Atas permintaan dari seseorang yang sebut saja Allison, gw akan menceriterakan mengapa gw menjadi mahasiswa, khususnya mahasiswa fakultas hukum.
Mahasiswa, kenapa sih dengan mahasiswa? Kenapa juga gw musti repot-repot ikut ujian masuk perguruan tinggi hanya untuk menjadi mahasiswa. Waktu itu gw masih bocah. Kedudukannya lebih rendah daripada ABG. Karena gw sering memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan apa-apa dan tanpa pertimbangan apa-apa alias gak pake mikir. Akhirnya gw cuma ikut-ikutan coba jadi mahasiswa dengan ikut serangkaian ujian yang bikin gw sontoloyo.
Terus kenapa juga gw milih fakultas hukum? padahal gw kan di SMA jurusannya IPA?. Duhai pelajar IPA se-Indonesia, ampunilah pengkhianat yang satu ini. Gak tau lah dulu apa yang ada di pikiran gw. Seinget gw sih ,gw disuruh orangtua gw.
Dengan kedua alasan yang demikian, timbul lagi pertanyaan baru. "udah tau milih ngasal-ngasal, kenapa masih diterusin?". Deg...Jleb...Dor... Pertanyaan yang kayak gitu bikin gw berpikir keras gimana cara ngerangkai kata-kata untuk menjawabnya. Pertanyaan yang kayak gitu adalah pertanyaan yang memaksa gw untuk bijaksana dalam menghadapinya.
Sekitar akhir 2010, gw makin sering diskusi sama temen gw yang bernama Surya prabaswara. Dari dia, gw dikenalin sama tokoh pemuda idealis bernama Soe Hok Gie. Gw dikasih nonton filmnya, dikasih pinjem bukunya. Dan bahkan diskusi-diskusi utopis seperti seandainya jika Soe Hok Gie masih hidup dan berjuang bagi bangsa ini ataupun seandainya semua mahasiswa Indonesia seperti Soe Hok Gie.
Salah satu tokoh yang bikin gw berubah banget mengapa gw jadi tetap memutuskan menjadi mahasiswa ialah Soe Hok Gie. Gie adalah sosok pemuda yang idealis. Ia tidak takut pada keresahan yang menimpa dirinya. Ia punya prinsip dan tekad sekuat baja. Ketika ia menjadi mahasiswa, ia aktif di beberapa organisasi. Ia menentang pemerintahan bahkan ia termasuk arsitek demo 1966 dalam upaya menentang Soekarno yang waktu itu para mahasiswa terkenal membuat Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).
Bagi gw, Gie ini menginspirasi banget. Bagi gw, dialah tokoh mahasiswa sejati yang gw idam-idamkan. Kalo sekarang orang-orang pada kuliah, jadi mahasiswa karen pengen jadi sesuatu, dia jadi mahasiswa karena dia ingin berbuat sesuatu. Dan dia berhasil berbuat sesuatu, untuk negara. Mahasiswa sekarang pada mikir lulus mau jadi apa. Mahasiswa sejati macam Gie, nggak pernah berpikiran seperti itu. Menurutnya hal utama yang ia pikirkan ialah bagaimana mengubah bangsa ini menjadi lebih baik melalui pendidikan yang ia kenyam.
Lalu kenapa gw masih melanjutkan jadi mahasiswa fakultas hukum. Setelah gw sadari gw lemah di IPA, gw memutuskan untuk memilih jurusan IPS, yaitu hukum. Gw sadar nggak bisa kembali ke masa lalu dimana gw merasa menjadi seorang yang tolol di IPA.
Ilmu hukum banyak memberi segalanya bagi gw. Gw merasa nyaman disini. Bukan karena dosennya, bukan karena universitasnya, bukan karena temen-temen gw, tapi karena ilmu hukum itu sendiri. Entahlah, yang namanya udah cinta, sulit untuk dijelaskan alasannya.

Hal-hal yang hampir seluruh orang ketika terpikir tentang borobudur ialah : "sebuah bangunan, berupa candi, berbahan batu-batuan megalitikum, buddha, mataram, raja samaratungga, jawa, indonesia dan unesco". Ya, kata-kata itulah yang menghiasi pikiran kita kalau terbayang borobudur. Kata-kata itu jua yang mengisi ensiklopedi-ensiklopedi baik tertulis manual maupun cyber, artikel-artikel dalam surat kabar, bahkan buku pelajaran sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Manusia ketika dihadapkan oleh sesuatu yang besar sepertinya cenderung terdorong berpikir yang jua besar-besar. Berpikir tentang borobudur pastinya membuat perasaan manusia siapapun menjadi menggema mengagumi pesona keagungan karya manusia yang patut dikagumi ini. Sebuah bangunan monumental yang penuh dengan simbol kemasyhuran dan kegemilangan di masa lalu. Perasaan yang seperti itulah yang sekaligus membuat kita lupa sebagai manusia akan sisi kemanusiaan kita.
Budak. 5 huruf yang bila disebut namanya membawa suasana jijik, kotor, menggelikan, dan menyedihkan. Tak jauh beda dengan peristilahannya di masa lampau, yaitu Sudra. Golongan paling rendah dalam kasta masyarakat. Ia tidak memiliki hak-hak sebagaimana yang dimiliki golongan diatasnya. Ia hanya mempunyai kewajiban untuk patuh dan tunduk menjadi boneka tuannya.
Ya, budaklah yang membangun borobudur itu. Merekalah yang mengangkat batu-batu itu dari pegunungan, dari sungai, dari bukit bukit, dan dari mana saja. Merekalah yang mengukir batu-batu itu menjadi arca yang kelak disembah oleh insan yang hendak menyembah, yang juga kelak dijadikan objek foto bersama oleh insan abad pasca 19.
Golongan dari kasta mana yang sanggup melakukan itu selain budak/sudra? Tiada. Brahmana? Hati mereka tak mau kotor oleh pekerjaan yang kasar. Hati mereka harus sebersih dosa bayi dan selembut kasih ibu sejati. Ksatria? Tangan dan jiwa mereka yang gagah perkasa terlalu murah jika harus berurusan dengan batu kali. Mereka lebih sibuk berurusan dengan perang senjata dan perang politik. Waisya? Apa yang bisa diharapkan dari seorang pedagang? Menghitung laba distribusi batu mungkin ia bisa.
Adalah sudra yang selama ini tidak kita sadari yang membangun borobudur. Sudra adalah golongan karya seseorang yang bila hendak melaksanakan profesinya sepenuhnya mengandalkan kekuatan jasmaniah, ketaatan, kepolosan, keluguan, serta bakat ketekunannya (http://id.wikipedia.org/wiki/Sudra). Adalah oleh keringat sudra sehingga borobudur yang kita nikmati ini bisa berdiri. Tegak dan kokoh hingga sekarang. Bisa apa Samaratungga tanpa sudra? Borobudur hanya akan menjadi blueprint dalam daun lontar tanpa hadirnya sudra.
Sudra, aw aduh Budak maksudku ( aku lupa kita berada di abad 21), jugalah manusia. Dengan mengingat borobudur seharusnya kita juga mengingat jasa-jasa mereka. Kita mengingat penderitaan mereka. Tiada jaminan kesehatan, jaminan sosial, jaminan kecelakaan tenaga kerja waktu itu. Mereka tiada butuh itu semua. Mereka tiada pernah melawan. Mereka selalu taat pada tuannya.
Borobudur hanyalah salah satu contoh saja yang menjadi saksi bisu betapa beratnya manusia sudra/budak waktu itu. Masih ada menara eiffel, gedung parlemen inggris, tembok besar china, taj mahal india, masjidil haram arab, katedral vatikan, dan bangunan keringat budak-budak lainnya.
Para budak selalu selangkah lebih mulia dibandingkan tuannya. Ketika manusia modern mulai menyadari untuk memanusiakan manusia dengan menghentikan perbudakan, para budak sudah lebih dulu memanusiakan tuannya, bahkan men-dewa-kannya.