![]() |
Judul :
Trotskyisme? Sosialisme di Satu Negeri atau Revolusi Permanen?
Penulis : Tatiana Lukman
Penerbit : Pustaka Sempu, Yogyakarta
Tahun : 2017
Tebal buku : 338 halaman
Ukuran kertas : 17 x 24 cm
Jenis kertas : Bookpaper 70gsm
Selama ini, kita mengenal Uni Soviet
sebagai negara totaliter yang diperintah oleh Stalin sang diktator. Kita
mengenal pula bahwa Trotskyisme dan Trotsky itu sendiri sebagai momok yang
menjadi sasaran tindasan Stalin. Buktinya jelas, kepala Trotsky dibacok dengan
kapak es oleh agen Stalinis. Dimana kita melihat sebagai birokrat despotik,
disitu kita memandang Trotsky sebagai marxis sejati. Alan Woods bahkan sampai
berkata, “hanya Leon Trotsky yang diakui secara universal sebagai orang kedua
setelah Lenin dalam kepemimpinan Partai. Kenyataannya, massa-rakyat (dan juga
musuh-musuh Revolusi) biasa merujuk Partai Bolshevik sebagai Partai
Lenin-Trotsky.”[1]
Barangkali tulisan ini memiliki
tendensi Stalinis, dan cenderung bersikap anti Trotskyisme. Itu tentu tak
terhindarkan . Tatiana Lukman adalah anak dari M.H. Lukman (1920-1965), salah
seorang pimpinan Central Comitee Partai Komunis Indonesia dan Wakil Ketua DPR
Gotong Royong di era Sukarno. Ayahnya adalah termasuk menjadi korban tindasan
teror putih Orde Baru, bersama dengan ratusan ribu korban 65 lainnya. Pada buku
sebelumnya, Alternatif (2013),
Tatiana dengan jelas memposisikan diri sebagai seorang Marxis-Leninis dan
Maois, dan pengagum Stalin.
Tapi terlepas dari posisi Tatiana, saat
ini harus diakui bahwa kaum Kiri Indonesia terbiasa mengenal
keburukan-keburukan dan kritikan-kritikan atas Stalin. Dibanding karya-karya
Trotsky, karya-karya Stalin yang dipublikasikan dalam bahasa Indonesia hari ini
semengerti saya baru ada dua. Pertama, Dasar-Dasar Leninisme. Kedua, Marxisme
dan Masalah Nasional. Itupun tidak dibukukan oleh penerbit-penerbit progresif
semacam Resist Book atau Margin Kiri. Keduanya hanya tersebar di internet dalam
bentuk file Word dan PDF. Tidak banyak pula yang mengulas buku itu. Di
Indonesia hari ini, Stalin tidak berkesempatan untuk mengklarifikasi atas
tuduhan-tuduhan yang ditujukan padanya. Bagi kaum yang terliterasi oleh
referensi-referensi gerakan Kiri, buku ini adalah semacam penyeimbang.
Tatiana
berusaha menunjukkan bahwa citra Trotsky seperti apa yang digambarkan oleh
banyak sejarawan mengandung sisi berat sebelah. Semisal pada Revolusi Rusia
1917, Trotsky mengecilkan peranan kolektif partainya sendiri :
“Ketika Revolusi Rusia pecah bulan
Februari 1917, tak satupun dari pimpinan Bolshevik yang ada di Rusia berniat
untuk menegakkan kediktatoran proletariat dan melancarkan revolusi sosial yang
merupakan objek langsung dari kebijakan Lenin. Sebuah konferensi partai yang
diselenggarakan menjelang kedatangan Lenin, tak satupun diantara tiga puluh
anggota Bolshevik yang membayangkan sesuatu yang lebih jauh dari demokrasi.
Tidak heran notulen dari konferensi itu masih dirahasiakan! Stalin mendukung
Pemerintahan Sementara Guchkov dan Miliukof, dan penggabungan Bolshevik dengan
Menshevik, (...) Pravda di Petrograd, yang disunting oleh Stalin dan Kemenev
sampai kedatangan Lenin, akan selalu tetap menjadi dokumen pemahaman yang
terbatas, kebutaan, dan oportunisme. Namun massa anggota partai, seperti kelas
buruh secara keseluruhan, bergerak spontan ke arah perebutan kekuasaan.”
Dari pernyataan di atas, Alan Woods dan
Ted Grant dalam Lenin and Trotsky What
They Really Stood For menulis :
“Mereka membuat kesalahan, yang,
seandainya Lenin dan Trotsky tidak turun tangan, akan membawa kehancuran. Tanpa
kepemimpinan Lenin dan Trotsky, Revolusi Rusia tidak akan terjadi tahun 1917.”
Tatiana meragukan pernyataan di atas.
Pada Revolusi 1917, Komite Sentral Bolshevik melakukan rapat pada tanggal 10
Oktober yang dihadiri Lenin, Zinoviev, Kamenev, stalin, Trotsky, Sverdlov,
Uritzky, Dzerzhinsku, Kollontai, Bubnov, Sokolnikov dan Lomov. Agenda rapat
tersebut adalah penyikapan atas usulan Lenin tentang pemberontakan. Pemungutan
suara diadakan, 10 menyatakan setuju pemberontakan, dan 2 orang menolak, yaitu
Zinoviev dan Kamenev. Hasil dari keputusan itu membuahkan sebuah badan untuk
memimpin sebuah pemberontakan secara politik, bernama Biro Politik atau
Politbiro. Adapun Politbiro beranggotakan Lenin, Zinoviev, Stalin, Kemenev,
Trotsky, Sokolnikov, dan Bubnov. Kemudian pada rapat Komite Sentral pada 16
Oktober diadakan pembahasan tentang pemberontakan bersama wakil-wakil dari
komite Petrograd, organisasi militer, komite-komite pabrik, serikat buruh, dan
buruh kereta api. Hadir dalam rapat ini ialah Krylenko, Shotman, Kalinin,
Volodarsky, Shylapnikov, Lacis, dan lain-lain berjumlah 25 orang. Dari rapat
ini dibentuk sebuah badan untuk memimpin pelaksanaan pemberontakan (dari segi
organisasional, masalah strategi, taktik, dan operasional). Badan itu
beranggotakan 5 orang : Sverdlov, Stalin, Dzerzhinsky, Bubnov, dan Uritsky. Stalin
dan Bubnov merangkap tanggungjawab di badan ini sekaligus di Politbiro. Justru
Trotsky tidak terlibad di badan ini. Dari sini terang bahwa kepemimpinan
politik dari pemberontakan tidak bergantung dari Lenin dan Trotksy. Ini adalah
keputusan kolektif yang dibahas bersama massa buruh, bukan keputusan satu-dua
orang.
Di kalangan luas, Trotsky juga dikenal
sebagai Komisar Militer pada periode Perang Sipil. Tapi orang-orang juga tahu
bahwa Trotsky bukanlah seorang militer. Trotsky dikenal bertugas memimpin Tentara
Merah melawan agresi Tentara Putih dari aliansi negara-negara imperialis. Tapi
wewenang Trotsky bukanlah mengambil keputusan atas suatu tindakan dalam
peperangan. Setiap keputusan dalam peperangan diterbitkan oleh Komite Sentral.
Trotsky bertugas sebagai Kepala Propaganda Tentara Merah. Trotsky mondar-mandir
ke front, mengeluarkan perintah singkat dan tegas yang dapat dikutip sebagai
contoh dari gaya militer; ia pergi ke parit perlindungan untuk bicara dengan
prajurit Tentara Merah; ia membuat pidato-pidato yang hebat, tapi dia tidak
pernah memimpin perang sipil.
Selama periode Perang Sipil, seluruh
distribusi atas hasil produksi dipusatkan oleh negara untuk diprioritaskan
keperluan perang. Kebijakan ekonomi demikian itu dikenal dengan nama Kebijakan Ekonomi
Perang Komunisme. Setelah Perang Sipil berakhir, keadaan ekonomi Soviet
memburuk. Kelangkaan barang, kelaparan, kekurangan permesinan, dan sebagainya
mendorong Komite Sentral Partai Bolshevik menerbitkan kebijakan ekonomi baru
bernama New Economic Policy (NEP).
Jika pada kebijakan sebelumnya sirkuit ekonomi dipusatkan untuk perang, pada
periode ini massa buruh dibebaskan untuk mengembangkan inisiatif dan
kreatifitas untuk melakukan kegiatan produksi. Agar kebebasan ini bisa
dimanfaatkan dengan optimal oleh klas buruh, maka peranan Serikat Buruh pun
harus ditingkatkan. Pada akhir 1920, jumlah Serikat Buruh di Rusia
beranggotakan 6,9 juta orang.
Pada November 1920, Komite Sentral
memutuskan untuk melawan sentralisme dan bentuk kerja militer yang sudah
merosot menjadi birokratisme. Keputusan ini didukung dan dilaksanakan oleh
Konferensi Kelima Serikat Buruh Seluruh Rusia. Salah satu yang menjadi
perhatian dalam pelaksanaan keputusan ini ialah pada Komite Pusat Buruh
Transportasi (Tsektran) yang dipimpin Trotsky. Tsektran masih menerapkan
mekanisme kerja lama yang semi-birokratik dan semi-militer. Trotsky ternyata
menentang kebijakan NEP melalui tulisanya The
Role and Tasks of the Trade Unions.
Trotsky beranggapan bahwa seharusnya
Serikat Buruh diserahkan pada kontrol negara. Serikat Buruh harus menjadi
bagian dari kesatuan administratif yang menjalankan fungsi negara. Capaian atas
mobilisasi buruh yang berhasil dihimpun dalam Tentara Merah, menjadi inspirasi
Trotsky untuk memiliterisasi industri. Pada Konferensi Kelima Serikat Buruh
Seluruh Rusia, Trotsky menuntut untuk ‘mengencangkan sekrup’, membangun rejim
militer dalam Serikat Buruh dan ‘menggoncang’ kader-kader pimpinan Serikat
Buruh melalui metode administratif. Sidang pleno Komite Sentral 8 dan 9 November
1920 menolak usul Trotsky.
Meski usul Trotsky ditolak, ide-ide
Trotsky terus didengungkan dalam pamfletnya The
Role and Tasks of Trade Union. Menanggapi usulan-usulan Trotsky, Lenin
berkata :
“Bayangkan saja, setelah Komite sentral
melaksanakan dua rapat pleno (9 November dan 7 Desember) untuk mendiskusikan
draf tesis orisinil dan seluruh politik serikat butuh dari kawan Trotsky, yang
dia ajukan kepada Partai, dan sebuah diskusi yang rumit, panjang dan sengit
yang sebelumnya belum pernah terjadi, seorang anggota Komite Sentral, satu dari
19 anggota, membentuk sebuah grup di luar Komite Sentral dan mengajukan
‘pekerjaan kolektifnya’ sebagai sebuah ‘landasan’ atau ‘platform’, dan
mengungdang Kongres Partai untuk memilih antara dua aliran!”
Argumen yang mendasari peningkatan
peranan Serikat Buruh dalam NEP mengacu pada pendapat Lenin, bahwa Serikat
Buruh adalah sekolahnya klas buruh : sekolah administrasi, manajemen ekonomi,
dan sekolah komunis. Tiadanya guru dan murid di sekolah itu, merupakan keistimewaan
Serikat Buruh. Kelas buruh membutuhkan Serikat Buruh untuk melindunginya dari
birokrasi negara. Tentara dididik melalui ‘disiplin’ dan ‘hukuman’, sedangkan
buruh dididik melalui ‘persuasi’.
Di buku ini masih banyak lagi
kisah-kisah tentang Trotsky, dan betapa sebenarnya dia tidak seheroik yang
digambarkan selama ini. Juga tentang pertentangannya dengan Lenin dan Stalin,
mengenai Sosialisme di Satu Negeri vs Sosialisme Sedunia, Revolusi Dua Tahap vs
Revolusi Permanen, Trotsky sebagai kolaborator fasis Jerman dan Jepang, dan
sebagainya. Di buku ini juga dikisahkan tentang fakta-fakta tentang ‘kekejaman’
dan ‘kultus individu’ yang sering ditimpakan pada Stalin. Buku ini tersusun
atas delapan bab :
BAB I. Trotsky dan Trotskyisme
BAB II. Revolusi Permanen
BAB III. Trotskyisme
BAB IV. Stalin dan Sosialisme di Soviet
Unie
BAB V. Pengadilan Moskow 1936-1937-1938
BAB VI. Pidato Rahasia Krushchov pada
Kongres XX PKUS, 1956
BAB VII. Rehabilitasi Tokoh-Tokoh yang
Dihukum
BAB VIII. Kesimpulan
