Rabu, 14 Juni 2017

Menghapus Kepemilikan Pribadi

Saya ingat pada tahun 2008-2011, berbagai kelompok liberal seakan ‘mundur teratur’ akibat dari krisis finansial global di tahun yang sama. Kapitalisme dituduh sebagai biang keladi dari krisis global pada masa-masa ini. Di tahun-tahun ini pula sedang ramai-ramainya gerakan Occupy Wallstreet sebagai respon atas krisis tersebut. Namun dewasa ini kelompok-kelompok liberal kembali bermunculan ini makin banyak bermunculan sebuah kelompok liberal yang mengagung-agungkan sebuah kepemilikan pribadi.

Mula-mula mereka masuk lewat isu masalah kebebasan dalam beragama, ras, etnis, dan multikulturalisme. Mereka juga masuk ke isu feminisme lewat hal-hal yang sederhana seperti otonomi tubuh perempuan. Sampai akhirnya mereka mulai mengangkat lagi isu-isu yang paling vital yakni tentang kepemilikan pribadi, lewat cara yang saya akui cukup populis : membela kepemilikan pribadi kaum tani dari perampasan tanah negara.

Isu tentang kepemilikan pribadi memang seakan tiada habisnya, apalagi sejak kaum sosialis mulai mencetuskan ide tentang penghapusan kepemilikan pribadi. Sayangnya, perdebatan ini sering kali bersifat berat sebelah. Seperti yang saya baca di tulisan, Mengapa Alat Produksi Sebaiknya Dimiliki Secara Privat, Bukan Komunal di media Suara Kebebasan[1] :

“Di dalam paradigma sosialisme, hak kepemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi adalah biang kerok kemiskinan, kemelaratan, eksploitasi, perbudakan, dan segala hal buruk lainnya yang mungkin ada di muka alam. Oleh karena itu, para pendukung sosialisme percaya kebebasan dan kemakmuran yang sejati hanya dapat muncul jika hak kepemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi sudah diabolisi. Lalu siapa yang berhak menguasai alat-alat produksi di dalam setting masyarakat sosialis? Jika masih berada pada fase negara sosialis, alat-alat produksi dikuasai oleh negara untuk menciptakan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh anggota masyarakat. Namun, para Marxis percaya bahwa peran negara tidak dibutuhkan lagi ketika negara sosialis telah bertransformasi menjadi masyakat komunis. Di dalam masyarakat komunis, alat-alat produksi akan dikuasai secara egaliter oleh komune (sekelompok orang yang berbagi kepemilikan dan tanggung jawab bersama).”

Kenapa saya katakan berat sebelah? Karena memang alasan utama Marx menggagas penghapusan kepemilikan pribadi bukan karena soal kemiskinan, kemelaratan, eksploitasi, perbudakan, dan sebagainya. Benar bahwa alasan tadi memang mendorong gagasan kaum sosialis untuk menghapus kepemilikan pribadi. Tapi itu bukan kaum sosialisnya Marx. Marx justru mengkritik alasan tersebut karena terlalu moralis. Tapi sebelum saya menerangkan lebih lanjut tentang alasan utama Marx menggagas tentang kepemilikan pribadi, saya akan coba terangkan tentang kepemilikan pribadi itu sendiri, agar saya juga tak ikut-ikutan berat sebelah.

Pra-Kepemilikan Pribadi
Dede Mulyanto dalam “Apa Itu Kapital?”[2], sebuah ceramah digital di youtube melukiskan gambaran yang cukup sederhana tentang feodalisme. Pada masa itu, dipahami bersama bahwa alam dan seluruh isinya atau singkatnya tanah (land), adalah milik Tuhan. Tuhan memberikan konsesi tanah tersebut kepada Raja sebagai wakil Tuhan. Raja memberi sebagian hak tersebut kepada para bangsawan atau tuan tanah di bawahnya. Kemudian para tuan tanah ini memberikan hak untuk mengelola tanah kepada tani hamba. Hasil dari pengelolaan tanah tadi sebagian diserahkan kepada tuan tanah, lalu tuan tanah yang lebih atasnya lagi berturut-turut sampai ke Raja. Seserahan ini disebut juga dengan upeti, sebagai bentuk kesetiaan pada Raja. Sebagai balasannya, kerajaan memberi jaminan perlindungan kepada hambanya dari berbagai macam ancaman dan gangguan mulai dari bencana, wabah penyakit, keamanan, termasuk serangan dari kerajaan lain. Tapi perlindungan Raja ini tidak ia lakukan sendiri, melainkan melalui para kerabat keluarga kerajaan atau disebut sebagai kaum bangsawan yang memegang otoritas di tingkat lokal. Monopoli tanah, penghambaan, dan perupetian : inilah hakikat dari feodalisme.

Pada masa feodalisme, tidak dikenal adanya kepemilikan pribadi secara individual. Kalaupun secara tampak terlihat suatu kepemilikan pribadi secara individual, itu hanyalah sub-milik dari kepemilikan Raja. Karena sejak awal diyakini bahwa segala yang ada di atas maupun di bawah tanah suatu negeri adalah milik Tuhan, melalui Raja sebagai wakilnya. Maka, kepemilikan pribadi perorangan biasa dapat ‘diambil’ sewaktu-waktu.[3]

John Locke dan Gagasan Kepemilikan Pribadi

Mari kita urai pemikiran tentang kepemilikan pribadi melalui pionir liberalisme, yaitu John Locke. Melalui bukunya Two Treaties of Government (1690), Locke menerangkan bahwa hak milik pribadi merupakan hak dasar alamiah yang berada di setiap manusia. Hak dasar pertama adalah hak untuk hidup, yang merupakan sebuah  bentuk dari hak untuk memiliki tubuh sendiri. Oleh karenanya tidak ada seorang pun yang dilahirkan untuk menjadi milik orang lain seperti halnya budak. Lalu selanjutnya adalah hak atas hasil kerjanya sendiri, yaitu hak milik. Ketika orang bekerja, mereka memadukan ‘tenaga’ mereka dengan bahan baku tertentu yang dengan demikian menghasilkan barang tertentu sebagai kepemilikan pribadi mereka.

Kepemilikan pribadi yang bersumber dari olahan alam dapat rusak dan membusuk, oleh karenanya tidak mungkin bagi seseorang untuk memproduksi sesuatu secara berlebih dan memilikinya secara berlebih pula bagi diri sendiri maupun keluarganya. Tapi setelah ditemukannya sistem tukar menukar melalui uang (emas atau perak) yang tidak mudah rusak dan tidak akan membusuk, suatu barang hasil olahan alam dapat ditukar dengan uang. Sebaliknya pula uang dapat ditukar dengan barang hasil olahan alam. Sistem uang itu sendiri akhirnya memungkinkan seseorang tidak perlu khawatir untuk memproduksi secara berlebih, karena surplus hasil produksi tadi dapat digunakan untuk orang lain melalui pertukaran dengan uang.

Melalui uang, seseorang juga dapat membeli tenaga kerja orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Seikat sayuran yang dipotong oleh seorang pembantu dan jagung yang disebar serta dipanen oleh buruh harian menjadi milik si majikan, karena sang majikan memiliki tenaga yang sudah dipadukan dengan hasil panen itu.[4] Inilah kerja upahan. Perbedaannya dengan perbudakan ialah bahwa budak seluruh tubuh dan nyawanya dimiliki oleh sang majikan, sedangkan pengupahan hanya memungkinkan bagi majikan untuk membeli ‘tenaga’ kerja si buruh untuk suatu pekerjaan tertentu saja.

Raja tidak mengerjakan apapun untuk dapat mengklaim sebuah kepemilikan atas seluruh negeri. Malahan, dia menarik upeti dan pajak dari hasil kerja rakyatnya. Kaum liberal seperti halnya John Locke menganggap ini sebagai ancaman atas hak alamiah manusia. Buruh harian yang tidak memiliki lahan mampu mendapatkan pangan, sandang, dan papan yang lebih baik dibandingkan seorang raja di negeri yang besar dan subur namun tidak dibudidayakan.[5] Oleh karenanya, sistem feodalisme yang dilanggengkan Raja tadi haruslah digulingkan. Pada momen ini kepemilikan pribadi dianggap sebagai hal yang progresif karena merupakan konsep tandingan dari sistem feodalisme. Kepemilikan pribadi, uang sebagai suatu relasi kepemilikan, dan hubungan kerja upahan : ketiga hal inilah yang menjadi pondasi dasar dari epos yang hari ini kita kenal bernama kapitalisme.

Gagasan Marx-Engels tentang Penghapusan Kepemilikan Pribadi

     Gagasan Marx-Engels tentang penghapusan kepemilikan pribadi secara sederhana telah tertuang dalam Manifesto Komunis (1848). Klas borjuis sebagai pembela sejati hak milik pribadi pada mulanya dipuji Marx sebagai klas yang memainkan peranan yang sangat revolusioner. Klas borjuis telah menaklukkan feodalisme di Eropa, mengkolonialisasi Amerika, India, Hindia Timur, Tiongkok, dan Afrika. Sistem industri feodal yang masih menggunakan perkakas manual-tangan yang dikuasai gilda-gilda, disingkirkan oleh industri manufaktur yang dapat bekerja lebih efektif dan efisien. Sistem manufaktur pun akhirnya disingkirkan pula oleh industri modern yang dapat memproduksi barang skala massal yang membajiri produk-produknya ke seluruh dunia. “Borjuasi tidak dapat hidup tanpa senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas produksi dan karenanya merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan dengan itu semuanya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat,” ujar Marx-Engels.

     Dalam keadaan yang serba berlimpah kekayaan  sebagai hasil dari kemajuan industri modern kapitalis ini, seketika terusik oleh gagasan Marx-Engels dan kaum komunis lainnya, yaitu penghapusan kepemilikan pribadi. Bayangkan betapa malangnya seorang tukang ataupun seorang tani kecil yang bekerja keras untuk memperoleh kepemilikan jika mendengar gagasan penghapusan kepemilikan pribadi ini. Tapi Marx dan Engels menerangkan, “Itu tidak perlu dihapuskan; perkembangan industri telah menghancurkannya banyak sekali, dan masih terus menghancurkannya setiap harinya.” Dari sini kita lihat bahwa kepemilikan pribadi justru senantiasa melenyap bukan oleh kaum komunis, melainkan oleh klas borjuis itu sendiri. Kepemilikan pribadi yang ada pada banyak orang, makin lama makin terkonsentrasi di sedikit borjuis saja.

     Menyoal kepemilikan, maka kita akan teringat pada prinsip liberalisme John Locke yang menyatakan kepemilikan itu bersumber dari kerja. Kemudian kerja itu sendiri dapat dibeli dengan uang, atau dengan demikian kerja setara dengan uang, dan uang itu sendiri dapat digunakan untuk membeli sebuah barang (kepemilikan). Pada epos feodal, untuk membuat suatu barang kebutuhan, bisa saja dikerjakan secara perorangan dengan peralatan yang masih manual. Namun sejak revolusi industri, pembagian kerja dalam masyarakat yang begitu kompleks menjadikan suatu produksi tidak lagi dapat dikerjakan secara perorangan dalam rangka memenuhi kebutuhan sosial via mekanisme pasar. Apalagi di abad 21 ini. Smartphone, misalnya. Penelitinya bekerja di Silicon Valley, penambang bahan bakunya di Afrika Selatan, perakitannya di Vietnam, salesnya di seluruh dunia, dan dikerjakan atas nama ratusan perusahaan. Watak kerja yang individual pada masa feodal-agraris, telah digantikan dengan watak kerja yang sosial pada kapitalis-industri.

     Memang, kerja menurut Locke dapat dibeli dengan uang. Uang juga dapat digunakan untuk membeli mesin dan bahan baku. Tapi mesin dan bahan baku tidak punya kemampuan mengubah dirinya sendiri untuk dapat menghasilkan suatu komoditi atau barang-barang pemenuhan kebutuhan sosial. Hanya kerja yang dapat melakukannya. Watak kerja yang individual sudah sewajarnya menghasilkan bentuk kepemilikan yang individual pula. Dengan watak kerja yang telah sepenuhnya sosial, maka kepemilikan pribadi tak lagi relevan. Klas borjuis menciptakan kapitalisme sekaligus menyiapkan syarat untuk menghapus kepemilikan pribadi (atas alat produksi dan tenaga kerja) itu sendiri. Jika klas buruh menyadari signifikansi peranan mereka yang sesungguhnya dalam produksi, dan kemudian mengorganisir diri untuk mengklaim hasil kerja, maka tatanan masyarakat kapitalis yang dipertahankan borjuasi akan menjadi tidak baik-baik saja.

Jelas sudah bahwa Marx dan Engels bermaksud menghapus kepemilikan pribadi bukan karena pertimbangan moral seperti kemiskinan, belas kasihan, ketidakadilan, dsb, melainkan berdasarkan pertimbangan menurut sudut pandang kritik ekonomi-politik. Kritik atas kapitalisme yang berdasarkan pertimbangan moralis bukanlah dilakukan oleh Marx-Engels, melainkan oleh pemikir-pemikir yang dikritik oleh Marx seperti Owen, Fourier, Saint Simon, dan Proudhon. Bagi kaum liberal yang masih bersikukuh untuk membela suatu sistem ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi, saya sarankan sebaiknya pindahlah ke sebuah pulau yang tak berpenghuni dan bentuklah masyarakat-individual-bebas-non industrial seperti yang Locke impikan.



[3] Kuntowijoyo, Peran Borjuasi dalam Transformasi Sosial Eropa, Ombak, 2005.
[4] Hans Fink, Filsafat Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
[5] Op. Cit., halaman 69.

Rabu, 07 Juni 2017

Menyoal Sektarianisme

Baru-baru ini obrolan sehari-hari kita diisi topik lama. Yaitu menyoal orang-orang yang melulu diskursus tentang teori dan wacana tapi absen praktek, adu mengadu siapa yang paling kiri, saling intrik mengintrik, tafkiri satu sama lain, dan membentuk lingkaran-lingkaran sekte yang kontra produktif. Singkat kata, sektarianisme.

Ide tak pernah salah dalam koridor pembelajaran. Seseorang atau sekelompok orang bisa saja menyemai wacana apapun di sekitarnya, dan memperdebatkannya. Merayakan perdebatan, dan mengembalikan kebenaran dalam diri masing-masing. Pada situasi 'akademis' ini sektarianisme bukan menjadi persoalan, karena memang perbedaan dan perdebatan tak berujung atas suatu cara pandang adalah suatu yang mesti dirayakan.

Tapi pada koridor 'gerakan', sektarianisme ini tidak bisa tidak adalah suatu fenomena. Beberapa pihak menganggap ini sebagai problem karena menghambat perjuangan. Gerakan tersekat-sekat oleh pandangan politik masing-masing. Mungkinkah hal ini bisa dihindari?

Berbagai macam pandangan politik hari ini sudah berusia bukan setahun dua tahun, melainkan sekian abad lamanya, apalagi pandangan politik berbasis agama. Sekat-sekat ini tak bisa hilang begitu saja karena setiap pandangan politik memiliki pondasi ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang tersusun kokoh sedemikian rupa. Basis pengetahuan suatu pandangan politik tersebut terus diproduksi dan direproduksi.

Dalam bingkai marxis, suatu pandangan politik adalah cerminan dari asal klasnya. Liberalisme didukung oleh klas yang mengamini kepemilikan pribadi atas alat produksi yaitu klas kapitalis. Fasisme didukung oleh kaum militer. Tuan tanah cenderung memegang filsafat konservatifisme untuk melegitimasi hak-hak istimewanya. Proletariat (klas buruh yang tidak punya alat produksi) juga memerlukan pandangan dunianya sendiri untuk meninjau masalah-masalahnya. Apa pandangan dunia proletar? Dalam buku 'Prinsip-Prinsip Komunisme', Engels berkata bahwa, "komunisme adalah doktrin atau ajaran tentang syarat-syarat emansipasi proletariat."

Di negeri yang industrinya masih terbelakang, yang mana masih banyak terdapat corak produksi lama yang agraris dan feodalistik seperti Indonesia, jumlah proletariatnya bukanlah mayoritas. Massa tertindas di Indonesia selain proletariat adalah kaum tani, nelayan adat, suku bangsa terasing, lumpenproletar dan sebagian borjuis kecil perkotaan. Belum lagi bentuk-bentuk penindasan khusus seperti yang kerap menimpa pada kaum perempuan, difabel, LGBT, etnis minoritas, penganut agama/kepercayaan minoritas,  buruh migran, anak-anak terlantar, dsb. Komposisi klas penindas pun bermacam-macam, mulai dari imperialis, borjuis besar komprador, tuan tanah besar, kapitalis birokrat, kelompok-kelompok fasis intoleran, dsb. Komprador pun ada yang modalnya dari Amerika, Tiongkok, Jerman, Arab, India, dsb. Tuan tanah besar ada yang dalam bentuk perusahaan negara, swasta, swasta-negara, tuan tanah warisan, dsb. Kapitalis birokrat juga macam-macam dan saling bertentangan, mulai dari pusat dengan daerah, KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan, TNI dengan Polri, Komnas HAM dengan TNI, kubu di internal DPR, TNI, Kabinet, dsb. Keberagaman komposisi klas dan sub-klas inilah yang membuat adanya keberagaman pandangan politik pula di Indonesia.

Barangkali ada yang berpikiran sebaiknya tidak perlu dibikin rumit mengenai hal diatas. Cukup dicari musuh bersama saja, dicari akar penindasannya. Dengan begitu, sektarianisme bisa teratasi dan persatuan sesama massa klas tertindas bisa terwujud. Sialnya, berbeda pandangan politik maka berbeda pula musuh bersamanya. Ini karena terdapat perbedaan cara pandang untuk menganalisis suatu keadaan, siapa kawan dan siapa lawan. Ini berarti jika memang membentuk persatuan sesama massa klas tertindas adalah agenda yang segera dan perlu, maka ada beberapa hal yang menurut penulis dapat dilakukan.

1. Studi atas Berbagai Pandangan Politik

Seringkali kita mengkritik suatu pandangan politik lain, tapi malah tidak kena sasaran. Kita salah mengira. Seperti halnya kaum bigot yang salah mengira bahwa ateis adalah komunis. Karena setiap pandangan politik disusun atas pondasi atau sistem pengetahuan tertentu, maka perlu untuk mempelajari pondasi tersebut. Mulai dari latar historisnya, biografi pemikirnya, cabang-cabangnya, dan tentu saja basis filsafatnya. Seseorang yang mengaku anarkis belum tentu pondasi filsafatnya juga anarkis, bisa jadi malah liberal. Atau bisa jadi ada yang anti Trotskyisme, tapi tidak tau apa-apa tentang sejarah hidup dan karya-karya Trotsky.

2. Riset Ilmiah atas Keadaan Sosial-Historis

Pandangan politik tertentu dibentuk berdasarkan keadaan sosial historis tertentu. Sukarnoisme terbentuk berdasarkan keadaan Indonesia dan dunia pada abad 20. Liberalisme adalah refleksi kritis atas kondisi sosial historis adanya feodalisme. Kita hidup di abad 21, dengan keadaan sosial historis yang baru, yang tentunya tak bisa asal jiplak pandangan politik yang disusun sekian abad sebelumnya. Tapi pemahaman atas keadaan ini tak bisa ditangkap dari pengamatan permukaan saja. Riset ilmiah diperlukan untuk menyelami sebab musabab dan kesaling hubungan antar berbagai hal yang menyusun keadaan. Riset ini memang takkan pernah berakhir karena keadaan terus bergerak. Tapi bukan berarti kita tidak memerlukan riset sama sekali, karena artinya pengetahuan kita atas dunia akan semakin jauh tertinggal.

3. Menanyakan Kepada Diri Sendiri, Untuk Siapa Kita Berpihak?

Setelah melakukan studi literatur, riset ilmiah atas keadaan, setelah kita meninjau dan menimbang salah benarnya, pertanyaan tersebut akan ditujukan ke diri sendiri. Di sinilah kita menentukan keberpihakan. Di sini pula kita menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Pada fase ini kita bisa saja menyatakan sikap dengan mengikuti kelompok-kelompok politik tertentu, membuat kelompok sendiri, ataupun berjuang sendirian tanpa kelompok sama sekali (katakanlah ia adalah anarko-individual-pasifis-primitifis).

4. Praksis

Sikap politik yang telah kita susun berlaku sebagai hipotesis. Kebenarannya baru dapat ditentukan sejauh itu dapat dan telah dipraktekkan. Praktek perjuangan tidak melulu mesti terlibat dalam kasus yang besar-besar seperti di Kendeng, ataupun Gunung Slamet. Bisa saja kita temukan di kehidupan sehari-hari, dimana terdapat pertentangan atau kontradiksi antara penindas dan tertindas, kawan dan lawan, kita versus mereka. Pada fase ini, bukan tidak mungkin dogma-dogma yang selama ini kita yakini runtuh. Keyakinan-keyakinan yang lama kita evaluasi. Atau justru sebaliknya keyakinan kita semakin kuat. Individu-individu dan kelompok yang tadinya bertentangan dan membentuk sektenya masing-masing menjadi beraliansi. Atau bahkan sebaliknya yang tadinya beraliansi menjadi bermusuhan. Pandangan politik kita semakin kaya, dan perlu makin banyak studi atas literatur, riset ilmiah, dan memasuki lagi medan perjuangan praksis. Dan begitu seterusnya. Dialektis.


Dari langkah-langkah di atas, apakah ini akan menjamin bahwa sektarianisme akan berakhir? Tidak. Ini hanya ikhtiar saja, berdasarkan refleksi atas pengalaman penulis sendiri selama terlibat dalam beberapa medan perjuangan klas. Entah itu di kampus, desa, sampai dengan kampung miskin urban. Dan andaipun sektarianisme tetap ada, ikhtiar ini bukan tidak ada gunanya. Setidak-tidaknya akan ada garis demarkasi yang semakin terang siapa kawan dan siapa lawan.

Anda Pengunjung ke