Saya ingat pada tahun 2008-2011,
berbagai kelompok liberal seakan ‘mundur teratur’ akibat dari krisis finansial
global di tahun yang sama. Kapitalisme dituduh sebagai biang keladi dari krisis
global pada masa-masa ini. Di tahun-tahun ini pula sedang ramai-ramainya
gerakan Occupy Wallstreet sebagai respon atas krisis tersebut. Namun dewasa ini
kelompok-kelompok liberal kembali bermunculan ini makin banyak bermunculan
sebuah kelompok liberal yang mengagung-agungkan sebuah kepemilikan pribadi.
Mula-mula mereka masuk lewat isu
masalah kebebasan dalam beragama, ras, etnis, dan multikulturalisme. Mereka
juga masuk ke isu feminisme lewat hal-hal yang sederhana seperti otonomi tubuh
perempuan. Sampai akhirnya mereka mulai mengangkat lagi isu-isu yang paling
vital yakni tentang kepemilikan pribadi, lewat cara yang saya akui cukup
populis : membela kepemilikan pribadi kaum tani dari perampasan tanah negara.
Isu tentang kepemilikan pribadi memang
seakan tiada habisnya, apalagi sejak kaum sosialis mulai mencetuskan ide
tentang penghapusan kepemilikan pribadi. Sayangnya, perdebatan ini sering kali
bersifat berat sebelah. Seperti yang saya baca di tulisan, Mengapa Alat Produksi Sebaiknya Dimiliki Secara Privat, Bukan Komunal
di media Suara Kebebasan[1]
:
“Di dalam paradigma
sosialisme, hak kepemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi
adalah biang kerok kemiskinan, kemelaratan, eksploitasi, perbudakan, dan segala
hal buruk lainnya yang mungkin ada di muka alam. Oleh karena itu, para
pendukung sosialisme percaya kebebasan dan kemakmuran yang sejati hanya dapat
muncul jika hak kepemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi sudah
diabolisi. Lalu siapa yang berhak menguasai alat-alat produksi di
dalam setting masyarakat sosialis? Jika masih berada pada fase negara
sosialis, alat-alat produksi dikuasai oleh negara untuk menciptakan kemakmuran
sebesar-besarnya bagi seluruh anggota masyarakat. Namun, para Marxis percaya
bahwa peran negara tidak dibutuhkan lagi ketika negara sosialis telah
bertransformasi menjadi masyakat komunis. Di dalam masyarakat komunis,
alat-alat produksi akan dikuasai secara egaliter oleh komune (sekelompok orang
yang berbagi kepemilikan dan tanggung jawab bersama).”
Kenapa saya katakan berat sebelah?
Karena memang alasan utama Marx menggagas penghapusan kepemilikan pribadi bukan
karena soal kemiskinan, kemelaratan, eksploitasi, perbudakan, dan sebagainya.
Benar bahwa alasan tadi memang mendorong gagasan kaum sosialis untuk menghapus
kepemilikan pribadi. Tapi itu bukan kaum sosialisnya Marx. Marx justru
mengkritik alasan tersebut karena terlalu moralis. Tapi sebelum saya
menerangkan lebih lanjut tentang alasan utama Marx menggagas tentang
kepemilikan pribadi, saya akan coba terangkan tentang kepemilikan pribadi itu
sendiri, agar saya juga tak ikut-ikutan berat sebelah.
Pra-Kepemilikan
Pribadi
Dede Mulyanto dalam “Apa Itu Kapital?”[2],
sebuah ceramah digital di youtube melukiskan gambaran yang cukup sederhana
tentang feodalisme. Pada masa itu, dipahami bersama bahwa alam dan seluruh
isinya atau singkatnya tanah (land),
adalah milik Tuhan. Tuhan memberikan konsesi tanah tersebut kepada Raja sebagai
wakil Tuhan. Raja memberi sebagian hak tersebut kepada para bangsawan atau tuan
tanah di bawahnya. Kemudian para tuan tanah ini memberikan hak untuk mengelola
tanah kepada tani hamba. Hasil dari pengelolaan tanah tadi sebagian diserahkan
kepada tuan tanah, lalu tuan tanah yang lebih atasnya lagi berturut-turut
sampai ke Raja. Seserahan ini disebut juga dengan upeti, sebagai bentuk
kesetiaan pada Raja. Sebagai balasannya, kerajaan memberi jaminan perlindungan
kepada hambanya dari berbagai macam ancaman dan gangguan mulai dari bencana,
wabah penyakit, keamanan, termasuk serangan dari kerajaan lain. Tapi
perlindungan Raja ini tidak ia lakukan sendiri, melainkan melalui para kerabat
keluarga kerajaan atau disebut sebagai kaum bangsawan yang memegang otoritas di
tingkat lokal. Monopoli tanah, penghambaan, dan perupetian : inilah hakikat
dari feodalisme.
Pada masa feodalisme, tidak dikenal
adanya kepemilikan pribadi secara individual. Kalaupun secara tampak terlihat
suatu kepemilikan pribadi secara individual, itu hanyalah sub-milik dari
kepemilikan Raja. Karena sejak awal diyakini bahwa segala yang ada di atas
maupun di bawah tanah suatu negeri adalah milik Tuhan, melalui Raja sebagai wakilnya.
Maka, kepemilikan pribadi perorangan biasa dapat ‘diambil’ sewaktu-waktu.[3]
John
Locke dan Gagasan Kepemilikan Pribadi
Mari kita urai pemikiran tentang
kepemilikan pribadi melalui pionir liberalisme, yaitu John Locke. Melalui
bukunya Two Treaties of Government
(1690), Locke menerangkan bahwa hak milik pribadi merupakan hak dasar alamiah
yang berada di setiap manusia. Hak dasar pertama adalah hak untuk hidup, yang
merupakan sebuah bentuk dari hak untuk
memiliki tubuh sendiri. Oleh karenanya tidak ada seorang pun yang dilahirkan
untuk menjadi milik orang lain seperti halnya budak. Lalu selanjutnya adalah
hak atas hasil kerjanya sendiri, yaitu hak milik. Ketika orang bekerja, mereka
memadukan ‘tenaga’ mereka dengan bahan baku tertentu yang dengan demikian
menghasilkan barang tertentu sebagai kepemilikan pribadi mereka.
Kepemilikan pribadi yang bersumber dari
olahan alam dapat rusak dan membusuk, oleh karenanya tidak mungkin bagi
seseorang untuk memproduksi sesuatu secara berlebih dan memilikinya secara
berlebih pula bagi diri sendiri maupun keluarganya. Tapi setelah ditemukannya
sistem tukar menukar melalui uang (emas atau perak) yang tidak mudah rusak dan
tidak akan membusuk, suatu barang hasil olahan alam dapat ditukar dengan uang.
Sebaliknya pula uang dapat ditukar dengan barang hasil olahan alam. Sistem uang
itu sendiri akhirnya memungkinkan seseorang tidak perlu khawatir untuk
memproduksi secara berlebih, karena surplus hasil produksi tadi dapat digunakan
untuk orang lain melalui pertukaran dengan uang.
Melalui uang, seseorang juga dapat
membeli tenaga kerja orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Seikat sayuran yang
dipotong oleh seorang pembantu dan jagung yang disebar serta dipanen oleh buruh
harian menjadi milik si majikan, karena sang majikan memiliki tenaga yang sudah
dipadukan dengan hasil panen itu.[4]
Inilah kerja upahan. Perbedaannya dengan perbudakan ialah bahwa budak seluruh
tubuh dan nyawanya dimiliki oleh sang majikan, sedangkan pengupahan hanya
memungkinkan bagi majikan untuk membeli ‘tenaga’ kerja si buruh untuk suatu
pekerjaan tertentu saja.
Raja tidak mengerjakan apapun untuk
dapat mengklaim sebuah kepemilikan atas seluruh negeri. Malahan, dia menarik
upeti dan pajak dari hasil kerja rakyatnya. Kaum liberal seperti halnya John
Locke menganggap ini sebagai ancaman atas hak alamiah manusia. Buruh harian
yang tidak memiliki lahan mampu mendapatkan pangan, sandang, dan papan yang
lebih baik dibandingkan seorang raja di negeri yang besar dan subur namun tidak
dibudidayakan.[5]
Oleh karenanya, sistem feodalisme yang dilanggengkan Raja tadi haruslah
digulingkan. Pada momen ini kepemilikan pribadi dianggap sebagai hal yang
progresif karena merupakan konsep tandingan dari sistem feodalisme. Kepemilikan
pribadi, uang sebagai suatu relasi kepemilikan, dan hubungan kerja upahan :
ketiga hal inilah yang menjadi pondasi dasar dari epos yang hari ini kita kenal
bernama kapitalisme.
Gagasan
Marx-Engels tentang Penghapusan Kepemilikan Pribadi
Gagasan
Marx-Engels tentang penghapusan kepemilikan pribadi secara sederhana telah
tertuang dalam Manifesto Komunis
(1848). Klas borjuis sebagai pembela sejati hak milik pribadi pada mulanya
dipuji Marx sebagai klas yang memainkan peranan yang sangat revolusioner. Klas
borjuis telah menaklukkan feodalisme di Eropa, mengkolonialisasi Amerika,
India, Hindia Timur, Tiongkok, dan Afrika. Sistem industri feodal yang masih
menggunakan perkakas manual-tangan yang dikuasai gilda-gilda, disingkirkan oleh
industri manufaktur yang dapat bekerja lebih efektif dan efisien. Sistem manufaktur
pun akhirnya disingkirkan pula oleh industri modern yang dapat memproduksi
barang skala massal yang membajiri produk-produknya ke seluruh dunia. “Borjuasi
tidak dapat hidup tanpa senantiasa merevolusionerkan perkakas-perkakas produksi
dan karenanya merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan dengan itu
semuanya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat,” ujar
Marx-Engels.
Dalam
keadaan yang serba berlimpah kekayaan
sebagai hasil dari kemajuan industri modern kapitalis ini, seketika
terusik oleh gagasan Marx-Engels dan kaum komunis lainnya, yaitu penghapusan
kepemilikan pribadi. Bayangkan betapa malangnya seorang tukang ataupun seorang
tani kecil yang bekerja keras untuk memperoleh kepemilikan jika mendengar
gagasan penghapusan kepemilikan pribadi ini. Tapi Marx dan Engels menerangkan,
“Itu tidak perlu dihapuskan; perkembangan industri
telah menghancurkannya banyak sekali, dan masih terus menghancurkannya setiap
harinya.” Dari sini kita lihat bahwa kepemilikan pribadi justru senantiasa
melenyap bukan oleh kaum komunis, melainkan oleh klas borjuis itu sendiri. Kepemilikan
pribadi yang ada pada banyak orang, makin lama makin terkonsentrasi di sedikit
borjuis saja.
Menyoal
kepemilikan, maka kita akan teringat pada prinsip liberalisme John Locke yang
menyatakan kepemilikan itu bersumber dari kerja. Kemudian kerja itu sendiri
dapat dibeli dengan uang, atau dengan demikian kerja setara dengan uang, dan
uang itu sendiri dapat digunakan untuk membeli sebuah barang (kepemilikan).
Pada epos feodal, untuk membuat suatu barang kebutuhan, bisa saja dikerjakan
secara perorangan dengan peralatan yang masih manual. Namun sejak revolusi
industri, pembagian kerja dalam masyarakat yang begitu kompleks menjadikan
suatu produksi tidak lagi dapat dikerjakan secara perorangan dalam rangka
memenuhi kebutuhan sosial via mekanisme pasar. Apalagi di abad 21 ini.
Smartphone, misalnya. Penelitinya bekerja di Silicon Valley, penambang bahan
bakunya di Afrika Selatan, perakitannya di Vietnam, salesnya di seluruh dunia,
dan dikerjakan atas nama ratusan perusahaan. Watak kerja yang individual pada masa
feodal-agraris, telah digantikan dengan watak kerja yang sosial pada
kapitalis-industri.
Memang,
kerja menurut Locke dapat dibeli dengan uang. Uang juga dapat digunakan untuk
membeli mesin dan bahan baku. Tapi mesin dan bahan baku tidak punya kemampuan
mengubah dirinya sendiri untuk dapat menghasilkan suatu komoditi atau
barang-barang pemenuhan kebutuhan sosial. Hanya kerja yang dapat melakukannya.
Watak kerja yang individual sudah sewajarnya menghasilkan bentuk kepemilikan
yang individual pula. Dengan watak kerja yang telah sepenuhnya sosial, maka
kepemilikan pribadi tak lagi relevan. Klas borjuis menciptakan kapitalisme
sekaligus menyiapkan syarat untuk menghapus kepemilikan pribadi (atas alat
produksi dan tenaga kerja) itu sendiri. Jika klas buruh menyadari signifikansi
peranan mereka yang sesungguhnya dalam produksi, dan kemudian mengorganisir
diri untuk mengklaim hasil kerja, maka tatanan masyarakat kapitalis yang
dipertahankan borjuasi akan menjadi tidak baik-baik saja.
Jelas sudah bahwa Marx dan Engels
bermaksud menghapus kepemilikan pribadi bukan karena pertimbangan moral seperti
kemiskinan, belas kasihan, ketidakadilan, dsb, melainkan berdasarkan
pertimbangan menurut sudut pandang kritik ekonomi-politik. Kritik atas
kapitalisme yang berdasarkan pertimbangan moralis bukanlah dilakukan oleh
Marx-Engels, melainkan oleh pemikir-pemikir yang dikritik oleh Marx seperti
Owen, Fourier, Saint Simon, dan Proudhon. Bagi kaum liberal yang masih
bersikukuh untuk membela suatu sistem ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi,
saya sarankan sebaiknya pindahlah ke sebuah pulau yang tak berpenghuni dan
bentuklah masyarakat-individual-bebas-non industrial seperti yang Locke
impikan.