| sumber gambar : dagelan.co |
Jadi Begini
Saya orang yang tidak
suka stalking. Apalagi selebgram, buzzer, influencer, youtuber, snapchatter,
apalah. Tapi terimakasih, berkat tulisan di Line tentang “Awkarin” yang ditulis
oleh seseorang bernama Ndari[1],
saya pun jadi melakukan apa yang dilakukan daripadanya. Medan problematis yang
diajukan Ndari, adalah kritik tentang fenomena oversharing yang ternyata
bermuara ke profit dan ilusi kaum abege Indonesia terutama kaum perempuan.
Kemudian Ndari pun berharap kepada perempuan dimana pun, terutama yang lebih
muda darinya, untuk, “...berhentilah menjiplak hidup orang lain dan iri sama
kesehariannya.”
Apa yang ditulis Ndari
sangatlah baik. Tapi saya tidak akan sekedar ngetik, “keren banget kak
tulisannya”, atau “iya sepakat tuh” di kolom komentar postingannya. Ada pepatah
Prancis berkata, “du choch des idees jaillit la lumiere”, yang artinya “dengan
benturan gagasan akan terpancar sinar kebenaran.” Saya akan mengapresiasi tulisan
Ndari dengan membenturkannya lewat tulisan pula, karena menurut saya ada hal
yang kurang dalam tulisan Ndari.
Di awal, Ndari begitu
gigih dan jitu membelejeti Awkarin dan
bagaimana justru Awkarin mendapatkan popularitas dan profit kesehariannya.
Fenomena Awkarin dan siapapun itu yang seperti dirinya, bagi Ndari adalah
konsekuensi dari, “...era oversharing, gara-gara social media. Sebagai manusia
modern, ada satu rasa gatal dari diri kita untuk membagikan sedikit dari siapa
kita pada orang lain sebagai wujud pembuktian diri identitas – lewat gambar,
tulisan, suara, yang dengan mudahnya tersebar ke siapapun.”
Well, tidak ada yang
salah daripadanya. Hanya saja, ada hal yang ternyata lebih kompleks dari itu.
Tidak lantas gara-gara ada sosial media, kemudian si manusia modern begitu saja
ngeshare aktifitas hariannya, ataupun ngefollow orang-orang yang dipujanya.
Sebagaimana gravitasi tidak satu-satunya sebab kenapa apel jatuh dari pohon ke
tanah, karena tingkat kematangan internal apel justru lebih menentukan bagi
dirinya untuk jatuh ke tanah. Gravitasi, sebagaimana sosial media, hanyalah
prasyarat dari kemungkinan gerak dialektika internal suatu hal.
Ketika kita
membicarakan Awkarin, kita sebenarnya bukan sedang membicarakan Awkarin sebagai
‘seorang manusia biasa bernama Awkarin’, melainkan ‘fenomena tentang Awkarin,
tentang hubungan Awkarin dengan followersnya’, sehingga Awkarin adalah semacam
seperangkat fenomena. Apa yang menjadikan Awkarin menjadi ‘Awkarin’, adalah
ratusan ribu followernya di sosial media. Tanpa followernya, Awkarin hanyalah
gadis biasa yang goler-goleran di rumah pake daster bau bawang. Sehingga yang
kurang dari pemaparan Ndari adalah, apa yang membuat orang-orang mengikuti
Awkarin? Kenapa Awkarin dianggap sebagai sosok yang harus diikuti, bahkan
dibela? Hal ini perlu dipertanyakan, sebab saran baik dari Ndari agar mulai
meneladani perjuangan figur-figur seperti Malala Yousafzai dan Anzimatta, bisa
saja dibalas dengan, “Yaela ribet amat sih idup lo, mumpung masih muda itu
waktunya kita seneng-seneng, makan-makan, jalan-jalan.”
Tentang Diri
“Remaja” adalah sebuah
kata yang bisa dibilang baru. Pada awal manusia hidup di era berburu dan
meramu, sampai dengan di era feodal, kita tidak mengenal kata “remaja” . Hanya
ada masa “belum dewasa” dan “sudah dewasa”, yang ditandai dengan berbagai macam
hal. Ada yang menjadi dewasa karena bisa melompati batu setinggi 5 meter,
berhasil menangkap babi hutan, sudah akil balig dan sunat, ataupun sudah bisa ‘nyambut gawe’ sendiri. Kata “remaja”
ditemukan Madison Avenue (sebuah industri periklanan Amerika) pada tahun 1941. Remaja,
kemudian dihubungkan dengan pencarian identitas diri, yang erat kaitannya
dengan atribut yang melekat (ataupun dilekatkan) pada tubuh, mulai dari
pernak-pernik, baju, sepatu, gadget, musik yang ia dengar, film yang ia tonton,
pacar yang ia miliki, tempat wisata yang ia jelajahi, mobil yang ia kendarai, gaya
hidup yang ia jalani, dan tentu saja hal yang penting adalah : seleb yang ia
ikuti.
Pencarian identitas
kaum remaja hari ini dilakukan melalui penjelajahan di internet. Tentu mereka
tidak melakukannya dengan mengetik di Google : “siapakah aku?”. Mereka
berjejaring di berbagai sosial media, berteman atau mengikuti beberapa orang,
dan diantaranya adalah mereka-mereka sudah atau yang bakal menjadi embrio seleb
sosmed. Mereka mencari orang-orang yang sekiranya dianggap ideal bagi mereka.
Mencari orang yang bisa menjadi bahan perbincangan selama jam istirahat di
sekolah, atau menjadi referensi untuk ditiru dan dibawa hasil tiruannya itu ke
teman-temannya. Apa yang mereka anggap ideal ini tidak pernah terjelaskan,
padahal yang tak terjelaskan inilah yang justru membentuk identitas diri.
Ketidakjelasan ini yang akan kita bedah lewat psikoanalisis.
Dalam kajian
psikoanalisis, diri adalah sesuatu yang sadar yang mana kesadaran itu
ditentukan di ranah ketaksadaran. Ketaksadaran ini dibentuk sejak masa bayi
sampai ke pendewasaannya. Sederhananya kalau kawan-kawan mengikuti kisah
Naruto, kita akan melihat bagaimana identitas masing-masing karakter ternyata
terbentuk akibat peristiwa psikis masa kecilnya. Naruto yang caper karena masa
kecilnya yang tak punya keluarga, ataupun Sasuke yang dingin karena masa
kecilnya yang kelam karena peristiwa berdarah keluarga besarnya. Tapi
psikoanalisis tak sesederhana itu. Ranah ini belakangan menjadi diskursus yang
penting, terutama sejak marak munculnya fenomena bunuh diri gara-gara gagal UN,
menyiksa pacar gara-gara masalah relasi, calon legislatif yang gila dan stres
gara-gara kalah pemilu, sampai dengan keinginan abnormal yang narsis-fasistik
Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Apa yang membuat orang-orang
sangat berhasrat untuk mengejar sesuatu? Sama seperti pertanyaan di muka,
mengapa para kaum abege begitu berhasrat pada hal-hal seperti yang dilakukan
Awkarin?
Menurut Jacques Lacan,
hasrat adalah selalu tentang ‘hasrat yang-Lain’. Yang-Lain adalah istilah Lacan
yang artinya adalah pusat dari sistem yang mengatur struktur bahasa. Hasrat
selalu merupakan hasrat yang diinternalisasikan ke dalam kita melalui tuturan,
nasihat, sindiran, ekspektasi—singkatnya, melalui bahasa. Sebagai contoh, si A
menghasrati jalan-jalan ke Disneyland bukan karena Disneyland itu sendiri,
melainkan karena kekinian yang terdapat dalam lingkungan pergaulan sosialnya
yang menganggap jalan-jalan ke Disneyland itu ‘kekinian’. Padahal pergaulan
sosialnya juga ke Disneyland karena dorongan hasrat tadi, dan seterusnya.
Dengan kata lain, hasrat selalu bermain di ranah simbolik.
Jika remaja adalah
sebuah fase pembentukan identitas, sedangkan pembentukan identitas terjadi
karena dorongan hasrat, lalu hasrat itu sendiri adalah hasrat yang-Lain yang
terstruktur secara simbolik, maka sejatinya si remaja ini senantiasa mengalami
semacam represi hasrat. Si remaja selalu mengejar sesuatu yang tak lebih nyata
ketimbang dirinya. Yang ketika sesuatu itu telah berhasil ia kejar dan ia
tangkap, ternyata sesuatu itu tidak ada. Persis seperti Penyihir Jahat di kisah
Snow White, yang selalu berusaha menjadi cantik, padahal yang ia kejar
sebenarnya bukanlah sebuah kecantikan, melainkan pengakuan kecantikan dari
Cermin Ajaib, yang ternyata kemudian terbukti bahwa kecantikan sejati ada di
kebaikan hati Snow White. Sesuatu yang terus dikejar oleh hasrat inilah yang
disebut Lacan sebagai ‘objek-a’, yang membuat subjek selalu salah mengira dan
terasing.
Represi hasrat yang
dialami si remaja ini terus berlangsung karena si subjek ini begitu narsistik,
yaitu mengidap semacam hasrat tak sadar untuk memperoleh landasan bagi perasaan
ke-diri-an yang utuh, supaya dapat dikenali, diterima, dan bahkan dicintai.
Subjek sendirilah yang menginginkan, mendambakan, dan akhirnya menyerahkan
dirinya pada ‘perbudakan’ otoritas simbolik. Si remaja hanya akan menjadi ‘ada’
selama ia tunduk pada hukum simbolik tersebut. Awkarin hanyalah gejala saja,
dan selama formasi yang simbolik ini tak pernah runtuh, maka kaum remaja akan
terus memunculkan Awkarin-Awkarin selanjutnya entah sampai kapan. Semakin
remaja terus mencari yang ideal, maka semakin yang ideal itu tak pernah
ditemukan.
Apa dan siapa yang kaum
remaja cari sebenarnya tidak pernah jauh-jauh dari konstruksi ideal tubuh yang
diciptakan oleh dunia industri yang kapitalistik. Dalam kebudayaan kapitalis,
menurut Slavoj Žižek, hasrat apapun yang kita miliki selalu dikondisikan oleh
kekuatan kapital. Sebagaimana telah dimisalkan Ndari, hasrat untuk menjadi
seperti Awkarin tak lain adalah untuk melayani kepentingan industri yang
dipasarkan oleh tubuh Awkarin. Mulai dari produk kosmetik, pakaian, sampai
dengan profit yang diperoleh pemilik sosmed itu sendiri seperti Youtube sampai
Ask FM. Kapitalisme ini lah yang menjadi biang keladi alias pemilik otoritas
simbolik, yang terus merepresi hasrat remaja.
Kapitalisme memasang
papan iklan dan boneka-bonekanya untuk menyebar mimpi dimana setiap orang
berkesempatan untuk bisa menjadi cantik seperti si A, jalan-jalan seperti B,
punya pacar seperti C, dan bergaya seperti D. Dan sialnya lagi orang-orang
berlomba-lomba untuk membentuk identitas diri agar seperti A, B, C, dan D, atau
bahkan ikut ambil bagian menjadi boneka dalam penyebaran mimpi itu. Identitas
diri dalam masyarakat kapitalisme tidak lain adalah kesadaran palsu.
(Tulisan ini dimuat di OA Line Padepokan Li Ta Chao)
(Tulisan ini dimuat di OA Line Padepokan Li Ta Chao)
Daftar Bacaan
Alissa Quart, Belanja Sampai
Mati, Resist Book, Yogyakarta, 2008.
Hizkia Yosie, Asal Usul
Kedaulatan Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara, Penerbit
Kepik, 2014.
http://indoprogress.com/2015/06/slavoj-zizek-dan-pembentukan-identitas-subjektif-melalui-bahasa/