Senin, 26 November 2018

TENTANG WACANA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Tulisan ini juga tersedia dalam format PDF :

http://bit.ly/wacana40


Dua kali saya diundang jadi pemateri untuk membahas tentang Revolusi Industri 4.0. Pertama pada acara PPB Raya BEM KM UGM Oktober 2018, kedua pada Pekan Raya Kastrat BEM SV UGM November 2018. Tulisan ini akan mencoba memaparkan kembali apa yang saya sampaikan di acara itu, ditambah beberapa hal. Luangkan waktu setidaknya 30 menit untuk membaca tulisan ini sampai tuntas.

Berhubung telah banyak yang mengulas tentang apa itu Revolusi Industri 4.0, sepertinya saya tidak perlu lagi menjelaskan. Yang dapat kita pahami bersama, bahwa melalui penemuan artificial inteligence dan internet of things, telah menghasilkan dampak efisiensi pada ranah produksi. Narasi yang kerap dibawakan ketika membicarakan efisiensi adalah pengurangan tenaga kerja, sebab mesin akan menggantikan manusia. Ancaman ini sungguh terjadi, dan dapat kita lihat sendiri contohnya pada 1300 pekerja penjaga gerbang tol yang dimutasi dan di-PHK, karena penggunaan e-toll yang tak lagi membutuhkan tenaga kerja manusia yang harus melayani konsumen di gerbang jalan tol.

Sejak Revolusi Industri 4.0 ini dianggap sebagai masalah karena belum siapnya masyarakat menghadapi ini, sejak itu pula pemerintah mencoba merumuskan solusi. Salah satu rumusan yang kerap kita dengar untuk menghadapi masalah di atas adalah dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan vokasional.

Solusi di atas sebenarnya bukan hal baru. Saya pertama kali mengetahui bahwa pendidikan vokasional akan diprioritaskan sejak terbitnya Perpres Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Bahwa rasio jumlah SMK dan SMA diharapkan akan ditargetkan menjadi 70:30. Harapannya agar ada banyak manusia Indonesia yang siap untuk mengisi pos industri yang di masa depan akan tumbuh pesat, sebagai efek dari pembangunan konektivitas infrastruktur. Pemerintah era Jokowi-JK melanjutkan gagasan tersebut dengan memberi perhatian khusus pada pendidikan vokasional di perguruan tinggi.

Namun sepertinya solusi pemerintah dalam memberi perhatian pada pendidikan vokasional belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data BPS menunjukkan terjadi kenaikan angka pengangguran yang disumbangkan oleh perguruan tinggi vokasional atua diploma, yakni sebanyak 195.258 orang pada tahun 2014 menjadi 249.705 pada tahun 2017.[1] Di level SMK, data dari LIPI juga menunjukkan bahwa lulusan SMK termasuk memberi kontribusi angka pengangguran yang jumlahya besar, yakni 1,3 juta orang. Komite Pelatihan Vokasional memaparkan bahwa sebab dari demikian adalah besarnya angka mismatch antara kebutuhan industri dengan kompetensi lulusan, yakni sebesar 50 persen.[2]

Berhubung sepertinya solusi yang dijalankan pemerintah tidak solutif, maka mari kita coba keluar dari cara berpikir pemerintah.

Dalam video dokumenter dari Vox yang berjudul The Big Debate About the Future of Work, Explained, di situ dijelaskan bahwa narasi ancaman mesin akan menggantikan manusia telah muncul setidaknya pada tahun 1920-an. Pada tahun 1928, sebuah media di Amerika Serikat memuat artikel tentang otomatisasi yang akan membuat pekerja di sektor tertentu kehilangan pekerjaan. Di video itu diilustrasikan bahwa pada tahun 1920-an, elevator saja masih menggunakan tenaga manusia, yakni ada seseorang yang bertugas menjadi operator di dalam elevator. Pekerjaan semacam itu telah punah di zaman sekarang ini, sejak elevator bisa diperintah dengan tombol-tombol secara langsung oleh penggunanya. Ini artinya, narasi ancaman bahwa mesin akan menggantikan manusia bukan hal baru.

Di video itu juga dipaparkan bagan sebagai berikut:



Teknologi baru menghasilkan efisiensi. Efisiensi menghasilkan surplus. Surplus bisa dialokasikan untuk membeli produk lebih banyak, atau disimpan untuk pemenuhan kebutuhan baru. Nah, kebutuhan baru ini nantinya akan mendorong lahirnya pekerjaan baru. Jadi, teknologi, disamping melenyapkan pekerjaan lama, juga pada gilirannya menghasilkan pekerjaan baru.

Pada pola yang demikian itu, peran lembaga pendidikan adalah menjawab persoalan, apa dan bagaimana kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan di masa depan? Perguruan tinggi yang menerima mahasiswa baru angkatan 2019 misalnya, harus punya proyeksi kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan pada 2023. Sehingga ketika mahasiswa angkatan 2019 tadi lulus, maka tidak ada lagi persoalan mismatch separah sebelumnya.

Dengan memahami pola tadi, maka seharusnya tugas perguruan tinggi tidak untuk memenuhi permintaan industri. Sebab industri terus berkembang, dan oleh karenanya pendidikan akan selalu tertinggal. Tugas pendidikan harus lebih mulia dari itu, yakni menemukan solusi atas permasalahan masyarakat secara lintas bidang keilmuan. Ini artinya perguruan tinggi akan senantiasa menciptakan industri baru, pekerjaan baru. Manakala perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan diri dengan permintaan industri, dengan sendirinya jumlah mismatch melenyap.

***

Di timeline media sosial saya, pernah ada yang membagikan tautan berita yang kurang lebih berjudul Jokowi Minta Perguruan Tinggi Hapus Fakultas yang Sudah Usang. Berita itu biasa saja sebetulnya. Yang menarik adalah komentar dari berita itu. Fakultas filsafat menjadi bahan guyonan orang-orang. Seolah di masa depan, keberadaan  filsafat, atau bisa dibilang ilmu sosial-humaniora secara umum menjadi tidak relevan.

Saya tidak yakin Revolusi Industri 4.0 akan diterapkan di Indonesia secara optimal dalam waktu dekat. Meski demikian percakapan publik sudah membahas hal demikian sekarang-sekarang ini. Percakapan publik hari ini cenderung mengarah bagaimana kesiapan masyarakat menghadapi Revolusi Industri 4.0. Siap di sini adalah soal menyesuaikan zaman. Cara kita menyesuaikan “zaman” persis seperti orang gumun. Tidak hanya gumun, tapi juga latah. Semua kampus membicarakan Revolusi Industri 4.0 dengan narasi yang mirip satu sama lain: bahwa kita harus kreatif, inovatif, berdaya saing, dsb, dsb. Hal yang kerap luput dalam percakapan perihal Revolusi Industri 4.0 adalah soal nasib kemanusiaan kita.

Masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat saat ini tengah mengalami polarisasi akibat bangkitnya sentimen politik rasis dan fasis. Tengok saja kebijakan dan retorika Donald Trump yang sangat seksis, islamofobia, anti-imigran, heteronormatif, dan pro-supremasi kulit putih. Ataupun kebangkitan partai sayap kanan di Eropa seperti di Jerman, Perancis, Polandia, hingga Yunani. Padahal Amerika Serikat dan Eropa sudah lebih dulu memasuki fase Revolusi Industri 4.0.

Teknologi hanyalah alat, yang tujuannya bisa diarahkan tergantung penggunanya. Di tangan orang biadab, gawai bisa digunakan untuk mengirim pesan hoax ke grup-grup keluarga, merekam dan menyebarkan foto bugil mantan, hingga merekrut orang ke jaringan teroris.

Pada porsi inilah sosial-humaniora mesti mengisi problem yang tidak dicakup narasi Revolusi Industri 4.0 secara umum. Sebab robot bukan makhluk berbudaya, tidak punya hati, tidak punya kemanusiaan. Robot tidak bisa menjawab persoalan ketimpangan akses terhadap lahan, ketidakadilan karena diskriminasi gender, ras, klas sosial, dsb. Robot tidak bisa menciptakan gerakan sosial. Ini artinya rumpun ilmu sosial-humaniora tidak hanya relevan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, namun juga menentukan wajah kemanusiaan, menentukan nasib demokrasi ke depannya.

***

Seorang kawan pernah menyoal bagaimana relevansi Marxisme di tengah Revolusi Industri 4.0. Menjawab soal ini, mungkin kita akan jadi ingat bulan September. Setiap bulan September, biasanya ada saja pihak-pihak yang mengungkit sejarah 65, yang dihubungkan dengan komunisme, Marxisme, dsb. Biasanya pula, ada pihak yang ingin mengakhiri penggorengan isu tersebut dengan berkata, “Buat apa takut dengan komunisme, sebab komunisme sudah bangkrut.” Di sini kita tidak perlu memusingkan perbedaan Marxisme dan komunisme. Marxisme adalah rumpun pemikiran sosial-politik yang bersumber dari Karl Marx dan Friedrich Engels, sedangkan komunisme adalah salah satu komponen dari Marxisme. Engels mendefiniskan komunisme sebagai, “Ajaran tentang syarat-syarat pembebasan/emansipasi proletariat.

Dari definisinya saja kita sudah mengetahui bahwa Marxisme belum bangkrut, sebab pertama, klas buruh upahan atau proletariat masih eksis dalam masyarakat. Kedua, proletariat belum terbebaskan dari belenggu kerja upahan dan kapital.

Jika kebangkrutan Marxisme mengacu pada runtuhnya tembok Berlin, bubarnya Uni Soviet, dan disorientasi Republik Rakyat Tiongkok, hal ini tidak serta merta membuat Marxisme bangkrut. Hal itu hanya menandakan bahwa ada kekeliruan dalam penerapan Marxisme di Jerman, Rusia, dan Tiongkok.

Kalau mau adil, bisakah kita bilang bahwa Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha juga telah bangkrut, hanya karena ada kelompok teroris maupun garis keras yang mencoreng kemuliaan agama-agama tersebut? Sebut saja ISIS dan Boko Haram. Penerapan mereka yang sangat keliru atas agama Islam, apakah lantas kemudian membangkrutkan Islam? Ternyata tidak, sebab penganut agama Islam masih cukup besar di muka bumi ini. Metode yang sama bisa kita uji terhadap Marxisme, dan akan mendapatkan kesimpulan yang sama pula. Di berbagai negeri masih terdapat banyak organisasi atau partai yang menggunakan Marxisme sebagai asasnya.

Tundingan selanjutnya adalah bahwa Marxisme itu utopis, bahwa masyarakat tanpa klas tidak mungkin tercapai. Metode pengujian yang sama bisa kita lakukan pada ajaran agama. Apakah ada yang bisa membuktikan surga secara empiris, dalam artian secara indrawi? Sejauh ini bahkan tidak ada teknologi apapun yang telah menunjukkan bukti-bukti keberadaan surga. Tapi apakah lantas kemudian surga itu tidak ada? Belum tentu. Secara hipotetis, surga ada. Ajaran agama mengisyaratkan bahwa bukti empiris surga hanya dapat manifes ketika seseorang sudah mati. Jika metode pengujian ini kita terapkan pada Marxisme, kesimpulannya akan serupa, yakni bahwa masyarakat tanpa klas, masyarakat di mana tidak ada lagi klas-klas sosial, secara hipotetis ada. Namun hal itu mesti mengandaikan adanya perjuangan klas proletariat yang kemudian melenyapkan kepemilikan pribadi atas alat produksi.

Akan tetapi Marxisme selangkah lebih maju karena bukan saja masyarakat tanpa klas dapat terjelaskan secara hipotetis, namun telah terkonfirmasi secara historis. Temuan Lewis Morgan dalam Ancient Society membuktikan bahwa jauh sebelum zaman perbudakan, masyarakat komunal primitif ternyata dapat berlangsung tanpa adanya klas-klas sosial. Ini artinya klas-klas sosial tidak tercipta secara alamiah, melainkan melalui proses sosial. Dan melalui proses sosial pula, klas-klas sosial bisa lenyap. Corak produksi kapitalisme sebagai bentuk masyarakat ber-klas yang eksis hari ini, oleh karenanya, juga bisa berakhir. Di masa depan, masyarakat tanpa klas bisa terjadi.

Kembali ke persoalan dari seorang kawan. Revolusi Industri 4.0 menciptakan mesin otomatis, perangkat siber, dan robot pintar. Teknologi mutakhir ini bisa menggantikan manusia dalam kerja produksi. Manakala manusia tergantikan dalam kerja produksi, maka tidak perlu ada tenaga kerja, tidak perlu ada klas buruh, tidak perlu ada proletar. Marxisme menjadi tidak relevan karena proletariat tidak perlu dibebaskan, sebab keberadaannya akan lenyap dengan sendirinya oleh perkembangan teknologi. Benarkah?

Proposisi seorang kawan ini merupakan hipotesis. Pembuktiannya belum terkonfirmasi secara historis. Sialnya, kenyataan historis membuktikan sebaliknya. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang telah memasuki fase Revolusi Industri 4.0, nyatanya proletariat masih eksis. Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi seperti Tesla, Google, dan Amazon, masih mempekerjakan buruh dalam jumlah besar dan masih pula mengeksploitasi nilai lebih terhadap mereka.

Tesla mempekerjakan buruh sejumlah 46.000 orang[3]. Artikel dari Guardian[4] pernah memuat kondisi pekerja di Tesla yang berproduksi di bawah tekanan, mengalami stres, dan gangguan kesehatan. Sepanjang tahun 2014 sampai 2017, setidaknya telah ada 100 kali layanan ambulan yang datang karena kondisi pekerja yang bekerja melampaui kapasitas tubuhnya. Seorang teknisi Tesla mengatakan bahwa ia tak jarang melihat orang yang sedang bekerja tiba-tiba jatuh pingsan dengan mulut menganga. Durasi kerja buruh Tesla yang bisa mencapai 12 jam adalah salah satu sebab terjadinya hal-hal di atas.

Ambil contoh lain, perusahaan Apple. Pada kuartal ketiga lalu, Apple menghasilkan profit sebanyak 53,3 juta USD. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tengah pencapaian Apple yang prestisius, ada ribuan buruh yang mereka eksploitasi. Tech Insider dalam videonya This Man Worked Undercover in Chinese iPhone Factory menggambarkan kondisi kerja di pabrik iPhone di Shanghai. Para buruh di sana bekerja sepanjang 12 jam. Setiap hari atasan mereka membentak ke pekerjanya. Beberapa kali ada kasus bunuh diri oleh buruh di pabrik itu, hingga akhirnya perusahaan memasang jaring di tangga dan jendela untuk mencegah bunuh diri terjadi. Meskipun mereka bekerja memproduksi iPhone, akan tetapi hanya sedikit dari mereka yang memiliki iPhone.

Kondisi proletariat di negeri yang telah memasuki fase Revolusi Industri 4.0 ternyata menunjukkan bahwa Marxisme masih relevan. Berbagai teori-teori Marxis dapat menjelaskan hal ini mulai dari teori eksploitasi nilai lebih, teori alienasi buruh, teori kesadaran palsu, dsb.

Tapi mari bayangkan bagaimana jika hipotesis yang diajukan seorang kawan tadi itu benar-benar terjadi? Maksudnya, bagaimana jika entah di suatu masa, berkat adanya Revolusi Industri 4.0, maka eksistensi proletariat menjadi lenyap? Pengandaian ini bermasalah. Seolah-olah Revolusi Industri 4.0 adalah fenomena perkembangan teknologi belaka, yang terlepas dari relasi sosial-ekonominya. Oleh karenanya, mari kita ajukan medan persoalan baru: dalam relasi sosial-ekonomi kapitalisme, apakah penggantian sepenuhnya kerja manusia oleh robot dalam kerangka Revolusi Industri 4.0 menjadi mungkin? Untuk menjawab soal ini, mari kutip tulisan dari seseorang bernama Adam Booth yang berjudul Capitalism’s Economic Singularities.

Inti dari tulisan ini adalah bahwa perkembangan teknologi dihambat oleh adanya kepemilikan pribadi (private property) atas alat produksi dalam kerangka kapitalisme-monopoli. Penjelasannya sebagai berikut.

Majalah The Economist pernah memuat artikel berjudul “Clean Energy’s Dirty Secret.” yang isinya bahwa revolusi energi terbarukan malah menghancurkan pasar kelistrikan dunia. Demikian yang ia tulis:

“Sudah tidak terlalu jauh sekarang untuk berpikir bahwa dunia sedang memasuki era energi yang bersih, murah, dan tak terbatas. Akan tetapi ada resiko sebesar $20 triliun. Secara umum, investor senang menaruh uangnya pada sektor kelistrikan karena menawarkan imbal hasil yang memadai. Akan tetapi energi hijau mempunyai rahasia yang kotor. Makin banyak ia diterapkan, akan makin turunlah harga daya listrik dari semua sumber apapun. Ini membuat sulit untuk mengelola transisi ke masa depan bebas-karbon, di mana berbagai teknologi pembangkit listrik, baik bersih maupun kotor, harus tetap menguntungkan apabila kita masih menginginkan lampu-lampu menyala.”

Penjelasan dari kutipan di atas adalah bahwa biaya marjinal dari energi terbarukan adalah (hampir) nol. Sekali kincir angin atau panel surya terpasang, listrik yang diproduksi dengan bantuan angin dan matahari secara efektif bersifat gratis. Kalaupun ada biaya seperti maintenance, pemasangan, distribusi, biaya-biaya ini akan relatif murah karena ada perkembangan teknologi dan penggunaan secara massal. Semakin tinggi pasokan energi terbarukan, harga listrik akan tertekan turun menuju (hampir) nol. Oleh karenanya, turun pula profit dari berbagai perusahaan energi. Dengan profit yang kecil atau hampir tidak ada, mustahil menemukan investor untuk membiayai.

Barangkali inilah kenapa Donald Trump menentang Paris Agreement. Alasannya jelas, Donald Trump mewakili kepentingan industrialis pendukung energi non terbarukan seperti migas dan batubara. Segala upaya untuk mendorong transisi ke energi terbarukan akan ditentang oleh mereka. Kapitalisme menghambat kemajuan penggunaan energi terbarukan.

Sekarang kita coba lanjut ke contoh kedua. Di era digital, banyak barang fisik digantikan oleh deretan bilangan biner. Piringan hitam diganti CD, lalu digantikan lagi oleh MP3. Termasuk tulisan ini yang di zaman dulu mesti didistribusikan lewat kertas, sekarang dapat dibaca lewat layar gawai. Tidak seperti barang pada umumya, barang digital dapat digandakan cukup dengan copy paste secara gratis. Dalam bahasa ekonomi, benda tersebut memiliki biaya marjinal nol. Karena biaya marjinalnya nol, maka sinyal harga tidak akan muncul, dan sama seperti kasus sebelumnya, profit melenyap.

Para kapitalis kemudian menemukan jalan untuk tetap menjalankan bisnis industri berbasis informasi digital, adalah dengan tidak membiarkannya ke pasar bebas, melainkan menundukkannya. Dengan kata lain, kapitalis membutuhkan monopoli. Paul Mason dalam Post Capitalism menjelaskan bahwa, “Dengan kapitalisme-informasi, monopoli bukanlah hanya sekedar taktik cerdas untuk memaksimalkan profit. Melainkan, inilah satu-satunya cara sebuah industri dapat berjalan. Sedikitnya jumlah perusahaan yang mendominasi masing-masing sektor sangatlah mencolok... misi perusahaan Apple, secara jujur, adalah untuk mencegak adanya kelimpahan musik.

Kedua contoh di atas adalah bentuk dari kontradiksi antara kemajuan teknologi dengan corak produksi kapitalisme. Lebih dari seabad silam, Karl Marx dalam A Contribution to the Critique of Political Economy mengatakan ini:

“Pada tingkat tertentu dalam perkembangan masyarakat, daya produksi material akan mengalami konflik dengan relasi produksi yang sedang berjalan, atau sekedar menggambarkan hal yang sama dalam istilah yang lebih resmi – dengan relasi properti dalam kerangka di mana mereka beroperasi sebelumnya. Dari sebelumnya menjadi bentuk pengembangan terhadap daya produksi, kini relasi-relasi ini justri berubah menjadi penghambat. Pada saat inilah revolusi sosial akan dimulai.”

Calum Chace dalam The Economic Singularity: Artificial Inteligence and the Death of Capitalism mengatakan bahwa teknologi berkembang dengan laju yang terlalu cepat dibandingkan dengan kemampuan pekerja untuk mengimbanginya. Singularitas ekonomi ini menghasilkan kontradiksi di bawah kapitalisme. Apabila nanti tidak ada lagi buruh, tidak ada relasi kerja upahan, maka darimana permintaan pasar untuk produk para kapitalis akan datang? Siapa yang akan membeli berbagai barang yang diproduksi oleh para robot? Tanpa ada yang membeli komoditi, alias barang-barang tidak ada yang laku, maka yang terjadi adalah krisis.

Masyarakat kapitalis hanya bisa hidup dari profit. Profit dalam masyarakat kapitalis tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan mesin, sekalipun mesin itu memproduksi komoditasnya sendiri. Sebab mesin tidak menghasilkan nilai (value), curahan kerja lah yang menghasilkannya. Otomatisasi dalam kerangka Revolusi Industri 4.0, jika itu dimaksudkan menggantikan kerja manusia dengan robot, bertentangan dengan corak produksi kapitalis.

Marxisme tidak hanya relevan dengan pembahasan Revolusi Industri 4.0. Perjuangan klas proletariat untuk menghapus kepemilikan pribadi atas alat produksi, melakukan kolektifisasi dan kontrol demokratis atas alat produksi, dapat mendorong Revolusi Industri 4.0 menjadi mungkin terealisasi secara penuh bagi umat manusia.

***

Anda Pengunjung ke