Jumat, 22 September 2017

Minggu, 17 September 2017

Bekerjanya Hukum dan Perubahan Sosial

Bekerjanya hukum menurut Lawrence M. Friedman dapat dilihat dari 3 hal :

1. Legal Substance, yaitu substansi hukum, berupa peraturan perundang-undangan.
2. Legal Structure, berupa aparat yang menegakkan legal substance
3. Legal Culture, yaitu masyarakat yang mematuhi legal substance yang ditegakkan oleh legal structure

Jika salah satu dari tiga aspek tidak berjalan, maka hukum tidak bekerja. Sejarah mengkonfirmasi teori ini secara positif. Di jalan raya, wajib hukumnya pengendara motor roda dua menggunakan helm. Tapi jika kamu sudah tau jadwal razia yang kosong, kamu bisa saja tidak mengenakan helm. Polisi sedang tidak ada, kamu melaju bebas tanpa helm. Legal structurenya tidak berjalan. Hukum tidak bekerja.

Dulu ada yang namanya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang melegitimasi adanya Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PTBHMN). Kampus bisa otonom mencari uang sendiri, yang tidak perlu disetor ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Legal structure sudah pada siap dari jajaran Menteri, Dikti, hingga kampus. Lalu ada warga negara yang menggugat peraturan tentang hal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Warga menang. UU BHP dicabut. Legal substance hilang. Hukum tidak bekerja.

Ada pasal tentang judi di KUHP. Tapi pasal tersebut tidak bekerja di masyarakat yang memang sudah turun temurun main judi, dan dianggap sebagai ritual tradisi. Pasalnya ada, polisinya ada, tapi masyarakat tidak mematuhi keduanya. Legal culture tidak berjalan. Hukum tidak bekerja.

Banyak anak muda zaman sekarang alias kids zaman now ingin mengubah masyarakat Indonesia, dengan cara masuk ke pemerintahan, untuk memperbaiki sistem. Mereka ingin memperbaiki legal substance dan legal structure suatu negara. Menurut saya ini hal yang baik, tapi sayangnya lebih banyak nirfaedahnya karena tidak efektif dan tidak efisien.

Diantara ketiga faktor bekerjanya hukum tadi, yang manakah yang paling menentukan? Mari kita uji.

Pertama pada kasus legal structure yang tidak berjalan pada kasus di pengendara motor di jalan raya. Tidak semua warga negara tidak taat pada hukum. Malah kebanyakan kalau urusan di jalan raya, kebanyakan pada taat hukum dalam hal mengenakan helm. Walaupun legal structurenya tidak ada, masyarakat pasti masih ada yang patuh. Bahkan tidak jarang masyarakat masih mengingatkan satu sama lain untuk mematuhi peraturan, meski sedang tidak ada aparat yang bekerja. Artinya hukum masih bekerja, hanya saja tidak optimal.

Kedua pada kasus UU BHP. Memang ketika UU tidak ada, aparat tidak bisa bekerja. Tapi kemudian sejarah membuktikan pasca UU BHP dicabut, lahirlah UU Pendidikan Tinggi (Dikti) yang memiliki semangat yang sama dengan UU BHP yakni liberalisasi pendidikan. Malahan UU Dikti bisa dibilang telah sukses menambal kecacatan-kecacatan di UU BHP. Di bawah kondisi negara yang dapat akrobat hukum seenaknya karena pemerintahannya dikuasai oleh kelompok-kelompok politik yang elit, legal substance bisa dibikin berkali-kali. Kasus serupa juga terjadi di konflik agraria di Kendeng.

Ketiga pada kasus judi. Meski ada peraturan dan ada aparat penegak hukum, kalau masyarakat tidak patuh pada keduanya maka hukum tidak bekerja. Bahkan secara tidak langsung, masyarakat telah membentuk hukumnya sendiri. Ternyata faktor ketiga ini yang paling menentukan.

Cicero pernah berkata, "Ubi societas ibi ius," yang artinya dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Masyarakat telah ada mendahului hukum dan aparat penegaknya. Masyarakatlah yang membentuk keduanya.


Hari ini kita sudah sama-sama sudah menyaksikan berbagai aturan yang tumpang tindih dan sering bongkar pasang akrobat hukum mengikuti pemodal dan penguasa. Para pembuat kebijakan dan penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang demi kenaikan karir dan meraup celah-celah kebocoran anggaran negara yang kemudian dikorupsi. Tanda-tanda krisis bekerjanya hukum sudah dekat. Tidak ada yang bisa ditambal sulam lagi. Hanya jika masyarakat sudah tidak lagi mematuhi hukum beserta penegak hukumnya, maka kemudian akan lahir masyarakat yang baru yang meniadakan hukum dan pemerintahan yang lama. Sistem yang lama berganti dengan sistem yang baru.

Sabtu, 09 September 2017

Perjuangan Klas dan Psikoanalisis Proletar

Proletariat dilahirkan dari rahim sistem kapitalisme, atas usaha klas borjuasi dalam revolusi borjuis, revolusi industri, enclosure, dan kolonialisme. Oleh karenanya, borjuasi mengenal betul keberadaan klas proletar. Borjuasi, meski senantiasa berkompetisi satu sama lain, mereka memiliki hukum tak tertulis yang sama-sama mesti dipatuhi, yaitu eksploitasi nilai lebih dari curahan kerja proletar.

Akan tetapi, proletariat belum tentu mengenal borjuasi sebagai sebuah klas, yang beriringan dengan ketidaktahuannya atas dirinya sendiri sebagai sebuah klas. Proletariat dan borjuasi masih dianggap sebagai dua kategori yang saling berkontradiksi namun saling mengandaikan, atau dalam istilah Hegel mengandung relasi internal. Anggapan ini bukan saja diamini oleh intelektual kelas menengah ngehek saja, tapi bahkan dalam beberapa hal diamini juga oleh proletariat.

Engels menerangkan bahwa itulah bagaimana cara ideologi bekerja :

Ideologi adalah sebuah proses yang dicapai dengan sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran palsu. Motif nyata yang mendorongnya sesungguhnya adalah sesuatu yang asing baginya; jika tidak demikian maka itu bukanlah sebuah proses ideologis. Makanya ia hanya membayangkan sesuatu yang palsu atau yang tampak permukaan saja. Karena ideologi ini adalah sebuah proses pemikiran, maka bentuknya berasal dari murni hasil pemikiran, apakah itu pemikirannya sendiri atau orang lain sebelum dirinya. Ia bekerja melulu dengan materi pikirannya, yang ia terima tanpa mengujinya sebagai sebuah produk pemikiran dan tidak menginvestigasi lebih lanjut demi kepentingan pemikiran independen yang lebih rinci; tentu saja ini adalah masalahnya sendiri, karena seluruh tindakan yang dimediasi oleh pikiran, pada akhirnya muncul padanya atas dasar pikirannya.

Keterasingan proletariat atas keberadaan klasnya sendiri merupakan konsekuensi langsung dari corak produksi kapitalis yang mengasingkan proletar dari keseluruhan proses produksi, melalui pembagian kerja (division of labour) yang menyudutkan proletar satu sama lain di bawah satu atap rantai produksi yang sama, sehingga proletariat hanya perlu mencurahkan kerja abstraknya saja (kerja tak berkeahlian yang hanya dihitung kuantitasnya). Situasi ini memungkinkan terjadi karena relasi tersebut terus disegel oleh borjuasi atas nama kepemilikan pribadi. Komoditi yang dihasilkan dianggap otonom dan memiliki logika pasarnya sendiri, terpisah dari curahan kerja dalam proses produksi. Inilah fetisisme komoditi, yang berimplikasi pada keterasingan proletar, yang merupakan 'ideologi' yang pertama kali dikenalkan kepada proletar sejak dalam rahim proses produksi kapitalis.

Dalam kamus Lacanian, borjuasi dengan demikian telah mengabjeksi proletar. Bagi borjuasi, dirinya adalah Subjek, sedangkan proletar adalah Yang Lain. Sedangkan bagi proletar, dirinya ialah Subjek yang tak utuh alias senantiasa kurang (lack). Proletarisasi ialah fase Imajiner yang membelah diri dan citra diri proletar. Sedangkan proses produksi kapitalis sebagai tatanan Simbolik yang dikondisikan oleh Yang Lain-Besar. Proletariat terjerembab dalam lubang hasrat, berharap bisa naik kelas, naik haji, naik mobil mewah, dan menghasrati hal-hal lainnya. Yang pada akhirnya yang ia hasrati ternyata ialah hasrat yang telah disituasikan oleh Yang Lain-Besar, ia menghasrati objek petit-a. Jika sudah demikian, bagaimanakah proletariat dapat menemui yang Riil? Atau dengan kata lain menemui emansipasi atas seluruh tatanan simbolik?

Ada pepatah dari Perancis pada saat peristiwa Mei 68, "Bos butuh kamu, kamu tidak butuh bos." Memang pepatah tersebut benar adanya. Meski proletariat ialah anak dari rahim sistem kapitalisme, akan tetapi kapitalisme itu sendiri pada gilirannya merupakan sesuatu 'Yang Lain' bagi proletar. Bagi kapitalis, uang, bahan baku, tanah, dan mesin merupakan kapital konstan, sedangkan curahan kerja proletar merupakan kapital variabel. Artinya hanya melalui curahan kerja proletar-lah, kapitalis dapat memperoleh pertambahan nilai. Hal ini dikarenakan kapital konstan tidak dapat menambah nilai pada dirinya sendiri, tidak dapat mengerjakan dirinya sendiri. Proletariat adalah titik gravitasi bagi keseluruhan proses dan rantai produksi kapitalis, hanya saja, mereka belum menyadarinya.

Dengan kata lain, proletariat mesti mengabjeksi balik borjuasi. Memperlakukan klas borjuasi dan kapitalisme sebagai sesuatu yang-Lain, atau me-Liyan-kannya. Akan tetapi, metode yang dilakukan proletar sama sekali berbeda dengan yang dilakukan borjuasi. Klas proletar melenyapkan keseluruhan belenggu relasi internal yang dianggap saling mengandaikan tadi. Ketika relasi internal tadi melenyap, eksistensi proletar maupun borjuasi sebagai klas pun ikut melenyap. Dan itulah yang disebut masyakat tanpa klas, momen dimana proletariat telah menemukan, dalam istilah Lacan, 'Yang Riil'.

( Pada bagian selanjutnya merupakan jawaban untuk @Symphati Dimas R dan @ahmad sucipto dalam komentar di tulisan saya di 
https://timeline.line.me/post/_dY_25uMy4_Kmuu1cbOBNc-R30qEWJZwlEHw4nwk/1150494574703015865 )

Abjeksi dalam kajian Julia Kristeva awalnya memang diperuntukkan dalam medan problematisnya sendiri, yaitu perihal relasi antara anak perempuan dengan ibunya. Akan tetapi konsep abjeksi pada gilirannya dapat digunakan untuk berbagai hal. Sarah Salih dalam On Judith Butler Performativity mengatakan bahwa abjeksi juga digunakan untuk menjelaskan perihal kelompok-kelompok yang termarjinalisasi seperti kaum perempuan, kaum penganut kepercayaan minoritas, pekerja seksual, dan penyandang disabilitas. Tapi siapapun sasaran kajiannya, abjeksi dapat dimengerti sebagai kebalikan dari subjeksi. Jika subjeksi ialah pembentukkan citra diri, maka abjeksi ialah pelepasan citra diri. Saya menginterpretasikan relasi antara proletar dan borjuis dengan konsep abjeksi ini.

Entah bisa atau tidak, saya hanya mengembangkan konsepnya untuk medan problematis yang saya utarakan. Tapi sejarah mengkonfirmasi hal ini secara positif, bahwa tanpa abjeksi, niscaya proletariat akan terus membutuhkan borjuasi (bahkan jika itu adalah borjuasi di dalam Partai Komunis, seperti kasus revisionisme modern-nya Deng Xiao Ping di Tiongkok). Salah satu tolak ukur bahwa proletariat telah menyubjeksi dirinya dan mengabjeksi borjuasi, ialah diterimanya filsafat materialisme dialektis sebagai pandangan dunia proletar sebagai prasyarat epistemologis untuk melenyapkan relasi internal borjuis-proletar. Atau dengan kata lain, proletariat mesti membangun kesadaran klas untuk perjuangan klas.

Sebenarnya sesederhana itu. Tapi seolah dibuat rumit karena saya bermaksud meninjau probem ini dari segi psikoanalisis, yang selama ini dipandang sebagai kajian yang nirfaedah bagi perjuangan klas. Saya membuktikan sebaliknya dengan melampaui batas dari medan problematisnya.

Di bawah rejim Jokowi, klas proletariat baik itu di kota maupun di desa, baik itu yang sedang bekerja maupun akan bekerja, semuanya sedang menjadi subjek yang mengalami kontingensi. Kemiskinan dan perampasan tanah yang semakin akut di desa-desa mendorong tenaga produktifnya terseret gelombang proletarisasi. Nasib tani gurem maupun buruh tani pun tak jauh beda di bawah tindasan setengah feodal yang berkelindan dengan setengah jajahan, yang makin lama makin kehilangan pandangan dunianya sendiri. Terjadilah apa yang disebut Marx sebagai penaklukkan kota atas desa-desa. Di bawah payung PP 78, proletariat semakin dianggap sebagai yang Lain (The Other). Hal ini dapat dilihat dari mekanisme kenaikan upah minimum yang mesti disesuaikan dengan tingkat inflasi. Keterlibatan buruh dalam menentukan nasibnya sendiri bahkan semakin dibatasi. Pemerintah melipatgandakan alienasi yang dialami buruh. Kini proletariat tak hanya teralienasi di dalam proses produksi, tapi juga teralienasi sebagai warga negara.

Proletariat di Indonesia sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal bukan merupakan klas yang mayoritas. Mereka membutuhkan banyak sekali sekutu antara lain dari golongan borjuasi kecil,  serabutan-pengangguran (cadangan tentara industrial yang dikenal sebagai semi proletar), bahkan suku adat minoritas dan elemen-elemen demokratik lainnya. Sialnya, keberagaman klas ini mau tidak mau meniscayakan adanya keberagaman ideologi yang lahir dari cara produksinya masing-masing yang kecil, berdiri secara sendiri-sendiri, dan bahkan saling berkompetisi. Kompetisi antar cara produksi ini dalam banyak kasus berujung pada konflik identitas, seperti konflik suku, agama, dan ras. Mereka saling mengabjeksi satu sama lain dan mengabsolutkan citra dirinya sendiri.

Tapi apapun ragam cara produksinya, mereka semua juga sama-sama terabjeksi oleh relasi internalnya, yaitu imperialis-negara boneka-tuan tanah besar. Pelanggengan atas cara produksi lama juga diiringi dengan pembentukkan ideologi yang senantiasa sektarian, yang memang potensial untuk memecah belah massa. Keberadaan "tiga musuh rakyat" tadi telah mengambat tenaga produktif massa, dan tentu saja penghambat bagi klas proletar dalam rangka membentuk pandangan dunianya sendiri.

Anda Pengunjung ke