Minggu, 29 September 2013

Pembatasan Biaya Pendidikan Sebagai Perlindungan Hukum Untuk Peserta Didik

( Tulisan ini diikutsertakan pada Kompetisi Essay se-Universitas yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa FH Unsoed. Tulisan ini mendapati Juara I. Tulisan ini tidak mewakili pemikiran saya sepenuhnya. Segala keterbatasan analisis dan solusi dalam tulisan ini, semata-mata guna menyesuaikan syarat-syarat yang ditentukan panitia kompetisi )


Lembaga pendidikan hari ini bagai usaha bisnis department store, dan mall. Segala hal diperjualbelikan. Sekolah-sekolah kini menawarkan program-program layaknya perusahaan swasta. Masyarakat disihir supaya mau tidak mau mengikutinya, karena bila tidak,  maka bayang-bayang menjadi pengangguran pun menghantui masa depan.
Kenyataan inilah yang harus kita amini, bagaimana faham filsafat neoliberalisme telah memasuki dunia pendidikan. Kita melihat, bagaimana Indonesia membikin aturan-aturan yang melegalisasi jual beli pendidikan. Rakyat dijual demi keuntungan pemodal. Buktinya, di Indonesia biaya pendidikan selalu terjadi kenaikan tiap tahun. Hal ini terbukti menurut Survey Kompas tahun 2000 s/d tahun 2009 yang dimuat harian Kompas 31-8-2009 :
Negara
2000-2009
Per Tahun
Per Bulan
Indonesia
227 %
25%
2,10%
Philipina
90%
10%
0,83%
Korea
55%
6%
0,51%
Malaysia
17%
2%
0,16%
Thailand
-11%
-1%
-0,10%
Inilah kenyataan bahwa pemerintah Indonesia telah mengkhianati rakyat dengan memelintir penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya adalah urusan publik, menjadi urusan privat. Rakyat menjadi korban atas penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah yang carut marut Sehingga dianggap perlu digagaskan pemecahan masalah-masalah rakyat dalam menghadapi neoliberalisasi pendidikan dan melindungi hak-hak rakyat.


Neoliberalisme Pendidikan Dan Dampaknya Pada Rakyat
Komersialisasi kehidupan manusia telah melahirkan komoditi budaya universal termasuk pendidikan[1]. Dalam bidang pendidikan tren ini dikenal sebagai paham neoliberalisme dalam pendidikan. Neoliberalisme pendidikan menamakan diri dalam berbagai bentuk seperti memberikan kebebasan sepenuhnya kepada perkembangan individu, melemahnya peranan negara di dalam urusan pendidikan khususnya dalam pembiayaan, serta masuknya kekuatan-kekuatan industri besar dalam budaya universitas[2]. Paham ini memungkinkan untuk berkembang, meluas dan cendedung hegemonik karena ia disokong dan didesakkan lewat perusahaan-perusahaan transnasional (TNC), institusi-institusi keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank ,dan organisasi-orgasnisasi kerjasama perdagangan dunia seperti WTO, Asian Free Trade Agreement (AFTA) dan North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA)[3]. Henry Giroux menunjukkan betapa neoliberalisme telah jauh menukik di dalam proses pendidikan prasekolah sampai pendidikan tinggi. Giroux melihar neoliberalisme sebagai ideologi yang sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat demokrasi[4].
Namun apa lacur, Indonesia sudah terjerembab dalam cengkraman agenda neoliberalisme pendidikan. Indonesia sendiri mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994 dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang ratifikasi “Agreement Establising the World Trade Organization”. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Indonesia menyepakati hasil negosiasi perundingan General Agreements on Traffics and Services (GATS) oleh WTO, dimana penyediaan jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa lainnya yang diliberalisasi[5].
Dampaknya dalam regulasi nasional adalah salah satunya terbit Peraturan Presidan No 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyarakat di Bidang Penanaman Modal. Dalam Perpres ini, diatur usaha-usaha apa saja yang dapat diinvestasikan oleh pemodal asing dan presentase maksimalnya. Ternyata Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi dimasukkan dalam usaha yang dapat ditanam modal asing. Bukan main, besaran modal yang dapat ditanam ialah sebesar 49%.
Tentu kita juga masih ingat akan cerita batalnya sistem pendidikan ala SBI/RSBI dan UU BHP. SBI/RSBI dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-X/2012. SBI/RSBI menciptakan sistem pendidikan dalam jenjang SD,SMP,dan SMA/sederajat menjadi mahal dan mengorbankan para peserta didik atas dalih embel-embel internasional. SBI/RSBI menggunakan kurikulum internasional sehingga sekolah yang bersangkutan harus membeli lisensi dari lembaga pendidikan asing. Lisensi semisal dari Cambridge, maka untuk bisa ujian sekolah, siswa harus membayar 1 jua rupiah per mata pelajaran. Umumnya ujian mencakup 5 mata pelajaran[6]. Pemerintah dan peserta didik pun akhirnya terbebani untuk membiayai lisensi ini, sementara lembaga pendidikan asing memperoleh keuntungan.
Senasib, UU BHP pun dibatalkan MK melalui putusan NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. UU BHP menuai kontra dari berbagia lapisan masyarakat karena berbagai hal. Mulai dari konsep badan hukum pendidikan yang kontroversial, investasi asing, kepailitan badan hukum pendidikan, sampai mereduksi peran pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Akan tetapi segera setelah Undang-Undang BHP dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret tahun 2010, 2 minggu kemudian tepatnya 17 April 2010 World Bank mengeluarkan dokumen Indonesia lewat proyek Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE). Sebuah proyek Bank Dunia untuk bidang pendidikan, termasuk untuk menyusun renstra pendidikan nasional yang berbunyi begini, “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN has a legal subset of BHP[7]. Inilah cikal bakal pemerintah menyusun Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT).
UU PT adalah reinkarnasi dari UU BHP, semangat neoliberalisasi pendidikan menjelma dalam UU tersebut. Dalam pasal 62, diatur bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan sendiri kampusnya. Masih sama dengan konsep UU BHP, salah satu wewenang dari otonomi perguruan tinggi ini adalah dengan membentuk unit bisnis dan mengembangkan harta abadi. Dalam pasal 73 ayat (1) mengatur mengenai pola penerimaan mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih sama dengan masalah sebelumnya, yakni melegalisir penerimaan mahasiswa baru selain penerimaan mahasiswa secara nasional. Tidak berhenti disitu, dalam Pasal 91 ayat (2) huruf a mengatur bahwa masyarakat dapat menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industri. Bahasa sarkastiknya ialah, dalam hal ini pihak swasta menginginkan lulusan perguruan tinggi menjadi pekerja untuk kepentingan pemodal. Dan masih banyak masalah lainnya.
Konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945 bagaimanapun juga telah memberi perlindungan hukum kepada rakyat yaitu dengan jaminan pendidikan dasar gratis, dan pengalokasian anggaran 20% dari APBN dan APBD untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun tidak serta merta keadaan Indonesia menjadi lebih baik dengan amanat ini, karena ternyata pemerintah memanipulasi amanat UUD 1945 dengan kebijakannya.
Pada taraf pendidikan dasar dan menengah pertama, pemerintah menerapkan bernama Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Masalahnya, BOS ternyata sebagian besar berasal dari bantuan atau utang luar negeri[8]. Kita semua mengetahui bahaya laten dari utang, yaitu dimana pada tahun-tahun ke depannya pemerintah harus siap menanggung bunga dari utang tersebut.
Pengalokasian anggaran 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan lebih manipulatif lagi. Pada awalnya, dari tahun 2003 sampai 2008 pemerintah tidak sanggup (atau mungkin tidak mau) menganggarkan 20% % dari APBN dan APBD untuk pendidikan. Pada akhirnya diajukan uji materiil pada UU APBN yang akhirnya MK mengeluarkan Putusan MK Nomor 12/PUU-III/2005, yang pada intinya mewajibkan pemerintah untuk menganggarkan 20% anggaran pendidikan dalam UU APBN. Namun pada tahun 2007, MK mengeluarkan putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007. Putusan tersebut sangat mengejutkan, MK memasukkan gaji dan tunjangan pendidikan dalam jaminan 20% anggaran untuk pendidikan dalam APBN dan APBD. Padahal tahun-tahun sebelumnya, telah dipisahkan antara anggaran untuk pendidikan (dalam hal ini operasional) dengan gaji/tunjangan pendidik. Maka pantas saja pada tahun 2009 dan seterusnya anggaran 20% dapat dipenuhi.
Sebagai negara yang (katanya) demokratis, maka seharusnya pemerintah harus menjamin hak asasi manusia bagi para rakyatnya, termasuk hak pendidikan. Hak pendidikan pertama kali diatur secara Internasional dalam International Covenant of Economics, Social, and Culture Rights (ICCPR) pada tahun 1966. Dalam Artikel 13 Poin 2, diatur bahwa :
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, untuk pencapaian realisasi penuh hak ini, mengakui bahwa:
a. Pendidikan dasar harus bersifat wajib dan gratis bagi semua rakyat;
b. Pendidikan menengah dalam bentuknya yang berbeda, termasuk pendidikan teknik dan
kejuruan, harus disediakan untuk umum dan dapat diakses semua rakyat melalui cara-cara yang layak, dan khususnya dengan upaya menyediakan pendidikan gratis;
c. Pendidikan tinggi harus dapat diakses semua rakyat dengan adil menurut kapasitas mereka, melalui cara-cara yang layak, dan khususnya dengan upaya menyediakan pendidikan gratis;
Kovenan ini diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR menjadi UU. Itu artinya Indonesia telah berkomitmen untuk menjamin hak pendidikan bagi rakyat Indonesia. Sehingga seharusnya pendidikan tidak menjadi barang mahal, bahkan seharusnya gratis. Akan tetapi pemerintah lebih memilih menjual rakyatnya daripada mencerdaskannya.

Rakyat Perlu Dilindungi
Musuh yang dihadapi rakyat hari ini bukan hanya pejabat kampus yang duduk nyaman di ruangan yang ber-AC. Musuh rakyat hari ini sangatlah kuat, yaitu bos-bos dunia. Perlawanan akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Metode secanggih apapun (baik itu kampanye massa, jalur hukum, sampai lobi-lobi politik) takkan mampu mengubah secara seketika keadaan pendidikan di Indonesia. Semakin lama pula, akan semakin banyak korban berjatuhan dalam sistem pendidikan neoliberal. Maka melindungi rakyat adalah suatu keniscayaan.
Berbagai peraturan perundang-undangan sebenarnya telah memberikan “beberapa” perlindungan hukum bagi rakyat agar tetap bisa mengakses pendidikan. Pendidikan dasar telah dijamin oleh UUD 1945. Pendidikan menengah pertama, menengah ke atas, dan pendidikan tinggi telah dijamin melalui bantuan, beasiswa dan keringanan bagi mereka yang berprestasi tapi kurang mampu secara ekonomi. Sekalipun ini saja tidak cukup, masih banyak golongan rakyat yang tidak bisa mengakses pendidikan. Rakyat yang miskin-pintar mungkin mendapat kesempatan akses pendidikan, namun bagaimana dengan yang miskin-bodoh?. Yang miskin-pintar pun belum tentu bisa mengenyam pendidikan, karena untuk dapat menjadi miskin haruslah memiliki syarat-syarat tertentu. Dalam praktek, biasanya orang miskin harus mampu menunjukkan Surat Keterangan Miskin, Kartu Jamin Kesehatan Masyarakat Miskin, dan bukti-bukti formil lainnya. Dengan itu semua pun belum tentu orang miskin bisa sekolah, tergantung kedermawanan sang birokrat dan masih cukup atau tidaknya kuota bangku dalam kelas. Padahal menurut World Bank, jumlah orang miskin di Indonesia berjumlah  102 juta jiwa[9].
Tak bisa dipungkiri belajar butuh biaya, pemerintah sendirian tak  mungkin mampu membiayai pendidikan seutuhnya. Saya sendiri sepakat dengan Anis Baswedan bahwa pendidikan adalah gerakan, artinya perlu dukungan seluruh pihak supaya pendidikan dapat terselenggara[10]. Dalam penyelenggaraan pendidikan terdapat 3 pihak yang membiayai, yaitu pemerintah, usaha bisnis/bantuan, dan peserta didik.
Pemerintah telah memiliki kepastian hukum dalam menjamin rakyatnya, yakni anggaran 20% APBN dan APBD untuk pendidikan. Usaha bisnis/bantuan dikelola secara mandiri oleh lembaga pendidikan untuk membantu kebutuhan lembaga pendidikan. Usaha bisnis/bantuan diakomodir lewat Perpres No 77 tahun 2007 dan UU Pendidikan Tinggi. Menurut Prof Djoko Hartanto[11] sebenarnya usaha bisnis/bantuan memiliki konsep yang sangat bagus bagi penyelenggaraan pendidikan. Bila usaha bisnis/bantuan berjalan baik dan menguntungkan hal ini dapat dialokasikan untuk menekan biaya pendidikan peserta didik seminim mungkin. Akan tetapi tidak ada aturan khusus berapa laba usaha bisnis/bantuan yang dialokasikan untuk menekan biaya pendidikan.
Namun bagaimana dengan kepastian hukum berapa yang harus dibiayai oleh peserta didik?. Peserta didik tidak memiliki batasan seberapa jauh presentasenya boleh membiayai pendidikan. Dalam UU BHP dikatakan peserta didik menanggung 1/3 biaya operasional, namun UU ini telah dibatalkan. Namun dalam praktek, biasanya perguruan tinggi melarang peserta didik membayar biaya pendidikan lebih dari 1/3 biaya operasional.
Biaya operasional diartikan menurut penjelasan Pasal 88 ayat (1) sebagai biaya diluar investasi dan pengembangan. Karena gaji dan tunjangan telah dibebankan oleh APBN, maka peserta didik operasional juga tidak termasuk gaji dan tunjangan. Dalam Pasal tersebut juga diatur bahwa biaya operasional harus mempertimbangkan capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis Program Studi, dan Indeks Kemahalan Wilayah. Dalam ayat (4) juga telah diatur bahwa biaya yang ditanggung peserta didik harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi peserta didik dalam hal ini mahasiswa.
Yang menjadi masalah adalah, aturan tersebut hanya mengakomodir jenjang pendidikan tinggi. Untuk jenjang pendidikan menengah pertama dan atas belum ada payung hukum yang mengatur. Sehingga dalam hal ini demi melindungi hak-hak rakyat atas akses pendidikan, perlu diatur sebuah regulasi berupa pembatasan biaya pendidikan untuk peserta didik.

Pembatasan Biaya Pendidikan
Solusi yang saya ajukan memiliki dasar pemikiran bahwa bila pemerintah memiliki batas minimum dalam penyelenggaraan pendidikan, maka masyarakat juga harus memiliki batas maksimum dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini dianggap perlu karena selama ini biaya pendidikan hanya ditetapkan oleh pimpinan lembaga pendidikan (kepala sekolah atau rektor). Hal ini menyebabkan ketidakpastian, karena masing-masing pimpinan lembaga pendidikan punya karakter dan kebijakan tersendiri dalam menetapkan biaya pendidikan, sekalipun telah ada pembatasan dari perundang-undangan. Padahal ada pihak-pihak lain yang sebenarnya juga patut dipertimbangkan, yaitu masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak kebijakan. Dalam negara yang demokratis, seharusnya pihak yang terkena dampak kebijakan turut dilibatkan dalam perumusan kebijakan. Terlebih bisa saja dalam suatu perguruan tinggi, dalam kurun waktu 5 tahun punya sistem dan nominal biaya pendidikan yang berbeda-beda. Di Unsoed Purwokerto misalnya, yang menerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada 2012, Bantuan Fasilitas Pendidikan (BFP) pada 2011, Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BOPP) pada 2010 dan 2009, Persatuan Orangtua Mahasiswa (POM) terakhir pada 2008, dan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) terakhir pada 2003.
Maka dalam pembatasan biaya pendidikan harus memenuhi beberapa prinsip. Prinsip pertama adalah masyarakat atau peserta didik tidak boleh membiayai yang bukan kewajibannya. Prinsip kedua, dalam pembiayaan oleh peserta didik harus mempertimbangkan indeks kemahalan wilayah, program studi, capaian standar nasional, kemampuan ekonomi peserta didik, asas keterbukaan, dan asas kepastian hukum. Prinsip ketiga penetapan biaya pendidikan harus melibatkan peserta didik atau yang membiayainya.
Secara teknis, mekanisme pembatasan biaya pendidikan mirip-mirip dengan mekanisme penetapan upah minimum regional. Jadi penetapan batas biaya pendidikan dibahas dan disepakati oleh perwakilan pimpinan sekolah/perguruan tinggi, perwakilan forum peserta didik atau wali, pemerintah daerah, dan perwakilan kementerian pendidikan dan kebudayaan. Berikut saya jabarkan mekanisme pembatasan biaya pendidikan:
1.      Pemerintah menganggarkan biaya untuk pendidikan dari APBN sebesar 20%, maka asumsinya masyarakat memiliki kewajiban membiayai pendidikan pula tidak boleh lebih dari 20% dari kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup seseorang telah diatur melalui dokumen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang biasanya digunakan untuk menetapkan UMR. Nominal maksimum dari masyarakat untuk membiayai pendidikan adalah 1/3 dari biaya operasional. Dalam hal ini biaya operasional harus sudah disesuaikan dengan indeks kemahalan wilayah, prodi, dan capaian standar nasional.
2.      Katakanlah dalam satu keluarga terdiri dari satu anak, satu ayah, dan satu ibu. Si ayah dan ibu adalah pekerja. Mari kita gunakan UMR paling tinggi se-Indonesia saja untuk mempermudah, yaitu di Bekasi Rp.2,4 juta. Sehingga asumsikan pendapatan keluarga Bekasi dalam 1 bulan adalah Rp. 4,2 juta. Dipotong 20% dari Rp.4,2 juta tersebut sehingga Rp 840 ribu per bulan adalah kewajiban satu keluarga Bekasi untuk membiayai pendidikan.
3.      Lalu suatu wilayah harus menentukan proporsi kebutuhan biaya pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan. Mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi. Misalnya PAUD se-Bekasi kebutuhannya Rp. 2 milyar, SD butuh Rp. 6 milyar, SMP butuh Rp. 6 milyar, SMA butuh Rp. 6 milyar, dan Perguruan Tinggi butuh Rp. 20 milyar. Maka perbandingan antara PAUD, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi adalah 2 : 6 : 6 : 6 : 20 atau jika disederhanakan ialah menjadi 1 : 3 : 3 : 3 : 10. Maka di Bekasi untuk menghitung batas biaya pendidikan seseorang untuk biaya pendidikan per bulan PAUD adalah 1/20 x Rp. 840 ribu = Rp.42 ribu, SD,SMP,dan SMA adalah 3/20 x Rp. 840 ribu = Rp. 146 ribu. Untuk Perguruan tinggi berarti 10/20 atau ½ x Rp. 840 ribu = 420 ribu perbulan atau Rp. 2.520.000 per semester.

Dengan adanya pembatasan ini, maka sekalipun lembaga pendidikan telah diliberalisasi, namun peserta didik telah memiliki jaminan seberapa besar boleh membiayai pendidikan. Solusi yang saya ajukan ini, bila dijalankan diharapkan akan mampu memberi perlindungan berupa kepastian hukum bagi peserta didik yang selama ini menjadi korban jual beli pendidikan. Jayalah perjuangan rakyat, jayalah pendidikan nasional.









DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant Of
Economics Social and Culture Rights
Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Putusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-X/2012
Putusan Mahkamah Konstitusi No 11-14-21-126-136/PUU VII/2009

Dokumen Negara
Risalah Sidang Perkara No 103/PUU-X/2012 dan No 111/PUU-X/2012

Literatur
Tilaar, H.A.R., 2005, Manifesto Pendidikan Nasional : Tinjauan Dari Perspektif Postmoderdnisme
dan Studi Kultural, Jakarta: Kompas.
Nuryatno, Agus, 2011,Mazhab Pendidikan Kritis, Yogyakarta : Resist Book.
Darmaningtyas, 2012, Manipulasi Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta : Resist Book.


Website
Setiawan,Dani .Liberalisasi Pendidikan dan WTO, diakses via oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=126






[1] H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional : Tinjauan Dari Perspektif Postmoderdnisme dan Studi Kultural, Jakarta, Kompas, 2005, hlm 142
[2] Ibid 142
[3] Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis, Yogyakarta, Resist Book, 2011, hlm 67
[4] H.A.R. Tilaar, Op Cit, hlm 142
[5] Dani Setiawan, Liberalisasi Pendidikan dan WTO, diakses via oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=126
[6] Putusan Mahkamah Konstotusi No 5/PUU-X/2012, hlm 24
[7] Risalah Sidang Perkara No 103/PUU-X/2012 dan No 111/PUU-X/2012 , hlm 21
[8] Darmaningtyas, Manipulasi Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta, Resist Book, 2012, hlm 33
[10] Disampaikan pada Diskusi Publik “Pendidikan dan Kebangsaan : Komersialisasi Pendidikan” di Aula FISIP Unsoed 11 November 2012
[11] Putusan Mahkamah Konstitusi No 11-14-21-126-136/PUU VII/2009, hlm 292

Anda Pengunjung ke