Kamis, 17 Januari 2013

Pemira BEM Unsoed : Pemilihan Umum Mencari Kepala Suku


Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad*
(Mahasiswa Hukum 2010, Anggota Magang LPM Pro Justitia )

(illustrasi : kepala suku, sumber : sman11mks.com)


Demokrasi, bagaimanapun juga terlalu pusing untuk mempelajarinya sampai utuh dan benar, apalagi memperdebatkannya. Namun tetap saja, perjuangan menegakkan demokrasi tidak boleh setengah-setengah, harus konsisten dan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Sehingga bila kita menjalani proses demokrasi yang nista maka akan lahir pemimpin-pemimpin dengan borok kenistaan pula.

Benih kenistaan itu, sialnya tertanam di masyarakat mahasiswa Unsoed. Pemira 2013 Unsoed penuh dengan bobrok sana sini. Adalah seorang mahasiswa Agroteknologi angkatan 2008 bernama Standy Christianto. Pada tanggal 9 Januari 2013 mengajukan gugatan tentang adanya pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan dan perihal lainnya tentang Pemira Unsoed 2013. Gugatan diterima, namun mengenai gugatan tentang legalitas UU dan segala aturan tentang Pemira Unsoed 2013, KPR mengakui itu bukan kewenangan mereka, melainkan Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM)

Tanggal 12 Januari 2013 dibuatlah forum oleh DLM untuk menentukan bagaimana legalitas UU Pemira, SK Pendirian KPR dan Bawasra, Tata Tertib, dan Ketetapan-ketetapan KPR. Untuk UU Pemira sebagaimana mengacu pada UU No 1 tahun 2010, dengan berbagai perdebatan dan pertimbangan dinyatakan sah dan masih berlaku oleh DLM, begitu juga dengan SK Pendirian KPR dan Banwasra. Artinya eksistensi KPR dan Bawasra diakui berdasarkan hukum.

Selanjutnya ialah keabsahan Tata Tertib, dan Ketetapan-ketetapan KPR. Pihak penggugat menyatakan bahwa tata tertib dan ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh KPR bertentangan dengan hukum dan melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), sehingga aturan tersebut harus dibatalkan. Termasuk membatalkan penetapan Firman – Imron yang memperoleh suara terbanyak di Pemira. 

Tata Tertib dan Ketetapan-ketetapan KPR tersebut bertentangan dengan hukum, karena konsideran masing-masing aturan tersebut mengacu pada UU No 1 tahun 2012. Padahal, penyelenggaraan Pemira mengacu pada UU No 1 tahun 2010, dan UU No 1 tahun 2012 itu tidak pernah ada, alias fiktif. Sehingga  tata tertib dan ketetapan-ketetapan tersebut tidak berlandaskan hukum. Yang kedua bertentangan dengan AUPB, dalam hal ini tata tertib dan ketetapan-ketetapan tersebut bertentangan dengan 5 dari 7 asas yang berlaku antara lain asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan, kepentingan umum, keterbukaan, dan profesionalitas.

Ketua  DLM, Dimas Haris, kemudian meminta kesaksian dari pihak KPR terkait berbagai kesalahan tersebut. Ali Husein, selaku ketua KPR menyatakan bahwa sekretaris KPR salah ketik. Sepengetahuan KPR, Lutfi selaku Komisi A DLM pernah memberitahu kepada KPR bahwa ada pasal Undang-Undang Pemira yang telah direvisi. Namun ternyata Lutfi membuat kekeliruan bahwa yang ternyata di revisi bukanlah Undang-Undang, melainkan tata tertib.

 ”UU No tahun 2012 itu tidak ada, itu fiktif”, tutur Dimas. Disini terjadi koordinasi yang kacau baik di internal KPR maupun dengan DLM. Ini disebabkan karena tidak terbukanya sistem kerja KPR dan DLM Unsoed, yang bahkan peraturan perundang-undangan saja tidak dapat didownload secara gratis.

Akibatnya, Pemira seperti tanpa aturan yang jelas. Ada yang mencontreng sambil naik motor, kotak suara dipindah-pindah, keterlibatan dosen, kampanye ilegal, sampai kengawuran dalam proses berita acara. Mereka terlalu asik sendiri, sampai-sampai lupa mereka memiliki kawan-kawan bernama mahasiswa.

Dimas, Standy, Ali, beserta seluruh yang hadir dalam forum sepakat bahwa ketetapan dan tata tertib tentang Pemira cacat secara hukum. Bahkan Firman, salah satu peserta forum dari fakultas hukum sekaligus Capres  nomor 2  mengatakan, “Tata tertib dan ketetapan dalam hal ini jelas cacat”. Hingga pada akhirnya Ali pun mengakui kalau KPR dalam hal ini salah. Namun ternyata KPR dan DLM tidak rela jika dengan batalnya tata tertib dan ketetapan tersebut Pemira harus diulang.

“Kalo dari DLM, kita ga mau diulang”, ujar Dimas. Dari kawan-kawan DLM dan KPR sepakat bahwa kesalahan ini harus dijadikan evaluasi ke depannya. Padahal dalam hukum, jika suatu aturan kebijakan publik telah dibatalkan maka segala tindakan yang diakibatkan dari aturan tersebut dianggap tidak pernah ada. Hal ini diamini oleh  Naufal Fikri, Mahasiswa Hukum 2011 selaku peserta forum dari fakultas Hukum.

Jadi sekalipun tata tertib dan ketetapan cacat, namun pelaksanaan pemira yang lalu tetap diteruskan untuk melahirkan pemimpin di kalangan mahasiswa Unsoed. Sehingga logika sederhana yang dapat dikemukakan ialah bila Badan Eksekutif Mahasiswa (sebagai institusi mahasiswa yang legal), ternyata proses pemilihan pemimpinnya tidak dilaksanakan secara legal, maka pemenang hasil pemilihan tersebut tidaklah pantas disebut sebagai pemegang Badan Eksekutif Mahasiswa (sebagai institusi mahasiswa yang legal).

Sehingga solusi yang dapat ditawarkan bagi pemenang pemilihan ialah menjadi Kepala Suku. Karena kepala suku tidak membutuhkan legalitas, asalkan sudah mendapatkan pengakuan yang kuat. Kepala suku bahkan tidak perlu memberi perintah-perintah yang harus tertulis, namun hanya tinggal memberi mitos kepada warganya. Dengan menjabat sebagai Kepala Suku, niscaya merasa disegani, karena menurut ajaran profesor-profesor hukum, masyarakat Indonesia ternyata bercorak magis-religius sehingga akan lebih efektif hukum yang berlaku ialah hukum adat. Sembah sujud untuk kepala suku !

(tulisan ini diterbitkan juga oleh Media Aliansi Persma Unsoed pada bulan Januari 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke