadi, penataan kepemilikan agraria seperti apa yang
dikehendaki rejim Jokowi-JK? Entahlah, hanya mereka dan Tuhan yang tau. Yang
jelas kita sudah tau siapa yang menghambat agenda reforma agraria, dan oleh
karenanya kita tau pula siapa yang menghambat kemajuan teknologi pertanian di
Indonesia. Nah sekarang, para penghambat tadi mau kita apakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar