Jumat, 27 November 2015

Salah Kaprah tentang Kelas Menengah Ngehek



Akhir-akhir ini mulai ngetren istilah Kelas Menengah Ngehek. Apalagi kalau pas lagi momen aksi buruh. Kelas Menengah Ngehek ini kerap disematkan pada kalangan buruh kantoran dan pemuda mahasiswa, yang tidak mendukung aksi buruh maupun mencibir gerakan buruh. Mulai dari bilang masalah kemacetan, mencibir buruh yang menggunakan motor kawasaki, mengejek buruh yang nggak tau diri karena melulu minta naik upah, dan sebagainya.
Meskipun yang dicap Kelas Menengah Ngehek adalah mereka yang kalangan buruh kantoran dan pemuda mahasiswa, tapi sebenarnya istilah Kelas Menengah ‘Ngehek’ itu sendiri juga sering dilontarkan oleh para buruh kantoran dan pemuda mahasiswa itu sendiri. Apakah ini hanya sekedar untuk membuktikan garis batas bahwa ada Kelas Menengah yang “Ngehek” dan ada yang “Tidak Ngehek” ? Saya pun tidak tahu, dan itu bukan urusan saya. Saya sebenarnya tahu siapa orang dan kelompok yang menciptakan dan mempopulerkan istilah ini, tapi sepertinya untuk saat ini saya rasa itu tidak penting. Biarlah ‘Kelas Menengah Ngehek’ menjadi sumbangan kekayaan bahasa Indonesia. Yang ingin saya bahas kali ini adalah betapa cacatnya istilah Kelas Mengenah Ngehek itu. Sadar tak sadar penggunaan istilah Kelas Menengah Ngehek telah membiaskan kontradiksi pokok rakyat Indonesia. Apakah ini sebuah kebetulan? Mari kita selidiki lebih jauh.

Minggu, 22 November 2015

Pendidikan Mahal tuh Kayak Gimana Sih?

Sumber gambar : https://gunjanpriya.files.wordpress.com/


Suatu hari, sepasang sahabat sedang makan di kantin kampus. Ya, kampus. Institusi yang katanya berisi orang-orang terhormat karena kecerdasannya. Berdiskusi adalah hobi bagi mereka. Mereka membicarakan apa saja. Entah itu yang ilmiah maupun bukan. Tapi bagi masyarakat awam yang tak bisa membedakan mana yang ilmiah dan mana yang bukan, omongan orang-orang kampus selalu terlihat cerdas. Tapi sejenak kita lupakan fenomena antara kampus dengan masyarakat. Mari kita dengarkan apa isi obrolan sepasang sahabat itu, yang kedengarannya begitu ilmiah.


Jun : Menurut lo, pendidikan yang mahal itu yang kayak sih?

Kun : Emang knp?

Jun : Nanya aja

Kun : Hmmm aku coba ya. Kalo menurutku sih, pendidikan mahal itu ya kalo duitku lagi dikit, eh biaya pendidikannya butuh duit banyak

Jun : Lah kalo duit lo lagi banyak?

Kun : Berarti pendidikan itu nggak mahal

Jun : Trus apa lagi? Gitu doang?

Kun : Hmmm palingan sih ya kalo apa yang kubayar, eh ternyata kualitasnya nggak sesuai

Jun  : Selamat deh

Kun : Kenapa?

Jun : Selamat aja

Kun : Apaansi?

Jun : Selamat, lo udah menganggep pendidikan sebagai barang dagangan

Kun : Kok gitu?

Jun : Omongan lo kayak orang dagang sih. Hukum daya beli dan hukum ongkos produksi. Tadi pertama lo bilang pendidikan mahal tergantung daya beli lo, yang tergantung duit lagi dikit atau banyak. Trus kedua lo bilang pendidikan mahal kalo apa yang dibayar nggak sesuai dengan kualitas. Itu kan apa lagi kalo nggak barang dagangan.

Kun : Yah emang mau gimana lagi? Kenyataannya kan gitu

Jun : Kalo menurut konstitusi Indonesia gimana? Kalo berdasarkan UUD 1945?

Kun : Pendidikan adalah...hak warga negara

Jun : Maksud gak?

Kun : Hmmm

Jun : Haha pasti nggak nangkep

Kun : Nangkep, tapi bingung ngomongnya

Jun : Kalo menurut UUD 1945, pendidikan itu urusan publik, makanya ditulisnya hak warga negara. Beda sama kayak lo beli eskrim, topi, atau layangan, yang mana itu urusan privat karena itu barang dagangan. Karena pendidikan itu urusan publik, berarti pendidikan itu nggak boleh jadi barang dagangan. Logika yang digunakan bukan logika barang dagangan.

Kun : Ya kan emang sekarang juga jadi urusan publik. Buktinya pemerintah ngasih bantuan pendidikan kok. Lewat beasiswa, keringanan, bantuan operasional, dan banyak deh pokoknya.

Jun : Iya sih. Tapi sebelum gue bantah itu. Coba dengerin dulu nih ya. Menurut lo orang pinter dan kaya mungkin gak bisa kuliah?

Kun : Mungkin banget

Jun : Kalo bodoh dan kaya?

Kun : Mungkin aja

Jun : Kalo pinter dan miskin?

Kun : Mungkin, tapi dikit

Jun : Kalo bodoh dan miskin?

Kun : Kayaknya hanya keajaiban yang bisa bikin dia kuliah

Jun : Menurut lo diantara empat kategori tadi, mana yang jumlahnya paling banyak di Indonesia?

Kun : Bodoh...dan...miskin....

Jun : Nah coba hubungin sama omongan lo barusan, yang tentang bantuan pendidikan

Kun : Iya sih

Jun : Iya apanya?

Kun : Iyaaaa. Pemerintah kan selama ini cuma ngasih bantuan pendidikan ke yang miskin tapi pintar doang.

Jun : Ada satu lagi sebenernya yang nggak gue sepakati

Kun : Apa?

Jun : Kenapa istilahnya kok “bantuan” ?

Kun : Emang kenapa?

Jun : Kan tadi kita udah sama-sama paham, kalau pendidikan itu hak warga negara

Kun : Trus? Salah gitu kalo orang miskin dibantu?

Jun : Bukan gitu, tapi kenapa kok “bantuan” ? Udah kayak perusahaan aja ngasih bantuan CSR. Harusnya kan bukan “bantuan”, karena itu tanggungjawab pemerintah untuk memenuhi hak warga negara.

Kun : OMG

Jun : Haha

Kun : Jadi semacem, kayak sekedar charity gitu ya? Sekedar yaudah ngasih bantuan karena kedermawanan pemerintah. Kok gitu dah. Jadi kayak lepas tanggung jawab gitu sama pendidikan.

Jun : Nah itu dia kata kuncinya. Lepas tanggung jawab !

Kun : Jelasin lagi ke aku!

Jun : Tau WTO kan?

Kun : Tau lah, World Trade Organization. Itu organisasi perdagangan dunia, yang menerapkan zona perdagangan bebas, bebas tarif, larangan subsidi, dan gitu-gitu deh pokoknya

Jun : Lo tau gak apa aja yang diperdagangkan secara bebas pada perjanjian WTO ?

Kun : Ya banyak lah. Intinya sih barang dan jasa.

Jun : Pendidikan itu salah satunya. Salah satu aspek jasa yang dijadikan barang dagangan.

Kun : Masa sih?

Jun : Yaudah lo baca aja dokumennya

Kun : Ah pelit dah, jelasin dong!

Jun : Haha nih gue jelasin. Tapi nanti lo baca aja ya dokumennya, gue ga hafal isinya. Tapi lo pasti udah tau prakteknya kayak gimana. Tau kasus RSBI yang pernah rame di media ga?

Kun : Tau

Jun : Yaudah itu lah contohnya

Kun : Hubungannya apa WTO apaan?

Jun : Ah susah dah mudengnya. Lo tau gak apa bedanya RSBI sama yang bukan?

Kun : Bahasa pengantarnya doang kan?

Jun : Bukan. Tapi juga kurikulumnya. Sekolah yang udah RSBI, kurikulumnya beli dari lisensi sekolah-sekolah luar negeri kayak Oxford, Harvard, Cambridge, dan macem-macem deh pokoknya.

Kun : Oh itu sih aku juga tau. Iya juga sih jadi kayak jual beli kurikulum gitu. Tapi kan kalo di perkuliahan nggak ada yang kayak gitu. Berarti jual beli pendidikan nggak ada dong di dunia perguruan tinggi?

Jun : Ada dong. Buktinya banyak banget sekarang kampus-kampus luar negeri semisal dari Amerika, mereka buka cabang kampusnya di Jakarta. Pasti lo pernah liat kan?

Kun : Iya. Tapi kan bukan berarti kampus negeri dijual belikan juga.

Jun : Nih, coba cek lagi salah satu aspek perjanjian WTO. Nggak cuma perdagangan bebas doang. Tapi juga menekan seminimal mungkin anggaran publik, ya pokoknya pemerintah jangan terlalu ikut campur urusan warga negara, subsidi dipotong bahkan kalo bisa dicabut. Nah salah satunya adalah anggaran pendidikan tinggi.

Kun : Buktinya apa?

Jun : Buktinya? Sekarang lo tau nggak nama suntikan dana dari negara ke kampus untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi?

Kun : Nggak

Jun : Namanya BOPTN. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri.

Kun : Lagi-lagi “bantuan”. Ok, understood captain.

Jun : Terus, coba lo cek yang namanya “otonomi kampus” di Undang-Undang Pendidikan Tinggi

Kun : Apa hubungannya?

Jun : Kampus boleh mengelola dirinya sendiri

Kun : Bagus dong. Jadinya independen. Kurikulumnya bebas tanpa intervensi.

Jun : Nah, kalo itu emang bagus. Itu namanya Otonomi Akademik. Tapi selain Otonomi Akademik, ada juga Otonomi Kelola. Kampus boleh mengelola uangnya sendiri.

Kun : Bagus dong. Daripada dikelola orang         lain.

Jun : Ya, tapi konsekuensinya, kampus jadi diperbolehkan sendiri menaik-turunkan tarif biaya kuliah, menarik pungutan-pungutan di luar biaya kuliah, dan membuka ladang bisnis sendiri semisal bengkel, hotel, auditorium, kolam renang, peternakan sapi, dsb.

Kun : Oh, I see. Jadi Otonomi Kelola ini ya yang bikin kampus kita jadi mahal?

Jun : Yap. Karena anggaran dari negara untuk kampus dipotong.

Kun : Tapi, tapi, tapi. Aku tertarik sama yang kampus bisa buka bisnis sendiri. Itu kan bukannya bagus? Jadi dalam rangka mengisi pembiayaan pendidikan, ya kalo negara nggak ngasih anggaran, ya sah aja dong buka bisnis sendiri. Ibaratnya kayak Divisi Usdan gitu di kepanitiaan kegiatan mahasiswa.

Jun : Boleh lah lo bilang bagus. Tapi emangnya ada jaminan kalo bisnis itu bakalan buat pembiayaan pendidikan? Buktinya tuh liat aja di kampus kita. Pas tahun 2013 Rektor kita masuk penjara gara-gara korupsi dana kerjasama bisnisnya kampus. Terus, kalo institusi pendidikan tinggi malah disibukkin sama mencari dana lewat membuka ladang bisnis tadi, kalo menurut gue sih, ini jadi mengkhianati esensi dari perguruan tinggi.

Kun : Berat amat “mengkhianati”, hahaha.          Gimana tuh?

Jun : Kan perguruan tinggi itu cuma ada tiga esensinya, yaitu kayak yang di Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Ya cuma tiga itu, nggak ada yang lain, nggak ada “bisnis kampus” di Tri Dharma. Karena kampus itu adalah pendidik, bukan pemodal, bukan pengusaha.

Kun : Betul juga sih. Dan menurutku kalo kampus bisa buka bisnis sendiri, jadinya dia akan bersaing dengan pelaku usaha yang ada di masyarakat. Tentu aja masyarakat bukan lawan imbang bagi kampus, karena kampus modalnya gede karena dapet BOPTN dan pemasukan dari uang kuliah, sedangkan masyarakat buka bisnis dengan modal sendiri.

Jun : Nah jadi itulah inti dari komersialisasi pendidikan. Yaitu ketika pendidikan yang tadinya urusan publik, menjadi urusan privat. Yang tadinya hak warga negara, menjadi barang dagangan. Yang tadinya tanggung jawab pemerintah, kemudian pemerintah lepas tanggung jawab.

Kun : Terus solusinya gimana dong?

Jun : Itu nanti kita bicarain lagi lah. Lo jangan cuma nanya gue untuk solusinya. Lo juga cari ya

Kun : Okey

Anda Pengunjung ke