Isu Sekolah Menengah Universal seolah
membawa harapan baru bagi masyarakat. Pendidikan wajib 12 tahun yang
dicanangkan pemerintah membawa angin segar bagi masyarakat yang masih tersendat
dalam memperjuangkan anaknya supaya berseragam putih abu-abu. Karena selama ini
sekolah menengah keatas memang dikenal masih membutuhkan biaya yang
tinggi, mulai dari biaya operasional
sampai non operasional. Belum lagi jika sekolah itu diberi label “Standar
Nasional” dan “Standar Internasional”, maka hanya kalangan atas dan menengah ke
atas saja yang mampu mengenyam bangku di sana. Maka wajar jika isu Sekolah
Menengah Universal yang katanya akan membebaskan biaya sekolah ini ditanggapi
secara antusias oleh masyarakat.
Yang tinggal masih menjadi persoalan selanjutnya, yang juga belum menjadi sorotan pemerintah ialah pada jenjang Pendidikan Tinggi. Pada jenjang ini, akses pendidikan makin menyempit karena hanya bisa ditembus oleh beberapa orang saja. Menurut Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2011, lulusan menengah atas usia 19-23 hanya 26 persen yang terserap masuk perguruan tinggi. Sisanya, 74 persen, tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka yang sangat beruntung bisa lolos seleksi masuk perguruan tinggi, menyingkirkan calon-calon mahasiswa lain yang juga ikut proses seleksi. Padahal seleksi itu sendiri sudah penuh perjuangan karena hari ini supaya bisa duduk di bangku kuliah ada berbagai jalur masuk dengan memerlukan biaya yang bervariasi. Amat beruntung lagi jika kebetulan atau tidak, si anak merupakan golongan keluarga kaya, sehingga bisa menggunakan kekayaannya supaya dapat kuliah di manapun ia suka. Yang juga beruntung (sekalipun sedikit) ialah yang miskin tapi pintar, ia dapat kuliah sekalipun harus dengan perjuangan yang berliku, karena mau tidak mau harus mencari dana beasiswa. Yang paling tidak beruntung ialah mereka-mereka yang oleh sistem dianggap miskin dan bodoh, mereka sampai kapanpun tidak akan mampu mengenyam bangku kuliahan. Maka, paradigma (cara pandang) masyarakat hari ini sangat dapat dimaklumi jika menganggap bahwa “hebat” dan “bangga” adalah ketika anak-anak mereka dapat mengenyam bangku kuliah. Karena hari ini, pendidikan masih dianggap komoditas yang mahal.
Yang tinggal masih menjadi persoalan selanjutnya, yang juga belum menjadi sorotan pemerintah ialah pada jenjang Pendidikan Tinggi. Pada jenjang ini, akses pendidikan makin menyempit karena hanya bisa ditembus oleh beberapa orang saja. Menurut Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2011, lulusan menengah atas usia 19-23 hanya 26 persen yang terserap masuk perguruan tinggi. Sisanya, 74 persen, tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka yang sangat beruntung bisa lolos seleksi masuk perguruan tinggi, menyingkirkan calon-calon mahasiswa lain yang juga ikut proses seleksi. Padahal seleksi itu sendiri sudah penuh perjuangan karena hari ini supaya bisa duduk di bangku kuliah ada berbagai jalur masuk dengan memerlukan biaya yang bervariasi. Amat beruntung lagi jika kebetulan atau tidak, si anak merupakan golongan keluarga kaya, sehingga bisa menggunakan kekayaannya supaya dapat kuliah di manapun ia suka. Yang juga beruntung (sekalipun sedikit) ialah yang miskin tapi pintar, ia dapat kuliah sekalipun harus dengan perjuangan yang berliku, karena mau tidak mau harus mencari dana beasiswa. Yang paling tidak beruntung ialah mereka-mereka yang oleh sistem dianggap miskin dan bodoh, mereka sampai kapanpun tidak akan mampu mengenyam bangku kuliahan. Maka, paradigma (cara pandang) masyarakat hari ini sangat dapat dimaklumi jika menganggap bahwa “hebat” dan “bangga” adalah ketika anak-anak mereka dapat mengenyam bangku kuliah. Karena hari ini, pendidikan masih dianggap komoditas yang mahal.
Bila kita kembali pada tahun 2000,
ternyata pada saat itu ada sebuah pertemuan bernama World Education Forum di
Dakkar, Senegal. Negara-negara yang totalnya berjumlah 189 termasuk dengan
partisipasi dari beberapa
organisasi-organisasi yang jumlahnya mencapai 1100 hadir dan menyepakati
beberapa poin penting[1]
:
1. Memperluas
pendidikan untuk anak usia dini
2. Menuntaskan
wajib belajar untuk semua
3. Mengembangkan
proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa
4. Meningkatnya
50% orang dewasa yang melek huruf (2015), khususnya perempuan
5. Menghapuskan
kesenjangan gender
6. Meningkatkan mutu
pendidikan
Beberapa poin tersebut, ringkasnya
merupakan misi UNESCO bersama negara-negara di dunia (termasuk Indonesia)
dengan slogannya yang terkenal : Education
for All. Yaitu sebuah pendidikan yang dapat diakses oleh siapapun,
pendidikan untuk semua kalangan.
Bila kita mengingat kembali pada tahun
1966, lahir pula Internatinal Covenant of
Economics, Social, and Culture Rights (ICCPR). Dalam artikel 13 ayat 2
huruf (a), (b), dan (c) dikatakan :
The States Parties to the present
Covenant recognize that, with a view to achieving the full realization of this
right:
(a) Primary education shall be
compulsory and available free to all;
(b) Secondary education in its different
forms, including technical and vocational secondary education,shall be mad e
generally available and accessible to all by every appropriate means, and in
particularby the progressive introduction of free education;
(c) Higher education shall be made
equally accessible to all, on the basis of capacity, by every appropriate
means, and in particular by the progressive introduction of free education;
Jika diterjemahkan menjadi bahasa
Indonesia :
Negara
Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara
penuh:
a)
Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara gratis bagi semua orang;
b)
Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan
kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua
orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
c)
Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar
kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
Namun
Indonesia baru meratifikasi Kovenan ini pada tahun 2005, yakni melalui UU No 11
tahun 2005. Berarti Indonesia “mangkir” selama 39 tahun dibanding negara-negara
lainnya dalam menjamin warganya untuk mengenyam akses pendidikan. Yang dapat
diambil intisari dari ketentuan tersebut, bahwasanya pendidikan merupakan hak
asasi manusia yang bersifat universal dan adalah kewajiban negara untuk
menjamin hak tersebut diperoleh warganya. Untuk memperoleh hak tersebut, maka
disepakatilah bahwa pendidikan dala jenjang apapun harus gratis.
Di Indonesia, hal ini sesuai dengan Konstitusi kita yakni
Undang Undang Dasar 1945. Pada pasal 31 ayat (1) dikatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”. Bahkan pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk
menjamin hak tersebut, sebagaimana tertuang dalam ayat (3) bahwa “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Ditambah lagi jika kita melihat Pembukaan (Preamble)
UUD 1945 sebagai cita-cita negara, dikatakan bahwa “..Kemudian dari pada
itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”. Indonesia ternyata memiliki
janji[2]
kepada warganya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lantas
mengapa paradigma masyarakat masih memandang bahwa pendidikan adalah barang
yang mahal? Mengapa masyarakat masih merasa bahwa yang sanggup mengenyam
pendidikan hanyalah orang-orang tertentu saja. Di Kuba dan di Belanda misalnya,
pendidikan tidak memiliki sekat-sekat antara yang “dasar” dengan “menegah” dan
yang “tinggi”. Ataupun yang “nasional”, “swasta”, dan “internasional”. Juga
yang “beasiswa kurang mampu” ataupun “yang biaya tinggi”. Tidak ada pemisahan
hak bagi si kaya ataupun si miskin, si anak pekerja ataupun anak pengusaha,
anak bodoh ataupun anak pintar. Singkatnya, tidak ada diskriminasi secara sosial
maupun ekonomi dalam mengakses pendidikan. Andai cara pandang kita tidak
menganggap bahwa pendidikan adalah barang yang mahal, maka kita tidak mungkin
menganggap bahwa pendidikan gratis adalah sebuah keajaiban. Sebagai subyek yang
telah memiliki kesadaran akan haknya, maka setelah sadar kita akan menuntut hak
kita semua untuk mendapatkan akses pendidikan secara terbuka.
Mungkin
saja, kita semua hari ini masih memiliki cara pandang yang menganggap bahwa
keadaan seseorang merupakan akibat dari orang itu sendiri. Cara pandang ini
dinamakan juga dengan paradigma liberal[3].
Semisal ada seorang anak yang miskin dan bodoh. Orang yang berparadigma liberal
akan menganggap bahwa anak itu miskin karena ia tidak bekerja dan ia bodoh
karena tidak sekolah. Tapi benarkah demikian?
Apakah
seorang anak sudah dapat menentukan nasib dirinya akan menjadi miskin dan
bodoh? Tentu saja tidak. Jika kita mampu memandang secara obyektif, anak
tersebut menjadi miskin dan bodoh bukan karena dirinya sendiri yang
mengkehendaki, tapi karena sistem. Sistem dalam hal ini adalah tatanan sosial,
politik, dan hukum yang mempengaruhi anak tersebut. Mungkin saja karena negara
tidak mengurusi anak itu, sehingga ia miskin dan bodoh. Cara berpikir yang
demikian merupakan paradigma kritis. Yaitu paradigma yang menyatakan keadaan
seseorang tidak hanya disebabkan atas kehendak orang itu sendiri, tapi juga
karena sistem kelas masyarakat yang mempengaruhinya. Nah, kamu sendiri
menggunakan paradigma yang mana?
Sudah
saatnya kita mengubah paradigma kita. Sudah saatnya sebagai insan yang memiliki
hak asasi mendapatkan haknya, terutama hak pendidikan. Bukan hanya
memperjuangkan hak diri sendiri, tapi juga menolong orang lain sebagai bentuk
kepedulian sesama manusia.
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Education_For_All,
diakses pada 21 Desember 2012
[2] Anis Baswedan dalam
Diskusi Publik di FISIP Unsoed lebih menyukai kata “janji” daripada “cita-cita”
karena baginya, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tanggungjawab negara
sebagai konsekuensi dicantumkannya ketentuan tersebut dalam Pembukaan UUD 1945.
[3] Henry Giroux dan Aronowitz
membagi 3 macam paradigma pendidikan, yaitu paradigma konservatif, liberal, dan
kritis. Tertuang dalam Mansour Fakih, “Ideologi
Dalam Pendidikan” Pengantar dalam William F. O’Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002)
hlm xiii
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
:
O’Neil, William,
2002, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Internet :
Wikipedia : http://
en.wikiepedia. org/wiki/Education_For_All (diakses pada 21 Desember 2012)
Peraturan Perundang
Undangan :
Undang-Undang Dasar
1945
International
Covenant of Economics, Social, and Culture Rights
Undang Undang No 11
Tahun 2005

