Senin, 31 Desember 2018

[FREE BOOK] Kuliah Kok Mahal?

Langsung sedot aja gan, semoga bermanfaat bagi sesama.

Lumayan untuk menambah amunisi wacana kepada gerakan yg concern pada isu komersialisasi di perguruan tinggi.

bit.ly/kuliahkokmahal

Mohon kritik, saran, dan share ke lingkaran sekitarmu.

Senin, 26 November 2018

TENTANG WACANA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Tulisan ini juga tersedia dalam format PDF :

http://bit.ly/wacana40


Dua kali saya diundang jadi pemateri untuk membahas tentang Revolusi Industri 4.0. Pertama pada acara PPB Raya BEM KM UGM Oktober 2018, kedua pada Pekan Raya Kastrat BEM SV UGM November 2018. Tulisan ini akan mencoba memaparkan kembali apa yang saya sampaikan di acara itu, ditambah beberapa hal. Luangkan waktu setidaknya 30 menit untuk membaca tulisan ini sampai tuntas.

Berhubung telah banyak yang mengulas tentang apa itu Revolusi Industri 4.0, sepertinya saya tidak perlu lagi menjelaskan. Yang dapat kita pahami bersama, bahwa melalui penemuan artificial inteligence dan internet of things, telah menghasilkan dampak efisiensi pada ranah produksi. Narasi yang kerap dibawakan ketika membicarakan efisiensi adalah pengurangan tenaga kerja, sebab mesin akan menggantikan manusia. Ancaman ini sungguh terjadi, dan dapat kita lihat sendiri contohnya pada 1300 pekerja penjaga gerbang tol yang dimutasi dan di-PHK, karena penggunaan e-toll yang tak lagi membutuhkan tenaga kerja manusia yang harus melayani konsumen di gerbang jalan tol.

Sejak Revolusi Industri 4.0 ini dianggap sebagai masalah karena belum siapnya masyarakat menghadapi ini, sejak itu pula pemerintah mencoba merumuskan solusi. Salah satu rumusan yang kerap kita dengar untuk menghadapi masalah di atas adalah dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan vokasional.

Solusi di atas sebenarnya bukan hal baru. Saya pertama kali mengetahui bahwa pendidikan vokasional akan diprioritaskan sejak terbitnya Perpres Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Bahwa rasio jumlah SMK dan SMA diharapkan akan ditargetkan menjadi 70:30. Harapannya agar ada banyak manusia Indonesia yang siap untuk mengisi pos industri yang di masa depan akan tumbuh pesat, sebagai efek dari pembangunan konektivitas infrastruktur. Pemerintah era Jokowi-JK melanjutkan gagasan tersebut dengan memberi perhatian khusus pada pendidikan vokasional di perguruan tinggi.

Namun sepertinya solusi pemerintah dalam memberi perhatian pada pendidikan vokasional belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data BPS menunjukkan terjadi kenaikan angka pengangguran yang disumbangkan oleh perguruan tinggi vokasional atua diploma, yakni sebanyak 195.258 orang pada tahun 2014 menjadi 249.705 pada tahun 2017.[1] Di level SMK, data dari LIPI juga menunjukkan bahwa lulusan SMK termasuk memberi kontribusi angka pengangguran yang jumlahya besar, yakni 1,3 juta orang. Komite Pelatihan Vokasional memaparkan bahwa sebab dari demikian adalah besarnya angka mismatch antara kebutuhan industri dengan kompetensi lulusan, yakni sebesar 50 persen.[2]

Berhubung sepertinya solusi yang dijalankan pemerintah tidak solutif, maka mari kita coba keluar dari cara berpikir pemerintah.

Dalam video dokumenter dari Vox yang berjudul The Big Debate About the Future of Work, Explained, di situ dijelaskan bahwa narasi ancaman mesin akan menggantikan manusia telah muncul setidaknya pada tahun 1920-an. Pada tahun 1928, sebuah media di Amerika Serikat memuat artikel tentang otomatisasi yang akan membuat pekerja di sektor tertentu kehilangan pekerjaan. Di video itu diilustrasikan bahwa pada tahun 1920-an, elevator saja masih menggunakan tenaga manusia, yakni ada seseorang yang bertugas menjadi operator di dalam elevator. Pekerjaan semacam itu telah punah di zaman sekarang ini, sejak elevator bisa diperintah dengan tombol-tombol secara langsung oleh penggunanya. Ini artinya, narasi ancaman bahwa mesin akan menggantikan manusia bukan hal baru.

Di video itu juga dipaparkan bagan sebagai berikut:



Teknologi baru menghasilkan efisiensi. Efisiensi menghasilkan surplus. Surplus bisa dialokasikan untuk membeli produk lebih banyak, atau disimpan untuk pemenuhan kebutuhan baru. Nah, kebutuhan baru ini nantinya akan mendorong lahirnya pekerjaan baru. Jadi, teknologi, disamping melenyapkan pekerjaan lama, juga pada gilirannya menghasilkan pekerjaan baru.

Pada pola yang demikian itu, peran lembaga pendidikan adalah menjawab persoalan, apa dan bagaimana kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan di masa depan? Perguruan tinggi yang menerima mahasiswa baru angkatan 2019 misalnya, harus punya proyeksi kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan pada 2023. Sehingga ketika mahasiswa angkatan 2019 tadi lulus, maka tidak ada lagi persoalan mismatch separah sebelumnya.

Dengan memahami pola tadi, maka seharusnya tugas perguruan tinggi tidak untuk memenuhi permintaan industri. Sebab industri terus berkembang, dan oleh karenanya pendidikan akan selalu tertinggal. Tugas pendidikan harus lebih mulia dari itu, yakni menemukan solusi atas permasalahan masyarakat secara lintas bidang keilmuan. Ini artinya perguruan tinggi akan senantiasa menciptakan industri baru, pekerjaan baru. Manakala perguruan tinggi tidak harus menyesuaikan diri dengan permintaan industri, dengan sendirinya jumlah mismatch melenyap.

***

Di timeline media sosial saya, pernah ada yang membagikan tautan berita yang kurang lebih berjudul Jokowi Minta Perguruan Tinggi Hapus Fakultas yang Sudah Usang. Berita itu biasa saja sebetulnya. Yang menarik adalah komentar dari berita itu. Fakultas filsafat menjadi bahan guyonan orang-orang. Seolah di masa depan, keberadaan  filsafat, atau bisa dibilang ilmu sosial-humaniora secara umum menjadi tidak relevan.

Saya tidak yakin Revolusi Industri 4.0 akan diterapkan di Indonesia secara optimal dalam waktu dekat. Meski demikian percakapan publik sudah membahas hal demikian sekarang-sekarang ini. Percakapan publik hari ini cenderung mengarah bagaimana kesiapan masyarakat menghadapi Revolusi Industri 4.0. Siap di sini adalah soal menyesuaikan zaman. Cara kita menyesuaikan “zaman” persis seperti orang gumun. Tidak hanya gumun, tapi juga latah. Semua kampus membicarakan Revolusi Industri 4.0 dengan narasi yang mirip satu sama lain: bahwa kita harus kreatif, inovatif, berdaya saing, dsb, dsb. Hal yang kerap luput dalam percakapan perihal Revolusi Industri 4.0 adalah soal nasib kemanusiaan kita.

Masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat saat ini tengah mengalami polarisasi akibat bangkitnya sentimen politik rasis dan fasis. Tengok saja kebijakan dan retorika Donald Trump yang sangat seksis, islamofobia, anti-imigran, heteronormatif, dan pro-supremasi kulit putih. Ataupun kebangkitan partai sayap kanan di Eropa seperti di Jerman, Perancis, Polandia, hingga Yunani. Padahal Amerika Serikat dan Eropa sudah lebih dulu memasuki fase Revolusi Industri 4.0.

Teknologi hanyalah alat, yang tujuannya bisa diarahkan tergantung penggunanya. Di tangan orang biadab, gawai bisa digunakan untuk mengirim pesan hoax ke grup-grup keluarga, merekam dan menyebarkan foto bugil mantan, hingga merekrut orang ke jaringan teroris.

Pada porsi inilah sosial-humaniora mesti mengisi problem yang tidak dicakup narasi Revolusi Industri 4.0 secara umum. Sebab robot bukan makhluk berbudaya, tidak punya hati, tidak punya kemanusiaan. Robot tidak bisa menjawab persoalan ketimpangan akses terhadap lahan, ketidakadilan karena diskriminasi gender, ras, klas sosial, dsb. Robot tidak bisa menciptakan gerakan sosial. Ini artinya rumpun ilmu sosial-humaniora tidak hanya relevan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, namun juga menentukan wajah kemanusiaan, menentukan nasib demokrasi ke depannya.

***

Seorang kawan pernah menyoal bagaimana relevansi Marxisme di tengah Revolusi Industri 4.0. Menjawab soal ini, mungkin kita akan jadi ingat bulan September. Setiap bulan September, biasanya ada saja pihak-pihak yang mengungkit sejarah 65, yang dihubungkan dengan komunisme, Marxisme, dsb. Biasanya pula, ada pihak yang ingin mengakhiri penggorengan isu tersebut dengan berkata, “Buat apa takut dengan komunisme, sebab komunisme sudah bangkrut.” Di sini kita tidak perlu memusingkan perbedaan Marxisme dan komunisme. Marxisme adalah rumpun pemikiran sosial-politik yang bersumber dari Karl Marx dan Friedrich Engels, sedangkan komunisme adalah salah satu komponen dari Marxisme. Engels mendefiniskan komunisme sebagai, “Ajaran tentang syarat-syarat pembebasan/emansipasi proletariat.

Dari definisinya saja kita sudah mengetahui bahwa Marxisme belum bangkrut, sebab pertama, klas buruh upahan atau proletariat masih eksis dalam masyarakat. Kedua, proletariat belum terbebaskan dari belenggu kerja upahan dan kapital.

Jika kebangkrutan Marxisme mengacu pada runtuhnya tembok Berlin, bubarnya Uni Soviet, dan disorientasi Republik Rakyat Tiongkok, hal ini tidak serta merta membuat Marxisme bangkrut. Hal itu hanya menandakan bahwa ada kekeliruan dalam penerapan Marxisme di Jerman, Rusia, dan Tiongkok.

Kalau mau adil, bisakah kita bilang bahwa Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha juga telah bangkrut, hanya karena ada kelompok teroris maupun garis keras yang mencoreng kemuliaan agama-agama tersebut? Sebut saja ISIS dan Boko Haram. Penerapan mereka yang sangat keliru atas agama Islam, apakah lantas kemudian membangkrutkan Islam? Ternyata tidak, sebab penganut agama Islam masih cukup besar di muka bumi ini. Metode yang sama bisa kita uji terhadap Marxisme, dan akan mendapatkan kesimpulan yang sama pula. Di berbagai negeri masih terdapat banyak organisasi atau partai yang menggunakan Marxisme sebagai asasnya.

Tundingan selanjutnya adalah bahwa Marxisme itu utopis, bahwa masyarakat tanpa klas tidak mungkin tercapai. Metode pengujian yang sama bisa kita lakukan pada ajaran agama. Apakah ada yang bisa membuktikan surga secara empiris, dalam artian secara indrawi? Sejauh ini bahkan tidak ada teknologi apapun yang telah menunjukkan bukti-bukti keberadaan surga. Tapi apakah lantas kemudian surga itu tidak ada? Belum tentu. Secara hipotetis, surga ada. Ajaran agama mengisyaratkan bahwa bukti empiris surga hanya dapat manifes ketika seseorang sudah mati. Jika metode pengujian ini kita terapkan pada Marxisme, kesimpulannya akan serupa, yakni bahwa masyarakat tanpa klas, masyarakat di mana tidak ada lagi klas-klas sosial, secara hipotetis ada. Namun hal itu mesti mengandaikan adanya perjuangan klas proletariat yang kemudian melenyapkan kepemilikan pribadi atas alat produksi.

Akan tetapi Marxisme selangkah lebih maju karena bukan saja masyarakat tanpa klas dapat terjelaskan secara hipotetis, namun telah terkonfirmasi secara historis. Temuan Lewis Morgan dalam Ancient Society membuktikan bahwa jauh sebelum zaman perbudakan, masyarakat komunal primitif ternyata dapat berlangsung tanpa adanya klas-klas sosial. Ini artinya klas-klas sosial tidak tercipta secara alamiah, melainkan melalui proses sosial. Dan melalui proses sosial pula, klas-klas sosial bisa lenyap. Corak produksi kapitalisme sebagai bentuk masyarakat ber-klas yang eksis hari ini, oleh karenanya, juga bisa berakhir. Di masa depan, masyarakat tanpa klas bisa terjadi.

Kembali ke persoalan dari seorang kawan. Revolusi Industri 4.0 menciptakan mesin otomatis, perangkat siber, dan robot pintar. Teknologi mutakhir ini bisa menggantikan manusia dalam kerja produksi. Manakala manusia tergantikan dalam kerja produksi, maka tidak perlu ada tenaga kerja, tidak perlu ada klas buruh, tidak perlu ada proletar. Marxisme menjadi tidak relevan karena proletariat tidak perlu dibebaskan, sebab keberadaannya akan lenyap dengan sendirinya oleh perkembangan teknologi. Benarkah?

Proposisi seorang kawan ini merupakan hipotesis. Pembuktiannya belum terkonfirmasi secara historis. Sialnya, kenyataan historis membuktikan sebaliknya. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang telah memasuki fase Revolusi Industri 4.0, nyatanya proletariat masih eksis. Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi seperti Tesla, Google, dan Amazon, masih mempekerjakan buruh dalam jumlah besar dan masih pula mengeksploitasi nilai lebih terhadap mereka.

Tesla mempekerjakan buruh sejumlah 46.000 orang[3]. Artikel dari Guardian[4] pernah memuat kondisi pekerja di Tesla yang berproduksi di bawah tekanan, mengalami stres, dan gangguan kesehatan. Sepanjang tahun 2014 sampai 2017, setidaknya telah ada 100 kali layanan ambulan yang datang karena kondisi pekerja yang bekerja melampaui kapasitas tubuhnya. Seorang teknisi Tesla mengatakan bahwa ia tak jarang melihat orang yang sedang bekerja tiba-tiba jatuh pingsan dengan mulut menganga. Durasi kerja buruh Tesla yang bisa mencapai 12 jam adalah salah satu sebab terjadinya hal-hal di atas.

Ambil contoh lain, perusahaan Apple. Pada kuartal ketiga lalu, Apple menghasilkan profit sebanyak 53,3 juta USD. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di tengah pencapaian Apple yang prestisius, ada ribuan buruh yang mereka eksploitasi. Tech Insider dalam videonya This Man Worked Undercover in Chinese iPhone Factory menggambarkan kondisi kerja di pabrik iPhone di Shanghai. Para buruh di sana bekerja sepanjang 12 jam. Setiap hari atasan mereka membentak ke pekerjanya. Beberapa kali ada kasus bunuh diri oleh buruh di pabrik itu, hingga akhirnya perusahaan memasang jaring di tangga dan jendela untuk mencegah bunuh diri terjadi. Meskipun mereka bekerja memproduksi iPhone, akan tetapi hanya sedikit dari mereka yang memiliki iPhone.

Kondisi proletariat di negeri yang telah memasuki fase Revolusi Industri 4.0 ternyata menunjukkan bahwa Marxisme masih relevan. Berbagai teori-teori Marxis dapat menjelaskan hal ini mulai dari teori eksploitasi nilai lebih, teori alienasi buruh, teori kesadaran palsu, dsb.

Tapi mari bayangkan bagaimana jika hipotesis yang diajukan seorang kawan tadi itu benar-benar terjadi? Maksudnya, bagaimana jika entah di suatu masa, berkat adanya Revolusi Industri 4.0, maka eksistensi proletariat menjadi lenyap? Pengandaian ini bermasalah. Seolah-olah Revolusi Industri 4.0 adalah fenomena perkembangan teknologi belaka, yang terlepas dari relasi sosial-ekonominya. Oleh karenanya, mari kita ajukan medan persoalan baru: dalam relasi sosial-ekonomi kapitalisme, apakah penggantian sepenuhnya kerja manusia oleh robot dalam kerangka Revolusi Industri 4.0 menjadi mungkin? Untuk menjawab soal ini, mari kutip tulisan dari seseorang bernama Adam Booth yang berjudul Capitalism’s Economic Singularities.

Inti dari tulisan ini adalah bahwa perkembangan teknologi dihambat oleh adanya kepemilikan pribadi (private property) atas alat produksi dalam kerangka kapitalisme-monopoli. Penjelasannya sebagai berikut.

Majalah The Economist pernah memuat artikel berjudul “Clean Energy’s Dirty Secret.” yang isinya bahwa revolusi energi terbarukan malah menghancurkan pasar kelistrikan dunia. Demikian yang ia tulis:

“Sudah tidak terlalu jauh sekarang untuk berpikir bahwa dunia sedang memasuki era energi yang bersih, murah, dan tak terbatas. Akan tetapi ada resiko sebesar $20 triliun. Secara umum, investor senang menaruh uangnya pada sektor kelistrikan karena menawarkan imbal hasil yang memadai. Akan tetapi energi hijau mempunyai rahasia yang kotor. Makin banyak ia diterapkan, akan makin turunlah harga daya listrik dari semua sumber apapun. Ini membuat sulit untuk mengelola transisi ke masa depan bebas-karbon, di mana berbagai teknologi pembangkit listrik, baik bersih maupun kotor, harus tetap menguntungkan apabila kita masih menginginkan lampu-lampu menyala.”

Penjelasan dari kutipan di atas adalah bahwa biaya marjinal dari energi terbarukan adalah (hampir) nol. Sekali kincir angin atau panel surya terpasang, listrik yang diproduksi dengan bantuan angin dan matahari secara efektif bersifat gratis. Kalaupun ada biaya seperti maintenance, pemasangan, distribusi, biaya-biaya ini akan relatif murah karena ada perkembangan teknologi dan penggunaan secara massal. Semakin tinggi pasokan energi terbarukan, harga listrik akan tertekan turun menuju (hampir) nol. Oleh karenanya, turun pula profit dari berbagai perusahaan energi. Dengan profit yang kecil atau hampir tidak ada, mustahil menemukan investor untuk membiayai.

Barangkali inilah kenapa Donald Trump menentang Paris Agreement. Alasannya jelas, Donald Trump mewakili kepentingan industrialis pendukung energi non terbarukan seperti migas dan batubara. Segala upaya untuk mendorong transisi ke energi terbarukan akan ditentang oleh mereka. Kapitalisme menghambat kemajuan penggunaan energi terbarukan.

Sekarang kita coba lanjut ke contoh kedua. Di era digital, banyak barang fisik digantikan oleh deretan bilangan biner. Piringan hitam diganti CD, lalu digantikan lagi oleh MP3. Termasuk tulisan ini yang di zaman dulu mesti didistribusikan lewat kertas, sekarang dapat dibaca lewat layar gawai. Tidak seperti barang pada umumya, barang digital dapat digandakan cukup dengan copy paste secara gratis. Dalam bahasa ekonomi, benda tersebut memiliki biaya marjinal nol. Karena biaya marjinalnya nol, maka sinyal harga tidak akan muncul, dan sama seperti kasus sebelumnya, profit melenyap.

Para kapitalis kemudian menemukan jalan untuk tetap menjalankan bisnis industri berbasis informasi digital, adalah dengan tidak membiarkannya ke pasar bebas, melainkan menundukkannya. Dengan kata lain, kapitalis membutuhkan monopoli. Paul Mason dalam Post Capitalism menjelaskan bahwa, “Dengan kapitalisme-informasi, monopoli bukanlah hanya sekedar taktik cerdas untuk memaksimalkan profit. Melainkan, inilah satu-satunya cara sebuah industri dapat berjalan. Sedikitnya jumlah perusahaan yang mendominasi masing-masing sektor sangatlah mencolok... misi perusahaan Apple, secara jujur, adalah untuk mencegak adanya kelimpahan musik.

Kedua contoh di atas adalah bentuk dari kontradiksi antara kemajuan teknologi dengan corak produksi kapitalisme. Lebih dari seabad silam, Karl Marx dalam A Contribution to the Critique of Political Economy mengatakan ini:

“Pada tingkat tertentu dalam perkembangan masyarakat, daya produksi material akan mengalami konflik dengan relasi produksi yang sedang berjalan, atau sekedar menggambarkan hal yang sama dalam istilah yang lebih resmi – dengan relasi properti dalam kerangka di mana mereka beroperasi sebelumnya. Dari sebelumnya menjadi bentuk pengembangan terhadap daya produksi, kini relasi-relasi ini justri berubah menjadi penghambat. Pada saat inilah revolusi sosial akan dimulai.”

Calum Chace dalam The Economic Singularity: Artificial Inteligence and the Death of Capitalism mengatakan bahwa teknologi berkembang dengan laju yang terlalu cepat dibandingkan dengan kemampuan pekerja untuk mengimbanginya. Singularitas ekonomi ini menghasilkan kontradiksi di bawah kapitalisme. Apabila nanti tidak ada lagi buruh, tidak ada relasi kerja upahan, maka darimana permintaan pasar untuk produk para kapitalis akan datang? Siapa yang akan membeli berbagai barang yang diproduksi oleh para robot? Tanpa ada yang membeli komoditi, alias barang-barang tidak ada yang laku, maka yang terjadi adalah krisis.

Masyarakat kapitalis hanya bisa hidup dari profit. Profit dalam masyarakat kapitalis tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan mesin, sekalipun mesin itu memproduksi komoditasnya sendiri. Sebab mesin tidak menghasilkan nilai (value), curahan kerja lah yang menghasilkannya. Otomatisasi dalam kerangka Revolusi Industri 4.0, jika itu dimaksudkan menggantikan kerja manusia dengan robot, bertentangan dengan corak produksi kapitalis.

Marxisme tidak hanya relevan dengan pembahasan Revolusi Industri 4.0. Perjuangan klas proletariat untuk menghapus kepemilikan pribadi atas alat produksi, melakukan kolektifisasi dan kontrol demokratis atas alat produksi, dapat mendorong Revolusi Industri 4.0 menjadi mungkin terealisasi secara penuh bagi umat manusia.

***

Kamis, 18 Januari 2018

Wawancara dengan GWR

( Ini adalah wawancara yang saya lakukan sekitar awal 2014, yang dimuat di majalah LPM Pro Justitia FH Unsoed. Saya muat ulang di sini untuk tujuan pendidikan )




Di dalam ruangan yang cukup redup, ia sedang duduk membaca beberapa dokumen. Matanya yang sudah tidak lagi tajam itu, masih jeli mempelajari seluk beluk agraria di Indonesia. Meski tubuhnya telah dimakan usia, tapi pikirannya masih bekerja. Masih fasih betul dalam berargumen, lengkap dengan teori dan data. Prof. Dr. HC. Ir. Gunawan Wiradi M. Sos. Sc. adalah namanya, atau yang akrab disapa GWR. Beliau adalah guru besar agraria Indonesia yang seumur hidupnya mengkaji dan memperjuangkan reforma agraria, sebagai landasan pembangunan bangsa Indonesia. Di usianya yang yang sudah 82 tahun, beliau tidak pernah berhenti untuk terus membangun gagasan-gagasan dan mendorong pelaksanaan reforma agraria yang sejati. Sampai hari ini, beliau masih memegang peranan sebagai Dewan Pakar KPA, dan juga aktif di Sayogyo Instititute.

PMA : Panji Mulkillah
GWR : Gunawan Wiradi

PMA :
Menurut anda, apa yang dimaksud perampasan tanah?
GWR :
Perampasan tanah atau landgrabbing, itu istilah baru. Pakar-pakar kita menerjemahkan perampasan tanah sebagai pelanggaran hak konstitusional masyarakat atas tanah. Menurut saya itu nggak tepat. Karena merampas tanah itu bisa dengan ganti rugi, bisa tidak. Tapi perampasan tanah itu pokoknya memperoleh sesuatu (tanah) dengan cara yang tidak bermoral. Jadi ini bukan masalah hukum. Pendeknya, masalah agraria itu bukan masalah hukum. Hukum itu belakangan. Hukum itu bisa dipakai untuk menegakkan kebenaran dan ketidakadilan, tapi juga bisa dipakai untuk menegakkan ketidakbenaran dan ketidakadilan. Jadi hanya pembenar. Jadi itu belakangan. Kalau bicara agraria, apa saja, adalah masalah ekonomi politik.
Perampasan tanah yang dimaksud adalah terjemahan bahasa inggris, land grabbing. Pada abad ke-12 di Inggris disebut enclosure. Di Inggris itu sendiri selama 600 tahun parlemennya berubah-ubah, mulai dari membenarkan enclosure, lalu berubah menjadi membatalkan. Yang terakhir ketika tanah rakyat tinggal 4000 hektar barulah sadar, akhirnya dilarang. Kalau memang itulah yang dimaksud dengan land grabbing.
Nah sekarang dengan arus globalisasi ekonomi neolib ini, sudah terjadi (perampasan tanah) dimana-mana, tidak hanya di Indonesia.

PMA :
Bagaimana peran pemerintah atas terjadinya perampasan tanah ini?
GWR :
Kita harus pahami dulu bahwa zaman selalu berubah. Tiap zaman itu potretnya beda-beda. Potret sebuah masarakat itu ptoses dari bekerjanya ada empat faktor yang saling berinteraksi. Yaitu dinamika internal masyarakat itu sendiri, kemudian intervensi pemerintah melalui kebijakannya, lalu dengan warisan sejarah, lalu dengan asing. Tiap zaman dari faktor itu yang dominan beda-beda. Nah kalau sekarang yang mana? Menurut saya yang dominan ini intervensi asing. Ini menguji mental bangsa Indonesia.

PMA :
Kenapa intervensi asing bisa dominan di Indonesia?
GWR :
Nah itulah menurut pendapat saya, merupakan pengkhianatan terhadap NKRI. Awal penghianatan adalah lahirnya Orde Baru, dengan tiga Undang-Undangnya sejak 1967 yakni Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Kehutanan, lalu Undang-Undang tentang Pertambangan. Nah jadi masalahnya ialah masalah politik.

PMA :
Lalu siapa sebenarnya yang paling berperan dengan adanya perampasan tanah?
GWR :
Kalau ditanya peran ini peran itu, semua punya peran yang mendukung proses perampasan tanah. Karena bagaimanapun juga, pendiri republik sadar benar bahwa masalah dasar adalah masalah agraria, yakni bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Jadi ini implikasinya, orang bisa menganalisis rumit-rumit, tapi intinya itu. Lahirnya kolonialisme ketika kapitalisme menanam modalnya di suatu negeri itu jenuh. Dia punya yang disebut oleh Bung Karno, istilahnya, ‘nafsu’ untuk ekspansi.
Zaman dulu ekspansinya menggunakan militer. Jadi penaklukan-penaklukan itu pada hakikatnya untuk memperoleh tanah. Itulah lahirnya kolonialisme.
Ketika sesudah Perang Dunia II cara penaklukan tidak populer, maka dengan cara lain, cara halus. Dengan intelijen, dengan membujuk melalui konsep-konsep yang menyesatkan dan sebagainya. Ini prosesnya sedari dulu. Jadi kalau sekarang ada buku Merindukan Soeharto, wah ini nggak ngerti ini. Bahwa zaman Soeharto itu memang stabil, tapi korbannya berapa ratus ribu kekerasan dengan tangan besi.
Jadi menurut saya kalau potret sekarang ituu kita anggap sebagai potret yang buruk maka menurut saya ini adalah akibat dari Orde Baru. Tapi ada yang menganggap sekarang ini bagus. Ya, bagus menurut mengikuti gerak duni yang neolib.
Negara berkembang terutama Indonesia itu mengalami Triple Squeeze atau tiga jepitan. Dari atas globalisasi ekonomi, dari samping privatisasi, dan dari bawah otonomi daerah. Ini yang banyak nggak sadar. Sebelum era reformasi ini, kita sudah punya otonomi daerah bernama daerah swatantra bahkan sampai tingkat 3.
Sekarang negara kita ini seperti puing-puing. Menjadi desentralisasi korupsi. Desentralisasi raja-raja kecil. Jadi kalau ditanya peran negara apa, peran ini apa, itu semua berinteraksi.
Peran pemerintah jelas melalui izin. Karena itu saya bilang, ini bukan masalah hukum. Lalu etika pergaulan internasional juga berhubungan. Jadi ada konsep asing langsung begitu saja diadopsi.
Bahkan neolib itu pinter. Mereka didonor oleh 300 orang, tapi namanya dirahasiakan. Coba baca pidatonya SBY di APEC, dalam kalimat terakhirnya dia mengaku sebagai Chiefperson of Indonesia Incorporation. Jadi RI dianggap perusahaan. Ini bertentangan sekali dengan cita-cita proklamasi.

PMA :
Jadi dia sebagai salesman?
GWR :
Iya. Nah itu kita nggak bisa. Kita lengah. Kita tidak setia. Kita bukan lagi bangsa merdeka. Atau jika masih diklaim bangsa merdeka, kita bukan lagi RI Proklamasi 45. Coba, malah UUD 45 diobrak-abrik seperti itu.

PMA :
Apa tanggapan anda melihat hari ini masih banyak monopoli tanah di Indonesia?
GWR :
Saya pernah nulis makalah di STPN pada tahun 1999, judulnya Reforma Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, dan sebaliknya Konflik Agraria Anak Kandung Reforma Agraria. Yang dimaksud apa? Pelaksanaan reforma agraria bagaimanapun akan menimbulkan konflik juga.
Tuan-tuan tanah yang nggak rela, itu pasti akan menentang sebagian besar. Karena yang dicita-citakan oleh kita kan tanah yang melampaui batas itu kan diambil negara tetapi tidak dirampas atau disita, tetapi diberi kompensasi.
Jadi pemahaman mengenai reforma agraria belum sempat meluas dan dipahami dengan benar, malah pemerintahan Sukarno digulingkan. Padahal waktu itu ada banyak ahli-ahli hukum membahas landasan filosofi hukum lahirnya UUPA.
Ini ada implikasi pada konsep ketatanegaraan yaitu merujuk pada pertanyaan, tanah itu milik siapa? Milik Tuhan? Negara? Atau individu? Atau siapa? Karena pada waktu itu sedang berlangsung suasana perang dingin, dan tidak mau berpihak ke salah satu, maka lahirlah filosofi monodualis.
Jadi dalam sistem kapitalisme, tanah dibagi habis kepada semua individu, termasuk individu yang bernama negara. Karena itu ada tanah milik negara.
Dalam sosialisme, negara sebagai individu, tapi satu-satunya diberi hak memiliki tanah. Rakyat hanya menggarap. Kita nggak mau dua-duanya. Lalu bagaimana?
Lalu diletakkan tanah ini milik seluruh bangsa. Berarti milik bersama. Kalau milik seluruh bangsa, bagaimana mengaturnya? Maka lahirlah MPR. Ini merupakah implikasi ketatanegaraan. Karena itu ketatanegaraan menurut UUD 45 (yang pertama) adalah MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kalau sekarang kan dilucuti jadi lembaga tinggi negara. Ini kan jadi amburadul semua. Jadi itu lembaga tertinggi negara, karena tanah milik bersama. Lalu MPR memberi mandat kepada Presiden untuk mengatur tata kelola tanah itu tadi.
Merdeka itu masalah martabat. Karena itu selalu diplesetkan kalau “tujuan kita harus begini-begitu supaya rakyat sejahtera.” Itu betul. Tapi tujuan reforma agraria bukanlah sejahtera, tapi keadilan. Kalau sejahtera, dijajah tapi sejahtera nggak apa-apa kan? Nah itu ada anak muda yang begitu. Apa mau? Semangat merdeka itu keadilan.
Kalau kita lihat sejarah reforma agraria, itu bukan hanya di Indonesia. Kalau yang diakui sebagai sejarah reforma agraria itu pertama kali di Yunani, hampir 600 SM. Tapi sebetulnya kalau dilacak lebih jauh, lebih dari 1000 tahun SM.
Jadi untuk mengatasi masalah agraria ini tidak lain solusinya adalah kembali pemahaman secara politik. Lalu masalah kemauan politik untuk merombak struktur agraria itu. Kalau tidak kesana itu tambal sulam.

PMA :
Apa komentar anda tentang UUPA, yang orang-orang nilai itu seperti pisau bermata dua?
GWR :
Bahwa sekarang UUPA seperti itu, itu memang belum sempurna seperti cita-citanya. Itu karena KMB. Dulu sasaran utama, karena lahirnya kolonialisme Belanda yang liberal, maka lahirlah perkebunan-perkebunan besar.
Jadi sasaran pertama adalah perkebunan besar. Agresi militer Belanda pertama dan kedua, yang jadi sasaran adalah perkebunan besar.
Jadi untuk mengamankan investasi mereka.
Belum ada setahun Indonesia merdeka, Bung Hatta sudah pidato, “mendayung diantara dua karang.” Ini kapitalis, ini komunis, nah kita di tengahnya. Untuk bangsa Indonesia, tanah tidak boleh dijadikan barang dagangan.
Yang kedua, perkebunan-perkebunan besar ini dulunya tanah milik rakyat. Hanya karena kongkalikongnya sultan-sultan dengan pengusaha swasta Belanda, akhirnya lepas. Itu yang harusnya diredistribusi.
Karena itu waktu Gus Dur pernah bilang, “40% perkebunan harus diredistribusi.” Tapi ya mohon maaf karena Gus Dur kan buta, jadi kurang bisa ngitung, jadi pokoknya ceplas-ceplos aja, belum dipersiapkan betul argumennya, dan konsepnya.
Tetapi kalau menurut seorang pakar, UUPA itu ada segi positifnya ada segi kelamahannya. Segi positifnya pertama, semangat rakyat berusaha menghapuskan exploitation de l’homme par l’homme. Kedua, sudah sadar gender, walaupun dulu belum populer istilah gender, tapi haknya wanita sama. Ketiga, rumusan hukumnya modern.
Tapi ada kelemahannya. Satu, dasar hukum adat kurang jelas, ini juga akibat kompromi. Karena saya terlibat dalam masalah kiblat hukum adat ketika UUPA masih menjadi RUU. Kelemahan kedua, hambatan ilmiah. Mulai dari birokratnya sampai rakyatnya belum memahami benar apa itu land reform.
Menurut saya, betul ada kelemahan-kelemahan. Tapi ketika Orde Baru, saya bertahan sampai sekarang, “jangan diubah dulu,” karena sekarang ini kan apa-apa harus pakai undang-undang. Supremasi hukum diterjemahkan sebagai DPR harus tiap tahun buat undang-undang.
Nah jadi solusinya ialah musti dilaksanakan reforma agraria yang sejati, yang genuine. Untuk bisa melakukan itu maka pertama, diperlukan kemauan politik betul-betul. Tidak hanya hiasan bibir. Kedua, data yang akurat supaya tidak menimbulkan konflik. Yang ketiga, birokrasinya harus bersih dan jujur.
Yang keempat, organisasi rakyat harus kuat. Sebab dalam sejarah, kalau organisasi rakyat tidak kuat, pemerintah kan ada umurnya, ketika diganti dengan pemerintahan nggak setuju, diobrak-abrik lagi. Seperti di Meksiko. Tapi kalau organisasi rakyat kuat, tidak bisa begitu.
Syarat berikutnya, elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis. Dan syarat berikutnya militer harus mendukung, kalau tidak nanti berdarah-darah. Karena militernya dengan dalih membela pemerintahan, malah mbedili rakyatnya sendiri. Jadi itu prasyaratnya.
Nah sekarang ini berat. Maka dari itu yang harus diubah mental kebangsaannya. Masih punya rasa kebangsaan nggak? Otonomi daerah ini kan akibatnya adat. Sehingga adat yang satu dengan adat yang lain bentrok sendiri. Nah kalau dasarnya mau kembali ke adat. Kamu di sini nggak punya hak, saya di sini nggak punya hak. Saya orang jawa, bukan orang sunda. Tapi kalau nation state, yang namanya citizen itu haknya sama. Jadi ini problematis memang hak soal adat. Nah kalau analisis saya mengapat gerakan adat mencuat, karena ketika mau menuntut keadilan agraria dengan segala jalan sudah mentok. Sehingga pakainya adat. Ditumpangi lagi intervensi asing dan otonomi daerah.

PM :
Dalam buku anda, anda bilang bahwa ciri khas reforma agraria di Indonesia itu berwatak neopopulis. Itu maksudnya bagaimana?
GWR :
Nah walaupun tidak tepat benar karena asumsi-asumsi neopopulis terutama di pulau Jawa sudah nggak berlaku. Kenapa neopopulis? Jadi di Eropa, gerakan populisme itu lahirnya hampir bersamaan dengan di US dan Rusia. Kalau di Rusia tahun 1961, kalau di US 1885. Jadi kalau lahirnya neopopulis, itu istilah yang diciptakan ilmuwan sekarang terhadap tokoh bernama Alexander Chayanov. Padahal ia sendiri tidak mau disebut demikian. Sebab kalau disebut neopopulis, nanti diasosiasikan dengan yang teroris (Kelompok Narodnik-red) nggak mau.
Lalu dia melakukan penelitian, sebetulnya rakyat itu ciri usaha taninya seperti apa? Dia mempunyai dalil yang asumsi dasarnya, hutan itu masih open foreigner atau ruang terbuka. Jadi pertanian rakyat itu pertanian keluarga. Sehingga teori ekonomi modern tidak bisa diterapkan di pedesaan karena tidak ada pasar tenaga kerja.
Dia sebagai ekonom juga, lalu dia bilang bahwa teori ekonomi itu pilarnya lima yang saling berkaitan. Satu saja pilarnya jatuh, bangunan runtuh. Salah satu pilarnya adalah pasar tenaga kerja. Jadi ada teori modal, sewa, bunga, harga, dan pasar tenaga kerja. Nah di sini nggak ada pasar tenaga kerja. Jadi ada asumsi hutan masih terbuka, tidak ada pasar tenaga kerja, dan makin besar keluarganya, makin tanahnya luas karna terpaksa membuka hutan.
Di Pulau Jawa sudah nggak mungkin, jadi nggak 100% neopopulis. Tapi saya sebut neopopulis karena satu, asumsi dasar yang penting adalah pandangan bahwa yang kecil yang efisien.
Ahli ekonomi pecah dua pandangan, ada yang kecil yang efisien ada yang besar yang efisien. Maka itu land grabbing kan ingin bikin estate, karena itu yang dianggap efisien. Neopopulis tidak. Yang kecil yang efisien. Lalu kalau sosialisme, menggunakan kelas. Sementara neopopulis tidak. Stratifikasi yang ada di pedesaan bukan stratifikasi kelas, tapi stratifikasi demografis. Artinya suatu keluarga itu dalam perjalanan sejarahnya suatu saat kaya suatu saat miskin. Nah itu dijelaskan dengan angka-angka.
Asumsikan orang kawin umut 25. Tahun pertama punya anak satu. Yang mengerjakan tanah cuma berdua, suami dan istri. Jadi tenaga kerjanya cuma dua, konsumennya tiga karena anaknya satu. Tiap tiga tahun katakanlah punya anak. Jadi tahun keempat punya anak dua. Jadi konsumennya tambah. Labour dan consume rationya berubah. Terus sampai usia kawin 15 tahun, anak yang pertama sudah berusia 14, masuk ke tenaga kerja. Jadi consume dan labour ratio berbalik. Nah jadi selama 15 tahun keluarga meras tenaga sendiri, atau self exploitation. Karena itu self eksploitation, maka tidak ada untung rugi.
Chayanov, ia mengasumsikan yang kecil yang efisien. Oleh karena itu, land reform gaya neopopulis tidak ada batas minimum. Jepang tidak ada, di Korsel tidak ada. Jadi semula Jepang atau Korsel, arus pemikiran semula neopopulis. Tapi dalam masa transisi berubah menjadi kapitalis.
Di dunia ini, menurut Russel King, itu ada contoh transisi yang berubah pola agrarianya. Jepang, tadinya neopopulis jadi kapitalis. Italia, mula-mula kapitalis menjadi sosialis. Yugoslavia, mula-mula sosialis menjadi kapitalis. Jadi karena itu kepemimpinan dalam masa yang bergolak itu teorinya lain. Nah itu yang sering saya perhatikan. Dalam masa transisi dan masa stabil itu kepemimpinannya beda.

PM :
Andai neopopulis itu berhasil. Sementara suatu negara biasanya tidak ingin melulu menjadi negara agraris, tapi ingin jadi negara industri. Ingin membangun industri nasional. Apakah neopopulis memiliki orientasi ke sana? Karena menimbang tadi orientasi neopopulis berbasis pada pertanian keluarga.
GWR :
Nah itulah sebab mengapa aliran neopopulis ini dimusuhi dua-duanya, oleh kapitalis dan sosialis. Land reform a la kapitalis sendiri mengakui bahwa land reform diperlukan supaya startnya sama. Sebab kalau kapitalis kan persaingan bebas, boleh bersaing, tapi startnya harus sama. Karena itu negara barat pu yang kapitalis melakukan land reform. Jadi kalau orde baru menuduh land reform adalah komunis, itu nggak ngerti aja.
Di Jepang, saya kebetulan sewaktu Bandara Narita masih baru, di sana saya pernah ke pelosok desa. Itu rata-rata tanah sawahnya hanya 500 meter persegi. Kok bisa hidup? Karena ada industrialisasi pedesaan. Jadi bukan pertanian dijadikan industri. Industrialisasi pedesaan di Jepang adalah industri-industri kecil yang menopang bagi tanah yang terlalu sedikit. Itu ada di bukunya Trio Tambunan judulnya Industrialisasi Pedesaan.
Jadi betul, perubahan zaman akhirnya menuju industri. Tapi industri yang mana? waktu zaman Orde Lama juga kita membangun industri besar. Maka membangun industri Cilegon, industri berat, tapi sekarang malah dijual. Saya membaca laporan Corruption Watch, ternyata semua partai terlibat.
Sumber dari semua krisis ekonomi dunia adalah spekulasi tanah. Argumen sederhananya dalam teori ekonomi, spekulasi itu sah. Karena dalam setiap spekulasi mengandung resiko, kecuali tanah. Contoh anda menspekulasikan tidak mau kerja kalau tidak sehari 5 juta. Resikonya ya nganggur. Nah tanah, saya beli saya diemin. Ada musim durian lewat, bijinya jatuh, malah tumbuh pohon durian. Tidak ada resiko. Nah oleh karena itu ketika berspekulasi tanah, malah jadinya krisis.
Itu industrialisasi, teknologi, semua itu politik. Korut bikin nuklir, barat ribut. India bikin nuklir kok nggak ribut? Itu politik. Karena semua itu politik, maka menurut saya jawabannya adalah mengembalikan mentalitas bangsa kita. Kenapa Soeharto bertahan sampai 32 tahun? Karena asing menginginkan investasinya mapan dulu, maka harus otoriter, biar mapan dulu. Nah setelah mapan, baru dijatuhkan sendiri.

Selasa, 16 Januari 2018

Paradigma Kemiskinan dan Kemiskinan Paradigma



Tulisan ini bukan sebuah analisis maupun gagasan yang utuh. Hanya sekedar kegelisahan atas suatu hal yang menurut saya kurang pas.

Berawal dari foto tersebut, yang saya ambil dari sumbernya (tertera di foto itu sendiri). Sri Mulyani berkata bahwa ingkat kemiskinan dan pengangguran terbuka turun dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan mencapai 10,12 persen pada September 2017, sedangkan pada September 2014 masih 11,13 persen. Tingkat pengangguran terbuka juga turun. Pada Agustus 2014 tercatat 5,94 persen, sedangkan pada Agustus 2017 menjadi 5,5 persen.

Biasanya orang-orang dalam menanggapi hal seperti ini akan bertanya, "memang indikator kemiskinannya seperti apa?" Di sumber berita yang lain, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Bojonegoro mengatakan, sejak September 2016, penghasilan penduduk yang menjadi batas garis kemiskinan yakni Rp 361.990 per kapita per bulan.

Bank Dunia menggunakan indikator kemiskinan berdasarkan Purchasing Power Parity yaitu 2 USD per hari, atau 60 USD per bulan, atau jika dikonversi menjadi rupiah ialah 810.780 rupiah. Dengan menggunakan indikator ini, maka jumlah orang miskin di Indonesia dapat diperkirakan jumlahnya dua atau tiga kali lipat dari data BPS.

Tapi bagi saya, entah itu menggunakan indikator dari BPS maupun Bank Dunia, keduanya sama-sama bermasalah untuk diterapkan di Indonesia. Saya tidak bermaksud menambah-nambahi agar jumlah data orang miskin bertambah. Malahan saya punya optimisme bahwa sebenarnya rakyat Indonesia itu kaya.

Sebagai negeri agraris dan belum memasuki fase industrialisasi sempurna (atau bisa dibilang sebagai setengah jajahan dan setengah feodal), kapital belum sepenuhnya menjadi relasi sosial. Di desa-desa pedalaman terutama di luar jawa, karena sumber daya alam suatu komunitas tidak diprivatisasi dan dikapitalisasi, maka peredaran uang hanya sedikit. Bahkan tak perlu jauh-jauh saya ke luar jawa, di beberapa desa di Lereng Gunung Slamet misalnya. Untuk keperluan air sifatnya gratis, sepanjang untuk konsumsi rumahan. Energi listrik juga hanya separuh harga karena menggunakan pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang dibuat sendiri. Untuk keperluan makan, mereka tidak selalu membeli karena banyak bahan pangan yang ditanam maupun yang sudah tersedia di alam. Karena kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani gurem, mereka tidak punya pendapatan yang tetap. Tapi pemasukan per bulan mereka kebanyakan di bawah 361.990 rupiah. Jika dilihat sepintas, mereka dapat dikategorikan di bawah garis kemiskinan. Tapi jika ditelisik lagi, mereka sebenarnya kaya. Air yang mereka konsumsi sama banyaknya dengan para konsumen PDAM/PAM. Listrik yang mereka konsumsi sama banyaknya dengan para konsumen PLN. Pangan yang mereka konsumsi juga sama bergizinya (atau bahkan lebih bergizi karena langsung dari alam) dengan para konsumen restoran atau warung makan. Udara yang mereka hirup sama bersihnya dengan konsumen tabung oksigen.

Katakanlah si petani lereng Gunung Slamet ini terusir karena ada megaproyek di desanya. Lalu katakanlah dia menjadi buruh kontrak dengan pendapatan UMK 1.400.000 per bulan. Apakah dengan demikian dia telah menjadi lebih kaya dari sebelumnya? Sementara listrik harus beli, air beli, makanan beli (itupun bukan makanan yang sehat), rumah sewa, kualitas udara buruk sehingga kesehatan terganggu sehingga harus mengkonsumsi obat-obat tertentu, dsb.

Masyarakat pedesaan memperoleh kebanyakan dari kebutuhannya terlihat seolah-olah secara gratis. Padahal tidak ada yang gratis di situ. Semua diperoleh dari kerja. Dan karena ada curahan kerja, maka suatu barang menjadi bernilai. Bedanya, kerja yang dicurahkan tidak perlu ditukar dengan uang, sehingga tidak perlu ada jual beli untuk memperoleh suatu barang. Inilah yang saya maksud bahwa di pedesaan, kapital belum menjadi relasi sosial yang dominan. Dan karena mayoritas wilayah Indonesia adalah pedesaan, maka dapat disimpulkan bahwa kapital belum menjadi relasi sosial yang dominan di Indonesia. Catat ya, "belum". Ke depannya sih nggak tahu.

Pada keadaan yang demikian, paradigma indikator kemiskinan yang dianut BPS maupun Bank Dunia menjadi patut diragukan untuk diterapkan. Karena indikator kemiskinan yang berbasis pendapatan berupa uang, mau tidak mau hanya bisa diterapkan pada masyarakat yang telah menjadikan uang (yang merupakan kapital) sebagai relasi sosial yang dominan. Hal ini dapat ditandai dari telah dominannya industri, relasi kerja upahan, perbankan, dan kepemilikan pribadi.

Dalam keraguan yang demikian ini, bukankah tak ada kelirunya jika saya menganggap justru ekonom kitalah yang paradigmanya miskin? .

Sumber berita :

https://bisnis.tempo.co/read/1046837/sri-mulyani-tingkat-kemiskinan-turun-dalam-tiga-tahun-terakhir

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/07/06/183640226/berapa.penghasilan.yang.masuk.kategori.miskin.di.indonesia.

HAM, Rasio, LGBT, Moralitas, dan Negara

Hak Asasi Manusia (HAM) berpangkal pada rasio. Dan karena setiap manusia punya rasio, itulah kenapa HAM bersifat universal. Manakala HAM menjadi bersifat partikular, yang dapat dibatasi/dikurangi menurut agama dan adat istiadat negeri-negeri setempat, seperti yang dimuat di Deklarasi HAM versi Kairo, maka ini menandakan bahwa rasio manusia tidak lagi dianggap universal. Bahwa di negeri-negeri tertentu, rasio manusia dapat dibatasi, rasio manusia harus tunduk pada nilai-nilai tertentu di luar rasio. Tapi tentu ini masih bisa diperdebatkan. Penempatan posisi rasio dalam hubungannya dengan manusia, alam, tuhan, dsb telah menjadi perdebatan filosofis sejak zaman Yunani Kuno.

Di Indonesia sendiri, diskursus tentang HAM belumlah final. Atau bahkan dapat dikatakan bahwa usia wacana HAM di Indonesia masihlah belia, sebab selama ini Orde Baru mengubur HAM sepanjang 32 tahun. Berpikir secara kefilsafatan juga belum menjadi sebuah tradisi yang populer, bahkan untuk sekedar di kalangan intelektual.

Salah satu contoh kasus menarik tentu saja pada isu LGBT yang sempat didiskusikan dan ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Berkali-kali argumen-argumen yang dilayangkan selalu dikembalikan pada Pancasila sebagai ideologi positif negara Indonesia, tanpa dilakukan penggalian filosofis atas konsepsi HAM berdasarkan Pancasila (sebagai sumber hukum negara) itu sendiri. Layakkah negara menggunakan koersi pada kehidupan privat seseorang? Pertanyaan ini selalu muncul, dan selalu tak terjawab. Problem seputar rasionalitas selalu dibenturkan dengan moralitas positif yang penjelasannya tak boleh diperdebatkan karena bersifat sakral.

Ketika HAM dan segala konsep rasionalitasnya dicela karena klaimnya yang bersifat universal, toh nilai-nilai agama (terutama agama semit) juga pada dasarnya mengklaim universalitas nilainya sendiri. Karena suatu agama pasti punya doktrin penciptaan dunia yang hukum-hukumnya berlaku di setiap ruang dan waktu, yang kemudian menderivasi konsep-konsep moral yang wajib dipatuhi oleh umatnya. Bahkan ruang lingkup universalitas agama lebih luas ketimbang HAM. Dalam HAM, tidak ada aturan bagaimana melakukan makan, tidur, cebok, dan hal-hal privat lainnya. Tapi agama mengatur itu semua. Bagaimana doa sebelum makan, jam tidur, tangan mana yang mesti digunakan untuk cebok, hanya agama saja yang mengatur secara rigid atas segala hal dalam hidup dan mati.

Manakala sumber hukum suatu negara didasarkan pada agama tertentu, maka barang tentu, negara dapat memberi koersi pada setiap jengkal aktivitas kehidupan warga negaranya berdasarkan ketentuan moral agama yang dijadikan hukum positif. Tapi persoalannya, mungkinkah ada negara yang dapat melakukan hal demikian? Berapa anggaran negara yang dibutuhkan untuk menghukum seorang yang makan tanpa berdoa? Berapa jumlah polisi yang dibutuhkan untuk mengintai warganya agar tak berzinah? Negara semacam itu tidak pernah dan tidak mungkin ada. Negara bukanlah semacam tuhan yang maha mengetahui, dan maha berkuasa atas segalanya. Negara hanyalah sebuah institusi ciptaan manusia, yang memiliki banyak keterbatasan, dan memang sengaja dibuat berdasarkan batasan-batasan. Lebih dalam lagi, Friedrich Engels berkata bahwa negara hanyalah suatu fenomena historis tertentu dalam masyarakat tertentu.

Inilah kenapa kemudian tidak semua aturan agama dapat dijadikan hukum positif bagi setiap warga negara (atau dalam istilah Foucault digunakan untuk mendisiplinkan tubuh). Katakanlah seorang umat beragama tertentu, tidak diajarkan untuk membenarkan praktek LGBT karena itu tindakan dosa, terkutuk, bukan teladan nabi, dsb. Seorang pemuka agama berhak untuk menganjurkan umat di komunitas keagamaannya, agar tidak melakukan perbuatan semacam itu. Anjuran dan seruan di internal komunitasnya ialah hak dia dalam rangka melaksanakan perintah agama. Tapi hal ini tidak dapat berlaku pada negara. Negara tidak memiliki agama, tidak bertuhan, tidak bisa masuk surga atau neraka. Seorang ayah bisa menyuruh anaknya ke gereja, tapi dia tidak bisa menyuruh negara supaya memaksa anaknya untuk ke gereja.

HAM dibuat untuk melakukan pembatasan-pembatasan semacam itu. Dibuat agar negara tidak bertindak berlebihan, dalam artian mengintervensi segala urusan individu. Sebagaimana itulah fungsi rasio pada manusia, agar dirinya dapat memilah benar, salah, baik, buruk, mungkin, tidak mungkin, konsisten, kontradiktif, dsb. Fungsi itu ada pada diri setiap manusia. Dan pada fungsi yang demikian itu, apakah keliru jika kemudian HAM bersifat universal?

(Maaf tidak ada catatan kaki atau referensi yang bisa saya kutip karena memang saya sedang tidak sedang membuat karya ilmiah. Apa yang saya tulis ini berdasarkan sempalan-ingatan belaka dari beberapa buku, artikel, dan diskusi yang sempat saya konsumsi)

Anda Pengunjung ke