http://bit.ly/wacana40
Dua
kali saya diundang jadi pemateri untuk membahas tentang Revolusi Industri 4.0.
Pertama pada acara PPB Raya BEM KM UGM Oktober 2018, kedua pada Pekan Raya Kastrat
BEM SV UGM November 2018. Tulisan ini akan mencoba memaparkan kembali apa yang
saya sampaikan di acara itu, ditambah beberapa hal. Luangkan waktu setidaknya
30 menit untuk membaca tulisan ini sampai tuntas.
Berhubung
telah banyak yang mengulas tentang apa itu Revolusi Industri 4.0, sepertinya
saya tidak perlu lagi menjelaskan. Yang dapat kita pahami bersama, bahwa
melalui penemuan artificial inteligence
dan internet of things, telah
menghasilkan dampak efisiensi pada ranah produksi. Narasi yang kerap dibawakan
ketika membicarakan efisiensi adalah pengurangan tenaga kerja, sebab mesin akan
menggantikan manusia. Ancaman ini sungguh terjadi, dan dapat kita lihat sendiri
contohnya pada 1300 pekerja penjaga gerbang tol yang dimutasi dan di-PHK, karena
penggunaan e-toll yang tak lagi
membutuhkan tenaga kerja manusia yang harus melayani konsumen di gerbang jalan
tol.
Sejak
Revolusi Industri 4.0 ini dianggap sebagai masalah karena belum siapnya
masyarakat menghadapi ini, sejak itu pula pemerintah mencoba merumuskan solusi.
Salah satu rumusan yang kerap kita dengar untuk menghadapi masalah di atas
adalah dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan vokasional.
Solusi
di atas sebenarnya bukan hal baru. Saya pertama kali mengetahui bahwa pendidikan
vokasional akan diprioritaskan sejak terbitnya Perpres Nomor 32 Tahun 2011
tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Bahwa rasio jumlah SMK dan SMA diharapkan akan ditargetkan menjadi 70:30.
Harapannya agar ada banyak manusia Indonesia yang siap untuk mengisi pos
industri yang di masa depan akan tumbuh pesat, sebagai efek dari pembangunan
konektivitas infrastruktur. Pemerintah era Jokowi-JK melanjutkan gagasan
tersebut dengan memberi perhatian khusus pada pendidikan vokasional di
perguruan tinggi.
Namun
sepertinya solusi pemerintah dalam memberi perhatian pada pendidikan vokasional
belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data BPS menunjukkan terjadi kenaikan
angka pengangguran yang disumbangkan oleh perguruan tinggi vokasional atua
diploma, yakni sebanyak 195.258 orang pada tahun 2014 menjadi 249.705 pada
tahun 2017.[1] Di
level SMK, data dari LIPI juga menunjukkan bahwa lulusan SMK termasuk memberi
kontribusi angka pengangguran yang jumlahya besar, yakni 1,3 juta orang. Komite
Pelatihan Vokasional memaparkan bahwa sebab dari demikian adalah besarnya angka
mismatch antara kebutuhan industri
dengan kompetensi lulusan, yakni sebesar 50 persen.[2]
Berhubung
sepertinya solusi yang dijalankan pemerintah tidak solutif, maka mari kita coba
keluar dari cara berpikir pemerintah.
Dalam
video dokumenter dari Vox yang
berjudul The Big Debate About the Future
of Work, Explained, di situ dijelaskan bahwa narasi ancaman mesin akan
menggantikan manusia telah muncul setidaknya pada tahun 1920-an. Pada tahun
1928, sebuah media di Amerika Serikat memuat artikel tentang otomatisasi yang
akan membuat pekerja di sektor tertentu kehilangan pekerjaan. Di video itu diilustrasikan
bahwa pada tahun 1920-an, elevator saja masih menggunakan tenaga manusia, yakni
ada seseorang yang bertugas menjadi operator di dalam elevator. Pekerjaan
semacam itu telah punah di zaman sekarang ini, sejak elevator bisa diperintah
dengan tombol-tombol secara langsung oleh penggunanya. Ini artinya, narasi
ancaman bahwa mesin akan menggantikan manusia bukan hal baru.
Di
video itu juga dipaparkan bagan sebagai berikut:
Teknologi
baru menghasilkan efisiensi. Efisiensi menghasilkan surplus. Surplus bisa
dialokasikan untuk membeli produk lebih banyak, atau disimpan untuk pemenuhan
kebutuhan baru. Nah, kebutuhan baru ini nantinya akan mendorong lahirnya
pekerjaan baru. Jadi, teknologi, disamping melenyapkan pekerjaan lama, juga
pada gilirannya menghasilkan pekerjaan baru.
Pada
pola yang demikian itu, peran lembaga pendidikan adalah menjawab persoalan, apa
dan bagaimana kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan di masa depan? Perguruan
tinggi yang menerima mahasiswa baru angkatan 2019 misalnya, harus punya
proyeksi kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan pada 2023. Sehingga ketika
mahasiswa angkatan 2019 tadi lulus, maka tidak ada lagi persoalan mismatch separah sebelumnya.
Dengan
memahami pola tadi, maka seharusnya tugas perguruan tinggi tidak untuk memenuhi
permintaan industri. Sebab industri terus berkembang, dan oleh karenanya
pendidikan akan selalu tertinggal. Tugas pendidikan harus lebih mulia dari itu,
yakni menemukan solusi atas permasalahan masyarakat secara lintas bidang
keilmuan. Ini artinya perguruan tinggi akan senantiasa menciptakan industri
baru, pekerjaan baru. Manakala perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan diri
dengan permintaan industri, dengan sendirinya jumlah mismatch melenyap.
***
Di timeline media sosial saya, pernah ada
yang membagikan tautan berita yang kurang lebih berjudul Jokowi Minta Perguruan Tinggi Hapus Fakultas yang Sudah Usang.
Berita itu biasa saja sebetulnya. Yang menarik adalah komentar dari berita itu.
Fakultas filsafat menjadi bahan guyonan
orang-orang. Seolah di masa depan, keberadaan
filsafat, atau bisa dibilang ilmu sosial-humaniora secara umum menjadi
tidak relevan.
Saya
tidak yakin Revolusi Industri 4.0 akan diterapkan di Indonesia secara optimal
dalam waktu dekat. Meski demikian percakapan publik sudah membahas hal demikian
sekarang-sekarang ini. Percakapan publik hari ini cenderung mengarah bagaimana
kesiapan masyarakat menghadapi Revolusi Industri 4.0. Siap di sini adalah soal
menyesuaikan zaman. Cara kita menyesuaikan “zaman” persis seperti orang gumun. Tidak hanya gumun, tapi juga
latah. Semua kampus membicarakan Revolusi Industri 4.0 dengan narasi yang mirip
satu sama lain: bahwa kita harus kreatif, inovatif, berdaya saing, dsb, dsb.
Hal yang kerap luput dalam percakapan perihal Revolusi Industri 4.0 adalah soal
nasib kemanusiaan kita.
Masyarakat
di Eropa dan Amerika Serikat saat ini tengah mengalami polarisasi akibat
bangkitnya sentimen politik rasis dan fasis. Tengok saja kebijakan dan retorika
Donald Trump yang sangat seksis, islamofobia, anti-imigran, heteronormatif, dan
pro-supremasi kulit putih. Ataupun kebangkitan partai sayap kanan di Eropa
seperti di Jerman, Perancis, Polandia, hingga Yunani. Padahal Amerika Serikat
dan Eropa sudah lebih dulu memasuki fase Revolusi Industri 4.0.
Teknologi
hanyalah alat, yang tujuannya bisa diarahkan tergantung penggunanya. Di tangan
orang biadab, gawai bisa digunakan untuk mengirim pesan hoax ke grup-grup keluarga, merekam dan menyebarkan foto bugil
mantan, hingga merekrut orang ke jaringan teroris.
Pada
porsi inilah sosial-humaniora mesti mengisi problem yang tidak dicakup narasi
Revolusi Industri 4.0 secara umum. Sebab robot bukan makhluk berbudaya, tidak
punya hati, tidak punya kemanusiaan. Robot tidak bisa menjawab persoalan
ketimpangan akses terhadap lahan, ketidakadilan karena diskriminasi gender,
ras, klas sosial, dsb. Robot tidak bisa menciptakan gerakan sosial. Ini artinya
rumpun ilmu sosial-humaniora tidak hanya relevan dalam menghadapi Revolusi
Industri 4.0, namun juga menentukan wajah kemanusiaan, menentukan nasib
demokrasi ke depannya.
***
Seorang
kawan pernah menyoal bagaimana relevansi Marxisme di tengah Revolusi Industri
4.0. Menjawab soal ini, mungkin kita akan jadi ingat bulan September. Setiap
bulan September, biasanya ada saja pihak-pihak yang mengungkit sejarah 65, yang
dihubungkan dengan komunisme, Marxisme, dsb. Biasanya pula, ada pihak yang ingin
mengakhiri penggorengan isu tersebut dengan berkata, “Buat apa takut dengan komunisme, sebab komunisme sudah bangkrut.”
Di sini kita tidak perlu memusingkan perbedaan Marxisme dan komunisme. Marxisme
adalah rumpun pemikiran sosial-politik yang bersumber dari Karl Marx dan
Friedrich Engels, sedangkan komunisme adalah salah satu komponen dari Marxisme.
Engels mendefiniskan komunisme sebagai, “Ajaran
tentang syarat-syarat pembebasan/emansipasi proletariat.”
Dari
definisinya saja kita sudah mengetahui bahwa Marxisme belum bangkrut, sebab pertama, klas buruh upahan atau
proletariat masih eksis dalam masyarakat. Kedua,
proletariat belum terbebaskan dari belenggu kerja upahan dan kapital.
Jika
kebangkrutan Marxisme mengacu pada runtuhnya tembok Berlin, bubarnya Uni
Soviet, dan disorientasi Republik Rakyat Tiongkok, hal ini tidak serta merta
membuat Marxisme bangkrut. Hal itu hanya menandakan bahwa ada kekeliruan dalam
penerapan Marxisme di Jerman, Rusia, dan Tiongkok.
Kalau
mau adil, bisakah kita bilang bahwa Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha juga
telah bangkrut, hanya karena ada kelompok teroris maupun garis keras yang
mencoreng kemuliaan agama-agama tersebut? Sebut saja ISIS dan Boko Haram.
Penerapan mereka yang sangat keliru atas agama Islam, apakah lantas kemudian
membangkrutkan Islam? Ternyata tidak, sebab penganut agama Islam masih cukup
besar di muka bumi ini. Metode yang sama bisa kita uji terhadap Marxisme, dan
akan mendapatkan kesimpulan yang sama pula. Di berbagai negeri masih terdapat
banyak organisasi atau partai yang menggunakan Marxisme sebagai asasnya.
Tundingan
selanjutnya adalah bahwa Marxisme itu utopis, bahwa masyarakat tanpa klas tidak
mungkin tercapai. Metode pengujian yang sama bisa kita lakukan pada ajaran
agama. Apakah ada yang bisa membuktikan surga secara empiris, dalam artian
secara indrawi? Sejauh ini bahkan tidak ada teknologi apapun yang telah
menunjukkan bukti-bukti keberadaan surga. Tapi apakah lantas kemudian surga itu
tidak ada? Belum tentu. Secara hipotetis, surga ada. Ajaran agama
mengisyaratkan bahwa bukti empiris surga hanya dapat manifes ketika seseorang
sudah mati. Jika metode pengujian ini kita terapkan pada Marxisme,
kesimpulannya akan serupa, yakni bahwa masyarakat tanpa klas, masyarakat di
mana tidak ada lagi klas-klas sosial, secara hipotetis ada. Namun hal itu mesti
mengandaikan adanya perjuangan klas proletariat yang kemudian melenyapkan
kepemilikan pribadi atas alat produksi.
Akan
tetapi Marxisme selangkah lebih maju karena bukan saja masyarakat tanpa klas
dapat terjelaskan secara hipotetis, namun telah terkonfirmasi secara historis.
Temuan Lewis Morgan dalam Ancient Society
membuktikan bahwa jauh sebelum zaman perbudakan, masyarakat komunal
primitif ternyata dapat berlangsung tanpa adanya klas-klas sosial. Ini artinya
klas-klas sosial tidak tercipta secara alamiah, melainkan melalui proses
sosial. Dan melalui proses sosial pula, klas-klas sosial bisa lenyap. Corak
produksi kapitalisme sebagai bentuk masyarakat ber-klas yang eksis hari ini,
oleh karenanya, juga bisa berakhir. Di masa depan, masyarakat tanpa klas bisa
terjadi.
Kembali
ke persoalan dari seorang kawan. Revolusi Industri 4.0 menciptakan mesin
otomatis, perangkat siber, dan robot pintar. Teknologi mutakhir ini bisa menggantikan
manusia dalam kerja produksi. Manakala manusia tergantikan dalam kerja
produksi, maka tidak perlu ada tenaga kerja, tidak perlu ada klas buruh, tidak
perlu ada proletar. Marxisme menjadi tidak relevan karena proletariat tidak
perlu dibebaskan, sebab keberadaannya akan lenyap dengan sendirinya oleh
perkembangan teknologi. Benarkah?
Proposisi
seorang kawan ini merupakan hipotesis. Pembuktiannya belum terkonfirmasi secara
historis. Sialnya, kenyataan historis membuktikan sebaliknya. Di Amerika Serikat
dan Eropa Barat yang telah memasuki fase Revolusi Industri 4.0, nyatanya
proletariat masih eksis. Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang
teknologi seperti Tesla, Google, dan Amazon, masih mempekerjakan buruh dalam
jumlah besar dan masih pula mengeksploitasi nilai lebih terhadap mereka.
Tesla
mempekerjakan buruh sejumlah 46.000 orang[3].
Artikel dari Guardian[4]
pernah memuat kondisi pekerja di Tesla yang berproduksi di bawah tekanan, mengalami
stres, dan gangguan kesehatan. Sepanjang tahun 2014 sampai 2017, setidaknya
telah ada 100 kali layanan ambulan yang datang karena kondisi pekerja yang
bekerja melampaui kapasitas tubuhnya. Seorang teknisi Tesla mengatakan bahwa ia
tak jarang melihat orang yang sedang bekerja tiba-tiba jatuh pingsan dengan
mulut menganga. Durasi kerja buruh Tesla yang bisa mencapai 12 jam adalah salah
satu sebab terjadinya hal-hal di atas.
Ambil
contoh lain, perusahaan Apple. Pada kuartal ketiga lalu, Apple menghasilkan
profit sebanyak 53,3 juta USD. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tengah
pencapaian Apple yang prestisius, ada ribuan buruh yang mereka eksploitasi.
Tech Insider dalam videonya This Man
Worked Undercover in Chinese iPhone Factory menggambarkan kondisi kerja di
pabrik iPhone di Shanghai. Para buruh di sana bekerja sepanjang 12 jam. Setiap
hari atasan mereka membentak ke pekerjanya. Beberapa kali ada kasus bunuh diri
oleh buruh di pabrik itu, hingga akhirnya perusahaan memasang jaring di tangga
dan jendela untuk mencegah bunuh diri terjadi. Meskipun mereka bekerja
memproduksi iPhone, akan tetapi hanya sedikit dari mereka yang memiliki iPhone.
Kondisi
proletariat di negeri yang telah memasuki fase Revolusi Industri 4.0 ternyata
menunjukkan bahwa Marxisme masih relevan. Berbagai teori-teori Marxis dapat menjelaskan
hal ini mulai dari teori eksploitasi nilai lebih, teori alienasi buruh, teori
kesadaran palsu, dsb.
Tapi
mari bayangkan bagaimana jika hipotesis yang diajukan seorang kawan tadi itu
benar-benar terjadi? Maksudnya, bagaimana jika entah di suatu masa, berkat
adanya Revolusi Industri 4.0, maka eksistensi proletariat menjadi lenyap?
Pengandaian ini bermasalah. Seolah-olah Revolusi Industri 4.0 adalah fenomena
perkembangan teknologi belaka, yang terlepas dari relasi sosial-ekonominya. Oleh
karenanya, mari kita ajukan medan persoalan baru: dalam relasi sosial-ekonomi
kapitalisme, apakah penggantian sepenuhnya kerja manusia oleh robot dalam
kerangka Revolusi Industri 4.0 menjadi mungkin? Untuk menjawab soal ini, mari kutip
tulisan dari seseorang bernama Adam Booth yang berjudul Capitalism’s Economic Singularities.
Inti
dari tulisan ini adalah bahwa perkembangan teknologi dihambat oleh adanya
kepemilikan pribadi (private property)
atas alat produksi dalam kerangka kapitalisme-monopoli. Penjelasannya sebagai
berikut.
Majalah
The Economist pernah memuat artikel
berjudul “Clean Energy’s Dirty Secret.” yang
isinya bahwa revolusi energi terbarukan malah menghancurkan pasar kelistrikan
dunia. Demikian yang ia tulis:
“Sudah tidak terlalu
jauh sekarang untuk berpikir bahwa dunia sedang memasuki era energi yang
bersih, murah, dan tak terbatas. Akan tetapi ada resiko sebesar $20 triliun.
Secara umum, investor senang menaruh uangnya pada sektor kelistrikan karena
menawarkan imbal hasil yang memadai. Akan tetapi energi hijau mempunyai rahasia
yang kotor. Makin banyak ia diterapkan, akan makin turunlah harga daya listrik
dari semua sumber apapun. Ini membuat sulit untuk mengelola transisi ke masa
depan bebas-karbon, di mana berbagai teknologi pembangkit listrik, baik bersih
maupun kotor, harus tetap menguntungkan apabila kita masih menginginkan
lampu-lampu menyala.”
Penjelasan
dari kutipan di atas adalah bahwa biaya marjinal dari energi terbarukan adalah
(hampir) nol. Sekali kincir angin atau panel surya terpasang, listrik yang
diproduksi dengan bantuan angin dan matahari secara efektif bersifat gratis.
Kalaupun ada biaya seperti maintenance,
pemasangan, distribusi, biaya-biaya ini akan relatif murah karena ada
perkembangan teknologi dan penggunaan secara massal. Semakin tinggi pasokan
energi terbarukan, harga listrik akan tertekan turun menuju (hampir) nol. Oleh
karenanya, turun pula profit dari berbagai perusahaan energi. Dengan profit
yang kecil atau hampir tidak ada, mustahil menemukan investor untuk membiayai.
Barangkali
inilah kenapa Donald Trump menentang Paris Agreement. Alasannya jelas, Donald
Trump mewakili kepentingan industrialis pendukung energi non terbarukan seperti
migas dan batubara. Segala upaya untuk mendorong transisi ke energi terbarukan
akan ditentang oleh mereka. Kapitalisme menghambat kemajuan penggunaan energi
terbarukan.
Sekarang
kita coba lanjut ke contoh kedua. Di era digital, banyak barang fisik
digantikan oleh deretan bilangan biner. Piringan hitam diganti CD, lalu
digantikan lagi oleh MP3. Termasuk tulisan ini yang di zaman dulu mesti
didistribusikan lewat kertas, sekarang dapat dibaca lewat layar gawai. Tidak seperti
barang pada umumya, barang digital dapat digandakan cukup dengan copy paste secara gratis. Dalam bahasa
ekonomi, benda tersebut memiliki biaya marjinal nol. Karena biaya marjinalnya
nol, maka sinyal harga tidak akan muncul, dan sama seperti kasus sebelumnya,
profit melenyap.
Para
kapitalis kemudian menemukan jalan untuk tetap menjalankan bisnis industri
berbasis informasi digital, adalah dengan tidak membiarkannya ke pasar bebas,
melainkan menundukkannya. Dengan kata lain, kapitalis membutuhkan monopoli.
Paul Mason dalam Post Capitalism menjelaskan
bahwa, “Dengan kapitalisme-informasi,
monopoli bukanlah hanya sekedar taktik cerdas untuk memaksimalkan profit.
Melainkan, inilah satu-satunya cara sebuah industri dapat berjalan. Sedikitnya
jumlah perusahaan yang mendominasi masing-masing sektor sangatlah mencolok...
misi perusahaan Apple, secara jujur, adalah untuk mencegak adanya kelimpahan
musik.”
Kedua
contoh di atas adalah bentuk dari kontradiksi antara kemajuan teknologi dengan
corak produksi kapitalisme. Lebih dari seabad silam, Karl Marx dalam A Contribution to the Critique of Political
Economy mengatakan ini:
“Pada tingkat
tertentu dalam perkembangan masyarakat, daya produksi material akan mengalami
konflik dengan relasi produksi yang sedang berjalan, atau sekedar menggambarkan
hal yang sama dalam istilah yang lebih resmi – dengan relasi properti dalam
kerangka di mana mereka beroperasi sebelumnya. Dari sebelumnya menjadi bentuk
pengembangan terhadap daya produksi, kini relasi-relasi ini justri berubah
menjadi penghambat. Pada saat inilah revolusi sosial akan dimulai.”
Calum
Chace dalam The Economic Singularity:
Artificial Inteligence and the Death of Capitalism mengatakan bahwa
teknologi berkembang dengan laju yang terlalu cepat dibandingkan dengan
kemampuan pekerja untuk mengimbanginya. Singularitas ekonomi ini menghasilkan
kontradiksi di bawah kapitalisme. Apabila nanti tidak ada lagi buruh, tidak ada
relasi kerja upahan, maka darimana permintaan pasar untuk produk para kapitalis
akan datang? Siapa yang akan membeli berbagai barang yang diproduksi oleh para
robot? Tanpa ada yang membeli komoditi, alias barang-barang tidak ada yang
laku, maka yang terjadi adalah krisis.
Masyarakat
kapitalis hanya bisa hidup dari profit. Profit dalam masyarakat kapitalis tidak
bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan mesin, sekalipun mesin itu memproduksi
komoditasnya sendiri. Sebab mesin tidak menghasilkan nilai (value), curahan kerja lah yang menghasilkannya. Otomatisasi dalam
kerangka Revolusi Industri 4.0, jika itu dimaksudkan menggantikan kerja manusia
dengan robot, bertentangan dengan corak produksi kapitalis.
Marxisme
tidak hanya relevan dengan pembahasan Revolusi Industri 4.0. Perjuangan klas
proletariat untuk menghapus kepemilikan pribadi atas alat produksi, melakukan
kolektifisasi dan kontrol demokratis atas alat produksi, dapat mendorong
Revolusi Industri 4.0 menjadi mungkin terealisasi secara penuh bagi umat
manusia.
***
