Jumat, 20 Oktober 2017
Diskusi Hari Tani Nasional 2017 di FH Unsoed
Pada 28 September 2017, saya memenuhi undangan dari BEM FH Unsoed dkk untuk mengisi menjadi pembicara dalam Diskusi Publik memperingati Hari Tani Nasional 2017. Saya mewakili AGRA, disandingkan dengan Ahmad Nasih Lutfi (Akademisi STPN) dan Juli Krisdianto (Ketua DPRD Banyumas). Namun Juli berhalangan hadir dan digantikan oleh Jarot Setyoko (Staf Ahli DPR-RI). Karena waktu yang diberikan hanya terbatas, saya tak sempat memaparkan pokok-pokok materi saya. Postingan kali ini akan menuntaskan ketidaksempatan tersebut, meskipun saya rasa tulisan ini juga tidak lengkap karena bahan materi saya (yang tadinya mau disampaikan) memang tidak dibuat tertulis, sehingga mungkin sudah banyak yang lepas dari ingatan.
Pokok materi yang saya sampaikan dalam diskusi ini ialah, bahwa konflik agraria bukan sesuatu yang muncul secara alamiah. Konflik agraria merupakan suatu proses historis yang menandai suatu epos sosial. Ini menyanggah paradigma yang dianut pemerintah bahwa, "konflik agraria ada karena ketimpangan agraria, yang terjadi karena populasi manusia terus bertambah, sementara jumlah lahan tetap." Paradigma ini digunakan untuk melegitimasi keberadaan negara agar hadir untuk memberi keadilan sosial (semacam social justice warrior/SJW) kepada rakyat dalam hal alokasi sumber daya agraria. Paradigma tsb terbukti invalid karena faktanya ketimpangan terjadi karena adanya konsentrasi kepemilikan tanah alias monopoli tanah, yang kemudian memonopoli pula seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Yang ada malah, negara (sebagai alat klas) mempercepat proses perampasan tanah untuk monopoli tanah.
Kedua, monopoli tanah terjadi karena adanya pasar tanah atau spekulasi tanah. UUPA dan UUD45 mengamanatkan bahwa tanah ialah pemberian Tuhan YME bagi bangsa Indonesia. Relasi antara rakyat Indonesia dengan tanahnya bersifat lahiriah dan batiniah serta abadi sepanjang bangsa Indonesia masih ada. Namun sejak rezim Orde Baru berkuasa, pemerintah melakukan serangkaian deregulasi terhadap berbagai peraturan-peraturan tentang agraria. Salah satu contoh yang paling krusial tentu saja ialah UU No 1 Tahun 1967 ttg Penanaman Modal Asing. Rezim ini menggeser pemaknaan relasi antara rakyat Indonesia dengan tanah. Tanah kemudian diperlakukan sebagai komoditi/properti yang tunduk pada mekanisme pasar. Kompetisi antar korporasi (baik itu korporasi milik swasta maupun korporasi milik negara) memuncak pada pembentukkan kartel, trust, dan sindikat mafia tanah yang memonopoli tanah dan kekayaan alam di Indonesia. Komite Nasional Pembaruan Agraria memaparkan bahwa dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, 71 persen dikuasai korporasi kehutanan, 16 persen dikuasai korporasi perkebunan skala besar dan 7 persen dikuasai para konglomerat. Sementara rakyat kecil, hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional.
Ketiga, monopoli tanah telah menghambat tenaga produktif rakyat yang selama ini bergantung pada tanah, yaitu kaum tani. Monopoli berdampak pada minimnya ketersediaan lapangan kerja di desa, sehingga tenaga produktif di desa kemudian menjadi buruh pabrik, dan buruh migran. Namun karena jumlah tenaga kerja yang terus membludak sementara pabrik tidak bisa menampung semuanya, maka hukum pasar memutuskan untuk menekan upah buruh, menerapkan sistem kerja outsourcing, menerapkan efisiensi jumlah buruh melalui PHK massal, dsb. Tidak sedikit kemudian tenaga kerja yang tersingkir dari dunia kerja, memasuki dunia kriminal. Kita lihat bahwa persoalan tanah bersifat multidimensi dan mengandung efek domino pada berbagai sendi-sendi kehidupan sosial.
Keempat, jalan keluar satu-satunya hanyalah reforma agraria sejati yang bertujuan menghapus sama sekali monopoli tanah, menghapus setiap norma dan institusi yang melanggengkan keberadaan mekanisme pasar atas tanah, dan melenyapkan watak klas negara yang mengabdi pada kepentingan imperialis, tuan tanah besar, kapitalis birokrat dan borjuasi besar komprador. Gunawan Wiradi menyatakan ada beberapa syarat untuk melaksanakan reforma agraria, yaitu adanya kemauan politik atas reforma agraria, data-data yang akurat, birokrasi yang bersih dan jujur serta terpisah dari urusan bisnis, dukungan dari militer, dan organisasi rakyat yang kuat. Agaknya syarat pertama sampai empat masih jauh dari capaian. Syarat yang saat ini paling mungkin disiapkan hanyalah membangun organisasi rakyat yang kuat, di sektor tani, buruh, pemuda, nelayan, masyarakat adat, dsb, yang dapat mendorong dan melaksanakan terwujudnya reforma agraria sejati. Konflik agraria bukan suatu fenomena alamiah, dia berawal dari suatu proses historis, dan oleh karenanya akan berakhir dalam suatu proses historis pula. Seperti apakah gambaran epos tersebut di kemudian hari? Generasi kita lah yang bisa menjawabnya.
Selasa, 17 Oktober 2017
Shock Doctrine Menurut Naomi Klein dalam Polemik Panas Bumi di Gunung Slamet
Tulisan ini bermaksud mengulas serangkaian peristiwa yang
baru-baru ini terjadi terkait dengan Penolakan atas Proyek PLTP di Gunung
Slamet, dan berbagai respon terhadapnya. Ulasan atas fenomena ini akan ditelaah
dari pemikiran Naomi Klein tentang Shock
Doctrine. Penulis menyarankan sebelum membaca tulisan ini agar terlebih
dahulu mengikuti perkembangan isu PLTP di Gunung Slamet, yang sudah disediakan
Selamatkan Slamet di akun media sosialnya, ataupun dengan mengikuti hashtag
#SelamatkanSlamet atau #SaveSlamet .
Tiga hari pasca aksi massa penolakan PLTP di Gunung Slamet
di depan Pemkab Banyumas (Tragedi 9 Oktober), muncul sebuah berita di Suara
Merdeka yang berjudul, Proyek PLTPB di
Gunung Slamet Jalan Terus. Muatan pada berita tersebut pada intinya ialah
bahwa Ditjen ESDM Kementerian ESDM tetap memutuskan bahwa proyek panas bumi di
Gunung Slamet harus tetap dilanjutkan karena merupakan proyek strategis
nasional, dalam rangka pemenuhan target listrik Jawa, Madura, dan Bali. Masalah
yang terjadi seperti air yang keruh dapat diatasi dengan penyediaan air bersih,
yang nantinya akan dilaksanakan oleh PT SAE selaku pelaksana proyek.
Dari sini kita sudah melihat bahwa pemerintah pusat dan
daerah sama sekali tidak serius dalam memahami persoalan utamanya. Jika mereka memahami,
seharusnya mereka tidak hanya melihat masalah PLTP di Gunung Slamet ini sebagai
masalah air keruh belaka. Di desa hutan dan pinggiran hutan, tanaman kaum tani
berkali-kali diserang satwa liar secara tidak lazim. Bukan hanya babi hutan
yang turun, tapi juga kera, kijang, bahkan beberapa kali melihat macan tutul. Tanaman
palawija dan pohon buah-buahan disikat. Bahkan pohon kayu albasia pun mati
karena pucuknya dimakan kera. Fenomena ini terjadi setidak-tidaknya di 5 desa
di 3 kecamatan di lereng selatan Gunung Slamet. Petani merugi . Masalah ini
tidak kalah pelik dibanding masalah air keruh yang dialami warga Kec. Cilongok.
Masalah satwa liar yang turun adalah bukti bahwa telah
terjadi defragmentasi habitat akibat penurunan kualitas ekosistem sebagai
dampak dari deforestasi yang dilakukan PT SAE pada masa eksplorasi panas bumi.
Kesimbangan alam goyah. Lokasi pengeboran terlalu dekat dengan wilayah
penduduk. Ditambah lagi, data dari Dinas ESDM Banyumas telah menunjukkan bahwa
lereng selatan Gunung Slamet merupakan Zona Merah Pergerakan Tanah yang
bersifat rawan bencana. Tanpa ada aktifitas apa-apa saja tanahnya sudah selalu
bergerak. Apalagi jika ada aktifitas seperti pembukaan lahan dan pengeboran,
maka bencana seperti longsor dan banjir bandang sangat mungkin terjadi.
PT SAE pun ternyata dalam prakteknya tidak melakukan
kewajiban seperti yang sudah tertera di dalam Izin Lingkungannya. Adapun Izin
Lingkungan yang berdasarkan pada Rekomendasi Badan Lingkungan Hidup Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah Nomor : 660.1/BLH.II/1374, telah memerintahkan kepada PT
SAE untuk, “Melakukan sosialisasi rencana
kegiatan kepada masyarakat sebelum kegiatan eksplorasi panas bumi
dilakukan.” Apakah kewajiban ini sudah ditunaikan? Faktanya berdasarkan
hasil riset dari Lembaga Kajian Banyumas FISIP Unsoed, sosialisasi dilakukan
pada akhir tahun 2016 di desa-desa di Banyumas bagian lereng selatan Gunung
Slamet, yang artinya ketika tahap eksplorasi sedang berlangsung. Sosialisasi
pun kebanyakan baru terlaksana ketika dampak air keruh sudah terjadi.
Sebelumnya, masyarakat hanya mengerti bahwa akan dibangun jalan tol dan jalan
wisata dari Kaligua ke Baturraden.
Beberapa fakta-fakta di atas merupakan bukti kecil bahwa
proyek PLTP di Gunung Slamet ini cacat dari segi perencanaan maupun pelaksanaan.
Tentu masih banyak fakta-fakta lain yang takkan cukup untuk dibahas semuanya di
sini. Namun jika pembaca ingin mengetahui, silakan unduh saja kajian dari
Aliansi Selamatkan Slamat sebagaimana sudah diunggah di media sosial mereka.
Sebagai proyek strategis nasional, pembangunan PLTP di
Gunung Slamet akan terus dipertahankan mati-matian oleh pemerintah. Apalagi
mengingat masa eksplorasi proyek ini akan berakhir pada April 2018. Maka metode
apapun akan digunakan oleh pemerintah, sepanjang itu bisa mencapai tujuannya. Salah
satu metode yang digunakan oleh pemerintah dalam melanggengkan proyek ini ialah
melalui Shock Doctrine.
Shock Doctrine Menurut Naomi Klein
Shock Doctrine,
atau Doktrin Syok adalah kajian yang ditulis oleh Naomi Klein dalam bukunya The Shock Doctrine pada tahun 2007 dan
diangkat kembali dalam bukunya yang terbaru No
is Not Enough : Resisting Trump’s Shock Politics and Winning The World We Need pada
2017. Klein meneliti fenomena selama
4 dekade, bahwa pemerintahan sayap kanan senantiasa menggunakan taktik yang
brutal secara berulang setelah adanya kejadian yang membuat syok masyarakat,
semisal perang, kudeta, serangan teroris, jatuhnya bursa saham, atau bahkan
bencana alam. Kemudian pemerintah akan memanfaatkan momen itu untuk menerbitkan
kebijakan yang menguntungkan pihak elit maupun mengkebiri hak-hak sipil. Setiap
momen krisis apapun dapat mengubah peta politik dalam semalam. Namun Klein juga
mengamati bahwa taktik ini dapat dilawan. Klein menggambarkan ada 5 hal yang
dapat dilakukan untuk melawan taktik Doktrin Syok.
Pertama, ketahui apa yang akan datang. Ketika ada suatu
kebijakan sedang disiapkan untuk melancarkan agenda tertentu, maka segala
potensi yang dapat menghalangi agenda tersebut akan dilenyapkan. Dalam temuan
Klein pada kasus teror di Manchester dan Paris misalnya. Pasca peristiwa
tersebut, pemerintah menganggap negara dalam situasi darurat sehingga merasa
perlu untuk meningkatkan keamanan seperti adanya jam malam, anjuran untuk
segera pulang, dsb. Pengekangan atas demokrasi menjadi dibenarkan untuk menjaga
stabilitas. Bahkan jika itu bukan karena teror bom pun, pemerintah juga akan
melakukan pengekangan demokrasi jika itu dianggap ancaman nasional. Aksi massa
dengan memblokade bandara sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Trump yang
melarang kaum Muslim masuk ke Amerika adalah salah satu contohnya. Massa aksi
tentu akan menjadi sasaran tangkap dan pembatasan atas hak-hak sipil akan
dilakukan melalui berbagai aturan. Ketika seseorang sudah bisa mengira atas
peristiwa semacam ini, maka ia tidak akan terkejut.
Kedua, keluar rumah dan abaikan larangan. Manakala
pemerintah menyuruh warganya untuk tetap di rumah supaya tetap aman, maka
abaikan. Di Argentina, ketika negara sedang krisis ekonomi, Presiden Fernando
de la Rua mengumumkan bahwa negara sedang dalam keadaan darurat, sehingga
setiap warga negara diperintahkan untuk tetap di rumah. Namun kemudian rakyat
Argentina merespon itu dengan turun ke jalan. Tak lama kemudian, Fernando de la
Rua mengundurkan diri.
Ketiga, pelajari sejarah bangsamu. Doktrin Syok senantiasa
berulang meskipun telah berkali-kali ganti rezim. Kita dapat mengantisipasi apa
yang terjadi jika kita mempelajari sejarah.
Keempat, ikuti aliran uangnya. Ketika kekacauan berlangsung,
pasti ada segelintir pihak yang diuntungkan. Telusurilah siapa elit yang
mengambil kesempatan dan kesempitan itu. Sadarkan massa untuk kembali ke
persoalan yang utama.
Kelima, bangun rencana tandingan. Jika sejarah bisa
berulang, maka sejarah pun bisa diciptakan. Keempat rencana sebelumnya hanyalah
upaya defensif dan antisipatif untuk mengungkap krisis yang tengah berlangsung.
Apa yang kemudian perlu dilakukan ialah menyusun agenda untuk perjuangan ke
depan untuk tatanan kehidupan alternatif yang lebih baik.
Doktrin Syok pada Isu
PLTP di Gunung Slamet
Tragedi 9 Oktober, yaitu pemukulan, perampasan
barang-barang, dan penangkapan sejumlah massa, adalah respon yang diberikan
pemerintah atas aksi penolakan PLTP di Gunung Slamet. Bagi beberapa aktivis
yang terbiasa meladeni aparat dalam setiap aksi massa, ini adalah pertama
kalinya di Purwokerto ada aksi damai yang direspon dengan represifitas aparat.
Saya bisa bilang itu aksi damai karena memang tidak ada rencana untuk bentrokan
pada waktu itu dari panitia aksi. Yang kami persiapkan malahan agenda sholawat dan Panggung Kebudayaan untuk
mengisi jadwal aksi massa. Jelas sudah pada waktu itu massa aksi mengalami
syok.
Sesaat sebelum saya ditangkap, saya dengar ada salah satu
petugas yang menginstruksikan begini kepada anak buahnya, “Itu dia yang tadi
siang, tangkap.” Salah seorang teman saya dari warga yang terdampak pun bahkan
tangannya retak kena pentungan polisi, pada saat dia sudah mengendarai sepeda
motor untuk kabur. Aparat itu bilang, “Cepat pulang!” kepada teman saya. Saya
mengamati bahwa represifitas ini dilakukan secara terencana. Apa sebenarnya
rencana mereka? Tiga hari pasca Tragedi 9 Oktober, muncul sebuah berita di
Suara Merdeka yang berjudul, Proyek PLTPB
di Gunung Slamet Jalan Terus. Ditjen ESDM Kementerian ESDM tetap memutuskan
bahwa proyek panas bumi di Gunung Slamet harus tetap dilanjutkan karena
merupakan proyek strategis nasional, dalam rangka pemenuhan target listrik
Jawa, Madura, dan Bali. Inilah Doktrin Syok.
Massa aksi telah menciptakan instabilitas karena menyerang
proyek strategis nasional. Represifitas adalah balasannya. Wartawan bahkan ikut
kena sasaran amuk aparat. Dan di saat orang-orang merasa syok, Pemerintah Pusat
mengambil kesempatan itu untuk memutuskan bahwa proyek tetap dilanjut. Padahal
pada 5 Oktober Bupati telah mengirim Surat Rekomendasi kepada Gubernur agar
pengerjaan proyek PLTP di Gunung Slamet dihentikan sementara dan dievaluasi
ulang. Namun Pemerintah Pusat tidak mengindahkan surat dari Bupati karena itu
akan menghambat pelaksanaan proyek ini. Doktrin Syok bekerja.
Sehari setelah Tragedi 9 Oktober, massa melakukan aksi
respon cepat. Ribuan orang berpartisipasi untuk menunjukkan solidaritas pada
korban kekerasan negara, sekaligus mengecam tindakan represif aparat. Tanpa
disadari, massa melakukan anjuran Naomi Klein yang kedua, yaitu abaikan larangan dan turun ke jalan. Hanya saja yang
kurang perhatian dari aksi ini adalah tidak ada yang menyadari bahwa pada saat
Bupati, Polres, dan massa aksi sedang saling bersitegang, PT SAE dan Pemerintah
Pusat sedang duduk di atas menertawakan keadaan. Saya pribadi pun sedang dalam
keadaan tidak berkutik karena tubuh penuh lebam dan kehilangan alat komunikasi
karena disita aparat.
Saat ini, berita bahwa proyek PLTP di Gunung Slamet terus
berjalan sudah mulai menyebar. Yang membaca berita itu tentu merasa kecolongan.
Naomi Klein menunjukkan jalan bahwa yang perlu dilakukan saat ini ialah kembali
ke persoalan utama dan bangun rencana tandingan. Karena hanya dengan cara
demikianlah, massa akan dapat menciptakan sejarah.
Tulisan ini dimuat juga di :
https://www.kompasiana.com/panjimulkillah/59e0c55f9a0ff438051dc972/shock-doctrine-menurut-naomi-klein-dalam-polemik-panas-bumi-di-gunung-slamet
Langganan:
Komentar (Atom)

