( Tulisan ini diikutsertakan pada Kompetisi Essay se-Universitas yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa FH Unsoed. Tulisan ini mendapati Juara I. Tulisan ini tidak mewakili pemikiran saya sepenuhnya. Segala keterbatasan analisis dan solusi dalam tulisan ini, semata-mata guna menyesuaikan syarat-syarat yang ditentukan panitia kompetisi )
Lembaga pendidikan hari ini bagai usaha bisnis department store, dan mall. Segala hal
diperjualbelikan. Sekolah-sekolah kini menawarkan program-program layaknya
perusahaan swasta. Masyarakat disihir supaya mau tidak mau mengikutinya, karena
bila tidak, maka bayang-bayang menjadi
pengangguran pun menghantui masa depan.
Kenyataan inilah yang harus kita amini, bagaimana
faham filsafat neoliberalisme telah memasuki dunia pendidikan. Kita melihat,
bagaimana Indonesia membikin aturan-aturan yang melegalisasi jual beli
pendidikan. Rakyat dijual demi keuntungan pemodal. Buktinya, di Indonesia biaya
pendidikan selalu terjadi kenaikan tiap tahun. Hal ini terbukti menurut Survey
Kompas tahun 2000 s/d tahun 2009 yang dimuat harian Kompas 31-8-2009 :
Negara
|
2000-2009
|
Per Tahun
|
Per Bulan
|
Indonesia
|
227 %
|
25%
|
2,10%
|
Philipina
|
90%
|
10%
|
0,83%
|
Korea
|
55%
|
6%
|
0,51%
|
Malaysia
|
17%
|
2%
|
0,16%
|
Thailand
|
-11%
|
-1%
|
-0,10%
|
Inilah kenyataan bahwa pemerintah
Indonesia telah mengkhianati rakyat dengan memelintir penyelenggaraan
pendidikan yang seharusnya adalah urusan publik, menjadi urusan privat. Rakyat
menjadi korban atas penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah yang carut marut
Sehingga dianggap perlu digagaskan pemecahan masalah-masalah rakyat dalam
menghadapi neoliberalisasi pendidikan dan melindungi hak-hak rakyat.
Neoliberalisme
Pendidikan Dan Dampaknya Pada Rakyat
Komersialisasi kehidupan manusia telah melahirkan
komoditi budaya universal termasuk pendidikan[1].
Dalam bidang pendidikan tren ini dikenal sebagai paham neoliberalisme dalam
pendidikan. Neoliberalisme pendidikan menamakan diri dalam berbagai bentuk
seperti memberikan kebebasan sepenuhnya kepada perkembangan individu,
melemahnya peranan negara di dalam urusan pendidikan khususnya dalam
pembiayaan, serta masuknya kekuatan-kekuatan industri besar dalam budaya
universitas[2].
Paham ini memungkinkan untuk berkembang, meluas dan cendedung hegemonik karena
ia disokong dan didesakkan lewat perusahaan-perusahaan transnasional (TNC),
institusi-institusi keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank ,dan organisasi-orgasnisasi kerjasama perdagangan dunia
seperti WTO, Asian Free Trade Agreement (AFTA)
dan North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA)[3]. Henry
Giroux menunjukkan betapa neoliberalisme telah jauh menukik di dalam proses
pendidikan prasekolah sampai pendidikan tinggi. Giroux melihar neoliberalisme
sebagai ideologi yang sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat demokrasi[4].
Namun apa lacur, Indonesia sudah terjerembab dalam
cengkraman agenda neoliberalisme pendidikan. Indonesia sendiri mulai mengikatkan
diri dalam WTO sejak tahun 1994 dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun
1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang ratifikasi “Agreement Establising the
World Trade Organization”. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak
bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk
perdagangan jasa pendidikan. Indonesia menyepakati hasil negosiasi perundingan General Agreements on Traffics and Services (GATS)
oleh WTO, dimana penyediaan jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor
jasa lainnya yang diliberalisasi[5].
Dampaknya dalam regulasi nasional adalah salah satunya
terbit Peraturan Presidan No 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyarakat di Bidang Penanaman
Modal. Dalam Perpres ini, diatur usaha-usaha apa saja yang dapat diinvestasikan
oleh pemodal asing dan presentase maksimalnya. Ternyata Pendidikan Dasar,
Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi dimasukkan dalam usaha yang dapat
ditanam modal asing. Bukan main, besaran modal yang dapat ditanam ialah sebesar
49%.
Tentu kita juga masih ingat
akan cerita batalnya sistem pendidikan ala SBI/RSBI dan UU BHP. SBI/RSBI
dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-X/2012. SBI/RSBI menciptakan sistem pendidikan dalam jenjang
SD,SMP,dan SMA/sederajat menjadi mahal dan mengorbankan para peserta didik atas
dalih embel-embel internasional. SBI/RSBI menggunakan kurikulum internasional
sehingga sekolah yang bersangkutan harus membeli lisensi dari lembaga
pendidikan asing. Lisensi semisal dari Cambridge, maka untuk bisa ujian
sekolah, siswa harus membayar 1 jua rupiah per mata pelajaran. Umumnya ujian
mencakup 5 mata pelajaran[6].
Pemerintah dan peserta didik pun akhirnya terbebani untuk membiayai lisensi
ini, sementara lembaga pendidikan asing memperoleh keuntungan.
Senasib, UU BHP pun dibatalkan
MK melalui putusan NOMOR
11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. UU BHP menuai kontra dari berbagia lapisan
masyarakat karena berbagai hal. Mulai dari konsep badan hukum pendidikan yang
kontroversial, investasi asing, kepailitan badan hukum pendidikan, sampai
mereduksi peran pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Akan
tetapi segera setelah Undang-Undang BHP dihapuskan oleh Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 31 Maret tahun 2010, 2 minggu kemudian tepatnya 17
April 2010 World Bank mengeluarkan
dokumen Indonesia lewat proyek Managing
Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE). Sebuah proyek Bank
Dunia untuk bidang pendidikan, termasuk untuk menyusun renstra pendidikan
nasional yang berbunyi begini, “A new BHP
must be passed to establish the independent legal status of all education
institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN has a
legal subset of BHP”[7].
Inilah cikal bakal pemerintah menyusun Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (UU PT).
UU PT adalah reinkarnasi dari
UU BHP, semangat neoliberalisasi pendidikan menjelma dalam UU tersebut. Dalam
pasal 62, diatur bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan
sendiri kampusnya. Masih sama dengan konsep UU BHP, salah satu wewenang dari
otonomi perguruan tinggi ini adalah dengan membentuk unit bisnis dan
mengembangkan harta abadi. Dalam pasal 73 ayat (1) mengatur mengenai pola
penerimaan mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih sama dengan masalah
sebelumnya, yakni melegalisir penerimaan mahasiswa baru selain penerimaan
mahasiswa secara nasional. Tidak berhenti disitu, dalam Pasal 91 ayat (2) huruf
a mengatur bahwa masyarakat dapat menentukan kompetensi lulusan melalui
organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industri. Bahasa sarkastiknya ialah,
dalam hal ini pihak swasta menginginkan lulusan perguruan tinggi menjadi
pekerja untuk kepentingan pemodal. Dan masih banyak masalah lainnya.
Konstitusi Indonesia yaitu UUD
1945 bagaimanapun juga telah memberi perlindungan hukum kepada rakyat yaitu
dengan jaminan pendidikan dasar gratis, dan pengalokasian anggaran 20% dari
APBN dan APBD untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun tidak
serta merta keadaan Indonesia menjadi lebih baik dengan amanat ini, karena
ternyata pemerintah memanipulasi amanat UUD 1945 dengan kebijakannya.
Pada taraf pendidikan dasar dan
menengah pertama, pemerintah menerapkan bernama Bantuan Operasional Sekolah
(BOS). Masalahnya, BOS ternyata sebagian besar berasal dari bantuan atau utang
luar negeri[8].
Kita semua mengetahui bahaya laten dari utang, yaitu dimana pada tahun-tahun ke
depannya pemerintah harus siap menanggung bunga dari utang tersebut.
Pengalokasian anggaran 20% dari
APBN dan APBD untuk pendidikan lebih manipulatif lagi. Pada awalnya, dari tahun
2003 sampai 2008 pemerintah tidak sanggup (atau mungkin tidak mau)
menganggarkan 20% % dari APBN dan APBD untuk pendidikan. Pada akhirnya diajukan
uji materiil pada UU APBN yang akhirnya MK mengeluarkan Putusan MK Nomor
12/PUU-III/2005, yang pada intinya mewajibkan pemerintah untuk menganggarkan
20% anggaran pendidikan dalam UU APBN. Namun pada tahun 2007, MK mengeluarkan
putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007. Putusan tersebut sangat mengejutkan, MK
memasukkan gaji dan tunjangan pendidikan dalam jaminan 20% anggaran untuk
pendidikan dalam APBN dan APBD. Padahal tahun-tahun sebelumnya, telah
dipisahkan antara anggaran untuk pendidikan (dalam hal ini operasional) dengan
gaji/tunjangan pendidik. Maka pantas saja pada tahun 2009 dan seterusnya
anggaran 20% dapat dipenuhi.
Sebagai negara yang (katanya)
demokratis, maka seharusnya pemerintah harus menjamin hak asasi manusia bagi
para rakyatnya, termasuk hak pendidikan. Hak pendidikan pertama kali diatur
secara Internasional dalam International
Covenant of Economics, Social, and Culture Rights (ICCPR) pada tahun 1966.
Dalam Artikel 13 Poin 2, diatur bahwa :
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, untuk pencapaian
realisasi penuh hak ini, mengakui bahwa:
a. Pendidikan dasar harus bersifat wajib dan gratis bagi
semua rakyat;
b. Pendidikan menengah dalam bentuknya yang berbeda,
termasuk pendidikan teknik dan
kejuruan, harus disediakan untuk umum dan dapat diakses
semua rakyat melalui cara-cara yang layak, dan khususnya dengan upaya
menyediakan pendidikan gratis;
c. Pendidikan tinggi harus dapat diakses semua rakyat
dengan adil menurut kapasitas mereka, melalui cara-cara yang layak, dan
khususnya dengan upaya menyediakan pendidikan gratis;
Kovenan ini diratifikasi oleh
Indonesia melalui UU No 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR menjadi UU. Itu artinya Indonesia telah berkomitmen untuk
menjamin hak pendidikan bagi rakyat Indonesia. Sehingga seharusnya pendidikan
tidak menjadi barang mahal, bahkan seharusnya gratis. Akan tetapi pemerintah
lebih memilih menjual rakyatnya daripada mencerdaskannya.
Rakyat Perlu
Dilindungi
Musuh yang dihadapi rakyat hari
ini bukan hanya pejabat kampus yang duduk nyaman di ruangan yang ber-AC. Musuh
rakyat hari ini sangatlah kuat, yaitu bos-bos dunia. Perlawanan akan
membutuhkan waktu yang sangat lama. Metode secanggih apapun (baik itu kampanye
massa, jalur hukum, sampai lobi-lobi politik) takkan mampu mengubah secara
seketika keadaan pendidikan di Indonesia. Semakin lama pula, akan semakin
banyak korban berjatuhan dalam sistem pendidikan neoliberal. Maka melindungi
rakyat adalah suatu keniscayaan.
Berbagai peraturan
perundang-undangan sebenarnya telah memberikan “beberapa” perlindungan hukum
bagi rakyat agar tetap bisa mengakses pendidikan. Pendidikan dasar telah
dijamin oleh UUD 1945. Pendidikan menengah pertama, menengah ke atas, dan
pendidikan tinggi telah dijamin melalui bantuan, beasiswa dan keringanan bagi
mereka yang berprestasi tapi kurang mampu secara ekonomi. Sekalipun ini saja
tidak cukup, masih banyak golongan rakyat yang tidak bisa mengakses pendidikan.
Rakyat yang miskin-pintar mungkin mendapat kesempatan akses pendidikan, namun
bagaimana dengan yang miskin-bodoh?. Yang miskin-pintar pun belum tentu bisa
mengenyam pendidikan, karena untuk dapat menjadi miskin haruslah memiliki
syarat-syarat tertentu. Dalam praktek, biasanya orang miskin harus mampu
menunjukkan Surat Keterangan Miskin, Kartu Jamin Kesehatan Masyarakat Miskin,
dan bukti-bukti formil lainnya. Dengan itu semua pun belum tentu orang miskin
bisa sekolah, tergantung kedermawanan sang birokrat dan masih cukup atau
tidaknya kuota bangku dalam kelas. Padahal menurut World Bank, jumlah orang miskin di Indonesia berjumlah 102 juta jiwa[9].
Tak bisa dipungkiri belajar
butuh biaya, pemerintah sendirian tak
mungkin mampu membiayai pendidikan seutuhnya. Saya sendiri sepakat
dengan Anis Baswedan bahwa pendidikan adalah gerakan, artinya perlu dukungan
seluruh pihak supaya pendidikan dapat terselenggara[10].
Dalam penyelenggaraan pendidikan terdapat 3 pihak yang membiayai, yaitu
pemerintah, usaha bisnis/bantuan, dan peserta didik.
Pemerintah telah memiliki
kepastian hukum dalam menjamin rakyatnya, yakni anggaran 20% APBN dan APBD
untuk pendidikan. Usaha bisnis/bantuan dikelola secara mandiri oleh lembaga
pendidikan untuk membantu kebutuhan lembaga pendidikan. Usaha bisnis/bantuan
diakomodir lewat Perpres No 77 tahun 2007 dan UU Pendidikan Tinggi. Menurut
Prof Djoko Hartanto[11]
sebenarnya usaha bisnis/bantuan memiliki konsep yang sangat bagus bagi
penyelenggaraan pendidikan. Bila usaha bisnis/bantuan berjalan baik dan
menguntungkan hal ini dapat dialokasikan untuk menekan biaya pendidikan peserta
didik seminim mungkin. Akan tetapi tidak ada aturan khusus berapa laba usaha
bisnis/bantuan yang dialokasikan untuk menekan biaya pendidikan.
Namun bagaimana dengan
kepastian hukum berapa yang harus dibiayai oleh peserta didik?. Peserta didik
tidak memiliki batasan seberapa jauh presentasenya boleh membiayai pendidikan.
Dalam UU BHP dikatakan peserta didik menanggung 1/3 biaya operasional, namun UU
ini telah dibatalkan. Namun dalam praktek, biasanya perguruan tinggi melarang
peserta didik membayar biaya pendidikan lebih dari 1/3 biaya operasional.
Biaya operasional diartikan
menurut penjelasan Pasal 88 ayat (1) sebagai biaya diluar investasi dan
pengembangan. Karena gaji dan tunjangan telah dibebankan oleh APBN, maka
peserta didik operasional juga tidak termasuk gaji dan tunjangan. Dalam Pasal
tersebut juga diatur bahwa biaya operasional harus mempertimbangkan capaian
Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis Program Studi, dan Indeks Kemahalan
Wilayah. Dalam ayat (4) juga telah diatur bahwa biaya yang ditanggung peserta
didik harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi peserta didik dalam hal ini
mahasiswa.
Yang menjadi masalah adalah,
aturan tersebut hanya mengakomodir jenjang pendidikan tinggi. Untuk jenjang
pendidikan menengah pertama dan atas belum ada payung hukum yang mengatur.
Sehingga dalam hal ini demi melindungi hak-hak rakyat atas akses pendidikan,
perlu diatur sebuah regulasi berupa pembatasan biaya pendidikan untuk peserta
didik.
Pembatasan
Biaya Pendidikan
Solusi yang saya ajukan
memiliki dasar pemikiran bahwa bila pemerintah memiliki batas minimum dalam
penyelenggaraan pendidikan, maka masyarakat juga harus memiliki batas maksimum
dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini dianggap perlu karena selama ini
biaya pendidikan hanya ditetapkan oleh pimpinan lembaga pendidikan (kepala
sekolah atau rektor). Hal ini menyebabkan ketidakpastian, karena masing-masing
pimpinan lembaga pendidikan punya karakter dan kebijakan tersendiri dalam
menetapkan biaya pendidikan, sekalipun telah ada pembatasan dari
perundang-undangan. Padahal ada pihak-pihak lain yang sebenarnya juga patut
dipertimbangkan, yaitu masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak kebijakan.
Dalam negara yang demokratis, seharusnya pihak yang terkena dampak kebijakan
turut dilibatkan dalam perumusan kebijakan. Terlebih bisa saja dalam suatu
perguruan tinggi, dalam kurun waktu 5 tahun punya sistem dan nominal biaya
pendidikan yang berbeda-beda. Di Unsoed Purwokerto misalnya, yang menerapkan
sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada 2012, Bantuan Fasilitas Pendidikan (BFP)
pada 2011, Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BOPP) pada 2010 dan
2009, Persatuan Orangtua Mahasiswa (POM) terakhir pada 2008, dan Sumbangan
Pengembangan Institusi (SPI) terakhir pada 2003.
Maka dalam pembatasan biaya
pendidikan harus memenuhi beberapa prinsip. Prinsip pertama adalah masyarakat
atau peserta didik tidak boleh membiayai yang bukan kewajibannya. Prinsip
kedua, dalam pembiayaan oleh peserta didik harus mempertimbangkan indeks
kemahalan wilayah, program studi, capaian standar nasional, kemampuan ekonomi
peserta didik, asas keterbukaan, dan asas kepastian hukum. Prinsip ketiga
penetapan biaya pendidikan harus melibatkan peserta didik atau yang
membiayainya.
Secara teknis, mekanisme
pembatasan biaya pendidikan mirip-mirip dengan mekanisme penetapan upah minimum
regional. Jadi penetapan batas biaya pendidikan dibahas dan disepakati oleh
perwakilan pimpinan sekolah/perguruan tinggi, perwakilan forum peserta didik
atau wali, pemerintah daerah, dan perwakilan kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Berikut saya jabarkan mekanisme pembatasan biaya pendidikan:
1.
Pemerintah
menganggarkan biaya untuk pendidikan dari APBN sebesar 20%, maka asumsinya
masyarakat memiliki kewajiban membiayai pendidikan pula tidak boleh lebih dari
20% dari kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup seseorang telah diatur melalui
dokumen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang biasanya digunakan untuk menetapkan
UMR. Nominal maksimum dari masyarakat untuk membiayai pendidikan adalah 1/3
dari biaya operasional. Dalam hal ini biaya operasional harus sudah disesuaikan
dengan indeks kemahalan wilayah, prodi, dan capaian standar nasional.
2.
Katakanlah dalam
satu keluarga terdiri dari satu anak, satu ayah, dan satu ibu. Si ayah dan ibu
adalah pekerja. Mari kita gunakan UMR paling tinggi se-Indonesia saja untuk
mempermudah, yaitu di Bekasi Rp.2,4 juta. Sehingga asumsikan pendapatan
keluarga Bekasi dalam 1 bulan adalah Rp. 4,2 juta. Dipotong 20% dari Rp.4,2
juta tersebut sehingga Rp 840 ribu per bulan adalah kewajiban satu keluarga
Bekasi untuk membiayai pendidikan.
3.
Lalu suatu wilayah
harus menentukan proporsi kebutuhan biaya pendidikan pada masing-masing jenjang
pendidikan. Mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi. Misalnya
PAUD se-Bekasi kebutuhannya Rp. 2 milyar, SD butuh Rp. 6 milyar, SMP butuh Rp.
6 milyar, SMA butuh Rp. 6 milyar, dan Perguruan Tinggi butuh Rp. 20 milyar.
Maka perbandingan antara PAUD, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi adalah 2 : 6
: 6 : 6 : 20 atau jika disederhanakan ialah menjadi 1 : 3 : 3 : 3 : 10. Maka di
Bekasi untuk menghitung batas biaya pendidikan seseorang untuk biaya pendidikan
per bulan PAUD adalah 1/20 x Rp. 840 ribu = Rp.42 ribu, SD,SMP,dan SMA adalah
3/20 x Rp. 840 ribu = Rp. 146 ribu. Untuk Perguruan tinggi berarti 10/20 atau ½
x Rp. 840 ribu = 420 ribu perbulan atau Rp. 2.520.000 per semester.
Dengan adanya pembatasan ini,
maka sekalipun lembaga pendidikan telah diliberalisasi, namun peserta didik
telah memiliki jaminan seberapa besar boleh membiayai pendidikan. Solusi yang
saya ajukan ini, bila dijalankan diharapkan akan mampu memberi perlindungan
berupa kepastian hukum bagi peserta didik yang selama ini menjadi korban jual
beli pendidikan. Jayalah perjuangan rakyat, jayalah pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Undang-Undang No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant Of
Economics Social and Culture Rights
Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Putusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-X/2012
Putusan Mahkamah Konstitusi No 11-14-21-126-136/PUU
VII/2009
Dokumen Negara
Risalah Sidang Perkara No 103/PUU-X/2012 dan No
111/PUU-X/2012
Literatur
Tilaar, H.A.R., 2005, Manifesto
Pendidikan Nasional : Tinjauan Dari Perspektif Postmoderdnisme
dan
Studi Kultural, Jakarta: Kompas.
Nuryatno, Agus, 2011,Mazhab
Pendidikan Kritis, Yogyakarta : Resist Book.
Darmaningtyas, 2012, Manipulasi
Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta : Resist Book.
Website
Setiawan,Dani .Liberalisasi
Pendidikan dan WTO, diakses via oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=126
[1] H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional : Tinjauan
Dari Perspektif Postmoderdnisme dan Studi Kultural, Jakarta, Kompas, 2005,
hlm 142
[2] Ibid 142
[3] Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis, Yogyakarta,
Resist Book, 2011, hlm 67
[4] H.A.R. Tilaar, Op Cit, hlm 142
[5] Dani Setiawan, Liberalisasi Pendidikan dan WTO, diakses
via oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=126
[6] Putusan Mahkamah
Konstotusi No 5/PUU-X/2012, hlm 24
[7] Risalah Sidang Perkara No
103/PUU-X/2012 dan No 111/PUU-X/2012 , hlm 21
[8] Darmaningtyas, Manipulasi Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta,
Resist Book, 2012, hlm 33
[9] http://m.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/03/02/23455/indonesiasalah-satu-dari-5-negara-muslim-termiskin-di-dunia/ diakses pada 27 Mei 2013 pukul 16:13
[10] Disampaikan pada Diskusi
Publik “Pendidikan dan Kebangsaan : Komersialisasi Pendidikan” di Aula FISIP
Unsoed 11 November 2012
[11] Putusan Mahkamah
Konstitusi No 11-14-21-126-136/PUU VII/2009, hlm 292
Tidak ada komentar:
Posting Komentar