Rabu, 14 Oktober 2015

Senja yang Terhempas

(instagram.com/panjimulki)

Kala bulan menanti, sang gelap menghampiri. Hujan sudah terus tampil beberapa bulan ini, dan mungkin segera habis di bulan depan. Di teras sebuah rumah sederhana, melamun seorang gadis duduk di bangku yang terbuat dari bambu. Senja, begitulah orang-orang di sekitar memanggil dirinya.

Saat itu memang tidak ada kesibukan yang biasa Senja lakukan. Karena belum lagi waktu kuliah datang untuk mengisi waktu-waktunya. Senja saat ini menjalani studinya pada ilmu hukum di suatu Universitas di Jawa Tengah. Bulan depan ia memasuki semester III (tiga) dalam studinya.

Pada mulanya memang tidak terbesit niat sedikitpun dalam hatinya melanjutkan studi ke Pendidikan Tinggi, setelah masa Sekolah Menengah Atasnya (SMA) usai. Karena latar belakang keluarganya yang secara ekonomi tergolong pas-pasan, ayahnya yang bekerja serabutan dan berpenghasilan di bawah Upah Minimum yang ditetapkan pemerintah, serta ibunya yang hanya berstatus sebagai ibu rumah tangga, akan ngos-ngosan  ketika dibebani dengan biaya kuliah yang memang kurang bisa dijangkau olehnya.

Tapi keluarga Senja hidup dengan rasa optimis, sehingga ayah dan ibunya sedikit demi sedikit menabung untuk membiayai kuliah Senja. Walau rasa optimis itu pun sudah menghadapi masa krisis, karena memasuki semester tiga ini, Senja harus sudah membayar biaya kuliah. Padahal ibu dan bapaknya belum lagi mempunyai uang untuk membayarnya, dan uang tabungan pun sudah habis terpakai untuk biaya adik Senja yang baru memasuki SMA.

"Senja, Nja," Ibunya memanggil dari dalam rumah seolah ingin menunjukkan sesuatu.

Sahut Senja sambil terbangun dari lamunannya, "Iya Bu, ada apa Bu?"

"Lihat sini di TV, kayaknya itu universitasmu disebut-sebut, rektormu korupsi sampe milyaran tuh jumlahnya."

"Eh iya bener Bu, kayaknya nggak dimana-mana berita isinya kasus korupsi semua, sekarang malah rektorku yang masuk berita, hahaha lucu juga ya."

"Heh, kamu kok malah ketawa sih nak, bagaimanapun juga yang dikorupsi itu kan duit rakyat, duit kita juga," tutur Ibu mencoba menjelaskan.

"Tapi Bu, mau dikorupsi sebanyak apapun juga nggak akan ngaruh ke kita kan Bu? Tetap saja kita hidup pas-pasan dari dulu."

"Kalau masalah pas-pasan sih iya nak, tapi kalau duit buat pendidikan aja sampai dikorupsi juga, berarti selama ini kan ada pangkas-memangkas dana, dan akhirnya coba lihat berapa biaya yang harus kita bayar buat universitas? Dari kamu semester satu hingga saat ini rasanya biayanya semakin mahal saja."

Senja merenung dan kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan sekaligus mengiyakan apa yang barusan dikatakan ibunya.

"Ngomong-ngomong biaya kuliah, kapan ya Bu aku bayar kuliah buat semester ini?," tanya Senja dengan wajah polosnya.

"Ibu belum tau nah, kemarin Ibu tanya Bapakmu belum juga dijawab," sambil berat hati Ibu menjawabnya. Tapi apa boleh buat, memang begitulah keadaannya.

"Maksudnya Bu?" sambung Senja mencoba mempertegas apa yang dikatakan Ibunya.

Ibu terdiam sejenak, menatap wajah gadisnya yang polos menunggu pertanyaannya dijawab. Ia genggam tangan anaknya yang cantik itu.

"Ibu belum tahu semester besok kamu bisa melanjutkan kuliah atau enggak nak, kamu bantu Bapak kerja aja," dengan nada lirih Ibu berkata.

Air muka Senja berubah mendengar pernyataan Ibu. Sepertinya hal tersebut telah membuatnya terhempas, ya terhempas, terhempas dari impiannya untuk dapat melanjutkan kuliah.

Senja kecewa. Ia lepas genggaman tangan Ibu. Ia beranjak, menjauh dari Ibunya. Ia seakan tak percaya. Pupuslah sudah kini cita-citanya yang ia emban sejak kecil. Cita-cita dimana ia ingin jadi pengacara.

Senja ingin jadi pengacara. Ia punya mimpi bisa menolong orang kecil yang malang. Sedari kecil ia sering melihat saudara dan tetangganya kesusahan. Ia sering melihat perampasan tanah, penggusuran rumah, dan PHK tanpa alasan yang masuk akal.

Senja tahu rasanya menjadi mereka yang keadilannya dirampas itu. Kadang ia berbagi kasur ketika tetangganya yang rumahnya digusur atau yang tanahnya dirampas. Ia sering berbagi nasi di atas piring bagi mereka yang dirampas upah dan kerjanya.

Terhuyung-huyung, Senja berjalan ke kamar. Ia menangis. Supaya tangisannya tak terdengar sampai luar, ia tidur telungkup menghadap bantal. Ia gigit bantal itu. Air matanya mengalir deras sampai sprei.

Meski begitu, tetap saja tangisan Senja terdengar ke luar kamar. Sang Ibu mendengar. Ia tahu, sebagai orangtua, ia telah gagal. Ia membuat gadis yang ia sayangi menanggis. Ia juga hendak menangis. Tapi ia tak sanggup melakukannya. Ia lebih memilih untuk tetap tegar, meski ia tahu bahwa hatinya perih tersayat. Meski ia tahu bahwa ia takkan mungkin sanggup memendam luka.

Adzan magrib berkumandang. Samar-samar tangisan Senja terdengat. Kian lama buyar dan tak terdengar lagi. Dalam hati Ibu berkata, "Anakku, mungkin kau tidak akan memaafkan Ibumu ini, tapi jauh di lubuk hati, Ibu menyayangimu."

***

Pagi itu, cerah sekali. Tapi asap knalpot kota dengan cepat merusak pemandangan pagi itu. Sudah seminggu ini tidak hujan lagi. Mungkin ini sudah ganti musim. Keluarga si Senja sudah sibuk dengan urusannya.

"Nja, ini tempenya dihabiskan dong."

Sang Ibu memarahi Senja karena tempenya tidak habis dimakan.

"Ampun Bu, dah kenyang nih, aku berangkat dulu ya."

"Iya, hati-hati ya, jangan lupa baca doa."

"Iya Bu, pamit dulu, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Senja mencium tangan Ibunya. Sang Ibu mengelus kepala gadisnya yang cantik itu. Senja lalu bergegas ke luar gang, menuju jalan raya.

Ia menunggu bis kota di halte. Sambil ia menunggu, ia otak-atik ponselnya. Ada SMS masuk. Ternyata  dari Embun, teman mahasiswinya di jurusan peternakan. "Hey nja jelek, apa kabar? Gmn disana? Main dong ke sini. Kangen nih, di kosan ga ada kamu." Lalu Senja membalas, "Hey bun yang lebih jelek tapi aku sayang. I'm fine here. Km gmn? Masih betah ngekos? Masih homesick ga? haha. Gatau deh kpn bisa ke sana. Smoga aja sempet. Miss u too".

"Hmmm Embun, betapa beruntungnya dirimu masih bisa lanjut kuliah, masih punya kesempatan menjadi ilmuwan seperti yang kamu impikan," gumam Senja dalam hati.

Sesaat, Senja teringat saat dia menangis seharian di kamar ketika ia menyadari dirinya tak mungkin lagi menjadi pengacara.

"Jakabeka, Jakabeka! Ayo neng yang ke Jakabeka! Naik aja neng!"

Lamunan Senja tersentak oleh panggilan sang kondektur. Ia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas dan bersiap naik.

"Pak naik Pak ! Tunggu !"

Berangkatlah Senja ke pabrik, tempat ia bekerja. Telah ia lupakan semua cita-citanya menjadi pengacara. Telah ia buang semua ke udara, seraya asap knalpot bis yang beracun itu, terbang ke awan menerbangkan cita-citanya.
*****


(Cerpen ini merupakan kolaborasi karya Adhi Bangkit Saputra dan Panji Mulkillah Ahmad. Pada awalnya Bangkit menulis cerpen iseng-iseng dan asal-asalan, bahkan tidak sampai selesai. Lalu Panji disuruh membacanya. Secara spontan, Panji melanjutkan tulisan Bangkit dan menyelesaikannya. Bisa dibilang ini adalah cerpen yang paling medioker dan bertaraf elementer. Ini adalah pertama kalinya Panji membuat cerpen, entah kalau Bangkit. Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Pro Justitia edisi XXIII 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke