Baru-baru ini obrolan sehari-hari kita
diisi topik lama. Yaitu menyoal orang-orang yang melulu diskursus tentang teori
dan wacana tapi absen praktek, adu mengadu siapa yang paling kiri, saling
intrik mengintrik, tafkiri satu sama lain, dan membentuk lingkaran-lingkaran
sekte yang kontra produktif. Singkat kata, sektarianisme.
Ide tak pernah salah dalam koridor
pembelajaran. Seseorang atau sekelompok orang bisa saja menyemai wacana apapun
di sekitarnya, dan memperdebatkannya. Merayakan perdebatan, dan mengembalikan
kebenaran dalam diri masing-masing. Pada situasi 'akademis' ini sektarianisme
bukan menjadi persoalan, karena memang perbedaan dan perdebatan tak berujung
atas suatu cara pandang adalah suatu yang mesti dirayakan.
Tapi pada koridor 'gerakan',
sektarianisme ini tidak bisa tidak adalah suatu fenomena. Beberapa pihak
menganggap ini sebagai problem karena menghambat perjuangan. Gerakan
tersekat-sekat oleh pandangan politik masing-masing. Mungkinkah hal ini bisa
dihindari?
Berbagai macam pandangan politik hari
ini sudah berusia bukan setahun dua tahun, melainkan sekian abad lamanya,
apalagi pandangan politik berbasis agama. Sekat-sekat ini tak bisa hilang
begitu saja karena setiap pandangan politik memiliki pondasi ontologi,
epistemologi, dan aksiologi yang tersusun kokoh sedemikian rupa. Basis pengetahuan
suatu pandangan politik tersebut terus diproduksi dan direproduksi.
Dalam bingkai marxis, suatu pandangan
politik adalah cerminan dari asal klasnya. Liberalisme didukung oleh klas yang
mengamini kepemilikan pribadi atas alat produksi yaitu klas kapitalis. Fasisme
didukung oleh kaum militer. Tuan tanah cenderung memegang filsafat
konservatifisme untuk melegitimasi hak-hak istimewanya. Proletariat (klas buruh
yang tidak punya alat produksi) juga memerlukan pandangan dunianya sendiri
untuk meninjau masalah-masalahnya. Apa pandangan dunia proletar? Dalam buku
'Prinsip-Prinsip Komunisme', Engels berkata bahwa, "komunisme adalah
doktrin atau ajaran tentang syarat-syarat emansipasi proletariat."
Di negeri yang industrinya masih
terbelakang, yang mana masih banyak terdapat corak produksi lama yang agraris
dan feodalistik seperti Indonesia, jumlah proletariatnya bukanlah mayoritas.
Massa tertindas di Indonesia selain proletariat adalah kaum tani, nelayan adat,
suku bangsa terasing, lumpenproletar dan sebagian borjuis kecil perkotaan.
Belum lagi bentuk-bentuk penindasan khusus seperti yang kerap menimpa pada kaum
perempuan, difabel, LGBT, etnis minoritas, penganut agama/kepercayaan
minoritas, buruh migran, anak-anak terlantar,
dsb. Komposisi klas penindas pun bermacam-macam, mulai dari imperialis, borjuis
besar komprador, tuan tanah besar, kapitalis birokrat, kelompok-kelompok fasis
intoleran, dsb. Komprador pun ada yang modalnya dari Amerika, Tiongkok, Jerman,
Arab, India, dsb. Tuan tanah besar ada yang dalam bentuk perusahaan negara,
swasta, swasta-negara, tuan tanah warisan, dsb. Kapitalis birokrat juga
macam-macam dan saling bertentangan, mulai dari pusat dengan daerah, KPK dengan
Kepolisian dan Kejaksaan, TNI dengan Polri, Komnas HAM dengan TNI, kubu di internal
DPR, TNI, Kabinet, dsb. Keberagaman komposisi klas dan sub-klas inilah yang
membuat adanya keberagaman pandangan politik pula di Indonesia.
Barangkali ada yang berpikiran
sebaiknya tidak perlu dibikin rumit mengenai hal diatas. Cukup dicari musuh bersama
saja, dicari akar penindasannya. Dengan begitu, sektarianisme bisa teratasi dan
persatuan sesama massa klas tertindas bisa terwujud. Sialnya, berbeda pandangan
politik maka berbeda pula musuh bersamanya. Ini karena terdapat perbedaan cara
pandang untuk menganalisis suatu keadaan, siapa kawan dan siapa lawan. Ini
berarti jika memang membentuk persatuan sesama massa klas tertindas adalah
agenda yang segera dan perlu, maka ada beberapa hal yang menurut penulis dapat
dilakukan.
1. Studi atas Berbagai Pandangan
Politik
Seringkali kita mengkritik suatu
pandangan politik lain, tapi malah tidak kena sasaran. Kita salah mengira.
Seperti halnya kaum bigot yang salah mengira bahwa ateis adalah komunis. Karena
setiap pandangan politik disusun atas pondasi atau sistem pengetahuan tertentu,
maka perlu untuk mempelajari pondasi tersebut. Mulai dari latar historisnya,
biografi pemikirnya, cabang-cabangnya, dan tentu saja basis filsafatnya.
Seseorang yang mengaku anarkis belum tentu pondasi filsafatnya juga anarkis, bisa
jadi malah liberal. Atau bisa jadi ada yang anti Trotskyisme, tapi tidak tau
apa-apa tentang sejarah hidup dan karya-karya Trotsky.
2. Riset Ilmiah atas Keadaan
Sosial-Historis
Pandangan politik tertentu dibentuk
berdasarkan keadaan sosial historis tertentu. Sukarnoisme terbentuk berdasarkan
keadaan Indonesia dan dunia pada abad 20. Liberalisme adalah refleksi kritis
atas kondisi sosial historis adanya feodalisme. Kita hidup di abad 21, dengan
keadaan sosial historis yang baru, yang tentunya tak bisa asal jiplak pandangan
politik yang disusun sekian abad sebelumnya. Tapi pemahaman atas keadaan ini
tak bisa ditangkap dari pengamatan permukaan saja. Riset ilmiah diperlukan
untuk menyelami sebab musabab dan kesaling hubungan antar berbagai hal yang
menyusun keadaan. Riset ini memang takkan pernah berakhir karena keadaan terus
bergerak. Tapi bukan berarti kita tidak memerlukan riset sama sekali, karena
artinya pengetahuan kita atas dunia akan semakin jauh tertinggal.
3. Menanyakan Kepada Diri Sendiri,
Untuk Siapa Kita Berpihak?
Setelah melakukan studi literatur,
riset ilmiah atas keadaan, setelah kita meninjau dan menimbang salah benarnya,
pertanyaan tersebut akan ditujukan ke diri sendiri. Di sinilah kita menentukan
keberpihakan. Di sini pula kita menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Pada
fase ini kita bisa saja menyatakan sikap dengan mengikuti kelompok-kelompok
politik tertentu, membuat kelompok sendiri, ataupun berjuang sendirian tanpa
kelompok sama sekali (katakanlah ia adalah anarko-individual-pasifis-primitifis).
4. Praksis
Sikap politik yang telah kita susun
berlaku sebagai hipotesis. Kebenarannya baru dapat ditentukan sejauh itu dapat
dan telah dipraktekkan. Praktek perjuangan tidak melulu mesti terlibat dalam
kasus yang besar-besar seperti di Kendeng, ataupun Gunung Slamet. Bisa saja
kita temukan di kehidupan sehari-hari, dimana terdapat pertentangan atau
kontradiksi antara penindas dan tertindas, kawan dan lawan, kita versus mereka.
Pada fase ini, bukan tidak mungkin dogma-dogma yang selama ini kita yakini
runtuh. Keyakinan-keyakinan yang lama kita evaluasi. Atau justru sebaliknya
keyakinan kita semakin kuat. Individu-individu dan kelompok yang tadinya
bertentangan dan membentuk sektenya masing-masing menjadi beraliansi. Atau
bahkan sebaliknya yang tadinya beraliansi menjadi bermusuhan. Pandangan politik
kita semakin kaya, dan perlu makin banyak studi atas literatur, riset ilmiah,
dan memasuki lagi medan perjuangan praksis. Dan begitu seterusnya. Dialektis.
Dari langkah-langkah di atas, apakah
ini akan menjamin bahwa sektarianisme akan berakhir? Tidak. Ini hanya ikhtiar
saja, berdasarkan refleksi atas pengalaman penulis sendiri selama terlibat
dalam beberapa medan perjuangan klas. Entah itu di kampus, desa, sampai dengan
kampung miskin urban. Dan andaipun sektarianisme tetap ada, ikhtiar ini bukan
tidak ada gunanya. Setidak-tidaknya akan ada garis demarkasi yang semakin
terang siapa kawan dan siapa lawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar