Jumat, 27 November 2015

Salah Kaprah tentang Kelas Menengah Ngehek



Akhir-akhir ini mulai ngetren istilah Kelas Menengah Ngehek. Apalagi kalau pas lagi momen aksi buruh. Kelas Menengah Ngehek ini kerap disematkan pada kalangan buruh kantoran dan pemuda mahasiswa, yang tidak mendukung aksi buruh maupun mencibir gerakan buruh. Mulai dari bilang masalah kemacetan, mencibir buruh yang menggunakan motor kawasaki, mengejek buruh yang nggak tau diri karena melulu minta naik upah, dan sebagainya.
Meskipun yang dicap Kelas Menengah Ngehek adalah mereka yang kalangan buruh kantoran dan pemuda mahasiswa, tapi sebenarnya istilah Kelas Menengah ‘Ngehek’ itu sendiri juga sering dilontarkan oleh para buruh kantoran dan pemuda mahasiswa itu sendiri. Apakah ini hanya sekedar untuk membuktikan garis batas bahwa ada Kelas Menengah yang “Ngehek” dan ada yang “Tidak Ngehek” ? Saya pun tidak tahu, dan itu bukan urusan saya. Saya sebenarnya tahu siapa orang dan kelompok yang menciptakan dan mempopulerkan istilah ini, tapi sepertinya untuk saat ini saya rasa itu tidak penting. Biarlah ‘Kelas Menengah Ngehek’ menjadi sumbangan kekayaan bahasa Indonesia. Yang ingin saya bahas kali ini adalah betapa cacatnya istilah Kelas Mengenah Ngehek itu. Sadar tak sadar penggunaan istilah Kelas Menengah Ngehek telah membiaskan kontradiksi pokok rakyat Indonesia. Apakah ini sebuah kebetulan? Mari kita selidiki lebih jauh.

Minggu, 22 November 2015

Pendidikan Mahal tuh Kayak Gimana Sih?

Sumber gambar : https://gunjanpriya.files.wordpress.com/


Suatu hari, sepasang sahabat sedang makan di kantin kampus. Ya, kampus. Institusi yang katanya berisi orang-orang terhormat karena kecerdasannya. Berdiskusi adalah hobi bagi mereka. Mereka membicarakan apa saja. Entah itu yang ilmiah maupun bukan. Tapi bagi masyarakat awam yang tak bisa membedakan mana yang ilmiah dan mana yang bukan, omongan orang-orang kampus selalu terlihat cerdas. Tapi sejenak kita lupakan fenomena antara kampus dengan masyarakat. Mari kita dengarkan apa isi obrolan sepasang sahabat itu, yang kedengarannya begitu ilmiah.


Jun : Menurut lo, pendidikan yang mahal itu yang kayak sih?

Kun : Emang knp?

Jun : Nanya aja

Kun : Hmmm aku coba ya. Kalo menurutku sih, pendidikan mahal itu ya kalo duitku lagi dikit, eh biaya pendidikannya butuh duit banyak

Jun : Lah kalo duit lo lagi banyak?

Kun : Berarti pendidikan itu nggak mahal

Jun : Trus apa lagi? Gitu doang?

Kun : Hmmm palingan sih ya kalo apa yang kubayar, eh ternyata kualitasnya nggak sesuai

Jun  : Selamat deh

Kun : Kenapa?

Jun : Selamat aja

Kun : Apaansi?

Jun : Selamat, lo udah menganggep pendidikan sebagai barang dagangan

Kun : Kok gitu?

Jun : Omongan lo kayak orang dagang sih. Hukum daya beli dan hukum ongkos produksi. Tadi pertama lo bilang pendidikan mahal tergantung daya beli lo, yang tergantung duit lagi dikit atau banyak. Trus kedua lo bilang pendidikan mahal kalo apa yang dibayar nggak sesuai dengan kualitas. Itu kan apa lagi kalo nggak barang dagangan.

Kun : Yah emang mau gimana lagi? Kenyataannya kan gitu

Jun : Kalo menurut konstitusi Indonesia gimana? Kalo berdasarkan UUD 1945?

Kun : Pendidikan adalah...hak warga negara

Jun : Maksud gak?

Kun : Hmmm

Jun : Haha pasti nggak nangkep

Kun : Nangkep, tapi bingung ngomongnya

Jun : Kalo menurut UUD 1945, pendidikan itu urusan publik, makanya ditulisnya hak warga negara. Beda sama kayak lo beli eskrim, topi, atau layangan, yang mana itu urusan privat karena itu barang dagangan. Karena pendidikan itu urusan publik, berarti pendidikan itu nggak boleh jadi barang dagangan. Logika yang digunakan bukan logika barang dagangan.

Kun : Ya kan emang sekarang juga jadi urusan publik. Buktinya pemerintah ngasih bantuan pendidikan kok. Lewat beasiswa, keringanan, bantuan operasional, dan banyak deh pokoknya.

Jun : Iya sih. Tapi sebelum gue bantah itu. Coba dengerin dulu nih ya. Menurut lo orang pinter dan kaya mungkin gak bisa kuliah?

Kun : Mungkin banget

Jun : Kalo bodoh dan kaya?

Kun : Mungkin aja

Jun : Kalo pinter dan miskin?

Kun : Mungkin, tapi dikit

Jun : Kalo bodoh dan miskin?

Kun : Kayaknya hanya keajaiban yang bisa bikin dia kuliah

Jun : Menurut lo diantara empat kategori tadi, mana yang jumlahnya paling banyak di Indonesia?

Kun : Bodoh...dan...miskin....

Jun : Nah coba hubungin sama omongan lo barusan, yang tentang bantuan pendidikan

Kun : Iya sih

Jun : Iya apanya?

Kun : Iyaaaa. Pemerintah kan selama ini cuma ngasih bantuan pendidikan ke yang miskin tapi pintar doang.

Jun : Ada satu lagi sebenernya yang nggak gue sepakati

Kun : Apa?

Jun : Kenapa istilahnya kok “bantuan” ?

Kun : Emang kenapa?

Jun : Kan tadi kita udah sama-sama paham, kalau pendidikan itu hak warga negara

Kun : Trus? Salah gitu kalo orang miskin dibantu?

Jun : Bukan gitu, tapi kenapa kok “bantuan” ? Udah kayak perusahaan aja ngasih bantuan CSR. Harusnya kan bukan “bantuan”, karena itu tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi hak warga negara.

Kun : OMG

Jun : Haha

Kun : Jadi semacem, kayak sekedar charity gitu ya? Sekedar yaudah ngasih bantuan karena kedermawanan pemerintah. Kok gitu dah. Jadi kayak lepas tanggung jawab gitu sama pendidikan.

Jun : Nah itu dia kata kuncinya. Lepas tanggung jawab !

Kun : Jelasin lagi ke aku!

Jun : Tau WTO kan?

Kun : Tau lah, World Trade Organization. Itu organisasi perdagangan dunia, yang menerapkan zona perdagangan bebas, bebas tarif, larangan subsidi, dan gitu-gitu deh pokoknya

Jun : Lo tau gak apa aja yang diperdagangkan secara bebas pada perjanjian WTO ?

Kun : Ya banyak lah. Intinya sih barang dan jasa.

Jun : Pendidikan itu salah satunya. Salah satu aspek jasa yang dijadikan barang dagangan.

Kun : Masa sih?

Jun : Yaudah lo baca aja dokumennya

Kun : Ah pelit dah, jelasin dong!

Jun : Haha nih gue jelasin. Tapi nanti lo baca aja ya dokumennya, gue ga hafal isinya. Tapi lo pasti udah tau prakteknya kayak gimana. Tau kasus RSBI yang pernah rame di media ga?

Kun : Tau

Jun : Yaudah itu lah contohnya

Kun : Hubungannya apa WTO apaan?

Jun : Ah susah dah mudengnya. Lo tau gak apa bedanya RSBI sama yang bukan?

Kun : Bahasa pengantarnya doang kan?

Jun : Bukan. Tapi juga kurikulumnya. Sekolah yang udah RSBI, kurikulumnya beli dari lisensi sekolah-sekolah luar negeri kayak Oxford, Harvard, Cambridge, dan macem-macem deh pokoknya.

Kun : Oh itu sih aku juga tau. Iya juga sih jadi kayak jual beli kurikulum gitu. Tapi kan kalo di perkuliahan nggak ada yang kayak gitu. Berarti jual beli pendidikan nggak ada dong di dunia perguruan tinggi?

Jun : Ada dong. Buktinya banyak banget sekarang kampus-kampus luar negeri semisal dari Amerika, mereka buka cabang kampusnya di Jakarta. Pasti lo pernah liat kan?

Kun : Iya. Tapi kan bukan berarti kampus negeri dijual belikan juga.

Jun : Nih, coba cek lagi salah satu aspek perjanjian WTO. Nggak cuma perdagangan bebas doang. Tapi juga menekan seminimal mungkin anggaran publik, ya pokoknya pemerintah jangan terlalu ikut campur urusan warga negara, subsidi dipotong bahkan kalo bisa dicabut. Nah salah satunya adalah anggaran pendidikan tinggi.

Kun : Buktinya apa?

Jun : Buktinya? Sekarang lo tau nggak nama suntikan dana dari negara ke kampus untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi?

Kun : Nggak

Jun : Namanya BOPTN. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri.

Kun : Lagi-lagi “bantuan”. Ok, understood captain.

Jun : Terus, coba lo cek yang namanya “otonomi kampus” di Undang-Undang Pendidikan Tinggi

Kun : Apa hubungannya?

Jun : Kampus boleh mengelola dirinya sendiri

Kun : Bagus dong. Jadinya independen. Kurikulumnya bebas tanpa intervensi.

Jun : Nah, kalo itu emang bagus. Itu namanya Otonomi Akademik. Tapi selain Otonomi Akademik, ada juga Otonomi Kelola. Kampus boleh mengelola uangnya sendiri.

Kun : Bagus dong. Daripada dikelola orang         lain.

Jun : Ya, tapi konsekuensinya, kampus jadi diperbolehkan sendiri menaik-turunkan tarif biaya kuliah, menarik pungutan-pungutan di luar biaya kuliah, dan membuka ladang bisnis sendiri semisal bengkel, hotel, auditorium, kolam renang, peternakan sapi, dsb.

Kun : Oh, I see. Jadi Otonomi Kelola ini ya yang bikin kampus kita jadi mahal?

Jun : Yap. Karena anggaran dari negara untuk kampus dipotong.

Kun : Tapi, tapi, tapi. Aku tertarik sama yang kampus bisa buka bisnis sendiri. Itu kan bukannya bagus? Jadi dalam rangka mengisi pembiayaan pendidikan, ya kalo negara nggak ngasih anggaran, ya sah aja dong buka bisnis sendiri. Ibaratnya kayak Divisi Usdan gitu di kepanitiaan kegiatan mahasiswa.

Jun : Boleh lah lo bilang bagus. Tapi emangnya ada jaminan kalo bisnis itu bakalan buat pembiayaan pendidikan? Buktinya tuh liat aja di kampus kita. Pas tahun 2013 Rektor kita masuk penjara gara-gara korupsi dana kerjasama bisnisnya kampus. Terus, kalo institusi pendidikan tinggi malah disibukkin sama mencari dana lewat membuka ladang bisnis tadi, kalo menurut gue sih, ini jadi mengkhianati esensi dari perguruan tinggi.

Kun : Berat amat “mengkhianati”, hahaha.          Gimana tuh?

Jun : Kan perguruan tinggi itu cuma ada tiga esensinya, yaitu kayak yang di Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Ya cuma tiga itu, nggak ada yang lain, nggak ada “bisnis kampus” di Tri Dharma. Karena kampus itu adalah pendidik, bukan pemodal, bukan pengusaha.

Kun : Betul juga sih. Dan menurutku kalo kampus bisa buka bisnis sendiri, jadinya dia akan bersaing dengan pelaku usaha yang ada di masyarakat. Tentu aja masyarakat bukan lawan imbang bagi kampus, karena kampus modalnya gede karena dapet BOPTN dan pemasukan dari uang kuliah, sedangkan masyarakat buka bisnis dengan modal sendiri.

Jun : Nah jadi itulah inti dari komersialisasi pendidikan. Yaitu ketika pendidikan yang tadinya urusan publik, menjadi urusan privat. Yang tadinya hak warga negara, menjadi barang dagangan. Yang tadinya tanggung jawab pemerintah, kemudian pemerintah lepas tanggung jawab.

Kun : Terus solusinya gimana dong?

Jun : Itu nanti kita bicarain lagi lah. Lo jangan cuma nanya gue untuk solusinya. Lo juga cari ya

Kun : Okey

Selasa, 20 Oktober 2015

Resensi If a Tree Falls : A Story of Earth Liberation Front



(Tulisan ini pernah diposting di web LPM Pro Justitia, ditulis kembali dengan beberapa perubahan)

If a Tree Falls : A Story of Earth Liberation Front. Film dokumenter ini merupakan karya Marshall Curry dan Sam Cullman, yang dibuat pada tahun 2011, dan memenangkan 5 penghargaan, yang salah satunya Academy Awards pada tahun 2012. Film yang diproduksi oleh Films Transit ini, merupakan potret realitas kerusakan lingkungan di Amerika. Imperialisme, globalisasi, kapitalisme global, atau apapun itu namanya, telah membangkitkan kesadaran kaum environmentalis atau pecinta lingkungan, bahwa korporasi tidak akan berhenti mengeruk dan merusak planet, kecuali jika ada yang menghentikannya.

Film ini menceritakan tentang seseorang bernama Daniel McGowan, bersama teman-temannya yang tergabung dalam bernama Earth Liberation Front atau ELF. Daniel sendiri dijadikan terdakwa atas kejahatannya, yang oleh media disebut dengan eco-terrorism. Ia menghancurkan gedung produksi kayu dan laboratorium pendukung perusakan hutan.

Tadinya, kelompok ini bernama Earth First, sebuah kelompok anarkis-ekologis dengan metode perjuangan non-violent protest (protes damai). Dalam film ini, aksi Earth First ditayangkan dalam protesnya atas penebangan hutan di daerah Warner Creek. Selama berbulan-bulan Earth Fist memblokade jalan dan mendirikan tenda-tenda, bahkan membangun barikade untuk menghalau mesin-mesin berat. Namun setelah perlawanan mereka menghalau mesin-mesin berat yang hendak mengeruk dan merusak hutan gagal, mereka mengubah metode mereka. Mulailah mereka melakukan apa yang disebut dengan eco-sabotage.

Pada dasarnya eco-sabotage adalah sama halnya dengan property damage (perusakan barang) pada umumnya. Eco-sabotage adalah sabotase atas alat produksi milik korporasi maupun pemerintah yang melakukan perusakan alam. Bagi kaum anarkis, tindakan ini bukanlah sebuah kekerasan atau violence karena tidak ada satu orangpun yang terluka. Tindakan ini digunakan untuk menghentikan, atau setidak-tidaknya menghambat sirkuit ekonomi dari sistem kapitalisme. Dalam film ini, dikisahkan juga ada beberapa istilah yang digunakan dalam medan pertempuran environmentalis, seperti misalnya monkeywrenching, yang merupakan tindakan sabotase terhadap alat berat melalui perkakas sederhana secara diam-diam.

ELF percaya bahwa tindakan yang mereka lakukan tidaklah radikal. Bill Barton, seorang dari Native Forest Council, melihat bahwa yang dilakukan para anak muda itu hanyalah bagaimana menyelamatkan 5% lingkungan yang tersisa. Industri cenderung menyebut kelompok pecinta lingkungan sebagai radikal. Bill Barton mengatakan :

“Kenyataannya ialah bahwa 95% dari hutan-hutan yang tersisa di Amerika telah ditebangi. Bukanlah tindakan radikal, untuk menyelamatkan 5% yang masih tersisa. Yang radikal adalah yang menebangi 95% hutan. Inilah tindakan radikal.”
Daniel sendiri terlibat dalam dunia environmentalisme akibat dari sentuhan pertamanya dari sebuah tempat bernama Wetlands, atau lengkapnya ialah Wetlands Environmental Center. Pada dasarnya itu hanyalah sebuah bar, yang rutin mengadakan pertunjukkan. Namun keuntungan dari Wetlands ditujukan untuk menjalankan pusat kegiatan lingkungan. Dari situlah Daniel mengikuti pertemuan-pertemuan, dan juga penayangan film-film, bagaimana lingkungan bernama bumi dikeruk dan dirusak.

“Saya tak pernah melihat sendiri sebelumnya, seperti apa dunia yang kita tinggali ini. Saya merasa dalam suasana berkabung, dan sejak momen itu, saya tak tahu, saya seperti menjadi buta, seperti ‘holy crap, what the hell were we doing?’.” kenang Daniel saat masa-masa awal di Wetlands.

Dalam film ini juga ada suatu kisah, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa 1 Juli. Ada suatu tempat di Eugene, dimana terdapat 40 pohon yang sudah hidup lama sekali, pohon warisan. Di sisi lain, ada suatu perusahaan bernama Symantec, yang berniat mendirikan tempat parkir baru. Mereka membutuhkan bahan baku, dan akan memotong pohon dari situ. Namun begitu para aktivis berencana memobilisasi untuk menolak tindakan tersebut, Dewan Kota segera menyetujui penebangan pohon tersebut, sehari sebelum penebangan. Pada minggu pagi, pukul 2:30, para aktivis yang hanya berjumlah 11 mulai bersiap. Mereka mamanjat pohon-pohon itu dan berusaha melindunginya.

Pemerintah setempat menanggapinya dengan masker, pentungan, dan gas. Mereka membawa semprotan merica, merobek celana para aktivis, lalu menyemprotkannya ke bokong, kaki, dan selangkangan mereka. Jim Flynn, former editor Jurnal Earth First, yang juga salah satu aktivis yang menjadi sasaran aparat ini, merasakan betul kurang lebih 15 kaleng merica disemprotkan ke dirinya. Hal ini sontak menjadi perhatian warga sekitar. Mereka tidak terima dengan tindakan aparat. Mereka berupaya mendobrak pagar yang dijaga aparat, menekan agar tindakan tersebut dihentikan. Aparat menjawab hal tersebut dengan semprotan gas, yang diarahkan ke muka warga. Pohon tersebut akhirnya berhasil tumbang setelah 7 jam Flynn berada di atas sana. Ia lalu dimandikan, dan dibawa ke kantor polisi.

Di film ini juga ditayangkan keterlibatan Daniel dalam peristiwa Battle in Seattle. Itu adalah peristiwa bagaimana kekuatan massa berjumlah kurang lebih 10 ribu orang, mengepung kota Seattle yang menjadi kota tuan rumah Pertemuan World Trade Organization (WTO) pada tahun 1999. Mayoritas massa merupakan massa non-violence protester, yang memprotes secara damai. Meski begitu, aparat setempat tetap tidak tinggal diam meski hanya bersifat damai. Mereka memukul mundur massa dengan pentungan dan gas.

Daniel bergabung dengan sebagian kelompok kecil dari 10 ribu orang tadi, yang mengenakan pakaian serba hitam, yang kita kenal dengan black bloc. Mereka adalah kaum anarkis yang tidak percaya bahwa negara dan korporasi akan tunduk pada dansa di pinggir jalan, dan penyu raksasa, sebagaimana bentuk protes damai yang dilakukan orang-orang. Mereka percaya bahwa bagi negara dan korporasi yang hanya berpikir tentang kapital, adalah penting untuk membekuk pundi-pundi mereka, yakni melalui property damage. Kemudian mereka inilah, kaum yang melakukan perusakan atas toko-toko kapitalis itu, memecahkan jendela-jendela mereka, dan mencoret-coret tembok mereka. Empat hari pertempuran di Seattle ini adalah aksi pertama kali yang dapat menggagalkan pertemuan WTO sepanjang sejarah.

If a Tree Falls, adalah sebuah kisah bagaimana ternyata, sebuah aksi-aksi damai dan legal bukanlah metode yang tepat, untuk menghentikan serbuan korporasi untuk mengeruk dan merusak alam. Daniel dan kawan-kawannya telah membuktikannya. Bahwa hanya kekalahan dan rasa penyesalanlah yang akan menimpa seseorang, yang percaya pada aksi damai dan legal. Namun yang terpenting paska melakukan property damage, ialah mengemukakan alasan dibalik tindakan itu kepada publik. Sambil terus menerus menyebarkan pesan, untuk mengajak publik menyelamatkan planet mereka dari bencana yang ditimbulkan korporasi.

Rabu, 14 Oktober 2015

Senja yang Terhempas

(instagram.com/panjimulki)

Kala bulan menanti, sang gelap menghampiri. Hujan sudah terus tampil beberapa bulan ini, dan mungkin segera habis di bulan depan. Di teras sebuah rumah sederhana, melamun seorang gadis duduk di bangku yang terbuat dari bambu. Senja, begitulah orang-orang di sekitar memanggil dirinya.

Saat itu memang tidak ada kesibukan yang biasa Senja lakukan. Karena belum lagi waktu kuliah datang untuk mengisi waktu-waktunya. Senja saat ini menjalani studinya pada ilmu hukum di suatu Universitas di Jawa Tengah. Bulan depan ia memasuki semester III (tiga) dalam studinya.

Pada mulanya memang tidak terbesit niat sedikitpun dalam hatinya melanjutkan studi ke Pendidikan Tinggi, setelah masa Sekolah Menengah Atasnya (SMA) usai. Karena latar belakang keluarganya yang secara ekonomi tergolong pas-pasan, ayahnya yang bekerja serabutan dan berpenghasilan di bawah Upah Minimum yang ditetapkan pemerintah, serta ibunya yang hanya berstatus sebagai ibu rumah tangga, akan ngos-ngosan  ketika dibebani dengan biaya kuliah yang memang kurang bisa dijangkau olehnya.

Tapi keluarga Senja hidup dengan rasa optimis, sehingga ayah dan ibunya sedikit demi sedikit menabung untuk membiayai kuliah Senja. Walau rasa optimis itu pun sudah menghadapi masa krisis, karena memasuki semester tiga ini, Senja harus sudah membayar biaya kuliah. Padahal ibu dan bapaknya belum lagi mempunyai uang untuk membayarnya, dan uang tabungan pun sudah habis terpakai untuk biaya adik Senja yang baru memasuki SMA.

"Senja, Nja," Ibunya memanggil dari dalam rumah seolah ingin menunjukkan sesuatu.

Sahut Senja sambil terbangun dari lamunannya, "Iya Bu, ada apa Bu?"

"Lihat sini di TV, kayaknya itu universitasmu disebut-sebut, rektormu korupsi sampe milyaran tuh jumlahnya."

"Eh iya bener Bu, kayaknya nggak dimana-mana berita isinya kasus korupsi semua, sekarang malah rektorku yang masuk berita, hahaha lucu juga ya."

"Heh, kamu kok malah ketawa sih nak, bagaimanapun juga yang dikorupsi itu kan duit rakyat, duit kita juga," tutur Ibu mencoba menjelaskan.

"Tapi Bu, mau dikorupsi sebanyak apapun juga nggak akan ngaruh ke kita kan Bu? Tetap saja kita hidup pas-pasan dari dulu."

"Kalau masalah pas-pasan sih iya nak, tapi kalau duit buat pendidikan aja sampai dikorupsi juga, berarti selama ini kan ada pangkas-memangkas dana, dan akhirnya coba lihat berapa biaya yang harus kita bayar buat universitas? Dari kamu semester satu hingga saat ini rasanya biayanya semakin mahal saja."

Senin, 23 Februari 2015

Apes

Pagi ini gue punya 3 plan :
1. Bimbingan ke Bu Riris. Sebab udah 2 minggu lebih 3 hari gue nggak ngurus skripsi, gegara gue tinggal ke jogja utk kerja organisasi. Juga karena semalem si Surya bilang, "Ji, dicariin noh ama Bu Riris".
2. Ambil laptop. Karena sama nasibnya kayak yang nomer 1, ditinggal udah 2 minggu lebih tiga hari. Plus emang gue butuh banget laptop untuk ngerjain skripsi.
3. Ambil celana di penjahit. Mumpung lagi dpt pinjeman motor, dan mumpung lagi inget. Gue ninggalin celana sejak September 2014.

Realisasi
1. Gue ke kampus jam 9
Bu Riris blm dateng. Terus gue sms deh kpn beliau ke kampus.
2. Gue ke tempat service laptop. Ternyata belum jadi juga. Katanya seminggu lagi.
3. Gue ke penjahit. Yang kali ini ga mungkin belum selesai. Tapi apa daya. Kayaknya gue emang lagi siap. CELANA GUE BELOM DIGARAP. Gue pengen marah tapi ga enak ama Bapaknya. Takutnya dia lebih galak. Terus Bapaknya minta nomor HP gue, biar kalo dah jadi nanti bisa tinggal dikontak.
4. Harapan satu-satunya tinggal balesan SMS dari Bu Riris. Dan di tempat penjahit itu gue dapet balesan. Beliau bilang, "Ga saya bawa, besok aja ya". (-_-) Apes banget gue.
5. Akhirnya gue bikin plan dadakan, yaitu ngelaundry dan beres-beres lemari yang baru aja gue pindahin dari kamar Seto.

Evaluasi
1. Selalu SMS dosenmu lebih pagi, sebelum berangkat ke kampus.
2. Kalau ke penjahit, tempat service, atau tukang apapun itu yang menyediakan jasa tertentu yang bisa ditinggal, perlu dicek progressnya seminggu sekali.

Kesalahan dalam berpraktek ini semoga bisa menjadi bahan pembelajaran bagi pembaca di kemudian hari.

Minggu, 22 Februari 2015

Menang Itu Relatif, Keren Itu Mutlak

Tiba-tiba aku teringat pada nasehat dari seorang mahaguru bernama Taqi. Ia pernah berujar bahwa seluruh manusia di dunia ini saling terkam, saling mangsa, saling bersaing untuk mencapai kemenangan, tapi ada satu hal yang terlupakan, yaitu ialah menjadi keren. Tidaklah cukup dikenal siapa gubernur yang menjadi lawan pitung dalam kisah si pitung dari betawi, tidak jua cukup tau berapa jumlah tentara kompeni yang dihajar pitung, tapi siapa pula yang tidak kenal pitung, padahal si pitung ialah pihak yang kalah, namun bukan bukan itu yang terpenting, yang terpenting ialah bahwasanya pitung sudah berbuat “keren” karena jurusnya, keteguhan hatinya, dan keberaniannya melawan pemerintah kolonial belanda. Tidaklah juga cukup dikenal siapa kaisar yang berkuasa sewaktu spartakus dari romawi membebaskan para budak dalam sejarah pemberontakan budak di romawi, kenapa demikian? karena si kaisar itu tidaklah keren dibanding spartakus. Tidaklah juga cukup dikenal siapa raja dan nama pengadilan yang menjatuhi hukuman mati bagi sokrates, yang semua orang tau ialah bahwa sokrates ialah seorang yang keren karena mampu mengacaukan tatanan pemikiran di athena yang sudah bobrok waktu itu. Maka? Jadilah keren !

Anda Pengunjung ke