Selasa, 06 Maret 2012

Membuntungkan Tangan Pengemis Tanpa Rasa Sakit


Oleh :Agnes Harvelian, Andrew Firdaus dan Panji Mulkillah Ahmad
(Pra syarat esai-Lomba Debat LKHS FH Unsoed 2011)


        Kelanjutan mata rantai kehidupan manusia miskin tanpa pendidikan di Indonesia sangatlah memprihatinkan. Di tuntut bekerja tanpa tersedianya lapangan pekerjaan, membuat kota besarpun menjadi pengharapan bagi para kaum yang termarjinalkan. Penjibakuan dalam negara prularis, menciptakan suatu pola untuk mengais pekerjaan yakni dengan “Menadah Tangan” dan sejenisnya. Perilaku semacam ini, mengarah pada sebuah realita sosial sebagai suatu korban kebiadaban penguasa. Mengemis! Meminta uang dari orang lain, berharap balas kasih dari sepasang mata liar yang menatap. Tindakan pengemisan tidaklah sesuai dengan budaya ketimuran, bahkan dalam Islam, ada ajaran "tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah" [al-yad al-ulya khair min al-yad al-sufla). Akan tetapi secara gramatikal dapat dikristalkan bahwa tangan di bawahpun masih dikatakan baik, karena tangan di atas memiliki posisi lebih baik. Yang perlu digaris bawahi ialah permasalahan timbul, bukan murni dari tindakan menadahnya, tetapi dari kondisi kepribadian masyarakat Indonesia. Terlena pada sebuah pusaran zona kenyaman dalam hal meminta tanpa harus melakukan pengorbanan level tertinggi.
        Artinya seseorang yang mengemis di ilhami hanya dengan jasa sederhana, tanpa berkutik pada sebuah pemikiran giving a benefit. Tantowi Yahya (Duta Baca Nasional) mengatakan, bahwa orang yang tidak suka membaca (saya korelasikan pada sebuah pendidikan), akan mendekatkan dirinya pada Kebodahan dan kebodohan itu sangat dekat dengan kemiskinan. Secara linier faktor fundamental dari perilaku mengemis ialah, ketiadaan pemenuhan pendidikan formal maupun non formal dari penyelenggara negara untuk rakyatnya. Hingga tahun 2010 presentase pengemis di Indonesia telah mencapai kenaikan di angka +/- 200.000 jiwa (Detik.com). Fenomena tersebut telah menguatkan para sosiolog, bahwa mengemis telah menjadi suatu budaya yang turun temurun, bersemayam disetiap nurani masyarakat, terlebih pada posisi terbawah dalam stratifikasi sosial. Dan fatalnya perilaku tersebut telah menjadi sebuah keyakinan besar, bahwa cara yang paling mudah untuk menjadi kaya, bagi mereka ialah mengemis.
        Rendahnya asupan pendidikan dibalut legkap dengan ketiadaan lapangan pekerjaan yang disediakan negara. Menjadikan fenomena mengemis berada pada tingkat relevansi negara, yang menjadi pekerjaan rumah disetiap pemerintahan yang berkuasa. Disparitas sosial yang terjadi seakan diamini oleh semua pihak, dengan memandang sebelah mata permasalahan unik ini. Pemutusan sebelah pihak, dengan membuat aturan sendiri tanpa berfikir solutif dan efektiflah dalang wujud keegoisan negara yang gagal.
        Pada buku ketiga tentang pelanggaran bab II pasal 504 ayat (1) dan (2) KUHP, berbunyi pada ayat (1) Barang siapa mengemis dimuka umum, diancam, karena melakukan pengemisan, dengan kurungan paling lama enam minggu, dan pada ayat (2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan. Ketentuan inilah yang menjadi dasar penistaan pengemis, yang telah menjadi kelas tersendiri dalam struktur masyarakat, yang berpangkal sebab pada lemahnya kebijakan makro dan mikro ekonomi negara.
        Seakan keabisan akal atau mengakui ketidakberdayaan disetiap daerah, Ibukota pun mengamini ketentuaan diatas dengan menerapkan Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Aspek yuridis yang menjadi dalil kuat penghukuman pengemispun, tidaklah berjalan dengan efektif. Keadaan yang terjadi jelas menguatkan posisi tulisan ini kepada argumentasi kontra atau tidak setuju akan penjatuhan kurungan pada pengemis. Ketentuaan tersebut telah usang dan penghukuman bagi pengemis tidaklah efektif diterapkan dimasa sekarang. Hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan (Satjipto Rahardjo : 2010).
        Pengemis bukanlah fenomena hukum apalagi dilibatkan pada penegakan hukum. Semakin tingginya presentase pengemis haruslah disadari bahwa di negara ini memang belum ada keadilan ekonomi secara merata. Dengungan keras ekonomi kerakyatan yang disebut-sebut sebagai dasar ekonomi Indonesia beralih pada ekonomi ‘kebrutalan’ rakyat. Bak tragedi genoside di era Nazi, Indonesia menjelma secara perlahan sebagai penabur duri dalam asas kebangsaan, yang menghasilkan disparitas sosial. Pasal a quo dilansir sebagai bentuk inkonsistensi negara dalam menjalankan fungsinya. Bagaimana tidak pasal 504 KUHP secara tersirat berbenturan dengan konstitusi negara. Tepatnya pada Bab X tentang HAM pasal 28 C dan Bab XIV pasal 34 UUD 1945. Dalam pasal 28 C secara tegas dinyatakan bahwa pada ayat (1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” dan ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” Pada pasal mengenai Hak Asasi Manusia telah disebutkan bahwa setiap manusia berhak atas pemenuhan kebutuhannya, ketika menjadi seorang pengemis dipilih maka itu merupakan salah satu bentuk HAM untuk memenuhi kebutuhannya. Ketika negara tidak sepakat dengan pertahanan eksistensi HAM yang seperti itu, maka bukanlah mencabut hak secara paksa, tetapi memberikan alternative yang solutif. Lebih jelas di tekankan pada pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara, ayat (2) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, ayat (3) negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, dan (4) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Pasal 34 UUD 1945, menjelaskan secara mendalam tugas dan fungsi negara akan pemberdayaan rakyatnya. Dan ketika keduanya dibenturkan pada pasal 504 KUHP, terlihat secara jelas bahwa penghukuman kurungan bagi pengemis sebagai bentuk kegagalan negara dalam menjalankan amanah rakyat dan Undang-undang Dasar.
        Melirik pada efektifitas penghukuman, ketika penghukuman kurungan dijatuhkan kepada pengemis yang melanggar, tidak ada jaminan penghukuman tersebut akan menyelesaikan masalah. Pengemis akan kembali pada status pekerjaan awalnya, yakni sebagai pengemis kembali. Ancaman kurungan atas pelanggaran yang diasumsikan melanggar ketertiban umum seharusnya, disikapi secara empiris-sosiologis. Tanpa mengagungkan hukum positif yang mendekatkan pada ketidakadilan, melainkan pada penegakan hukum progesif, yakni mengikuti perkembangan masyarakat. Sehingga akan tercapai tujuan pemasyarakatan sesuai dengan pasal 12 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995. Perihal peran serta negara yang telah diamanahkan dalam konstitusi Indonesia, serta tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945. Hal itu menjadi dasar bahwa penjatuhan kurungan bagi pengemis tidaklah sesuai dengan tugas dan fungsi negara, dalam melakukan sebuah revolusioner bangsa majemuk ini.
        Ketimpangan atau kesenjangan ekonomi yang terjadilah yang seharusnya dibenahi pemerintah, bukan hanya berkutik pada penegakan hukum positifnya saja. Artinya memang haruslah ada sebuah progesifitas yang dilakukan, Amerika Serikatpun yang sekarang menjadi negara adidaya berhasil dalam melakukan law movement. Membebaskan diri dari tradisi hukum yang membelenggu dinamika sosial yang berjalan. Sedikit kacau dalam pandangan dunia internasional, akan tetapi Amerika berhasil mengakomodir kepentingan bangsanya. Statement yang seharusnya menginspirasi negeri diam ini ialah, “This is the American development” dan “this is the American concept of law”. Pada akhirnya pergaulan internasional pun mengakui keunggulan tata hukum Amerika sebagai negara yang mampu menghomogenitas bangsanya yang federal.
        Pendeskripsiaan permasalahan yang timbul dari penjatuhan hukuman kurungan bagi pengemis, yang tidak efektif dan belum sesuai dengan dinamika sosial. Haruslah disikapi dengan serius, sehingga kami mencoba memberikan proposal gagasan kami dengan mengawalinya pada judicial review pasal 504 ayat (1) dan ayat (2) melalui Mahkamah Konstitusi. Alasan yang merugikan dan pembenturan dengan UUD 1945 telah dijelaskan sebelumnya. Lalu bagaimana cara konkrit yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi pertumbuhan pengemis yang semakin meningkat bak keran air yang tidak ditutup secara erat. Butuh pemikiran yang visioner dalam menguatkan gagasan yang akan diajukan. Salah satunya dengan membuat progam penguatan infra dan suprastruktur dalam menciptakan lapangan pekerjaan untuk pengemis. Akan tetapi lapangan pekerjaan yang diciptakan bukanlah berada pada tempat yang padat penduduk. Lebih di spesifikasikan bukan di pulau yang sudah banyak penduduknya. Melainkan pulau yang jarang penduduknya, bahkan harus daerah yang belum terjamah. Sehingga implementasi tugas dan fungsi negara sejalan dengan pemberdayaan masyarakat, sekaligus mengefektifkan tanah Indonesia. Sebetulnya sudah digunakan pada zaman orde baru dengan program transmigrasi, akan tetapi kesalahan terbesar adalah ketiadaan pemeliharaan dan pemantauan oleh pemerintah. Yang menjadikan sulit berkembang. Lalu bagaimana dengan anak dibawah umur? Kami menegaskan untuk mecanangkan sekolah alam, dengan kata lain sekolah yang ditanggung negara dalam melakukan tanggungjawabnya atas amanah konstitusi. Sekolah yang berbeda dengan yang lain, lebih berorientasi pada alam yang telah disesuaikan pada sosiologis anak yang notabennya adalah seorang pengemis. Pengharapan besar dengan adanya pendidikan dan regulasi lapangan pekerjaan akan tercipta kepribadian baru dan menghilangkan budaya mengemis dari setiap jiwa bangsa Indonesia.
        Kamipun tetap pada posisi kontra terhadap penjatuhan kurungan bagi pengemis, yang terjelaskan pada pasal 504 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Proposal gagasan yang kami tawarkan sangatlah efektif dalam pengentasan penurunan angka pengemis. Tidak ada HAM yang dilanggar, hukum pun dipaksa mengikuti kemajuan masyarakat yang ada. Dan menurut Satjipto Rahardjo hukum seharusnya bisa membuat “bahagia”. Sehingga akan menghasilkan suatu sinergisitas yang berada pada tingkat kesadaran tingkat tinggi dari masyrakat yang berada pada stratifikasi sosila terbawah dan peran pemerintah.

Anda Pengunjung ke