Selasa, 21 Maret 2017

Reforma Agraria dan Teknologi

Indonesia. Semua orang Indonesia sudah paham sejak kecil kalau Indonesia itu ya negeri agraris. Bukan semata-mata karena mayoritas rakyatnya bekerja di sektor pertanian. Tapi karena memang ekosistemnya mendukung untuk bercocok tanam. Tak heran tongkat dan kayu bisa jadi tanaman.

Meledaknya populasi dunia membuat pertanian sebagai sektor produksi pangan memiliki kedudukan yang strategis. Hal ini memacu suatu negara untuk menaikkan target produksi pangannya. Tak terkecuali Indonesia. Salah satu metode paling efektif dalam hal meningkatkan produktifitas tanaman ialah dengan menggunakan teknologi. Perkara teknologi tersebut kemudian memperhatikan lingkungan atau tidak, itu bisa dibahas nanti. Yang jelas, memang harus ada terobosan untuk meningkatkan suplai pangan.

Tapi supaya pertanian kita berteknologi maju dan dapat mencapai titik efisiensi produksi, perlu lahan dalam jumlah besar. Hal ini amat kontras dengan sistem pertanian keluarga yang kemudian mempetak-petak tanah jadi sempit, mulai dari 0,25 ha sampai 2 ha saja. Kepemilikannya pun beragam asal-usulnya. Dalam suatu desa, misal, ada yang tanahnya milik pribadi, milik desa (tanah bengkok), tanah milik Perhutani, tanah milik PT. KAI, tanah milik PTPN, tanah tukar guling, tanah milik pribadi tapi orangnya nggak tau dimana, dsb.

Pertanian di negara-negara maju bisa begitu efisien karena mesinnya bergerak leluasa pada lahan yang luas. Bayangkan jika itu diterapkan di Indonesia, yang ada malah mesinnya jalan belak-belok kayak melintas di sirkuit Tamiya Mini 4WD. Kalau mesinnya yang diperkecil, malah jadi tidak efisien, sementara produktifitas harus dikejar untuk menghindari kelangkaan pangan.

Atau coba kita tidak menggunakan teknologi dengan mesin besar, tapi menggunakan sistem permakultur ataupun natural farming a la Masanobu Fukuoka yang berwawasan ekologis. Itu pun butuh lahan yang luas juga karena mesti bikin ekosistem yang lengkap mulai dari sungai, tegakan, semak-semak, fungus, bahkan hewan-hewannya pun mesti disediakan.
Inilah kenapa pola kepemilikan tanah yang amat ruwet dan timpang ini mesti dirombak. Inilah kenapa untuk mencapai peningkatan teknologi pertanian, mutlak ada reforma agraria, yakni penataan kembali pola kepemilikan agraria yang lebih berkeadilan. Tidak boleh ada monopoli supaya tidak ada ketimpangan dan penimbunan hasil produksi.


Jokowi-JK punya program reforma agraria, yang diartikan secara berbeda. Lahan pertanian yang lestari dan produktif dikonversi menjadi perumahan dan bahkan pabrik semen. Hutan adat suku Malind di Merauke malah dikonversi jadi sawit dan food estate, yang bermasalah di aspek irigasinya (lihat dokumenter The Mahuzes karya Watchdoc). Hutan hujan sebagai habitat orang utan di Kalimantan disulap jadi kebun sawit besar untuk kepentingan ekspor. Institusi TNI punya bisnis perkebunan besar malah dibiarkan (melanggar UU TNI). Jadi, penataan kepemilikan agraria seperti apa yang dikehendaki rejim Jokowi-JK? Entahlah, hanya mereka dan Tuhan yang tau. Yang jelas kita sudah tau siapa yang menghambat agenda reforma agraria, dan oleh karenanya kita tau pula siapa yang menghambat kemajuan teknologi pertanian di Indonesia. Nah sekarang, para penghambat tadi mau kita apakan?

Anda Pengunjung ke