Selasa, 03 Juli 2012
Akademisi Transaksional
Siang itu, salah seorang dosen berkata dalam suatu seminar di Purwokerto, ”Dana itu sangat penting, maka dari itu untuk mendapat dana, buatlah suatu penelitian yang sesuai dengan kehendak si pemberi dana”. Dengan bangganya juga ia memamerkan beberapa keberhasilan penelitiannya dalam hal meraih dana, yang notabene berasal dari pemerintah. Mayoritas peserta seminar pun terlihat mengangguk setuju sekaligus kagum terhadap “prestasi” yang dipamerkan sang dosen itu. Mungkin hanya segelintir orang saja yang tidak sepaham dengan dosen itu, salah satunya ialah saya. Dalam hal yang demikian, tindakan dosen tadi saya kategorikan sebagai “Akademisi Transaksional”.
Civitas Akademika, yang mana unsur-unsurnya terdiri dari dosen dan mahasiswa, merupakan kelompok masyarakat dalam suatu institusi pendidikan tinggi. Dengan fasilitas penunjang untuk menggali ilmu, mereka dapat belajar dengan cara apapun. Dengan belajar, mereka menjadi tahu banyak hal. Kemudian mereka bisa menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah dari berbagai perspektif. Bilamana ada yang salah, maka dikatakanlah bahwa itu salah, lalu dikoreksilah hal yang salah itu sehingga menjadi benar. Oleh karenanya civitas akademika itu memiliki anugerah berupa nalar kritis, yaitu potensi untuk mengkoreksi terhadap suatu bentuk konsep dan realitas yang lebih dahulu mapan.
Dengan nalar kritis itulah, seorang akademisi dapat mengamati, menganalisis, mengungkap, dan mengubah suatu keadaan. Dengan berbagai metode baik itu melalui penelitian maupun karya lainnya, seorang akademisi mampu mengkritisi suatu bentuk kemapanan baik konsep maupun realitas. Misalnya saja, mengkritisi kebijakan pemerintah, budaya masyarakat, ataupun ideologi asing. Peranan civitas akademika dalam tatanan masyarakat akan senantiasa menjadi pengawas dalam setiap bentuk kemapanan.
Salah satu bentuk kemapanan di Indonesia ialah pemerintah yang notabene terdiri dari kaum elitis. Kaum elitis yang biasanya ialah pemilik modal yang terdiri dari segelintir orang ini menguasai hampir setiap aspek kehidupan di Indonesia baik dari ideologi, agama, sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, maupun sains. Sedangkan civitas akademika dengan nalar kritisnya, sejatinya merupakan kaum yang senantiasa mengkritisi pemerintah. Dinamisasi pertentangan yang demikianlah yang menjadi warna dalam pembangunan nasional.
Namun apa senyatanya saat ini terjadi fenomena seperti yang saya paparkan di alinea pertama, yakni fenomena akademisi transaksional. Yang dimaksud akademisi transaksional saya artikan sebagai seorang akademisi yang dalam hal melakukan gerakan intelektualnya berorientasi pada dana. Fenomena ini menjalar ke mahasiswa-mahasiswi dan dosen dalam membuat suatu karya ilmiah.
Civitas akademika sebagai kaum yang dianugerahi nalar kritis, kini mulai tidak lagi mengarahkan pemikirannya pada isu-isu perubahan, kesetaraan, hak rakyat, dan hal-hal yang bersifat melawan kemapanan lainnya. Dengan rumus “ikutilah kehendak pemberi dana”, civitas akademika kini mulai tergeser orientasinya dalam lembaran angka-angka yang bernilai ekonomi. Dengan kata lain, civitas akademika mulai berkomplot dengan pemberi dana.
Sang pemberi dana yang notabene dari kaum elit/pemerintah dengan “baik hati” memberi dana kepada mereka-mereka yang “berprestasi”. Sang pemberi dana menyelenggarakan banyak sekali lomba dengan hadiah yang menggiurkan. Tanpa perlu menyebut nama berbagai perlombaannya, saya pikir kita semua tahu atau setidak-tidaknya dapat mencari tahu dalam situs institusi pendidikan nasional.
Sistem ini mengubah dengan perlahan budaya civitas akademika dalam hal berkarya. Dengan sistem yang demikian, para akademisi diharapkan akan saling bersaing merebut dana tersebut. Para akademisi akan berusaha memahami apa yang ada dalam pemikiran sang pemberi dana. Dan tentu saja, para akademisi akan membuat suatu karya yang dikehendaki sang pemberi dana supaya bisa menang.
Hancurlah sudah esensi suatu karya ilmiah tatkala dipegang oleh akademisi transaksional ini. Sebuah penelitian seharusnya digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan metode tertentu. Namun oleh akademisi transaksional digunakan karya ilmiah itu untuk mengembangkan dana, bukannya mengambangkan ilmu pengetahuan. Karya ilmiah yang mana seharusnya didasarkan pada kehendak hati dan kebutuhan masyarakat, kini justu didasarkan pada kehendak kantong dan kebutuhan si pemberi dana.
Mengabdi Pada Masyarakat, atau Mengabdi Pada Dana?
Kerap dilupakan oleh civitas akademika poin ketiga dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pengabdian Masyarakat. Mahasiswa dalam mengabdikan diri pada masyarakat biasanya hanya melakukannya dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN), kecuali bilamana itu mahasiswa aktivis perubahan sosial. KKN sendiri dilakukan pada sekitar semester akhir dan hanya dalam waktu satu bulan. Padahal mahasiswa sendiri paling tidak menempuh pendidikan setidak-tidaknya 7 sampai 9 semester, namun mengabdi pada msyarakat hanya satu bulan. Dosen pun sedemikian halnya. Terjun ke masyarakat ialah bilamana ada suatu proyek tertentu dalam lembaga tertentu.
Akademisi transaksional tentu saja adalah golongan yang paling minim melakukan pengabdian masyarakat, dalam artian hakiki. Motif utama karya ilmiahnya adalah pencapaian dana. Masyarakat disini kerap hanya dijadikan objek penelitiannya guna kepentingan karyanya. Akademisi yang demikian, yang oleh Ibu guru saya pada dahulu bilang adalah “orang yang tak patut diteladani”.
Mengingat pada pengabdian masyarakat dalam Tri Dharma itulah seharusnya civitas akademika dalam membuat suatu karya harus berorientasi pada masyarakat. Civitas akademika dengan nalar kritisnya tetaplah harus mengkritisi kemapanan – terutama pemerintah – dalam memperjuangkan masyarakat. Keberpihakan pada masyarakat banyak harus dijunjung tinggi ketimbang keberpihakan pada segelintir orang. Gerakan intelektual haruslah dilandasi dengan niat menegakkan kebenaran ilmiah. Civitas akademisi harus kembali kedalam takdirnya untuk mengatakan bahwa apa yang benar adalah benar, dan apa yang salah adalah salah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jika dosen saja sudah berdagang ilmu pengetahuan, bagaimana dg NGO yg terang-terang kerjaannya bikin program?
BalasHapusSaya sepakat dg kalimat penutup bung (saya kutip di sini):
"Gerakan intelektual haruslah dilandasi dengan niat menegakkan kebenaran ilmiah"
namun pada posisi ini saya ingin bertanya, "kebenaran ilmiah" seperti apa yang bung maksud? sebab kita tahu frasa "kebenaran ilmiah" lekat dengan paradigma positivis; tradisi keilmuan yg bebas nilai dan berlindung di balik jargon "ilmu untuk ilmu"
demikian komentar saya, semoga bisa menjadi awal diskusi. ^_^
ah nggak juga kok. kenapa saya nulis kebenaran ilmiah, karena disini konteksnya akademisi. kalo saya nulisnya kebenaran tidak ilmiah, itu kalo konteksnya rohaniawan, dukun, dkk.
BalasHapusperihal kebenaran ilmiah, nggak selalu melekat paradigma positivis. memang pemahaman mayoritas masih seperti itu, tapi tidak semuanya. masih ada kok pola pikir alternatif, semisal posmodernisme. yah sekalipun posmo masih banyak cacat sana sini.
kebenaran ilmiah disini cuma sebatas niat dalam gerakan intelektualnya saja, nggak sama sekali saya kaitkan ke paradigmanya.