AKROBAT
HUKUM PADA PROYEK PLTP BATURRADEN DI GUNUNG SLAMET[1]
Tulisan ini disusun setelah PT Sejahtera
Alam Energy (SAE) ingkar janji dengan masyarakat, karena tidak mampu beradu
data secara ilmiah, pada acara Seminar di Auditorium Faperta Unsoed 24 Juli
2017. Gagasan utama dari tulisan ini ialah bahwa Gunung Slamet sedang diambang
kerusakan ekosistem dan ancaman bencana, karena kacaunya perencanaan proyek panas bumi dari berbagai aspek. Kacaunya perencanaan ini dilegitimasi oleh
hukum yang terus diotak-atik oleh pemerintah selaku aktor pertunjukkan akrobat
hukum.
Tentang
Akrobat Hukum
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, akrobat hukum ialah putusan yang berubah-ubah secara mendadak dalam
persoalan yang sama dan sering terjadi cabut-mencabut atau ralat-meralat suatu
putusan atau kebijakan. Saya pertama mendengar istilah akrobat hukum pada kasus
konflik agraria dan lingkungan antara PT Semen Indonesia melawan warga Kendeng.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia yang diterbitkan melalui SK
Gubernur Jateng telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Tapi, Gubernur Jateng
Ganjar Pranowo menerbitkan izin baru bagi PT Semen Indonesia sehingga
penambangan berlanjut lagi. Adanya akrobat hukum ini bertentangan asas
kepastian hukum. Menurut Lon Fuller dalam Morality
of Law, ada 8 asas kepastian hukum :
- Hukum
tidak boleh berdasarkan pada putusan-putusan sesaat untuk hal-hal
tertentu, melainkan harus memiliki sistem hukum;
- Peraturan
tersebut diumumkan ke publik;
- Tidak
berlaku surut;
- Dibuat
dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
- Tidak
boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
- Tidak
boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
- Tidak
boleh sering diubah-ubah;
- Harus
ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari
Tanpa ada kepastian hukum, maka tak ada
kepastian bagi penegak hukum untuk menjalankan suatu peraturan, tak ada
kepastian pula bagi warga negara untuk mematuhi suatu peraturan. Hukum tidak
bekerja. Fenomena akrobat hukum ini merupakan penghinaan terhadap hukum itu
sendiri.
Fenomena akrobat hukum ini juga
terdapat pada kasus konflik agraria dan lingkungan, antara masyarakat Lereng
Gunung Slamet melawan perusahaan panas bumi PT SAE. Mari kita ulas sama-sama
akrobat hukum kolaborasi antara pemerintah dengan PT. SAE.
Menyaksikan
Akrobat Hukum Pembangunan PLTP Baturraden di Gunung Slamet
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 27
Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
tadinya dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan. Karena merupakan
pertambangan, maka kegiatan pertambangan Panas Bumi tidak boleh dilakukan di
hutan lindung. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (4) UU Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa, “Pada kawasan hutan lindung dilarang
melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.” Yang dimaksud
penambangan terbuka (surface mining)
artinya penambangan tersebut dilakukan di atas permukaan tanah, ini lain dengan
penambangan tertutup dimana yang perlu membuat terowongan untuk menjangkau
deposit di dalam bumi. Kegiatan pertambangan panas bumi merupakan penambangan
terbuka, sehingga ia terikat oleh ketentuan ini. Hutan lindung dilarang untuk
dilakukan aktifitas pertambangan karena hutan lindung memiliki fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang
Kehutanan. Jika dilakukan pertambangan, maka kerusakan ekosistem akan terjadi.
Kepmen ESDM Nomor 1557.K/30/MEM/2010
menetapkan Gunung Slamet sebagai Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) dengan luasan
24.660 hektar. Kemudian pada 11 April 2011, PT SAE mendapat Izin Usaha
Pertambangan (IUP) berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 541/27/2011. Dari sini
sudah lahir suatu pelanggaran atas ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Kehutanan
tentang larangan melakukan penambangan di hutan lindung.
UU Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas
Bumi kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 dengan judul
yang sama. Di sini terjadi perubahan besar atas konsep kegiatan panas bumi yang
tadinya merupakan pertambangan, menjadi kegiatan jasa lingkungan. Karena bukan
merupakan pertambangan, maka kegiatan panas bumi dapat dilakukan di hutan
lindung melalui izin pinjam pakai kawasan hutan. Sungguh gerakan akrobatik yang
tak terduga. Namun pertunjukkan belum berhenti, masih ada atraksi yang tak
boleh anda lewati.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Nomor
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) ,
yang dimaksud analisis
mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian
mengenai ‘dampak
penting’ suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Adapun yang dimaksud
dengan Dampak Penting menurut
Pasal 1 angka 5, adalah
perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu
Usaha dan/atau Kegiatan. Kriteria dampak penting berdasar penjelasan
Pasal 3 ayat (1) terdiri atas:
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak
rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
b. Luas wilayah penyebaran dampak;
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak;
e. Sifat kumulatif dampak;
f. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. Kiteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Adapun dalam sebuah usaha yang tidak memiliki dampak penting, maka usaha
tersebut hanya diwajibkan menggunakan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Sebagai sebuah kegiatan di
hutan lindung yang memiliki dampak penting, maka kegiatan panas bumi termasuk
kategori wajib Amdal. Salah satu yang menjadi ciri perbedaan UKL-UPL dan Amdal
ialah pada proses pengesahannya. UKL-UPL dapat terbit tanpa memerlukan
partisipasi dari masyarakat, sedangkan Amdal memerlukan partisipasi masyarakat,
akademisi, dan bahkan diuji terlebih dahulu dalam Sidang Amdal.
Tapi Menteri Lingkungan Hidup kemudian
menerbitkan PermenLH Nomor 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Pada
Pasal 3 ayat (4), diatur bahwa eksplorasi pertambangan Panas Bumi dikecualikan
dari wajib Amdal. Adapun pada pertambangan Panas Bumi, Amdal diwajibkan ketika
proses eksploitasi. Padahal dalam sebuah kegiatan Panas Bumi, tahap eksplorasi
merupakah tahap yang perusakan lingkungannya paling destruktif karena
memerlukan pembabatan hutan lindung, untuk pembangunan jalan, pipa, dan landasan
sumur (wellpad). Di Gunung Slamet
sendiri, tahap eksplorasi ini membutuhkan 675,7 hektar lahan yang diperoleh
dari pembabatan hutan lindung. Melihat dari daya kerusakannya, apakah memang
proses ekplorasi ini tidak dianggap memiliki dampak penting? Akrobat hukum
barusan menunjukkan kebolehannya dalam otak-atik aturan.
Selanjutnya ialah perihal masa
eksplorasi. Adapun eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi
penyelidikan geologi, geofisika, geokimia,pengeboran uji, dan pengeboran sumur
eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah
permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan Panas
Bumi.Eksplorasi itu ibarat menyicipi makanan, hanya mengambil sebagian kecil
saja untuk sekedar mengetahui rasa dan tekstur makanan. Kalau menyicipinya
terus-terusan, itu namanya makan besar. Inilah kenapa eksplorasi memeiliki
batas waktu, karena sekedar menyicipi saja.
Dalam Pasal 22 UU Nomor 27 Tahun 2003
tentang Panas Bumi, diatur tentang masa eksplorasi panas bumi ialah 3 (tiga)
tahun sejak IUP diterbitkan, lalu dapat diperpanjang 2 (dua) tahun. Totalnya 5
(lima). Ini berarti PT SAE pada awalnya hanya memiliki izin eksplorasi sampai
11 April 2016. Hal ini sesuai dengan kewajiban mereka yang diatur di IUP
berdasarkan SK Gubernur Jateng 541.1/27/2011:
“Selama
jangka waktu IUP sebagaimana dimaksud pada diktum ketiga, pemegang IUP
berkewajiban, (f). menyelesaikan pemboran paling sedikit 2 (dua) sumur
eksplorasi, paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak ditetapkannya Keputusan
ini sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian mereka mendapat perpanjangan
pada tahun 2014 berdasarkan SK Gubernur Jateng Nomor 541.1/004341/2014, sampai
11 April 2015. Dan terdapat ketentuan apabila dipandang perlu, PT SAE dapat, “memperpanjang jangka waktu eksplorasi ke-2
(dua) selama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya masa perpanjangan ke-1 (satu) ini
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mengingat ini sudah 2017, seharusnya
PT SAE tidak dapat melanjutkan eksplorasi.
Namun berkat perubahan UU Panas Bumi
yang tadinya Nomor 27 tahun 2003 menjadi Nomor 21 Tahun 2014, masa eksplorasi
tidak lagi maksimal 5 tahun, melainkan menjadi 7 tahun sebagaimana dalam Pasal
31. Adapun IUP yang dipegang PT SAE disesuaikan menjadi Izin Panas Bumi (IPB)
berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 4577 K/30/MEM/2015. Hal ini dipertegas oleh
Bambang Purdiantoro selaku Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, pada Seminar Panas
Bumi di Auditorium Faperta Unsoed pada 24 Juli 2017 bahwa masa eksplorasi PT
SAE ialah sampai 11 April 2018.
Hal ini tentu masih bisa diperdebatkan
apakah penyesuaian dari IUP menjadi IPB hanyalah penyesuaian dari segi formil
belaka (perubahan nama izin), ataukah juga dapat mengubah segi materiilnya
(mengubah hak dan kewajiban). Saya beranggapan bahwa penyesuaian izin ini mesti
dimaknai dari segi formil belaka, tidak boleh sampai mengubah hak dan
kewajiban. Analoginya seperti menyicipi makanan tadi. Jika jangka waktu
eksplorasi PT SAE bisa diotak-atik, hal ini tentu berakibat pelik pada ekosistem
hutan lindung Gunung Slamet. Di samping itu, jika masa berlaku eksplorasi ini
dapat diperpanjang dengan mengubah aturan, ini sama saja dengan akrobat hukum
yang mengacaukan kepastian hukum.
Sebenarnya masih banyak lagi akrobat
hukum yang dapat diulas pada isu PLTB di Gunung Slamet ini. Akan tetapi karena
keterbatasan ruang, semoga sekiranya beberapa penemuan fenomena akrobatik hukum
tadi dapat membuka jendela pikiran kita bahwa hukum di Indonesia semakin tidak
baik-baik saja. Pemerintah melegitimasi hukum yang tidak selaras dengan
kenyataan. Hukum negara bisa diotak-atik seenaknya, tapi alam memiliki hukumnya
sendiri. Dan ketika masyarakat tertimpa bencana dari adanya proyek ini, sebagai
akibat dari dijebolnya keseimbangan alam yang ada, maka hukum negara menjadi
tidak ada gunanya lagi. Karena orang yang tewas tertimpa bencana, tidak bisa
menyaksikan akrobat hukum.
[1] Tulisan
ini dimuat di Majalah LPM Bhaskara Universitas Muhammadiyah Purwokereto Edisi
Agustus 2017