Akhir-akhir ini mulai ngetren
istilah Kelas Menengah Ngehek. Apalagi kalau pas lagi momen aksi buruh. Kelas
Menengah Ngehek ini kerap disematkan pada kalangan buruh kantoran dan pemuda mahasiswa,
yang tidak mendukung aksi buruh maupun mencibir gerakan buruh. Mulai dari
bilang masalah kemacetan, mencibir buruh yang menggunakan motor kawasaki,
mengejek buruh yang nggak tau diri karena melulu minta naik upah, dan
sebagainya.
Meskipun yang dicap Kelas
Menengah Ngehek adalah mereka yang kalangan buruh kantoran dan pemuda mahasiswa,
tapi sebenarnya istilah Kelas Menengah ‘Ngehek’
itu sendiri juga sering dilontarkan oleh para buruh kantoran dan pemuda
mahasiswa itu sendiri. Apakah ini hanya sekedar untuk membuktikan garis batas bahwa
ada Kelas Menengah yang “Ngehek” dan ada yang “Tidak Ngehek” ? Saya pun tidak
tahu, dan itu bukan urusan saya. Saya sebenarnya tahu siapa orang dan kelompok yang
menciptakan dan mempopulerkan istilah ini, tapi sepertinya untuk saat ini saya
rasa itu tidak penting. Biarlah ‘Kelas Menengah Ngehek’ menjadi sumbangan
kekayaan bahasa Indonesia. Yang ingin saya bahas kali ini adalah betapa
cacatnya istilah Kelas Mengenah Ngehek itu. Sadar tak sadar penggunaan istilah
Kelas Menengah Ngehek telah membiaskan kontradiksi pokok rakyat Indonesia. Apakah
ini sebuah kebetulan? Mari kita selidiki lebih jauh.
Sepemahaman sederhana saya, kalau
ada Kelas Menengah, berarti mengandaikan ada Kelas Atas dan Kelas Bawah. Karena saya bukanlah sosiolog, saya tidak
ingin sok tahu untuk menjelaskan tentang apa itu Kelas Menengah. Tapi kalau
lantas kelas itu dibagi berdasarkan kekayaannya, saya jelas menolak pandangan
ini. Karena jika kelas itu berdasarkan kekayaan, lantas apakah buruh pabrik yang
gajinya 7 juta per bulan juga kelas menengah? Apakah bandit yang baru saja
merampok uang sebesar 5 milyar dollar dapat disebut kelas atas? Apakah pemilik
perusahaan besaran utangnya lebih besar daripada keuntungannya dapat disebut
kelas bawah? Apa itu Kelas Menengah? Apakah itu merupakan kapitalis, komprador,
imperialis, tuan tanah, petani, borjuis kecil (petite-borgeoisie), proletar, lumpenproletar, ataukah suku komunal
primitif? Saya rasa pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mungkin dapat
dijelaskan jika cara pandangnya demikian.
Kemudian, istilah Kelas Menengah ‘Ngehek’.
Menurut Kamus Slang Indonesia, Ngehek itu kata lainnya adalah Sembrono, atau
melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang kemudian merugikan orang-orang lain.
Lagi-lagi dengan pemahaman sederhana saya, jika ada Kelas Mengengah Ngehek,
apakah berarti ada Kelas ‘Bukan Menengah’ yang Ngehek? Semisal kapitalis
ngehek, komprador ngehek, imperialis ngehek, tuan tanah ngehek, petani ngehek,
borjuis kecil ngehek, proletar ngehek, lumpenproletar ngehek, atau bahkan suku komunal
ngehek? Kenapa hanya Kelas Menengah Ngehek yang dicibir habis-habisan di
medsos? Kenapa bukan Kelas ‘Bukan Menengah’ Ngehek saja yang di-bully ?
Tapi okelah.
Kita beri saja batasan bahwa yang dimaksud Kelas Menengah Ngehek adalah :
1.
Para buruh kantoran, pemuda, dan intelektual;
2. Yang
pendapatannya masih cukup untuk kebutuhan primer, sekunder, dan bahkan tersier;
3. Yang
mencibir gerakan rakyat kalau menyusahkan (semisal karena aksi massa bikin macet);
4. Tapi
mendukung kalau berhasil, seolah benar-benar terlibat di gerakan;
5. Dan
tindakannya hanya sebatas wacana, medsos, isu, dan paling mentok ngisi petisi
online.
Secara empirik inilah setidak-tidaknya
yang dimaksud Kelas Menengah Ngehek. Oke, lalu apa? Apakah setelah berhasil
mengejek dengan cap “Kelas Menengah Ngehek”, lalu masalah selesai? Apakah
kemudian imperialisme tiba-tiba lenyap, dan kemudian lahir masyarakat yang
demokratis? Kalau tidak, jangan-jangan persoalannya bukanlah di titik Kelas
Menengah Ngehek. Jangan-jangan Kelas Menengah Ngehek itu sama seperti Kelas
Menengah yang Tidak Ngehek, yaitu sama-sama di lapisan rakyat tertindas.
Buruh kantoran misalnya. Mereka
sering mencibir gerakan buruh yang melulu minta naik upah (meskipun sebenarnya
nggak melulu upah). Mereka mencibir, “harusnya
bersyukur dong, gue aja yang gajinya di bawah upah minimum nggak protes kok!”. Ini
memang argumen yang mudah dipatahkan. Bisa saja kita salahkan buruh kantoran tersebut,
“bro, makanya belajar hukum, pengusaha
yang ngasih gaji di bawah upah minimum itu bisa kena sanksi”. Si buruh
kantoran ini lalu di-bully karena dianggap cupu, payah, dan lemah karena tidak
berani memperjuangkan haknya sendiri.
Padahal jelas-jelas buruh
kantoran itu sama-sama buruh, sama-sama orang yang hanya hidup dari upah. Cuma
bedanya, buruh kantoran itu kerja di ruangan ber-AC, pakai dasi, dan tidak
memproduksi benda-benda konkrit. Sedangkan buruh pabrik itu kerja di ruangan
yang sesak, panas, seringnya berdiri melulu sampe pegal dan kram, tidak pakai
dasi, dan memproduksi benda-benda konkrit. Suasana buruh kantoran memang
terkesan lebih enak. Karena kesannya enak, mereka sampai terbuai, atau bahasa
lainnya mengidap ‘kesadaran palsu’. Mereka lupa bahwa jatidirinya, bahwa
keadaan objekifnya, mereka adalah sama-sama bagian dari klas buruh. Mereka jadi
mudah termakan hegemoni penguasa melalui media, pendidikan, bahkan klaim pemuka
agama dan ocehan para motivator. Mereka menjadi terilusi bahwa mereka kelak
bisa hidup mewah seperti bosnya. Mereka menjadi berpikir seperti bosnya. Mereka
menjadi berpikir bahwa mereka bukan buruh, yang kemudian istilah buruh pun
dikaburkan menjadi karyawan, pegawai, staf, dan sebagainya. Mereka merasa
berbeda dengan buruh pabrik itu. Mereka kemudian mulai mencibir dan mengejek para
buruh pabrik itu... lewat media sosial tentunya.
Atau pemuda (biasanya mahasiswa)
dan para intelektual (biasanya juga mahasiswa) misalnya. Biasanya mereka bilang
:
1. Jangan
hanya nuntut upah, produktifitas juga dong;
2. Nuntut
kesejahteraan, tapi aksi massa kok pakai kawasaki;
3. Makanya
hidup hemat, jangan boros;
4. Makanya
jangan jadi buruh, mending bikin usaha;
5. Dan
ucapan-ucapan lain yang makin tidak ilmiah.
Membantah argumen-argumen itu semua sangatlah gampang. Balas
aja kayak gini :
1. Buruh
produktif kok. Tuh buktinya sepatu,
baju, laptop, motor, semuanya produksi buruh;
2. Kawasaki
juga buatan buruh. Nggak ada aturan yang melarang buruh beli kawasaki kok;
3. Ngirim
sebagian upah ke keluarga yang ada desa itu nggak boros, tapi mulia;
4. Jadi
buruh itu bukan pilihan, tapi keterpaksaan karena minimnya pekerjaan layak di
desa akibat perampasan dan monopoli tanah oleh perusahaan dan negara;
5. Berabad-abad
lamanya aksi massa buruh udah bikin 1 Mei jadi libur Internasional, bikin jam
kerja hanya 8 jam, ada cuti, ada kebijakan upah minimum, ada banyak hal-hal
lainnya.
Padahal jelas-jelas pemuda
mahasiswa itu punya masalah yang juga pelik seperti buruh. Pemuda mahasiswa itu
ibarat orang yang sadomasokis, alias senang disika. Masuk kuliah bayar mahal,
untuk mendapat siksaan berupa pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis,
dan tidak mengabdi pada rakyat. Membayar untuk disiksa. Memang sih, ada dosen
yang berkualitas, metode pengajarannya demokratis, dan mengarahkan mahasiswanya
untuk membela kaum tertindas. Tapi ya balik lagi, itu oknum, bukan sistem.
Mayoritas pemuda mahasiswa ketika lulus ujung-ujungnya juga menjadi buruh.
Bahkan tidak sedikit yang bertahun-tahun menjadi pengangguran. Banyak sarjana
yang kerja di bukan bidangnya. Sarjana Biologi kerja di Bank. Sarjana Pertanian
kerja di Periklanan Celana Dalam. Banyak materi kuliah yang tidak terpakai di
dunia kerja.
Karena pendidikannya saja tidak
ilmiah, maka cara berpikir mahasiswanya pun juga menjadi tidak ilmiah. Menilai
buruh secara subjektif. Padahal belum pernah terjun langsung meneliti kondisi
riil. Andai saja pemuda mahasiswa sadar bahwa jika upah minimum naik dan pemerintah
memberi jaminan sosial, maka pada dasarnya ketika dia lulus kemudian bekerja, dia
akan mendapatkan manfaat pula.
Jelas sudah bahwa pada dasarnya entah
itu buruh kantoran dan pemuda mahasiswa itu ya sama-sama tertindas, baik itu
Ngehek maupun Bukan Ngehek. Kemudian kenapa mereka bisa menjadi Ngehek,
ternyata bukan dari sononya, bukan
dari watak alamiahnya, tapi karena bentukan sosial, karena hegemoni klas
penguasa. Melabeli mereka dengan cap Ngehek tidak menyelesaikan masalah rakyat
Indonesia. Lalu lantas apa yang harus dilakukan?
Sepanjang sejarah, klas tertindas
tidak akan pernah merebut hak-haknya secara alamiah. Kesadaran pun tidak pernah
murni terbangun secara alamiah. Perjuangan rakyat Indonesia saja dalam
menghadapi Agresi Militer Belanda, bahkan dilakukan dengan cara-cara
terorganisir dan bukan oleh inisiatif belaka. Ada pelatihannya, ada strategi,
dan taktiknya.
Begitupun bagi buruh kantoran dan
pemuda mahasiswa sekalipun. Perlu ada organisasi sebagai wadah peningkatan
kesadaran massa, dan alat perjuangan bersama untuk meraih hak-haknya yang
sejati. Ngehek ataupun Bukan Ngehek, buruh kantoran dan pemuda mahasiswa
tetaplah massa tertindas di bawah dominasi imperialisme dan feodalisme. Seperti
di Yunani misalnya, ada serikat pekerja bagi Pegawai Negeri Sipil bernama Konferedasi
Pegawai Sipil atau biasa disebut ADEDY. Mereka ikut melakukan mogok nasional
ketika Yunani dihadapkan paksaan untuk melakukan penghematan anggaran. Pemuda
mahasiswa dan buruh kantoran memang rentan untuk menjadi Ngehek. Tapi dengan
penanganan yang sabar dan hati-hati, mereka bisa menjadi penggerak perubahan
rakyat tertindas, bukan hanya di medsos saja.
Jadi, Ngehek itu bukan kebetulan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar