Oleh
:
Panji
Mulkillah Ahmad[1]
Kawan
SD, SMP, maupun SMA kita, kini banyak yang tidak melanjutkan pendidikan tinggi.
Padahal mereka ingin sekali ke pendidikan tinggi. Mau tidak mau, mereka menjadi
buruh, tani, atau bahkan sialnya jadi pengangguran. Bagi mereka, yang
terpenting adalah bertahan hidup dari jerembab kuasa rezim yang najis ini.
Bagaimana mereka hendak kuliah? Kalau uang gedung atau uang pangkalnya saja
paling kecil 5 juta rupiah. Itu paling kecil. Sedangkan untuk mendapat kampus
bermutu, setidaknya harus merogoh kocek belasan, puluhan, hingga ratusan juta.
Bermula Dari Pungutan Uang Pangkal
Uang
pangkal adalah pungutan paksa yang harus dibayarkan mahasiswa baru untuk dapat
mengakses kuliah. Disebut pungutan paksa, karena bila tidak dilaksanakan maka
tidak bisa kuliah. Uang pangkal ini namanya bermacam-macam. Ada SPI (Sumbangan
Pengembangan Institusi), POM (Persatuan Orangtua Mahasiswa), BOPP (Biaya
Operasional Pendidikan Tinggi), BFP (Biaya Fasilitas Pendidikan). Tapi apapun
namanya, besarannya tidak jauh beda. Fungsi dari uang pangkal ini tidak jelas,
karena biasanya tidak pernah ada transparansi mengenai untuk apa sajakah uang
pangkal ini digunakan.
Fenomena
uang pangkal ini terjadi pada fase-fase reformasi. Melalui penyepakatan GATS (General Agreement of Trade and Services), pendidikan
tinggi dijadikan salah satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan secara bebas. GATS ini adalah cikal bakal WTO (World Trade Organization), dan Indonesia bergabung di dalamnya. Dari sini ada peralihan persepsi dimana tadinya pendidikan bukanlah komoditi,
kemudian diubah menjadi komoditi. Proses yang demikian disebut komodifikasi
pendidikan. Posisi negara tidak lagi menjamin hak manusia, tapi menjadi pelayan
penguasa modal. Negara dibuat sebisa mungkin mengurangi intervensinya atas
pasar, termasuk dalam membiayai pendidikan. Tujuannya jelas, yakni laba bagi
penguasa modal. Dari sini, dapat terlihat bahwa peran Internasional mempengaruhi sistem pendidikan nasional.
Dampaknya
dalam regulasi nasional adalah salah satunya pasca Undang-Undang BHP dihapuskan
oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret tahun 2010, dua minggu kemudian
tepatnya 17 April 2010, World Bank mengeluarkan
dokumen Indonesia lewat proyek Managing
Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE). Sebuah proyek Bank
Dunia untuk bidang pendidikan, termasuk untuk menyusun renstra pendidikan
nasional yang berbunyi begini, “A new BHP
must be passed to establish the independent legal status of all education
institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN has a
legal subset of BHP”[2].
Inilah cikal bakal pemerintah menyusun Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (UU PT).
UU PT adalah reinkarnasi dari UU BHP, semangat
neoliberalisasi pendidikan menjelma dalam UU tersebut. Dalam pasal 62, diatur
bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan sendiri
kampusnya. Masih sama dengan konsep UU BHP, salah satu wewenang dari otonomi
perguruan tinggi ini adalah dengan membentuk unit bisnis dan mengembangkan
harta abadi. Dalam pasal 73 ayat (1) mengatur mengenai pola penerimaan
mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih sama dengan masalah sebelumnya, yakni
melegalisir penerimaan mahasiswa baru selain penerimaan mahasiswa secara
nasional. Tidak berhenti disitu, dalam Pasal 91 ayat (2) huruf a mengatur bahwa
masyarakat dapat menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi,
dunia usaha, dan dunia industri. Bahasa sarkastiknya ialah, dalam hal ini pihak
swasta menginginkan lulusan perguruan tinggi menjadi pekerja untuk kepentingan
pemodal. Dan masih banyak masalah lainnya.
Nah, di dalam paragraf dua saya berujar bahwa
fenomena uang pangkal terjadi fase-fase reformasi. Itu artinya, sebelum
reformasi tidak ada pungutan uang pangkal. Yang ada hanyalah SPP (Sumbangan
Pembinaan Pendidikan). Kalaupun ada uang gedung, itu tidak dipungut secara
paksa, melainkan sukarela. Lalu mengapa kemudian ada uang pangkal? Sekiranya
argumen dalam paragraf diatas cukup mewakili sebagai basis argumen kenapa ada
uang gedung.
Yang pertama,
pengurangan anggaran pendidikan tinggi kepada perguruan tinggi. Logika
pendidikan sebagai komoditi mengharuskan pemerintah mengurangi intervensinya
dalam hal pembiayaan pendidikan. Hal ini membuat perguruan tinggi mengalami
kesulitan finansial untuk membiayai keperluan operasional dan sebagainya. Yang kedua, otonomi kampus. Namun yang
dimaksud bukanlah otonomi akademik, melainkan otonomi pengelolaan. Kampus yang
telah direduksi jatah anggarannya, mau tidak mau dituntut inovatif mencari uang
dari tempat lain selain negara. Maka didirikanlah hotel kampus, bengkel, rumah
sakit berbayar, bisnis lahan parkir, dan sebagainya. Namun itu bukan yang utama.
Yang utama adalah uang pangkal. Dengan asumsi otonomi kampus, uang pangkal
menjadi memungkinkan untuk dilaksanakan, karena memang kampus dituntut mandiri
untuk membiayai urusannya sendiri. Yang
ketiga, wewenang untuk menyimpan harta abadi. Disinilah pengubahan watak
perguruan tinggi yang tadinya hanya sebagai ajang penyelenggaraan pendidikan,
menjadi ajang bisnis. Anehnya, tidak pernah diatur untuk apa bisnis itu dibuat.
Tidak ada regulasi yang mengatur, misalnya, bahwa laba bisnis tersebut
digunakan untuk mengurangi beban biaya mahasiswa. Yang terjadi adalah bahwa
laba bisnis tersebut justru dikorupsi[3]. Wewenang
tersebut berfungsi untuk semakin memperkuat basis asumsi Yang pertama dan Yang kedua. Ketiga
hal inilah yang menjadikan, mengapa posisi perguruan tinggi kokoh berdiri.
UKT Sebagai (Sekedar) Revisi Atas
Rezim Uang Pangkal
Pendidikan
tinggi yang beroperasi dengan corak uang pangkal, ternyata menimbulkan protes.
Mahasiswa, terutama orangtua mahasiswa banyak yang tidak sanggup. Di banyak
kasus di jawa tengah, orangtua kerap menggadaikan hartanya seperti traktor,
motor, dan lainnya untuk membiayai anaknya menempuh pendidikan tinggi. Sekiranya banyaknya aksi yang terjadi
selama rezim uang pangkal tidak perlu saya jabarkan disini, karena saya yakin
kawan-kawan mahasiswa di kampus masing-masing yang paling tau detil protesnya.
Runtuhnya
rezim uang pangkal bukan serta merta karena unsur eksternal dari sistem,
semisal seperti maraknya gerakan massa yang melakukan protes. Namun, juga
karena rezim uang pangkal ini pada dasarnya adalah pungli atau pungutan liar.
Suatu pungutan dapat diketegorikan pungli bila ia tidak berdasar hukum, atau
berdasar hukum yang bertentangan dengan dasar hukum yang lebih tinggi.
Uang
pangkal, biasanya memiliki dasar hukum berupa Surat Keputusan maupun Peraturan
Rektor. Dasar hukum uang pangkal biasanya berpayung pada pasal 114 Peraturan
Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan sebagai berikut :
Pasal 114
(3) Dana yang diperoleh dari masyarakat adalah perolehan dana perguruan tinggi yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut :
a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP);
b. biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi;
c. hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi;
d. hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi;
e. sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga non-Pemerintah; dan
f. penerimaan dari masyarakat lainnya.
Wewenang untuk memungut uang dari masyarakat dijadikan landasan untuk memungut uang pangkal. Padahal, di sisi lain ada pula berbagai aturan yang telah membatasi mengenai pungutan uang pangkal.
Dalam pasal 52 huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, dinyatakan bahwa pungutan oleh satuan pendidikan dalam rangka memenuhi tanggung jawab peserta didik, orang tua atau walinya, tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik. Namun dalam prakteknya, uang pangkal adalah syarat supaya bisa mengakses pendidikan tinggi.
Lalu,
berdasarkan Kepmenkeu Nomor 115 tahun 2001, dinyatakan bahwa baik SPP maupun
uang pangkal pada dasarnya adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Karenanya, mengenai SPP maupun uang pangkal harus tunduk pada UU Nomor 20 tahun
1997 tentang PNBP. Nah, dalam pasal 3 ayat (2), diatur bahwa setiap PNBP harus
diatur dengan undang-undang maupun peraturan pemerintah. Disinilah letak kecacatan
uang pangkal. Pada umumnya, uang pangkal hanya diatur melalui Peraturan Rektor
saja sebagai legitimasi untuk menarik dana kepada mahasiswa, lalu dijadikan
pemasukan dalam bentuk PNBP. Padahal, supaya bisa disebut PNBP, haruslah diatur
dengan undang-undang maupun peraturan pemerintah, sebagaimana telah dijelaskan
diatas. Terlebih, dalam pasal 88 ayat (5) diatur bahwa, supaya menjadi legal, satuan biaya haruslah berdasar hukum pada peraturan menteri.
Hal-hal
inilah yang membuat posisi uang pangkal menjadi jelas, bahwa ia merupakan
pungli. Uang pangkal memang berdasar hukum, akan tetapi dasar hukumnya itu
bertentangan dengan dasar hukum yang lebih tinggi. Inilah yang menjadi dasar
pemerintah memberlakukan sistem pembayaran baru yakni Uang Kuliah Tunggal atau
UKT. Yang perlu digarisbawahi, pada dasarnya UKT hanyalah wujud baru dari
uang pangkal yang telah ada.
Pada tanggal 9 April 2012, Rektor se-Indonesia
berkumpul bersama DIKTI dalam rangka pembahasan Uang Kuliah Tunggal yang
selanjutnya disebut UKT. Adapun UKT berlandaskan pada Surat Edaran DIKTI No. 21/
E/T/2012, dan Surat Edaran Dikti No. 274/E/T/2012. Selain itu juga ada Surat
Edaran No. 305/E/T/2012 tentang Larangan Kenaikan Biaya Kuliah. Pada
perkumpulan tersebut, akhirnya ada 3 universitas yang mengiyakan sistem UKT,
yakni Unsoed, UNS, dan UNJ. Ada pula jenis UKT lain yang kini sudah
diberlakukan di seluruh PTN di Indonesia , yakni UKT melalui Permendikbud No.55
tahun 2013 tentang Uang Kuliah Tunggal. Jadi, secara faktual ada 2 jenis UKT. Yang pertama, UKT 2012 yakni UKT yang
berlandaskan Surat Edaran dan Peraturan Rektor di UNS, UNJ, dan Unsoed. Yang kedua, UKT 2013, yakni UKT yang
diberlakukan untuk angkatan 2013 berdasarkan Permendikbud No. 55 tahun 2013.
UKT yang menjadi fokus bahasan di bawah ini adalah UKT jenis kedua. Hal ini dikarenakan UKT yang pertama sudah jelas kedudukannya, bahwasanya ia adalah pungli. Disebut pungli, karena tidak berlandaskan hukum melalui UU maupun Peraturan Pemerintah. UKT 2012 hanya berlandaskan Peraturan Rektor. Meski begitu, sampai tulisan ini terbit, UKT 2012, terkhususnya di Unsoed, masih menjadi pokok sengketa di PTUN Semarang. Kebenaran akan sah tidaknya UKT 2012 menunggu ketuk palu sang hakim.
UKT adalah sistem pembayaran
kuliah yang menggantikan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). UKT meniadakan
pemungutan uang gedung, wisuda, almamater, dan segala pungutan lain karena
semua dijadikan satu pembayaran bernama UKT. Adapun besaran UKT didasarkan pada
sebuah Unitcost, yakni seluruh
kebutuhan penyelenggaraan kampus. Unitcost
, yang selanjutnya disebut UC tidaklah semuanya dijadikan dasar UKT, akan
tetapi hanya sebagian saja. Akan tetapi, dalam UKT 2013 tidak lagi menggunakan
bahasa Unitcost, melainkan Biaya
Kuliah Tunggal. Namun maknanya sama saja.
Lain halnya dengan rezim SPP dan
rezim uang pangkal, UKT memasukkan pemain baru dalam sistemnya yakni BOPTN.
Adapun BOPTN dalam pasal 1 Permendikbud Nomor 58 Tahun 2012 tentang BOPTN,
bahwa Bantuan operasional perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah
yang selanjutnya disebut BOPTN merupakan bantuan biaya dari Pemerintah yang
diberikan pada perguruan tinggi negeri untuk membiayai kekurangan biaya
operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan sumbangan pendidikan (SPP) di
perguruan tinggi negeri. Dari skema di atas dapat digambarkan bahwa BOPTN
memiliki peran penting dalam menentukan UKT dan BOPTN. Semakin besar BOPTN,
semakin kecil pula UKT yang harus ditanggung mahasiswa.
Lalu ada pula sistem pembayaran
berbasis level ekonomi. Dalam Pasal 4 Permendikbud tentang UKT, mengatur
tentang pembayaran berbasis level ekonomi. Jadi, semakin rendah tingkat
ekonominya maka ia akan membayar UKT semakin murah. Ada 5 level dalam sistem
UKT. Level 1 sampai 2 biasanya bernominal kisaran 0 sampai 1 juta rupiah per
semesternya. Sedangkan level 3 sampai 5 berarti diatas 1 juta sampai puluhan
juta. Sistem pembayaran berbasis level ini digunakan oleh pemerintah untuk
menganggulangi orang-orang yang tidak mampu mengakses pendidikan tinggi.
Dengan
banyaknya perubahan yang terjadi pada UKT, yang menggantikan rezim pungutan
uang pangkal, apakah ini berarti tidak ada kritik atas UKT? Sistem UKT banyak
digembar-gemborkan sebagai sistem yang baik. Namun pada dasarnya, UKT hanyalah
merevisi kebijakan bobrok yang sebelumnya. Uang pangkal, sebagaimana telah kita
pahami adalah pungli. Memang, UKT dalam hal ini selintas bukanlah pungli,
karena ia berdasarkan hukum pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
yang dapat dikategorikan juga sebagai produk Peraturan Pemerintah. UKT telah
memenuhi syarat-syarat yang tidak dipenuhi rezim uang pangkal. Namun itu
hanyalah persoalan formal belaka. Secara formal UKT memang legal, tetapi secara
materiil tidak. UKT tidak lain dan tidak
bukan hanyalah akumulasi pungli dari masa ke masa yang di buat seolah-olah legal.
Bila
menggunakan kacamata matematis, maka jika kita menyatakan suatu biaya
pendidikan adalah murah, bilamana biaya pendidikan itu turun harganya dari yang
sebelumnya. Namun hal ini tidak terjadi pada UKT. Berikut adalah tabel mengenai
sampel sederhana di kampus saya, yakni Fakultas Hukum Unsoed, bagaimana UKT
tidak membuat biaya semakin murah[4] :
Angkatan
|
Nama
Satuan Biaya
|
Besaran
|
Volume
|
Jumlah
|
Total
|
2008
|
POM
(Persatuan Orangtua Mahasiswa)
|
2
juta atau lebih
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.2.000.000
|
RP.11.975.000
|
SPP
(Sumbangan Pembinaan Pendidikan)
|
1,1
juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
KKN
(Kuliah Kerja Nyata)
|
Rp.1.850.000
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.1.850.000
|
||
Wisuda
|
Rp.625.000
|
Sekali
|
Rp.625.000
|
||
2009
|
BOPP
(Bantuan Operasional Pembiayaan Pendidikan)
|
5
juta atau lebih
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.5000.000
|
Rp.14.975.000
|
SPP
|
1,1
juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
Biaya
Pendidikan
|
Rp.1.850.000
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.1.850.000
|
||
KKN
|
Rp.625.000
|
Sekali
|
Rp.625.000
|
||
Wisuda
|
1,1
juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
2010
|
BOPP
|
5
juta atau lebih
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.5000.000
|
Rp.14.975.000
|
SPP
|
1,1
juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
Biaya
Pendidikan
|
Rp.1.850.000
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.1.850.000
|
||
KKN
|
Rp.800.000
|
Sekali
|
Rp.800.000
|
||
Wisuda
|
1,1
juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
2011
|
BFP
(Biaya Fasilitas Pendidikan)
|
5
juta atau lebih
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.5000.000
|
Rp.14.975.000
|
SPP
|
1,1
juta pada semester 2 sampai 4, dan 850 ribu pada semester 5 sampai seterusnya
|
Tiap
semester
|
Rp.6.700.000
|
||
KKN
|
Rp.1.850.000
|
Sekali
sebelum masuk kuliah
|
Rp.1.850.000
|
||
Wisuda
|
Rp.625.000
|
Sekali
|
Rp.625.000
|
||
2012
|
UKT
(Uang Kuliah Tunggal)
|
2,5
juta atau lebih
|
Tiap
semester
|
Rp.20.000.000
|
Rp.20.000.000
|
Sumbangan
Murni
|
Mulai
dari 0 rupiah atau lebih
|
Tiap
semester
|
|||
2013
|
UKT
|
Rp.2.500.000
|
Tiap
semester
|
Rp.20.000.000
|
Rp.20.000.000
|
Jumlah
biaya ini disusun dengan catatan bahwa ini adalah harga paling rendah, dalam artian bahwa di dalam praktek, bisa jadi
mahasiswa membayar lebih dari ini. Bila kita cermati, dari tahun 2008 sampai
2013 saja, telah terjadi kenaikan biaya pendidikan sebesar 67%. Itu artinya UKT
tidak menyelesaikan masalah, namun hanyalah membawa masalah baru dengan logika
sistem yang direvisi.
Pertanyaan
selanjutnya : “Bukankah BOPTN dapat membantu UKT menjadi lebih murah?”. Asumsi
ini dibuat pemerintah untuk meyakini bahwa BOPTN semakin lama akan semakin besar
dan UKT semakin kecil. Kita perlu mewaspadai penggunaan istilah “Bantuan”.
Menurut Darmaningtyas dalam bukunya yang berjudul Manipulasi Kebijakan Pendidikan, istilah “bantuan” dalam BOPTN,
BOPTS (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Swasta), dan BOS (Bantuan
Operasional Sekolah) merupakan bahasa dengan logika berpikir perusahaan. Dalam
hal demikian, “Bantuan” tak lebih dari sebuah amal, charity, maupun CSR (Corporate
Social Responsibility). Nah, konsekuensinya adalah, maka Bantuan ini
sifatnya tergantung kedermawanan pemerintah. Sehingga pemerintah telah
tereduksi perannya sebagai penjamin hak pendidikan, menjadi donatur pendidikan.
Ini adalah logika yang dianut oleh sistem pendidikan nasional di negara kita.
Kemudan
perihal pembayaran berbasis level ekonomi. Seringkali, hal inilah yang
diunggulkan dalam UKT. Untuk orang “kaya”, ia bisa masuk level 3 sampai 5.
Untuk orang “miskin”, ia bisa masuk level 1 sampai 2. Sistem ini dianggap
sistem yang humanis, dimana “yang kaya bayar mahal, yang miskin boleh murah”.
Namun asumsi “kaya” dan “miskin” ini sangat lemah dalam argumentasi. Bahkan
bila kita menggunakan perspektif stratifikasi sosial pun, seharusnya ada 1 golongan
lagi, yakni golongan “menengah”. Golongan “menengah” mempunyai persoalan dimana
mereka terombang-ambing (secara harta kekayaan) dihadapkan oleh situasi. Kelak
mereka bisa jadi lebih kaya, kelak pula bisa menjadi miskin. Sistem UKT tidak
mengantisipasi bagaimana seandainya terjadi keluarga mahasiswa yang tadinya
menengah menjadi miskin. Sistem UKT menganggap hanya ada kaya dan miskin,
sehingga menengah digolongkan sebagai kaya. Namun ketika suatu saat si menengah
menjadi miskin, ia tetap digolongkan sebagai kaya, karena sewaktu registrasi,
ia berstatus orang kaya.
Tidak
berhenti sampai situ, sistem pembayaran berbasis level ekonomi dalam
Permendikbud tentang UKT pun bertentangan dengan dasar hukum yang lebih tinggi,
yakni UU Pendidikan Tinggi. Dalam pasal 74 UU Pendidikan Tinggi, dikatakan
bahwa PTN wajib menerima mahasiswa berprestasi tapi kurang mampu secara ekonomi
sebanyak 20% yang tersebar di setiap Prodi. Sementara, Permendikbud tentang UKT
mengatur bahwa yang dapat masuk UKT level 1 ialah 5% dan level 2 adalah 5%
saja. Ini berarti ada selisih 10% yang dikorupsi oleh Sistem UKT. Dari sini
dapat terlihat bahwa UKT sendiri berupaya mencuri-curi kesempatan dengan cara
yang seolah legal[5].
Pondasi
argumen dalam rezim uang pangkal dan UKT tidaklah jauh berbeda, sehingga pasti
selalu ada problem dalam logika sistem yang dibangun. Keduanya tidak mengubah
bangunan yang ada di perguruan tinggi. Berikut adalah ilustrasi perbandingan
pondasi yang mendukung keberlangsungan perguruan tinggi :
Simpulan
UKT
merupakan revisi dari rezim uang pangkal, yang mana UKT hanya melegalisasikan pungli-pungli
terdahulu. Revisi UKT atas rezim uang pangkal pun mengandung cacat karena tidak
mampu menyelesaikan masalah objektif. UKT tidak mengubah pondasi
kebobrokan perguruan tinggi, yakni otonomi, harta abadi, dan perampasan hak
pendidikan atas mahasiswa.
Solusi
1.
Menggratiskan pendidikan tinggi, sebagai target maksimum.
2.
Kembali ke sistem SPP dengan pembayaran yang murah berbasis kesukarelaan dan
kemampuan ekonomi, sebagai target minimum.
[1] Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum
Unsoed 2010, Relawan Riset Hukum Savesoedirman, Pemimpin Umum LPM Pro Justitia
FH Unsoed, dan Anggota Front Mahasiswa Nasional Ranting Unsoed.
[2] Risalah Sidang Perkara No
103/PUU-X/2012 dan No 111/PUU-X/2012 , hlm 21
[3] Seperti yang terjadi pada
Edy Yuwono Ph.D, Rektor Unsoed yang menjadi tersangka korupsi unit bisnis BLU
dengan PT.Antam pada tahun 2013
[4] Arsip LPM Pro Justitia FH
Unsoed
[5] Namun bila kita teliti
lagi mengenai jumlah partisipasi orang miskin yang dapat mengakses pendidikan
tinggi, ini juga masih tidak adil meskipun kita mengacu pada UU Pendidikan
Tinggi. Jumlah 20% tidak akan mungkin cukup untuk menampung orang miskin yang
berprestasi. Menurut M.Nuh saja, dalam tahun 2011 hanya sekitar 18% siswa SMA
yang sanggup mengakses perguruan tinggi. Itu artinya ada 82% yang tidak
sanggup, sementara UU Pendidikan Tinggi hanya mematok angka 20%. Ini sangat
jelas membatasi akses pendidikan, karena angka 20% tidak sesuai dengan kondisi
objektif di lapangan.

