Oleh
:
Panji
Mulkillah Ahmad*
(Mahasiswa Hukum 2010, Anggota Magang LPM
Pro Justitia )
(illustrasi : kepala suku, sumber : sman11mks.com)
Demokrasi,
bagaimanapun juga terlalu pusing untuk mempelajarinya sampai utuh dan benar,
apalagi memperdebatkannya. Namun tetap saja, perjuangan menegakkan demokrasi
tidak boleh setengah-setengah, harus konsisten dan sesuai dengan kaidah-kaidah
yang berlaku. Sehingga bila kita menjalani proses demokrasi yang nista maka
akan lahir pemimpin-pemimpin dengan borok kenistaan pula.
Benih
kenistaan itu, sialnya tertanam di masyarakat mahasiswa Unsoed. Pemira 2013
Unsoed penuh dengan bobrok sana sini. Adalah seorang mahasiswa Agroteknologi
angkatan 2008 bernama Standy Christianto. Pada tanggal 9 Januari 2013
mengajukan gugatan tentang adanya pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan dan
perihal lainnya tentang Pemira Unsoed 2013. Gugatan
diterima, namun mengenai gugatan tentang legalitas UU dan segala aturan tentang
Pemira Unsoed 2013, KPR mengakui itu bukan kewenangan mereka, melainkan Dewan Legislatif
Mahasiswa (DLM)
Tanggal
12 Januari 2013 dibuatlah forum oleh DLM untuk menentukan bagaimana legalitas
UU Pemira, SK Pendirian KPR dan Bawasra, Tata Tertib, dan Ketetapan-ketetapan
KPR. Untuk UU Pemira sebagaimana mengacu pada UU No 1 tahun 2010, dengan
berbagai perdebatan dan pertimbangan dinyatakan sah dan masih berlaku oleh DLM,
begitu juga dengan SK Pendirian KPR dan Banwasra. Artinya eksistensi KPR dan
Bawasra diakui berdasarkan hukum.
Selanjutnya
ialah keabsahan Tata Tertib, dan Ketetapan-ketetapan KPR. Pihak penggugat
menyatakan bahwa tata tertib dan ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh KPR
bertentangan dengan hukum dan melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AUPB), sehingga aturan tersebut harus dibatalkan. Termasuk membatalkan penetapan
Firman – Imron yang memperoleh suara terbanyak di Pemira.
Tata
Tertib dan Ketetapan-ketetapan KPR tersebut bertentangan dengan hukum, karena
konsideran masing-masing aturan tersebut mengacu pada UU No 1 tahun 2012.
Padahal, penyelenggaraan Pemira mengacu pada UU No 1 tahun 2010, dan UU No 1
tahun 2012 itu tidak pernah ada, alias fiktif. Sehingga tata tertib dan ketetapan-ketetapan tersebut
tidak berlandaskan hukum. Yang kedua bertentangan dengan AUPB, dalam hal ini
tata tertib dan ketetapan-ketetapan tersebut bertentangan dengan 5 dari 7 asas
yang berlaku antara lain asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan,
kepentingan umum, keterbukaan, dan profesionalitas.
Ketua
DLM, Dimas Haris, kemudian meminta
kesaksian dari pihak KPR terkait berbagai kesalahan tersebut. Ali Husein, selaku
ketua KPR menyatakan bahwa sekretaris KPR salah ketik. Sepengetahuan KPR, Lutfi
selaku Komisi A DLM pernah memberitahu kepada KPR bahwa ada pasal Undang-Undang
Pemira yang telah direvisi. Namun ternyata Lutfi membuat kekeliruan bahwa yang
ternyata di revisi bukanlah Undang-Undang, melainkan tata tertib.
”UU No tahun 2012 itu tidak ada, itu fiktif”,
tutur Dimas. Disini terjadi koordinasi yang kacau baik di internal KPR maupun
dengan DLM. Ini disebabkan karena tidak terbukanya sistem kerja KPR dan DLM
Unsoed, yang bahkan peraturan perundang-undangan saja tidak dapat didownload
secara gratis.
Akibatnya,
Pemira seperti tanpa aturan yang jelas. Ada yang mencontreng sambil naik motor,
kotak suara dipindah-pindah, keterlibatan dosen, kampanye ilegal, sampai
kengawuran dalam proses berita acara. Mereka terlalu asik sendiri,
sampai-sampai lupa mereka memiliki kawan-kawan bernama mahasiswa.
Dimas,
Standy, Ali, beserta seluruh yang hadir dalam forum sepakat bahwa ketetapan dan
tata tertib tentang Pemira cacat secara hukum. Bahkan Firman, salah satu
peserta forum dari fakultas hukum sekaligus Capres nomor 2
mengatakan, “Tata tertib dan ketetapan dalam hal ini jelas cacat”. Hingga
pada akhirnya Ali pun mengakui kalau KPR dalam hal ini salah. Namun ternyata
KPR dan DLM tidak rela jika dengan batalnya tata tertib dan ketetapan tersebut
Pemira harus diulang.
“Kalo
dari DLM, kita ga mau diulang”, ujar Dimas. Dari kawan-kawan DLM dan KPR
sepakat bahwa kesalahan ini harus dijadikan evaluasi ke depannya. Padahal
dalam hukum, jika suatu aturan kebijakan publik telah dibatalkan maka segala
tindakan yang diakibatkan dari aturan tersebut dianggap tidak pernah ada. Hal
ini diamini oleh Naufal Fikri, Mahasiswa
Hukum 2011 selaku peserta forum dari fakultas Hukum.
Jadi
sekalipun tata tertib dan ketetapan cacat, namun pelaksanaan pemira yang lalu
tetap diteruskan untuk melahirkan pemimpin di kalangan mahasiswa Unsoed. Sehingga
logika sederhana yang dapat dikemukakan ialah bila Badan Eksekutif Mahasiswa
(sebagai institusi mahasiswa yang legal), ternyata proses pemilihan pemimpinnya
tidak dilaksanakan secara legal, maka pemenang hasil pemilihan tersebut
tidaklah pantas disebut sebagai pemegang Badan Eksekutif Mahasiswa (sebagai
institusi mahasiswa yang legal).
Sehingga
solusi yang dapat ditawarkan bagi pemenang pemilihan ialah menjadi Kepala Suku.
Karena kepala suku tidak membutuhkan legalitas, asalkan sudah mendapatkan
pengakuan yang kuat. Kepala suku bahkan tidak perlu memberi
perintah-perintah yang harus tertulis, namun hanya tinggal memberi mitos kepada
warganya. Dengan menjabat sebagai Kepala Suku, niscaya merasa disegani,
karena menurut ajaran profesor-profesor hukum, masyarakat Indonesia ternyata
bercorak magis-religius sehingga akan
lebih efektif hukum yang berlaku ialah hukum adat. Sembah sujud untuk kepala
suku !
(tulisan ini diterbitkan juga oleh Media Aliansi Persma Unsoed pada bulan Januari 2013)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar