Rabu, 07 Juni 2017

Menyoal Sektarianisme

Baru-baru ini obrolan sehari-hari kita diisi topik lama. Yaitu menyoal orang-orang yang melulu diskursus tentang teori dan wacana tapi absen praktek, adu mengadu siapa yang paling kiri, saling intrik mengintrik, tafkiri satu sama lain, dan membentuk lingkaran-lingkaran sekte yang kontra produktif. Singkat kata, sektarianisme.

Ide tak pernah salah dalam koridor pembelajaran. Seseorang atau sekelompok orang bisa saja menyemai wacana apapun di sekitarnya, dan memperdebatkannya. Merayakan perdebatan, dan mengembalikan kebenaran dalam diri masing-masing. Pada situasi 'akademis' ini sektarianisme bukan menjadi persoalan, karena memang perbedaan dan perdebatan tak berujung atas suatu cara pandang adalah suatu yang mesti dirayakan.

Tapi pada koridor 'gerakan', sektarianisme ini tidak bisa tidak adalah suatu fenomena. Beberapa pihak menganggap ini sebagai problem karena menghambat perjuangan. Gerakan tersekat-sekat oleh pandangan politik masing-masing. Mungkinkah hal ini bisa dihindari?

Berbagai macam pandangan politik hari ini sudah berusia bukan setahun dua tahun, melainkan sekian abad lamanya, apalagi pandangan politik berbasis agama. Sekat-sekat ini tak bisa hilang begitu saja karena setiap pandangan politik memiliki pondasi ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang tersusun kokoh sedemikian rupa. Basis pengetahuan suatu pandangan politik tersebut terus diproduksi dan direproduksi.

Dalam bingkai marxis, suatu pandangan politik adalah cerminan dari asal klasnya. Liberalisme didukung oleh klas yang mengamini kepemilikan pribadi atas alat produksi yaitu klas kapitalis. Fasisme didukung oleh kaum militer. Tuan tanah cenderung memegang filsafat konservatifisme untuk melegitimasi hak-hak istimewanya. Proletariat (klas buruh yang tidak punya alat produksi) juga memerlukan pandangan dunianya sendiri untuk meninjau masalah-masalahnya. Apa pandangan dunia proletar? Dalam buku 'Prinsip-Prinsip Komunisme', Engels berkata bahwa, "komunisme adalah doktrin atau ajaran tentang syarat-syarat emansipasi proletariat."

Di negeri yang industrinya masih terbelakang, yang mana masih banyak terdapat corak produksi lama yang agraris dan feodalistik seperti Indonesia, jumlah proletariatnya bukanlah mayoritas. Massa tertindas di Indonesia selain proletariat adalah kaum tani, nelayan adat, suku bangsa terasing, lumpenproletar dan sebagian borjuis kecil perkotaan. Belum lagi bentuk-bentuk penindasan khusus seperti yang kerap menimpa pada kaum perempuan, difabel, LGBT, etnis minoritas, penganut agama/kepercayaan minoritas,  buruh migran, anak-anak terlantar, dsb. Komposisi klas penindas pun bermacam-macam, mulai dari imperialis, borjuis besar komprador, tuan tanah besar, kapitalis birokrat, kelompok-kelompok fasis intoleran, dsb. Komprador pun ada yang modalnya dari Amerika, Tiongkok, Jerman, Arab, India, dsb. Tuan tanah besar ada yang dalam bentuk perusahaan negara, swasta, swasta-negara, tuan tanah warisan, dsb. Kapitalis birokrat juga macam-macam dan saling bertentangan, mulai dari pusat dengan daerah, KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan, TNI dengan Polri, Komnas HAM dengan TNI, kubu di internal DPR, TNI, Kabinet, dsb. Keberagaman komposisi klas dan sub-klas inilah yang membuat adanya keberagaman pandangan politik pula di Indonesia.

Barangkali ada yang berpikiran sebaiknya tidak perlu dibikin rumit mengenai hal diatas. Cukup dicari musuh bersama saja, dicari akar penindasannya. Dengan begitu, sektarianisme bisa teratasi dan persatuan sesama massa klas tertindas bisa terwujud. Sialnya, berbeda pandangan politik maka berbeda pula musuh bersamanya. Ini karena terdapat perbedaan cara pandang untuk menganalisis suatu keadaan, siapa kawan dan siapa lawan. Ini berarti jika memang membentuk persatuan sesama massa klas tertindas adalah agenda yang segera dan perlu, maka ada beberapa hal yang menurut penulis dapat dilakukan.

1. Studi atas Berbagai Pandangan Politik

Seringkali kita mengkritik suatu pandangan politik lain, tapi malah tidak kena sasaran. Kita salah mengira. Seperti halnya kaum bigot yang salah mengira bahwa ateis adalah komunis. Karena setiap pandangan politik disusun atas pondasi atau sistem pengetahuan tertentu, maka perlu untuk mempelajari pondasi tersebut. Mulai dari latar historisnya, biografi pemikirnya, cabang-cabangnya, dan tentu saja basis filsafatnya. Seseorang yang mengaku anarkis belum tentu pondasi filsafatnya juga anarkis, bisa jadi malah liberal. Atau bisa jadi ada yang anti Trotskyisme, tapi tidak tau apa-apa tentang sejarah hidup dan karya-karya Trotsky.

2. Riset Ilmiah atas Keadaan Sosial-Historis

Pandangan politik tertentu dibentuk berdasarkan keadaan sosial historis tertentu. Sukarnoisme terbentuk berdasarkan keadaan Indonesia dan dunia pada abad 20. Liberalisme adalah refleksi kritis atas kondisi sosial historis adanya feodalisme. Kita hidup di abad 21, dengan keadaan sosial historis yang baru, yang tentunya tak bisa asal jiplak pandangan politik yang disusun sekian abad sebelumnya. Tapi pemahaman atas keadaan ini tak bisa ditangkap dari pengamatan permukaan saja. Riset ilmiah diperlukan untuk menyelami sebab musabab dan kesaling hubungan antar berbagai hal yang menyusun keadaan. Riset ini memang takkan pernah berakhir karena keadaan terus bergerak. Tapi bukan berarti kita tidak memerlukan riset sama sekali, karena artinya pengetahuan kita atas dunia akan semakin jauh tertinggal.

3. Menanyakan Kepada Diri Sendiri, Untuk Siapa Kita Berpihak?

Setelah melakukan studi literatur, riset ilmiah atas keadaan, setelah kita meninjau dan menimbang salah benarnya, pertanyaan tersebut akan ditujukan ke diri sendiri. Di sinilah kita menentukan keberpihakan. Di sini pula kita menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Pada fase ini kita bisa saja menyatakan sikap dengan mengikuti kelompok-kelompok politik tertentu, membuat kelompok sendiri, ataupun berjuang sendirian tanpa kelompok sama sekali (katakanlah ia adalah anarko-individual-pasifis-primitifis).

4. Praksis

Sikap politik yang telah kita susun berlaku sebagai hipotesis. Kebenarannya baru dapat ditentukan sejauh itu dapat dan telah dipraktekkan. Praktek perjuangan tidak melulu mesti terlibat dalam kasus yang besar-besar seperti di Kendeng, ataupun Gunung Slamet. Bisa saja kita temukan di kehidupan sehari-hari, dimana terdapat pertentangan atau kontradiksi antara penindas dan tertindas, kawan dan lawan, kita versus mereka. Pada fase ini, bukan tidak mungkin dogma-dogma yang selama ini kita yakini runtuh. Keyakinan-keyakinan yang lama kita evaluasi. Atau justru sebaliknya keyakinan kita semakin kuat. Individu-individu dan kelompok yang tadinya bertentangan dan membentuk sektenya masing-masing menjadi beraliansi. Atau bahkan sebaliknya yang tadinya beraliansi menjadi bermusuhan. Pandangan politik kita semakin kaya, dan perlu makin banyak studi atas literatur, riset ilmiah, dan memasuki lagi medan perjuangan praksis. Dan begitu seterusnya. Dialektis.


Dari langkah-langkah di atas, apakah ini akan menjamin bahwa sektarianisme akan berakhir? Tidak. Ini hanya ikhtiar saja, berdasarkan refleksi atas pengalaman penulis sendiri selama terlibat dalam beberapa medan perjuangan klas. Entah itu di kampus, desa, sampai dengan kampung miskin urban. Dan andaipun sektarianisme tetap ada, ikhtiar ini bukan tidak ada gunanya. Setidak-tidaknya akan ada garis demarkasi yang semakin terang siapa kawan dan siapa lawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke