Jumat, 21 Desember 2012

Pendidikan Gratis Itu Wajar


Isu Sekolah Menengah Universal seolah membawa harapan baru bagi masyarakat. Pendidikan wajib 12 tahun yang dicanangkan pemerintah membawa angin segar bagi masyarakat yang masih tersendat dalam memperjuangkan anaknya supaya berseragam putih abu-abu. Karena selama ini sekolah menengah keatas memang dikenal masih membutuhkan biaya yang tinggi,  mulai dari biaya operasional sampai non operasional. Belum lagi jika sekolah itu diberi label “Standar Nasional” dan “Standar Internasional”, maka hanya kalangan atas dan menengah ke atas saja yang mampu mengenyam bangku di sana. Maka wajar jika isu Sekolah Menengah Universal yang katanya akan membebaskan biaya sekolah ini ditanggapi secara antusias oleh masyarakat.
Yang tinggal masih menjadi persoalan selanjutnya, yang juga belum menjadi sorotan pemerintah ialah pada jenjang Pendidikan Tinggi. Pada jenjang ini, akses pendidikan makin menyempit karena hanya bisa ditembus oleh beberapa orang saja. Menurut Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2011, lulusan menengah atas usia 19-23 hanya 26 persen yang terserap masuk perguruan tinggi. Sisanya, 74 persen, tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka yang sangat beruntung bisa lolos seleksi masuk perguruan tinggi, menyingkirkan calon-calon mahasiswa lain yang juga ikut proses seleksi. Padahal seleksi itu sendiri sudah penuh perjuangan karena hari ini supaya bisa duduk di bangku kuliah ada berbagai jalur masuk dengan memerlukan biaya yang bervariasi. Amat beruntung lagi jika kebetulan atau tidak, si anak merupakan golongan keluarga kaya, sehingga bisa menggunakan kekayaannya supaya dapat kuliah di manapun ia suka. Yang juga beruntung (sekalipun sedikit) ialah yang miskin tapi pintar, ia dapat kuliah sekalipun harus dengan perjuangan yang berliku, karena mau tidak mau harus mencari dana beasiswa. Yang paling tidak beruntung ialah mereka-mereka yang oleh sistem dianggap miskin dan bodoh, mereka sampai kapanpun tidak akan mampu mengenyam bangku kuliahan. Maka, paradigma (cara pandang) masyarakat hari ini sangat dapat dimaklumi jika menganggap bahwa “hebat” dan “bangga” adalah ketika anak-anak mereka dapat mengenyam bangku kuliah. Karena hari ini, pendidikan masih dianggap komoditas yang mahal.
Bila kita kembali pada tahun 2000, ternyata pada saat itu ada sebuah pertemuan bernama World Education Forum di Dakkar, Senegal. Negara-negara yang totalnya berjumlah 189 termasuk dengan partisipasi dari beberapa  organisasi-organisasi yang jumlahnya mencapai 1100 hadir dan menyepakati beberapa poin penting[1] :
1. Memperluas pendidikan untuk anak usia dini
2. Menuntaskan wajib belajar untuk semua
3. Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa
4. Meningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015), khususnya perempuan
5. Menghapuskan kesenjangan gender
6. Meningkatkan mutu pendidikan
Beberapa poin tersebut, ringkasnya merupakan misi UNESCO bersama negara-negara di dunia (termasuk Indonesia) dengan slogannya yang terkenal : Education for All. Yaitu sebuah pendidikan yang dapat diakses oleh siapapun, pendidikan untuk semua kalangan.
Bila kita mengingat kembali pada tahun 1966, lahir pula Internatinal Covenant of Economics, Social, and Culture Rights (ICCPR). Dalam artikel 13 ayat 2 huruf (a), (b), dan (c) dikatakan :
The States Parties to the present Covenant recognize that, with a view to achieving the full realization of this right:
(a) Primary education shall be compulsory and available free to all;
 (b) Secondary education in its different forms, including technical and vocational secondary education,shall be mad e generally available and accessible to all by every appropriate means, and in particularby the progressive introduction of free education;
(c) Higher education shall be made equally accessible to all, on the basis of capacity, by every appropriate means, and in particular by the progressive introduction of free education;
Jika diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia :
Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh:
a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara gratis  bagi semua orang;
b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;

Namun Indonesia baru meratifikasi Kovenan ini pada tahun 2005, yakni melalui UU No 11 tahun 2005. Berarti Indonesia “mangkir” selama 39 tahun dibanding negara-negara lainnya dalam menjamin warganya untuk mengenyam akses pendidikan. Yang dapat diambil intisari dari ketentuan tersebut, bahwasanya pendidikan merupakan hak asasi manusia yang bersifat universal dan adalah kewajiban negara untuk menjamin hak tersebut diperoleh warganya. Untuk memperoleh hak tersebut, maka disepakatilah bahwa pendidikan dala jenjang apapun harus gratis.

Di Indonesia, hal ini sesuai dengan Konstitusi kita yakni Undang Undang Dasar 1945. Pada pasal 31 ayat (1) dikatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Bahkan pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menjamin hak tersebut, sebagaimana tertuang dalam ayat (3) bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ditambah lagi jika kita melihat Pembukaan (Preamble) UUD 1945 sebagai cita-cita negara, dikatakan bahwa “..Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”. Indonesia ternyata memiliki janji[2] kepada warganya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lantas mengapa paradigma masyarakat masih memandang bahwa pendidikan adalah barang yang mahal? Mengapa masyarakat masih merasa bahwa yang sanggup mengenyam pendidikan hanyalah orang-orang tertentu saja. Di Kuba dan di Belanda misalnya, pendidikan tidak memiliki sekat-sekat antara yang “dasar” dengan “menegah” dan yang “tinggi”. Ataupun yang “nasional”, “swasta”, dan “internasional”. Juga yang “beasiswa kurang mampu” ataupun “yang biaya tinggi”. Tidak ada pemisahan hak bagi si kaya ataupun si miskin, si anak pekerja ataupun anak pengusaha, anak bodoh ataupun anak pintar. Singkatnya, tidak ada diskriminasi secara sosial maupun ekonomi dalam mengakses pendidikan. Andai cara pandang kita tidak menganggap bahwa pendidikan adalah barang yang mahal, maka kita tidak mungkin menganggap bahwa pendidikan gratis adalah sebuah keajaiban. Sebagai subyek yang telah memiliki kesadaran akan haknya, maka setelah sadar kita akan menuntut hak kita semua untuk mendapatkan akses pendidikan secara terbuka.

Mungkin saja, kita semua hari ini masih memiliki cara pandang yang menganggap bahwa keadaan seseorang merupakan akibat dari orang itu sendiri. Cara pandang ini dinamakan juga dengan paradigma liberal[3]. Semisal ada seorang anak yang miskin dan bodoh. Orang yang berparadigma liberal akan menganggap bahwa anak itu miskin karena ia tidak bekerja dan ia bodoh karena tidak sekolah. Tapi benarkah demikian?

Apakah seorang anak sudah dapat menentukan nasib dirinya akan menjadi miskin dan bodoh? Tentu saja tidak. Jika kita mampu memandang secara obyektif, anak tersebut menjadi miskin dan bodoh bukan karena dirinya sendiri yang mengkehendaki, tapi karena sistem. Sistem dalam hal ini adalah tatanan sosial, politik, dan hukum yang mempengaruhi anak tersebut. Mungkin saja karena negara tidak mengurusi anak itu, sehingga ia miskin dan bodoh. Cara berpikir yang demikian merupakan paradigma kritis. Yaitu paradigma yang menyatakan keadaan seseorang tidak hanya disebabkan atas kehendak orang itu sendiri, tapi juga karena sistem kelas masyarakat yang mempengaruhinya. Nah, kamu sendiri menggunakan paradigma yang mana?

Sudah saatnya kita mengubah paradigma kita. Sudah saatnya sebagai insan yang memiliki hak asasi mendapatkan haknya, terutama hak pendidikan. Bukan hanya memperjuangkan hak diri sendiri, tapi juga menolong orang lain sebagai bentuk kepedulian sesama manusia.






[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Education_For_All, diakses pada 21 Desember 2012
[2] Anis Baswedan dalam Diskusi Publik di FISIP Unsoed lebih menyukai kata “janji” daripada “cita-cita” karena baginya, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tanggungjawab negara sebagai konsekuensi dicantumkannya ketentuan tersebut dalam Pembukaan UUD 1945.
[3] Henry Giroux dan Aronowitz membagi 3 macam paradigma pendidikan, yaitu paradigma konservatif, liberal, dan kritis. Tertuang dalam Mansour Fakih, “Ideologi Dalam Pendidikan” Pengantar dalam William F. O’Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) hlm xiii



DAFTAR PUSTAKA

Literatur :
O’Neil, William, 2002, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Internet :
Wikipedia : http:// en.wikiepedia. org/wiki/Education_For_All (diakses pada 21 Desember 2012)

Peraturan Perundang Undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
International Covenant of Economics, Social, and Culture Rights
Undang Undang No 11 Tahun 2005








Selasa, 20 November 2012

Penyesatan

Ada yang bilang bahwa satu tambah satu lebih baik dari satu

Apalagi bila ditambah satu lagi, maka lebih baik lagi

Tapi teori itu tiada berarti ketika kita bertiga berdialektika

Adalah rasio, emosi, dan spiritualitas yang berkecamuk

Tuhan dan bukan Tuhan serasa dekat sekali

Dan kita bercanda-canda dengan-Nya

Itu hanyalah sebuah contoh dari keseharian kita

Ada kamu, tuan playboy yang pernah selama satu tahun menghilang

Ada kamu, tuan tambun yang bercuap saja masih terpeleset

Ada saya, tuan yang terbang bersama hembusan angin

Tiga pemuda tersesat, sebuah kristalisasi atas abstraksi pemikiran kita yang dangkal

Sebuah keragu-raguan yang bersifat final dan mengikat

Sebuah kontradiksi yang koheren

Sebuah konsesus yang bertolak belakang

Sebuah konspirasi yang tidak pernah direncanakan

Masing-masing dari kita memang bergerak di jalur tersendiri

Tapi ada kalanya kita bersatu dan menghimpun kekuatan untuk mengguncang dunia

Pernah sesaat aku ingin kita hendak mengadakan pertemuan

Dimana kita saling mengejek dan mengolok segalanya

Dimana kita saling menunjukkan kecongkakan kita

Lalu masing-masing dari kita berkata,”mana basis massa punyamu?”

Lalu kita berkilah, “pergerakanmu kurang konkrit”

Dan juga, “ideologimu kurang jelas, kamu kurang baca buku”

Hingga tanpa sadar kalian menghabiskan dua atau tiga bungkus rokok dalam semalam

Hingga tanpa sadar kripik setan yang kurang ajar itu aku habiskan sendirian

Lalu kita berebut toilet di pagi hari karena perut kita mulas

Padahal esok hari kita harus kuliah




                                                                   

Kamis, 18 Oktober 2012

Bukit Shimla


Sebelumnya aku tinggal di kontrakan bernama Wisma Al-Jaddah bersama Brian, Eby dan Ozy, yang oleh kami difungsikan sebagai Sekretariat II Lembaga Kajian Hukum dan Sosial.

Menjelang berakhirnya semester 4, Wisma Al-Jaddah ternyata kurang nyaman untuk tempat berkumpul, berdiskusi, dan bermain. Hingga pada akhirnya aku menemukan sebuah rumah yang dikontrakkan di Jl.Riyanto Gg.Teratai Kelurahan Sumampir. Aku jatuh hati pada pandangan pertama untuk ukuran sebuah rumah. Dan rumah itu kuberi nama, Bukit Shimla. Disini aku tinggal bersama Cipto, Bangkit, dan Naufal. Namun selain mereka, ada juga penghuni lain yang juga gemar tinggal disini, seperti Eby, Ramdani, Taofik, Ryan, Surya, Alka, dsb. Penghuni asli yang menempati Bukit Shimla disebut juga Kaum Anshor. Sedangkan penghuni pendatang yang tidak berasal dari Bukit Shimla, akan tetapi menikmati layanan dan menaati aturan di Bukit Shimla disebut Kaum Muhajirin.

Bukit Shimla, diilhami dari film Three Idiot. Yaitu tempat dimana Chatur, Farhan, dan Raju berusaha menemukan Rancho. Dalam kisah, mereka ternyata bertemu Rancho, akan tetapi bukan Rancho yang selama ini mereka kenal. Di sanalah mereka memperoleh pencerahan tentang bagaimana bijaknya seorang Rancho yang mereka kenal, dan kemudian memulai kembali pencarian Rancho yang mereka kenal. Begitu juga dengan Bukit Shimla. Disini adalah sebuah rumah, sebagai tempat persinggahan orang-orang terutama mahasiswa dalam rangka menemukan pencerahan melalui proses pencarian kebenaran dan pertemuan perjuangan.

Berikut sekilas wajah dari Bukit Shimla :


Bukit Shimla dari kejauhan


Bukit Shimla dari dekat


Halaman depan (yang masih belum terawat)


Halaman samping


Ruang tamu ( kalau malam sebagai sarana motor bersemayam )


Kamar Cipto


Ke dalam kamar Cipto


Mading


Kamar Bangkit


Ke dalam kamar Bangkit (berantakan, maklum masih tahap awal konstruksi)


Kamar Panji


Ke dalam kamar Panji ( tidak berbeda dengan jemuran )


Ke dalam kamar Panji ( dengan perabotan seadanya )


Perpustakaan Bukit Shima, memiliki lebih dari 200 buku, yang notabene isinya menyesatkan


Kamar Naufal

Tampak dalam kamar Naufal ( sama berantakannya dengan kamar-kamar lainnya )



Tempat cuci


Kamar mandi


Kamar mandi ( itu ada kuning-kuning lihat gak? )


Dapur


Ruang favorit penghuni Bukit Shimla, yaitu Ruang Propaganda. Disinilah pusat peradaban Bukit Shimla. Mulai dari diskusi bareng, bercanda bareng, makan bareng, main game bareng, curhat bareng, nyanyi-nyanyi bareng, ledek-ledekan bareng, sampai tidur bareng. Notabene kasur yang dimiliki oleh penghuni diletakkan di ruangan ini untuk tidur bersama Kaum Anshor dan Kaum Muhajirin. Tapi sampai sekarang belum pernah ada perempuan mau tidur disini, semoga kelak ada yang mau.



Halaman belakang


Bukit Shimla tampak belakang


Demikian perkenalan tentang Bukit Shimla. Mau mampir? Silakan, dengan senang hati :)

Senin, 03 September 2012

MANIFESTO SERIKAT DIVISI PERLENGKAPAN

Panji Mulkillah Ahmad & Luthfi Kalbuadi, S.Atp.


        Ada hantu berkeliaran di kampus merah, hantu emansipasi. Adalah sebuah keharusan dimana divisi perlengkapan dalam suatu panitia memperoleh kedaulatan dan kesejahteraan. Sudah cukup stigma dan perlakuan buruk terhadap divisi perlengkapan. Divisi perlengkapan bukan budak, pembantu, pesuruh, dan hal-hal yang merendahkan martabat divisi perlengkapan lainnya. Adakah yang dapat memungkiri bahwa divisi perlengkapan ialah unsur sentral dalam kepanitiaan? Adakah yang dapat menyangkal bahwa alat produksi hanya lihai diolah dengan tangan dan otak divisi perkap yang mumpuni?
Tiga hal yang perlu dicamkan dalam manifesto ini :
        Divisi perkap sudah diakui keurgenannya dalam tiap penyelenggaraan kegiatan mahasiswa
        Sudah tiba saatnya divisi perkap sedunia berdaulat dan sejahtera, bebas dari penindasan dan memperjuangkan emansipasi kerja dengan berserikat.
        Sudah saatnya pola pikir lama masyarakat civitas akademika berubah menjadi modern, humanis, emansipatoris, menuju kedaulatan dan kesejahteraan divisi perkap.
        
         Untuk maksud ini, kaum perkap dari sudut lorong kampus berencana menyebarluaskan manifesto ini ke tiap-tiap pemikiran insan civitas akademika ke seluruh dunia.

Sebuah Pertentangan Kelas : Konseptor Melawan Teknisi

        Sejarah masyarakat, hingga sampai sekarang ini ialah sejarah pertentangan kelas[1]. Kelas perempuan melawan laki-laki, agamawan melawan kafir, borjuis melawan proletar, westernis melawan kearifan lokal, otonomi melawan sentralisasi, singkatnya : antara penindas dengan tertindas senantiasa melawan tiada henti. Melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, entah itu terang-terangan maupun gerilya, hingga pada finalnya menuai kemenangan maupun penindasan kembali.
        Kelas konseptor melawan teknisi dalam hal kepanitiaan merupakan pertentangan kelas sebagai contoh kecil yang sangat sederhana di kehidupan, disamping pertentangan kelas-kelas yang lain. Akan tetapi yang seperti ini sudah seperti menjadi budaya dalam masyarakat kampus, terutama aktivis bahwasanya teknisi ialah selalu dibawah konseptor. Kelas konseptor dengan kecendikiawanannya berkilah dengan teori dan logika berpikirnya mengolah suatu konsep kegiatan. Kelas teknisi dengan stigma yang telah dicap oleh sebagian masyarakat – terutama oleh konseptor – sebagai golongan pembantu/budak menjadikan sistem penundukkan sedemikian rupa untuk patuh pada kelas penindas, yakni konseptor.
        Dengan luar biasa evolusinya, stigma ini menjadi budaya dalam civitas akademika. Ditempatkanlah jua orang-orang yang kurang pandai dalam kelas teknisi, sementara yang pandai dan lihai berteori bernaung dalam kelas konseptor. Adakah yang salah dengan pembagian kelas? Tidak, selama dengan dalih efisiensi kerja, tercapainya kegiatan, dan meminimalisir dinamika.
        Namun adalah suatu kebodohan luar biasa besar pula bila memahami suatu kegiatan mahasiswa sebagai kegiatan an sich. Yang berlainan dengan kegiatan pada umumnya, ialah bahwa kegiatan mahasiswa bukan bertujuan pada kegiatan itu sendiri, namun juga bertujuan pada pengembangan karakter dan kemampuan mahasiswa yang tergabung dalam kepanitiaan.
        Sistem efisiensi pembagian kerja tidaklah cocok digunakan dalam suatu kegiatan mahasiswa, yang notabene mahasiswa masih dalam tahap pembelajaran. Sistem yang demikian melahirkan pertentangan kelas berupa penindasan antara kelas konseptor dengan kelas teknisi. Seharusnya sistem kerja dalam kepanitiaan lebih mengedepankan azas kekeluargaan, gotong royong, humanisme, dan pencapaian pengembangan diri yang emansipatoris. Dan pada bahasa berikutnya akan dijelaskan bagaimana upaya revolusioner serikat divisi perkap dalam memperjuangkan emansipasi kerja.
Upaya Revolusioner Serikat Divisi Perkap

        Dalam hal pekerja pada umumnya dalam suatu perusahaan, karena kedudukannya yang bergantung oleh majikan, maka mereka mudah sekali untuk ditindas. Ketika pekerja individu bertentangan dengan majikan, maka yang dimenangkan pastilah majikan. Karena majikan memiliki modal produksi, alat produksi, dan hubungan produksi, sedangkan pekerja hanya memiliki dirinya sendiri sebagai posisi tawar. Majikan sudah tentu lihai dalam hal ini, bisa saja mengancam untuk memecat atau memotong gaji para pekerjanya. Sementara pekerja yang sendirian tentu akan kalah, dan mengikuti kehendak majikan.
        Digunakanlah upaya yang revolusioner dalam mensejajarkan kedudukan pekerja dengan majikan, yaitu serikat pekerja. Para pekerja bersatu melalui serikat pekerja, menciptakan sistem organisasi modern, mendidik mental dan kemampuan pekerja melalui pendidikan yang revolusioner, dan akhirnya berani vis-a-vis dengan majikan untuk menuntut hak-hak pekerja yang dirampas. Serikat pekerja dapat mengancam untuk mogok kerja dan turun aksi ke jalan bilamana tuntutan hak tersebut tidak dihormati majikan.
         Begitupulalah konsep yang diterapkan dalam serikat divisi perkap. Mengapa hanya divisi perkap? Karena fakta di lapangan menyatakan bahwa mahasiswa masih menganggap bahwa divisi perkap tidak lebih dari divisi pembantu. Stigma itu dinyatakan oleh mereka-mereka diluar perkap dan itu diresapi secara hegemonik oleh orang-orang yang bekerja dalam divisi perkap. Maka cukup sering ditemui, jarang sekali ada orang yang berkenan masuk divisi perkap, apalagi atas prakarsa sendiri.
        Disinilah saatnya diperlukan upaya revolusioner dalam diri para divisi perkap, yaitu dengan cara berserikat. Serikat divisi perkap akan menjadi divisi yang tak kalah pentinya dengan divisi-divisi lain dalam kepanitiaan. Serikat divisi perkap akan diberi pendidikan sistem kerja, penanaman nilai-nilai emansipasi kerja, keberanian untuk menuntut hak-hak divisi perkap, menuju divisi perkap yang berdaulat dan sejahtera. Divisi perkap bangkit melawan penindasan kerja dan intelektual.
        Divisi perkap akan memberi pencerahan kepada masyarakat bahwa divisi perkap merupakan divisi yang penting, karena kelihaiannya dalam mengolah alat produksi. Adakah yang dapat membayangkan bila dalam suatu kepanitiaan terdapat kekurangan dalam tubuh divisi perkap? Baik secara kualitas maupun kuantitas? Maka dapat dipastikan kepanitiaan tersebut akan kacau. Divisi perkap tidak hanya teknisi semata, namun mereka ialah divisi yang harus memahami konsep dan mengimplementasikannya. Mereka mengangkat hal dari pemikiran ke ranah praksis, melalui penguasaan alat produksi.
         Lalu kaum divisi perkap yang telah sadar berserikat itu akan membantu menyemai benih-benih perjuangan perihal pemahaman emansipasi kerj a ke seluruh dunia, terutama sekali kepada orang-orang yang bergerak dalam divisi perkap di suatu kepanitiaan. Kaum serikat divisi perkap akan tiada gentar dalam menuntut hak-haknya dan perjuangan emansipasi kerjanya serta menyebarluaskan pemikiran ini ke semua orang. Dengan terang-terangan, pemikiran ini akan sampai pada kepala-kepala kaum yang telah terstigma ajaran lama bahwa perkap ialah tidak lebih dari pembantu, hingga gentar mereka semuanya dan mulai memahami akan esensi emansipasi kerja. Paham emansipasi kerja serikat divisi perkap akan menguasai dunia.


Divisi Perkap Sedunia, Bersatulah !






[1] Diambil dari kalimat pertama Bab I Manifesto Partai Komunis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, 1848


Selasa, 14 Agustus 2012

Kritis Tak Lagi Keren Bila Dangkal



         Kampus Unsoed sedang dilanda demam Uang Kuliah Tunggal (UKT). Terutama aktivis, tiada hentinya membicarakan sistem pembayaran uang kuliah baru itu. Kebanyakan dari mereka tidak setuju dengan UKT. Dengan berbagai macam alasan untuk memperkuat dalilnya. Dari yang rasionil sampai yang irrasionil. Dari yang keren sampai yang konyol. Bagiku tak mengapa UKT dikritik, toh namanya juga sistem baru, pasti banyak cacat sana sini. Sistem baru kan bukan berarti lebih baik dari sebelumnya, barangkali sistem baru ternyata lebih menindas. Siapa tau kalau tidak diteliti?
         Langsung saja ya, sebenarnya saya barusan baru saja membaca sebuah tulisan seorang aktivis mahasiswa Unsoed. Dengan lantangnya ia menolak UKT. Saya salut dengan sikapnya. Rasa salut saya berbanding terbalik dengan alasan dia menolak UKT. Yaitu "kuliah jadi dituntut cepat lulus", dan "membandingkan dengan zaman dahulu".
        Adakah yang salah dengan cepat lulus kuliah? Adakalanya orang-orang yang sok mengaku aktivis kerap mempermasalahkan ini. Mereka berburuk sangka bahwa dengan lulus cepat, maka meredam aktivitas mereka di kampus. Juga mengkait-kaitkan dengan pragmatisme pasca wisuda, yakni dikhawatirkan lulus cepat nantinya hanya berorientasi pada kerja. Ditambah lagi mereka membanding-bandingkan dengan orang-orang yang kuliah zaman dahulu, yang mana lulus 7-10 tahun sudah biasa. Mereka pikir orang yang lulusnya lama itu keren, karena biasanya aktivis.

        Lucu ketika makin kesini makin sering kudengar mahasiswa yang notabene ingin dibilang akitivis, makin menganut ajaran sesat yang demikian. Menurutku, mahasiswa yang demikian tak ubahnya mahasiswa penakut, egois, dan konservatif.
        Penakut, karena mereka merasa nyaman menjadi aktivis kampus. Setelah lulus nanti mereka khawatir tidak lagi bisa melakukan apa yang mereka biasanya lakukan ketika masih mahasiswa. Khawatir setelah lulus mereka nantinya menjadi seorang pekerja, sebagaimana yang sering mereka olok-olok kepada mahasiswa biasa itu. Padahal pasca wisuda, masih banyak tantangan yang bahkan lebih sulit ketimbang saat masih menjadi aktivis mahasiswa.
         Egois, karena mereka ingin berlama-lama kuliah bahkan bercita-cita seperti orang zaman dahulu yakni 7-10 tahun. Padahal kita ketahui fasilitas kampus - khususnya universitas negeri - dibiayai sebagian besar oleh APBN, tidak semua mahasiswa yang membiayai. Ada uang rakyat disitu. Maka sudah seharusnya fasilitas yang juga ditopang uang rakyat, turut dinikmati oleh rakyat lainnya yang hendak menjadi mahasiswa. Gantian dong. Kalau kuliahnya terlalu lama, nanti kasihan banyak kursi yang justru diisi orang-orang tua. Yang padahal animo masyarakat untuk bisa duduk mengenyam bangku kuliah sangatlah tinggi.
        Konservatif, karena masih termakan faham-faham lama, yakni masih mengkultuskan sistem zaman dahulu. Mau dibilang idealis, tapi malah terlihat sok. Akhirnya cuma jadi hal yang utopis. Berangan-angan ingin merubah paradigma bahwa kuliah 7-10 tahun itu biasa, tapi padahal ingin cepat lulus juga. Padahal dahulu itu kenapa orang kuliah bisa 7-10 tahun karena memang sistemnya dipersulit. Dosen yang ada notabene mengajar dengan sistem menditke. Bila hendak menempuh mata kuliah selanjutnya, maka mata kuliah sebelumnya harus lulus, bila tidak maka harus diulang lagi sampai lulus. Lain hal dengan sekarang, dosennya sudah mulai menunjukkan variasi metode pembelajaran, tidak melulu mendikte. Paradigma kuliah pun sudah berubah, bahwa yang ada dalam perkuliahan hanyalah 30% dari ilmu yang ada, sementara sisanya adalah dimana mahasiswa harus kreatif mencari sendiri.
        Mahasiswa memang harus kritis, tapi bukan berarti tanpa bekal. Karena bila demikian yang ada menjadi dangkal. Mahasiswa seharusnya mampu melihat pemikiran secara obyektif. Tidak selamanya yang dikultuskan itu selalu benar. Kalau sudah begini, makin nyata bahwa kritik yang demikian tidak mampu mengkoreksi UKT. Karena kritiknya tidak berkualitas.
        Akhirnya tulisan ini makin lama tidak membicarakan UKT, tapi malah membicarakan paradigma sesat yang saya paparkan diatas. Biarin tidak nyambung, yang penting kamu bisa sadar.

Selasa, 03 Juli 2012

Akademisi Transaksional




        Siang itu, salah seorang dosen berkata dalam suatu seminar di Purwokerto, ”Dana itu sangat penting, maka dari itu untuk mendapat dana, buatlah suatu penelitian yang sesuai dengan kehendak si pemberi dana”. Dengan bangganya juga ia memamerkan beberapa keberhasilan penelitiannya dalam hal meraih dana, yang notabene berasal dari pemerintah. Mayoritas peserta seminar pun terlihat mengangguk setuju sekaligus kagum terhadap “prestasi” yang dipamerkan sang dosen itu. Mungkin hanya segelintir orang saja yang tidak sepaham dengan dosen itu, salah satunya ialah saya. Dalam hal yang demikian, tindakan dosen tadi saya kategorikan sebagai “Akademisi Transaksional”.
        Civitas Akademika, yang mana unsur-unsurnya terdiri dari dosen dan mahasiswa, merupakan kelompok masyarakat dalam suatu institusi pendidikan tinggi. Dengan fasilitas penunjang untuk menggali ilmu, mereka dapat belajar dengan cara apapun. Dengan belajar, mereka menjadi tahu banyak hal. Kemudian mereka bisa menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah dari berbagai perspektif. Bilamana ada yang salah, maka dikatakanlah bahwa itu salah, lalu dikoreksilah hal yang salah itu sehingga menjadi benar. Oleh karenanya civitas akademika itu memiliki anugerah berupa nalar kritis, yaitu potensi untuk mengkoreksi terhadap suatu bentuk konsep dan realitas yang lebih dahulu mapan.

         Dengan nalar kritis itulah, seorang akademisi dapat mengamati, menganalisis, mengungkap, dan mengubah suatu keadaan. Dengan berbagai metode baik itu melalui penelitian maupun karya lainnya, seorang akademisi mampu mengkritisi suatu bentuk kemapanan baik konsep maupun realitas. Misalnya saja, mengkritisi kebijakan pemerintah, budaya masyarakat, ataupun ideologi asing. Peranan civitas akademika dalam tatanan masyarakat akan senantiasa menjadi pengawas dalam setiap bentuk kemapanan.
        Salah satu bentuk kemapanan di Indonesia ialah pemerintah yang notabene terdiri dari kaum elitis. Kaum elitis yang biasanya ialah pemilik modal yang terdiri dari segelintir orang ini menguasai hampir setiap aspek kehidupan di Indonesia baik dari ideologi, agama, sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, maupun sains. Sedangkan civitas akademika dengan nalar kritisnya, sejatinya merupakan kaum yang senantiasa mengkritisi pemerintah. Dinamisasi pertentangan yang demikianlah yang menjadi warna dalam pembangunan nasional.
        Namun apa senyatanya saat ini terjadi fenomena seperti yang saya paparkan di alinea pertama, yakni fenomena akademisi transaksional. Yang dimaksud akademisi transaksional saya artikan sebagai seorang akademisi yang dalam hal melakukan gerakan intelektualnya berorientasi pada dana. Fenomena ini menjalar ke mahasiswa-mahasiswi dan dosen dalam membuat suatu karya ilmiah.
        Civitas akademika sebagai kaum yang dianugerahi nalar kritis, kini mulai tidak lagi mengarahkan pemikirannya pada isu-isu perubahan, kesetaraan, hak rakyat, dan hal-hal yang bersifat melawan kemapanan lainnya. Dengan rumus “ikutilah kehendak pemberi dana”, civitas akademika kini mulai tergeser orientasinya dalam lembaran angka-angka yang bernilai ekonomi. Dengan kata lain, civitas akademika mulai berkomplot dengan pemberi dana.
         Sang pemberi dana yang notabene dari kaum elit/pemerintah dengan “baik hati” memberi dana kepada mereka-mereka yang “berprestasi”. Sang pemberi dana menyelenggarakan banyak sekali lomba dengan hadiah yang menggiurkan. Tanpa perlu menyebut nama berbagai perlombaannya, saya pikir kita semua tahu atau setidak-tidaknya dapat mencari tahu dalam situs institusi pendidikan nasional.
        Sistem ini mengubah dengan perlahan budaya civitas akademika dalam hal berkarya. Dengan sistem yang demikian, para akademisi diharapkan akan saling bersaing merebut dana tersebut. Para akademisi akan berusaha memahami apa yang ada dalam pemikiran sang pemberi dana. Dan tentu saja, para akademisi akan membuat suatu karya yang dikehendaki sang pemberi dana supaya bisa menang.
        Hancurlah sudah esensi suatu karya ilmiah tatkala dipegang oleh akademisi transaksional ini. Sebuah penelitian seharusnya digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan metode tertentu. Namun oleh akademisi transaksional digunakan karya ilmiah itu untuk mengembangkan dana, bukannya mengambangkan ilmu pengetahuan. Karya ilmiah yang mana seharusnya didasarkan pada kehendak hati dan kebutuhan masyarakat, kini justu didasarkan pada kehendak kantong dan kebutuhan si pemberi dana.

Mengabdi Pada Masyarakat, atau Mengabdi Pada Dana?

        Kerap dilupakan oleh civitas akademika poin ketiga dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pengabdian Masyarakat. Mahasiswa dalam mengabdikan diri pada masyarakat biasanya hanya melakukannya dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN), kecuali bilamana itu mahasiswa aktivis perubahan sosial. KKN sendiri dilakukan pada sekitar semester akhir dan hanya dalam waktu satu bulan. Padahal mahasiswa sendiri paling tidak menempuh pendidikan setidak-tidaknya 7 sampai 9 semester, namun mengabdi pada msyarakat hanya satu bulan. Dosen pun sedemikian halnya. Terjun ke masyarakat ialah bilamana ada suatu proyek tertentu dalam lembaga tertentu.
        Akademisi transaksional tentu saja adalah golongan yang paling minim melakukan pengabdian masyarakat, dalam artian hakiki. Motif utama karya ilmiahnya adalah pencapaian dana. Masyarakat disini kerap hanya dijadikan objek penelitiannya guna kepentingan karyanya. Akademisi yang demikian, yang oleh Ibu guru saya pada dahulu bilang adalah “orang yang tak patut diteladani”.
        Mengingat pada pengabdian masyarakat dalam Tri Dharma itulah seharusnya civitas akademika dalam membuat suatu karya harus berorientasi pada masyarakat. Civitas akademika dengan nalar kritisnya tetaplah harus mengkritisi kemapanan – terutama pemerintah – dalam memperjuangkan masyarakat. Keberpihakan pada masyarakat banyak harus dijunjung tinggi ketimbang keberpihakan pada segelintir orang. Gerakan intelektual haruslah dilandasi dengan niat menegakkan kebenaran ilmiah. Civitas akademisi harus kembali kedalam takdirnya untuk mengatakan bahwa apa yang benar adalah benar, dan apa yang salah adalah salah.

Anda Pengunjung ke