Jumat, 27 November 2015

Salah Kaprah tentang Kelas Menengah Ngehek



Akhir-akhir ini mulai ngetren istilah Kelas Menengah Ngehek. Apalagi kalau pas lagi momen aksi buruh. Kelas Menengah Ngehek ini kerap disematkan pada kalangan buruh kantoran dan pemuda mahasiswa, yang tidak mendukung aksi buruh maupun mencibir gerakan buruh. Mulai dari bilang masalah kemacetan, mencibir buruh yang menggunakan motor kawasaki, mengejek buruh yang nggak tau diri karena melulu minta naik upah, dan sebagainya.
Meskipun yang dicap Kelas Menengah Ngehek adalah mereka yang kalangan buruh kantoran dan pemuda mahasiswa, tapi sebenarnya istilah Kelas Menengah ‘Ngehek’ itu sendiri juga sering dilontarkan oleh para buruh kantoran dan pemuda mahasiswa itu sendiri. Apakah ini hanya sekedar untuk membuktikan garis batas bahwa ada Kelas Menengah yang “Ngehek” dan ada yang “Tidak Ngehek” ? Saya pun tidak tahu, dan itu bukan urusan saya. Saya sebenarnya tahu siapa orang dan kelompok yang menciptakan dan mempopulerkan istilah ini, tapi sepertinya untuk saat ini saya rasa itu tidak penting. Biarlah ‘Kelas Menengah Ngehek’ menjadi sumbangan kekayaan bahasa Indonesia. Yang ingin saya bahas kali ini adalah betapa cacatnya istilah Kelas Mengenah Ngehek itu. Sadar tak sadar penggunaan istilah Kelas Menengah Ngehek telah membiaskan kontradiksi pokok rakyat Indonesia. Apakah ini sebuah kebetulan? Mari kita selidiki lebih jauh.

Sepemahaman sederhana saya, kalau ada Kelas Menengah, berarti mengandaikan ada Kelas Atas dan Kelas Bawah.  Karena saya bukanlah sosiolog, saya tidak ingin sok tahu untuk menjelaskan tentang apa itu Kelas Menengah. Tapi kalau lantas kelas itu dibagi berdasarkan kekayaannya, saya jelas menolak pandangan ini. Karena jika kelas itu berdasarkan kekayaan, lantas apakah buruh pabrik yang gajinya 7 juta per bulan juga kelas menengah? Apakah bandit yang baru saja merampok uang sebesar 5 milyar dollar dapat disebut kelas atas? Apakah pemilik perusahaan besaran utangnya lebih besar daripada keuntungannya dapat disebut kelas bawah? Apa itu Kelas Menengah? Apakah itu merupakan kapitalis, komprador, imperialis, tuan tanah, petani, borjuis kecil (petite-borgeoisie), proletar, lumpenproletar, ataukah suku komunal primitif? Saya rasa pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mungkin dapat dijelaskan jika cara pandangnya demikian.
Kemudian, istilah Kelas Menengah ‘Ngehek’. Menurut Kamus Slang Indonesia, Ngehek itu kata lainnya adalah Sembrono, atau melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang kemudian merugikan orang-orang lain. Lagi-lagi dengan pemahaman sederhana saya, jika ada Kelas Mengengah Ngehek, apakah berarti ada Kelas ‘Bukan Menengah’ yang Ngehek? Semisal kapitalis ngehek, komprador ngehek, imperialis ngehek, tuan tanah ngehek, petani ngehek, borjuis kecil ngehek, proletar ngehek, lumpenproletar ngehek, atau bahkan suku komunal ngehek? Kenapa hanya Kelas Menengah Ngehek yang dicibir habis-habisan di medsos? Kenapa bukan Kelas ‘Bukan Menengah’ Ngehek saja yang di-bully ?
Tapi okelah. Kita beri saja batasan bahwa yang dimaksud Kelas Menengah Ngehek adalah :
1.       Para buruh kantoran, pemuda, dan intelektual;
2.       Yang pendapatannya masih cukup untuk kebutuhan primer, sekunder, dan bahkan tersier;
3.       Yang mencibir gerakan rakyat kalau menyusahkan (semisal  karena aksi massa bikin macet);
4.       Tapi mendukung kalau berhasil, seolah benar-benar terlibat di gerakan;
5.       Dan tindakannya hanya sebatas wacana, medsos, isu, dan paling mentok ngisi petisi online.

Secara empirik inilah setidak-tidaknya yang dimaksud Kelas Menengah Ngehek. Oke, lalu apa? Apakah setelah berhasil mengejek dengan cap “Kelas Menengah Ngehek”, lalu masalah selesai? Apakah kemudian imperialisme tiba-tiba lenyap, dan kemudian lahir masyarakat yang demokratis? Kalau tidak, jangan-jangan persoalannya bukanlah di titik Kelas Menengah Ngehek. Jangan-jangan Kelas Menengah Ngehek itu sama seperti Kelas Menengah yang Tidak Ngehek, yaitu sama-sama di lapisan rakyat tertindas.
Buruh kantoran misalnya. Mereka sering mencibir gerakan buruh yang melulu minta naik upah (meskipun sebenarnya nggak melulu upah). Mereka mencibir, “harusnya bersyukur dong, gue aja yang gajinya di bawah upah minimum nggak protes kok!”. Ini memang argumen yang mudah dipatahkan. Bisa saja kita salahkan buruh kantoran tersebut, “bro, makanya belajar hukum, pengusaha yang ngasih gaji di bawah upah minimum itu bisa kena sanksi”. Si buruh kantoran ini lalu di-bully karena dianggap cupu, payah, dan lemah karena tidak berani memperjuangkan haknya sendiri.
Padahal jelas-jelas buruh kantoran itu sama-sama buruh, sama-sama orang yang hanya hidup dari upah. Cuma bedanya, buruh kantoran itu kerja di ruangan ber-AC, pakai dasi, dan tidak memproduksi benda-benda konkrit. Sedangkan buruh pabrik itu kerja di ruangan yang sesak, panas, seringnya berdiri melulu sampe pegal dan kram, tidak pakai dasi, dan memproduksi benda-benda konkrit. Suasana buruh kantoran memang terkesan lebih enak. Karena kesannya enak, mereka sampai terbuai, atau bahasa lainnya mengidap ‘kesadaran palsu’. Mereka lupa bahwa jatidirinya, bahwa keadaan objekifnya, mereka adalah sama-sama bagian dari klas buruh. Mereka jadi mudah termakan hegemoni penguasa melalui media, pendidikan, bahkan klaim pemuka agama dan ocehan para motivator. Mereka menjadi terilusi bahwa mereka kelak bisa hidup mewah seperti bosnya. Mereka menjadi berpikir seperti bosnya. Mereka menjadi berpikir bahwa mereka bukan buruh, yang kemudian istilah buruh pun dikaburkan menjadi karyawan, pegawai, staf, dan sebagainya. Mereka merasa berbeda dengan buruh pabrik itu. Mereka kemudian mulai mencibir dan mengejek para buruh pabrik itu... lewat media sosial tentunya.
Atau pemuda (biasanya mahasiswa) dan para intelektual (biasanya juga mahasiswa) misalnya. Biasanya mereka bilang :
1.       Jangan hanya nuntut upah, produktifitas juga dong;
2.       Nuntut kesejahteraan, tapi aksi massa kok pakai kawasaki;
3.       Makanya hidup hemat, jangan boros;
4.       Makanya jangan jadi buruh, mending bikin usaha;
5.       Dan ucapan-ucapan lain yang makin tidak ilmiah.
Membantah argumen-argumen itu semua sangatlah gampang. Balas aja kayak gini :
1.       Buruh produktif kok. Tuh buktinya sepatu, baju, laptop, motor, semuanya produksi buruh;
2.       Kawasaki juga buatan buruh. Nggak ada aturan yang melarang buruh beli kawasaki kok;
3.       Ngirim sebagian upah ke keluarga yang ada desa itu nggak boros, tapi mulia;
4.       Jadi buruh itu bukan pilihan, tapi keterpaksaan karena minimnya pekerjaan layak di desa akibat perampasan dan monopoli tanah oleh perusahaan dan negara;
5.       Berabad-abad lamanya aksi massa buruh udah bikin 1 Mei jadi libur Internasional, bikin jam kerja hanya 8 jam, ada cuti, ada kebijakan upah minimum, ada banyak hal-hal lainnya.
Padahal jelas-jelas pemuda mahasiswa itu punya masalah yang juga pelik seperti buruh. Pemuda mahasiswa itu ibarat orang yang sadomasokis, alias senang disika. Masuk kuliah bayar mahal, untuk mendapat siksaan berupa pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis, dan tidak mengabdi pada rakyat. Membayar untuk disiksa. Memang sih, ada dosen yang berkualitas, metode pengajarannya demokratis, dan mengarahkan mahasiswanya untuk membela kaum tertindas. Tapi ya balik lagi, itu oknum, bukan sistem. Mayoritas pemuda mahasiswa ketika lulus ujung-ujungnya juga menjadi buruh. Bahkan tidak sedikit yang bertahun-tahun menjadi pengangguran. Banyak sarjana yang kerja di bukan bidangnya. Sarjana Biologi kerja di Bank. Sarjana Pertanian kerja di Periklanan Celana Dalam. Banyak materi kuliah yang tidak terpakai di dunia kerja.
Karena pendidikannya saja tidak ilmiah, maka cara berpikir mahasiswanya pun juga menjadi tidak ilmiah. Menilai buruh secara subjektif. Padahal belum pernah terjun langsung meneliti kondisi riil. Andai saja pemuda mahasiswa sadar bahwa jika upah minimum naik dan pemerintah memberi jaminan sosial, maka pada dasarnya ketika dia lulus kemudian bekerja, dia akan mendapatkan manfaat pula.
Jelas sudah bahwa pada dasarnya entah itu buruh kantoran dan pemuda mahasiswa itu ya sama-sama tertindas, baik itu Ngehek maupun Bukan Ngehek. Kemudian kenapa mereka bisa menjadi Ngehek, ternyata bukan dari sononya, bukan dari watak alamiahnya, tapi karena bentukan sosial, karena hegemoni klas penguasa. Melabeli mereka dengan cap Ngehek tidak menyelesaikan masalah rakyat Indonesia. Lalu lantas apa yang harus dilakukan?
Sepanjang sejarah, klas tertindas tidak akan pernah merebut hak-haknya secara alamiah. Kesadaran pun tidak pernah murni terbangun secara alamiah. Perjuangan rakyat Indonesia saja dalam menghadapi Agresi Militer Belanda, bahkan dilakukan dengan cara-cara terorganisir dan bukan oleh inisiatif belaka. Ada pelatihannya, ada strategi, dan taktiknya.
Begitupun bagi buruh kantoran dan pemuda mahasiswa sekalipun. Perlu ada organisasi sebagai wadah peningkatan kesadaran massa, dan alat perjuangan bersama untuk meraih hak-haknya yang sejati. Ngehek ataupun Bukan Ngehek, buruh kantoran dan pemuda mahasiswa tetaplah massa tertindas di bawah dominasi imperialisme dan feodalisme. Seperti di Yunani misalnya, ada serikat pekerja bagi Pegawai Negeri Sipil bernama Konferedasi Pegawai Sipil atau biasa disebut ADEDY. Mereka ikut melakukan mogok nasional ketika Yunani dihadapkan paksaan untuk melakukan penghematan anggaran. Pemuda mahasiswa dan buruh kantoran memang rentan untuk menjadi Ngehek. Tapi dengan penanganan yang sabar dan hati-hati, mereka bisa menjadi penggerak perubahan rakyat tertindas, bukan hanya di medsos saja.
Jadi, Ngehek itu bukan kebetulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke